Anda di halaman 1dari 12

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang PEMILUKADA langsung di Indonesia yang dimulai Juni 2005 sering dikatakan sebagai lompatan demokrasi . Istilah ini bisa diartikan positif maupun negative. Dalam pengertian positif, Pemilukada langsung sebagai sarana demokrasi memberikan kesempatan kepada rakyat sebagai infrastruktur politik untuk memilih kepala daerahnya secara langsung melalui mekanisme

pemungutan suara. Sarana ini akan membuat keseimbangan dengan dengan suprastruktur politik, karena melalui pemilihan langsung rakyat dapat

menentukan jalannya pemerintahan dengan memilih pemimpin yang dikehendaki secara bebas dan rahasia. Meskipun rakyat tidak terlibat langsung dalam pengambilan keputusan pemerintah sehari-hari, mereka dapat melakukan control atas jalanya pemerintahan yang sudah mendapat mandate langsung dari rakyat. Dalam pengertian negatif , Pemilukada langsung sebagai lompatan

demokrasi mencerminkan penafsiran sepihak atas manfaat proses Pemilukada. Proses ini sering dianggap sebagai pesta demokrasi rakyat di mana rakyat berhsk untuk berbuat apa saja, termasuk tindakan-tindakan anarki, baik atas inisiatif sendiri maupun yang dimobilisasi oleh kandidat dan pendukungnya atau karena dorongan partai politik sebagai pihak yang mengajukan kandidat tersebut. Eforia ini juga sering direspons khalayak sebagai kesempatan untuk meraih keuntungan materi dalam Pemilukada. Khalayak di sini bisa berupa political entrepreneurs (para broker politik) maupun masyarakat umum. Para broker memanfaatkan Pemilukada sebagai kesempatan untuk meraih keuntungan dari jasa yang dibutuhkan oleh para kandidat, mulai dari persiapan pencalonan, masa pencalonan, kampanye, sampai tahap pemungutan suara dan sesudahnya. Dalam istilah yang popular, mereka

PROBLEMATIKA PEMILUKADA

disebut orang-orang yang ngojek Pilkada, atau bahkan sebagian dapat disebut sebagai free riders (para penumpang gelap) Pemilikada. Mereka bisa masuk ke dalam lingkaran terdalam (inner circle) kandidat sebagai tim sukses atau tim kampanye. Fenomena money politics dalam Pemilukda yang terjadi di tengah kegamangan lompatan demokrasi tersebut akhirnya cenderung ditoleransi

keberadaannya. Dengan alas an, kedua belah pihak baik kandidat maupun rakyat sama-sama membutuhkannya. Sepanjang tidak ada unsure pemaksaan dan intimidasi atau bentuk-bentuk kekerasan politik lainnya, praktik politik uang semacam itu biasanya sulit untuk ditindak atau dikenai hukuman, kecuali yang tertangkap basah. Pelaku yang tidak tertangkap akan sulit melacaknya, apalagi jika, mempertimbangakan suatu klausul bahwa calon pemilih bisa saja menerima pemberian uang oleh kandidat atau tim suksesny, namun dia bebas menentukan pilihannya. Klausul inilah yang biasanya dianggap sebagai jalan kompromi

untuk menoleransi politk uang di tengah berlakunya hokum ekonomi Pemilukada, yaitu adanya supply and demand antara pihak kandidat dan pemilih.

1.2 Pokok Permasalahan Beberapa pokok permasalah yang akan dibahas dalam makalah

mengenai Problematika Pemilukada ini, antara lain : a. Paradoks Pemilukada b. Kapitalisasi Pemilukada c. Legitimasi Proses Pimilukada d. Ekonomi-Politik Pemilukada e. Fanatisme Pemilih Pemilukada f. Keterbatasan Waktu Kampanye g. Rescheduling Pemilukada

PROBLEMATIKA PEMILUKADA

BAB II
PROBLEMATIKA DAN ANTISIPASI MASALAH DALAM PEMILUKADA

2.1 Problem Pemilukada PENYELENGGARAAN pilkada langsung mulai tahun 2005 adalah

kelanjutan dari proyek demokratisasi, khususnya di tingkat lokal. Semangatnya adalah koreksi terhadap sistem demokrasi tidak langsung (perwakilan), di mana kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh DPRD, menjadi demokrasi yang berakar langsung pada pilihan rakyat (pemilih). Oleh karena itu, keputusan politik untuk menyelenggarakan pilkada langsung adalah langkah strategis dalam rangka memperluas, memperdalam dan meningkatkan kualitas demokrasi di tingkat lokal. Dalam kaitan dengan penyelenggaraan pilkada langsung tersebut, sekurang-kurangnya ada dua hal besar yang harus dilihat sebagai konteks. Pertama, bahwa lahirnya UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya yang menyangkut Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah telah melahirkan kontroversi yang cukup serius. Banyak yang menilai bahwa berbagai ketentuan tentang penyelenggaraan Pilkada langsung tersebut kurang didukung oleh kerangka berpikir yang tepat. Buntutnya adalah pengajuan judicial review oleh beberapa LSM Peduli Pemilu dan beberapa KPU Provinsi. Tentu berbagai kontroversi ini akan mempengaruhi kesiapan KPU Daerah (dan juga pihak-pihak lainnya) di dalam persiapan penyelenggaraannya. Kedua, bahwa pada tahun 2005 saja, jumlah daerah yang harus menyelenggarakan pilkada langsung mencapai hampir separuh wilayah

Indonesia. Data sementara menunjukkan bahwa akan ada 227 Pilkada , di mana 11 di antaranya adalah pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah tingkat provinsi. Angka ini memberikan pesan bahwa penyelenggaraan pilkada langsung
PROBLEMATIKA PEMILUKADA

tahun

2005

tidak

bisa

dianggap

sebagai

uji

coba,

melainkan

harus

diselenggarakan dengan sepenuh daya dan kemampuan. Jika penyelenggaraan Pilkada tahun 2005 kurang optimal, atau bahkan masuk dalam kategori "uji coba", risikonya akan sangat besar. Bukan saja karena akan menjadi preseden kurang baik bagi penyelenggaraan tahun berikutnya, tetapi juga lantaran cakupan wilayahnya yang mencapai hampir separuh republik. Berdasarkan kedua hal tersebut, sebaiknya kita lantas melihat lebih jauh dan cermat, hal-hal apa saja yang bisa menjadi "ranjau" di dalam

penyelenggaraan pilkada langsung. Pemetaan ini bukan untuk mengundang pesimisme, melainkan justru untuk melahirkan sikap antisipatif, sehingga risikorisiko buruk yang mungkin muncul akan mampu ditekan sedemikian rupa. Pemetaan ini juga bisa menolong kita untuk tidak mengumandangkan optimisme secara membabi-buta (apriori), bahwa penyelenggaraan pilkada pasti akan berjalan sukses, semata-mata karena referensi keberhasilan penyelenggaraan pemilu presiden dan wakil presiden. a. Paradoks Pemilukada Kekhawatiran itu akhirnya muncul juga. Orang bukan saja mulai mempertanyakan atau mengaitkan pemilihan kepala daerah langsung dengan kualitas kepala daerah, melainkan juga menggugat urgensi Pemilukada langsung bagi kemajuan demokrasi. Adanya sejumlah paradoks dalam pemilukada langsung yang sudah

berlangsung sejauh ini. Paradoks pertama berupa antagonism dalam masalah anggaran. Dana penyelenggaraan Pemilukada yang sangat variatif sesuai kemampuan financial masing-masing daerah, oleh pemerintah pusat

diseragamkan lewat Peraturan Menteri Dalam Negeri. Joko Prihatmoko, anggota KPUD Kendal, menyebutkan sebagai desentralisasi Pemilukada varsus

dekonsentrasi anggaran.

PROBLEMATIKA PEMILUKADA

Akibatnya pun bisa ditebak. Di sejumlah daerah terjadi pembangkangan terhadap Permendagri No. 12/2004 yang antara lain mengatur besarnya honor penyelenggara Pemilukada. Dilihat dari sasaran puncak Pemilukada berupa terpilihnya kepala daerah yang berkualitas, honor kecil penyelenggara bukan saja merupakan kendala serius melainkan juga antithesis yang berisiko besar. Paradoks ketiga, semangat para kandidat yang menggebu-gebu tampak tidak sebanding dengan kepedulian masyarakat luas. Para calon kepala daerah sudah menyiapkan diri jauh-jauh hari untuk maju dalam kompetisi, menyeleksi anggota tim suksesnya, menetapkan anggaran, dan mengemas political marketing. b. Kapitalisasi Pemilukada Salah satu keprihatinan banyak pihak berkaitan dengan pelaksanaan Pemilukada langsung adalah munculnya kapitalisasi dalam tahapan Pemilukada. Proses Pemilukada langsung dinilai jauh lebih mahal dibandingkan dengan model pemilihan kepala daerah lewat perwakilan DPRD. Memang disadari bahwa setiap pergantian kekuasaan selalu menyedot biaya yang tidak sedikit. Namun transisi demokrasi yang saat ini sedang berlangsung di tingkat local, yakni dengan dengan digelarnya Pemilukada langsung, dianggap menciptakan anomaly yang serius. Kesenjangan antara citacita dan realitas masih lebar. Persoalan inilah yang harus dipecahkan untuk memperbaiki Pemilukada langsung berikutnya. Kapitalisasi Pemilukada menurut pakar politik Bahtiar Effendi, bukanlah politik uang. Kapitalisasi lebih dari sekedar politik uang, karena yang terjadi adalah pembengkakan biaya, baik dari sisi penyelenggaraan maupun dari pihak kandidat.

PROBLEMATIKA PEMILUKADA

Kapitalisasi menimbulkan banyak konsekuensi yang buruk dalam praktik pemerintahan, seperti hasrat bagi calon yang terpilih untuk mengembalikan modal yang sudah dikeluarkan, adanya polarisasi loyalitas penguasa kepada penyumbang dana, dan kurangnya perhatian pemerintah terhadap kepentingan rakyat banyak. Kapitalisasi juga menciptakan budaya baru yang kurang mendidik bagi pemilih. Bila masyarakat sudah beranggapan bahwa Pilkada adalah pesta bagibagi uang, maka mereka bisa tidak menggunakan hak pilihnya bila tidak ada uangnya. Pandangan demikian akan melahirkan demokrasi yang semu dan menjadi boomerang bagi demokrasi itu sendiri. Jadi jika Pilkada langsung itu dimaksudkan sebagai lompatan demokratisasi di tingkat local, factor-faktor yang menyuburkan demokrasi semu sudah selayaknya ditekan. c. Legitimasi Proses Pemilukada Dari daerah yang sudah terselenggara Pemilukadanya, telah banyak yurisprudensi terkumpul mencakup segala permasalahan dan kendala yang timbul. Akumulasi persoalan ini memberikan masukan yang berharga bagi pembuat regulasi Pemilukada maupun bagi daerah lain yang akan

menyelenggarakannya. Bagi kalangan penyelenggara Pemilukada, politikus, dan wakil rakyat, kendala yang manyangkut persoalan legitimasi dan hukum tentu memerlukan kajian yang serius. Sebagai contoh, Pemilukada kabupaten Ungaran menyedot perhatian paling besar dalam soal ini. Setidak-tidaknya ada dua persoalan yang mencuat, yakni penyelesaian kasus ijazah calon dan peran DPRD dalam menuntaskan proses Pemilukada. Kasus ijazah yang sepintas tampak sepele, ternyata di Ungaran menjadi persoalan akut. Ada kesan tumpang tindih antara independensi dan kapabilitas penyelenggara dengan masalah lembaga yang berwenang menetapkan

PROBLEMATIKA PEMILUKADA

keabsahan ijazah pondok pesantren. Masalah ini akhirnya berlanjut ke pengadilan. Namun munculnya soal yang sepele ini bagaimanapun

menunjukkan kelemahan aspek regulasi Pemiliukada. d. Ekonomi-Politik Pemilukada Kanaikan harga BBM sebagai komoditas strategis bagi proses produksi barang dan jasa sudah pasti akan diikuti kenaikan harga barang-barang dan jasa lain, khususnya transportasi merupakan komponen biaya yang vital, maka akan terjadi akumulasi kenaikan harga-harga. Dampak dari inflasi yang meningkat akan mengurangi pendapatan masyarakat. Bagi kelompok masyarakat berpenghasilan tinggi, pendapatan berkurang tidak selau berarti menggangu ekonomi mereka. Namun bagi kelompok masyarakat yang berpenghasilan sedang atau bahkan pas-pasan, kenaikan harga BBM yang berakibat turunnya real income mereka akan berakibat labih serius. Kaitannya dengan Pemilukada, peningkatan kesenjangan social-ekonomi dapat meningkatkan intensitas konflik. Kesenjangan ini bisa terjadi antarsektor, antardaerah maupun antargolongan. Salah satu cirri yang menonjol dari akibat terjadinya kesenjangan social-ekonomi dan ketidakadilan structural adalah terjadinya deprivasi social, yang berujung pada frustrasi yang mendalam pada sebagian besar masyarakat. Kesenjangan adalah bentuk perbedaan yang sangat timpang, sementara system social yang ada tidak dapat menolerir keberadaanya, sehingga tercipta anomaly nilai-nilai dan penjungkirbalikan norma-norma social. Kesenjangan dalam arti perbedaan yang wajar adalah keniscayaan dan sangat diperlukan sebagai kontraprestasi dari kompetisi yang sehat karena brelangsung dalam system social yang fairness (adil).

PROBLEMATIKA PEMILUKADA

Hanya saja, kesenjangan yang makin melebar dan berujung pada deprivasi sosial sangat berpotensi meningkatkan kerawanan sebuah proses politik seperti Pemilu Kada. Potensi inilah yang dikhawatirkan akan memicu konflik dan kekerasan kolektif selama proses Pemilu Kada. e. Fanatisme Pemilih Pemilukada Fanatisme pemilih adalah akar terpenting dari kerawanan sosila

Pemilukada. Biasanya para sosiolog dan antropolog yang memiliki asumsi demikian. Fanatisme dalam bentuknya yang sederhana itu, belum bisa disebut sebagai akar kerawanan yang paling berbahaya. Sebab fanatisme itu muncul karena ikatan kultural yang tipis sekali antara warga dan sang kandidat. Berbeda dari fanatisme, sebagaimana yang berkembang dalam masarakat politik yang tertutup. Pada masyarakat politik jenis itu, potensial sekali melahirkan fanatisme pemilih. Itu terjadi karena mereka memiliki ikatan kultural, atau bahkan sikap monoloyalitas yang kuat satu dengan yang lainnya. Lahirlah istialah polarisasi warga yang terbelah, karena acuan kultural: dominan vs nondominan. f. Keterbatasan Waktu Kampanye Sempitnya rentang waktu yang diberikan Undang-Undang (UU) untuk berkampanye sebanyak 14 hari yang tebagi putarannya menurut jumlah kandidat yang ada, terasa sulit sekali bagi kontestan untuk bisa menjangkau seluruh populasi pemilih. Konon yang disebut kampanye adalah sarana komunikasi untuk

mendekatkan sosok kandidat lengkap beserta visi dan misi serta program kerjanya dalam kerangka meyakinkan pemilih agar dapat mencintainya. Setelah itu mereka bersedia memilihnya di bilik suara.

PROBLEMATIKA PEMILUKADA

Itulah sulitnya membangkitkan rasa cinta dalam pertarungan politik yang terbatasi oleh ruang dan waktu yang sempit. Sementara rasa cinta itu adalah prasyarat terbangunnya kontrak politik yang permanen antara pemilih dan kandidat, minimal untuk kurun waktu lima tahun ke depan. Rasa cinta itulah yang konon dapat menyelamatkan hubungan rakyat dengan pemimpinnya dalam lanskap good governance di era Pemillukada langsung. g. Rescheduling Pemilukada Rescheduling atau penjadwalan ulang Pemilukada dapat kita respons

dengan beragam pendekatan teringkas ke dalam dua jenis : normative idealis dan empirisme. Pendekatan pertama pertama biasa dipakai untuk memandang segala sesuatu ke dalam perspektif apa yang seharusnya terjadi. Dalam konteks itu, logika hukum pada umumnya yang biasa dipakai untuk melihat realitas, termasuk kontorversi seputar penjadwalan ulang Pemilukada. Kemampuan pendekatan itu mengatakan, penjadwalan ulang tidaklah

diperbolehkan selama tidak memenuhi criteria pasal penundaan Pemilukada. Menurut pangkat hukumnya, penundaan Pemilukada hanya bisa dilakukan apabila Pemilukada mendapat ancaman gangguan alam dan keamanan. Lain halnya jika dihadapkan dengan yang berpendirian pada emipisme. Pendekatan itu memandang segala sesuatu berdasarkan pada perspektif apa yang sesungguhnya terjadi. Bermula dari persoalan penetapan kandidat. Beragam kasus muncul disana, mulai dari yang berbau teknis, dari soal penyetaraan ijazah sampai yang berbau politis berupa dugaan atas keterlibatan KPUD dalam meloloskan pasangan kandidat yang berbuntut pada penundaan bakal calon. Penundaaan semacam itu, menurut mereka, logis terutama bila dilakatkan dalam konteks Pilkada poliarchy, yang dalam konteks itu Pemilukada manuntut banyak kontestan yang seirama dengan banyak partisipasi politik pemilih.

PROBLEMATIKA PEMILUKADA

Itulah paham demokrasi yang memaksa harus memenuhi kriteria: ada dua pluralism di tingkat kandidat pemilih. Pemilukada langsung yang ideal dalam pandangan mereka adalah terletak pada ketersediaan jumlah kandidat yang banyak dengan jumlah pemilih yang banyak pula. 2.2 Antisipasi Masalah Dalam Pemilukada Berbagai masalah dan kemungkinan masalah yang akan muncul tersebut perlu diantisipasi dengan tepat dan cermat. Dengan ketepatan dan kecermatan itu, kalau perlu dengan koreksi, diharapkan penyelenggaraan pilkada akan mencapai tujuan sebagaimana diharapkan, yakni meningkatkan kualitas

demokrasi yang semakin kokoh dan produktif di tingkat lokal. Bukan sebaliknya, justru malah menciptakan masalah-masalah baru, oleh karena prosesnya dan hasilnya yang tidak optimal. Kita berharap, wajah demokrasi di tingkat nasional yang baik, termasuk oleh pengakuan internasional, juga diikuti dengan wajah demokrasi di tingkat lokal. Wajah demokrasi di tingkat lokal akan sangat ditentukan oleh proses dan hasil penyelenggaraan pilkada yang akan dimulai tahun 2005 ini. Hemat saya, tidak ada yang tidak berharap dan berkomitmen terhadap kesuksesan penyelenggaraan pilkada. Hanya saja, kadangkala cara berpikirnya kurang tertib dan caranya kurang patut dalam ukuran demokrasi. Sebaiknya kita belajar dari berbagai keberhasilan dan kekurangan penyelenggaraan pemilu legislatif dan pemilu presiden dan wakil presiden, sembari tetap berpedoman pada konstitusi, baik yang sudah jelas tersurat maupun yang masih membutuhkan penafsiran lebih lanjut. Dalam konteks itu pula, penyelenggaraan pilkada yang akan dimulai tahun 2005 ini dan selanjutnya, berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004 dan PP Nomor 6 Tahun 2005 akan menjadi bukti sejarah tentang apakah cara berpikir bangsa kita tertib dan konsisten, serta apakah cara-cara penyelenggaraannya sejalan dengan ukuran kompetisi politik yang demokratis?

PROBLEMATIKA PEMILUKADA

10

BAB III PENUTUP

Berbagai macam persoalan Pemilukada selalu terjadi dari waktu kewaktu, mulai dari daerah yang tidak siap dengan penggaran, persoalan DPT, persoalan

Ketidakjujuran peserta dalam melengkapi persyaratan, ketidaksiapan penyelenggara , ketidaknetralan penyelenggara, sosialisasi yang kurang pada pemilih, persoalan logistic, banyaknya pelanggaran yang tidak ditangani secara profesional dan lain sebagainya yang pada akhirnya berujung pada kualitas penyelenggaraan Pemilukada, padahal kita semua mengetahui bahwa proses penyelenggaraan Pemilukada membutuhkan

anggaran biaya yang luar biasa banyak.

Disisi yang lain Pemilukada yang membutuhkan anggaran yang luar biasa banyak tersebut, justru menghasilkan Kepala Daerah / Wakil Kepala Daerah yang dari awal proses pemilihan dengan sadar maupun tidak sadar telah melakukan investasi korupsi dengan menghalalkan segala cara untuk mendapat kuasaan tersebut. Selain cost politic yang harus dikeluarkan dalam upaya pencapaian kemenangan ( mulai biaya untuk ikut seleksi di partai ; biaya sosialisasi, kampanye, transportasi saksi dan lainnya ) juga mereka mengeluarkan biaya untuk money politic yang harus dikeluarkan untuk mempengaruhi dengan cara memberi/ menjanjian uang atau bentuk lainnya agar pemilih memilih pasangan calon tertentu, tidak menggunakan hak pilihnya atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga suarat suara tidak sah.

Penegakan hukum tergadap pidana Pemilukada selalu berawal dari adanya laporan baik dari masyarakat maupun pasangan calon/tim kampanye dan/atau temuan dari jajaran lembaga pengawasan Setelah adanya laporan dan/atau temuan tersebut pengawas pemilu melakukan langkah-langkah untuk menentukan sikap, setelah bersikap dilanjutkan dengan melakukan klarifikasi ( kalau pelanggaran itu memenuhi unsure ) . Dalam hal penanganan di lembaga pengawas pemilu PP 6 Tahun 2005
PROBLEMATIKA PEMILUKADA

11

memberikan batasan waktu yang total tidak boleh lebih dari 21 hari, baru setelah itu dilanjutkan ke Kepolisian untuk diproses dengan mempergunakan prosedur KUHAP.

Pemilukada adalah proses politik untuk memilih Kepala Daerah/ Wakil Kepala Daerah , yang tentu terjadi proses adu kekuatan politik termasuk didalamnya dalam proses penegakan hukum terhadap pelanggaran pidana pemilukada. Disisi lain keterbatasan kemampuan dalam membaca, mencermati, mengkaji pasalpasal pelanggaran pemilukada sangat berpengaruh terhadap kinerja khususnya dalam penanganan pelanggaran tersebut. Inilah proses mendasar yang seharusnya dipikirkan akan ekpektasi masyarakat yang memberikan kepercayaan kepada lembaga pengawas dapat dipenuhi oleh jajaran pengawasan. Selain juga karena lembaga pengawas hanya bersifat adhoc .

PROBLEMATIKA PEMILUKADA

12

Anda mungkin juga menyukai