Anda di halaman 1dari 12

PROSES LITIGASI DI PENGADILAN AGAMA ANALISA TERHADAP UU NO 7 / 1989 PASAL 57 (3) (STUDI KASUS DI PENGADILAN AGAMA PANYABUNGAN) BAB

I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Perbedaan kepentingan atar manusia, sebagai manifestasi dari sikap Zoon Politiconnya sudah terjadi sejak zaman Nabi Adam AS. Fenomena ini juga terjadi di negeri tercinta Indonesia, di awal abad XIX, yang pada saat itu diajah oleh kolonial Belanda. Saat itu, mayoritas masyarakat Indonesia memeluk agama Islam.1 Maka bagi mereka berlaku hokum Islam, dalam menyelesaikan perkara-perkara perdata diantara sesama umat Islam, bentuk perdilannya disesuaikan dengan hukum Islam, yaitu hakim tunggal atau Qadi (Alleensrekende Recher).2 Seiring perjalanan waktu, kopetensi absolute Pengadilan Agama Islam tersebut mengalami proses reduksi, karena dikaitkan dengan hokum adapt Cornelis Van Vollenhoven. Teori Receptie Van Vollenhoven yang controversial ini, juga didukung oleh perkara hukum adat seperti Christian Snouck Hugronje yang dikenal juga dengan nama Abdul Gaffar. Interversi pihak Kolonial Belanda terhadap Peradilan Agama Islam semakin jelas dengan keluarnya Staatblad Nomor 152 Tahun 1882, yang melegitimasi peradilan agama
William Christian Van den Berg, Reception in Complexa, lihat Sajuti Thalib, Receptio Acontario Hubungan Hukum Adat Dengan Hukum Islam, (Jakarta : PT. Bina Aksara, 1985) h. 3-8 2 R. Tresna, Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad, (Jakarta :PT. Pradnya Paramita, 1978), h. 101
1

2 Islam sebagai sebuah Institusi. Sayangnya, legitimsi ini tidak disertai dengan penyediaan prasarana dan sarana yang mendukung. Hal ini tampak dengan tidak digajinya para Hakim, yang mengakibatkan terjadinya tindakan, berupa pemungutan biaya tambahan, yang tidak ada dalam peraturan Di lain pihak, Staablad ini juga menimbulkan dualisme peradilan, sebab sejak tahun 1882-1883, pengadilan agama memerlukan pengukuhan putusnya dari Pengadilan Negeri (Landraad), agar memiliki kekuatan eksekutorial. Realita inilah yang menggugah hati sekelompok pakar hukum yang simpati tehadap pengadilan agama, untuk menciptakan hukum acaranya secara hierarki berstatus undang-undang, disamping Hukum Acara yang digunakan oleh peradilan perdata umum.3 Keinginan ini juga di dukung oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok kekuasaan Kehakiman, Pasal 12, yang berbunyi: susunan kekuasaan serta acara dari badan-badan peradilan seperti tersebut dalam Pasal 10 ayat 1 diatur dalam undang-undang tersendiri.4 Pasal ini pada dasarnya mensinyalir tentang perlunya pembuatan Undang-Undang khusus yang mengatur tentang keberadaan hukum acara yang berlaku di Pengadilan Agama secara khusus setelah melalui proses penggodokan yang cukup lama di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), akhirnya pada tanggal 29 Desember 1989 disahkan pemberlakuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama di Jakarta. Dari sekian banyak pasal yang termasuk dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, penulis tertarik untuk meneliti pasal 57 ayat 3, yang berbunyi: Peradilan

dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan.5 Hal ini disebabkan asumsi penulis bahwa pasal ini belum terimplementasi secara baik dalam realita proses beracara di
Sudikno Metokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta : Liberty, 1993), h. 6-10 Pagar, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Peradilan Agama di Indonesia, (Medan : IAIN Press, 1995), h. 12 5 Ibid, h. 258
4 3

3 Pengadilan Agama. Yang dimaksud dengan sederhaa adalah acara yang jelas, mudah dipahami dan tidak berbelit-belit. Makin sedikit dan sederhana formalitas-formalitas yang diwajibkan atau diperlukan dalam beracara dimuka pengadilan, makin baik. Kata cepat menunjukkan kepada jalannya persidangan di Pengadilan. Dalam hal ini bukan hanya jalannya peradilan dalam pemeriksaan dipersidangan sampai ada penandatanganan putusan oleh hakim dan pelaksanaannya. Tidak jarang suatu perkara ditunda-tunda sampai bertahun-tahun karena saksi tidak datang atau para pihak bergantian tidak datang atau meminta mundur. Bahkan perkaranya sampai dilanjutkan oleh ahli warisnya. Ditentukan biaya ringan agar terpikul oleh rakyat, biaya perkara yang tinggi kebanyakan menyebabkan pihak yang berkepentingan enggan untuk mengajukan tuntutan hak kepada pengadilan. Dari penjelasan tentang asas sederhana, cepat dan biaya ringan yang telah penulis paparkan diatas, maka semestinya tidak ada lagi perkara-perkara yang berlarut-larut di pengadilan, khususnya Pengadilan Agama Panyabungan. Realita ini merupakan sebuah fenomena kontradiktif antara konsep ideal UndangUndang Nomor 7 Tahun 1989 dan realita di lapangan. Idealnya suatu kasus memerlukan waktu maksimal 2 bulan untuk penyelesaiannya, kecuali kasus-kasus yang bersifat komplek, seperti kasus warisan. Pernyataan ini juga didukung oleh Instruksi Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1969, untuk menyelesaikan sebuah kasus. Apabila melewati limit waktu tersebut, maka hakim harus menjelaskan perihal keterlambatan penyelesaian kasus tersebut.

4 Namun, realitanya masih banyak kasus yang diselesaikan dalam kurun waktu yang cukup panjang, sehingga merugikan kepentingan hukum para pencari keadilan. Padahal, di tahun 1970-an, E.M. Weseling Van Gent, telah mengemukakan perihal algemene begisleven van behoorlijk processrecht6, yang salah satu pokok pikirannya adalah bahwa suatu proses peradilan harus menganut asas beslissing redelijk termijk.7 Maksud asas beslissing binnen redelijk termijk, adalah bahwa putusan terhadap sebuah kasus harus diberikan dalam tenggang waktu yang pantas. Kata dalam tenggang waktu yang panttas harus dapat diinterpretasikan secara proporsional, agar tidak menimbulkan pemahaman yang pluralistic. Secara sederhana mugkin dapat dikatakan, bahwa tenggang waktu yang pantas tersebut identik dengan batas maksimal penyelesaian suatu perkara, tentunya dengan mempertimbangkan kompleksitas perkara yang diperiksa. Konsekuensinya, keterlambatan penyelesaian suatu kasus, tidak dikatakan hanya merupakan kesalahan aparat terkait. Keterlambatan tersebut bisa saja terjadi karena kurangnya fasilitas yang tersedia di institusi tersebut, atau tidak sebandingnya jumlah majelis hakim dengan perkara atau kasus di Pengadilan Agama, atau kerana faktor lainnya. Untuk itu, penulis merasa berkepentingan untuk mengadakan penelitian terhadap permasalahan tersebut, dalam sebuah karya ilmiah dengan judul: PROSES LITIGASI DI PENGADILAN AGAMA ANALISA TERHADAP UU NO 7 / 1989 PASAL 57 (3) (STUDI KASUS DI PENGADILAN AGAMA PANYABUNGAN).

6 7

Setiawan, Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara Perdata, (Bandung : Alumni, 1992), h. 241 Ibid, h. 422

5 B. Rumusan Masalah Dalam menganalisa permasalahan yang dipaparkan terdahulu, penulis mermuskan permasalahan yang akan diteliti sebagai berikut: 1. Bagaimana kondisi objektif Pengadilan Agama Panyabungan? 2. Bagaimana panduan ideal beracara di Pengadilan Agama, sesuai dengan tuntutan pasal 57 ayat 3 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 (yaitu Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan)? 3. Apakah pasal 57 ayat 3 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 sudah diterapkan di Pengadilan Agama Panyabungan? C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitan Adapun tujuan utama penulis meneliti permasalahan ini, adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui bagaimana kondisi objektif Pengadilan Agama Panyabungan. 2. Untuk mengetahui bagaimana panduan ideal beracara di Pengadilan Agama, sesuai dengan tuntutan pasal 57 ayat 3 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989. (yaitu Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan) 3. Untuk mengetahui apakah pasal 57 ayat 3 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 sudah diterapkan di Pengadilan Agama Panyabungan. 2. Kegunaan Penelitian Kegunaan penelitian adalah: 1. Sebagai syarat untuk memperoleh gelar SHI di Badan Layana Umum Sekolah Tinggi Agama Islam (BLU-STAI) Mandailing Natal.

6 2. Untuk memberikan pemahaman baru terhdap permsalahan mengenai hak asuh anak akibat pembatalan perkawinan menurut perspektif hukum islam. 3. Untuk menembah sumbangan pemikiran pada khasanah ilmu pengetahuan dalam hukum islam. D. Kerangka Pemikiran Sebagaiman diungkapkan sebelumnya, bahwa kelahiran Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama, merupakan tindak lanjut dari pasal 12 UndangUndang Nomor 14 Tahun 1970 tentang pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman.8 Namun bukan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970-an yang menghendaki sebuah hukum acara khusus bagi Pengadilan Agama. Jauh sebelumnya, para pendiri Negara tercinta ini (founding fathers) telah menggariskannya dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusional bangsa. Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, yang berbunyi: Susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman itu diatur dengan Undang-Undang,9 mensinyalir perlunya dibuat Undang-Undang khusus yang mengatur tentang hukum acara badan-badan kehakiman tersebut, dalam konteks ini Pengadilan Agama. Setalah melalui perjuangan yang keras dan proses penggodokan yang cukup lama di DPR, akhirnya disyahkan pemberlakuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 pada tanggal 29 Desember di Jakarta mengenai proses pemerikasaan di Pengadilan Agama. Meskipun demikian, ironisnya masih saja terjadi pelanggaran terhadap hukum formil Pengadilan Agama yang dilakukan oleh para populasi di Pengadilan Agama. Sebagai contoh, sebuah kasus pernah diperiksa hanya oleh dua orang Hakim saja.
W.J.S. Purwadarminta. Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka), h. 39-40 Peter Salim dan Yenni Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, (Jakarta : Modern English Press, 1991), h. 61
9 8

7 Menurut hukum formil peradilan manapun, tindakan ini telah melanggar dan menodai asas-asas beracara di Pengadilan. Mengapa fenomena ini masih terjadi dalam lingkungan peradilan yang dikawal oleh undang-undang yang megatur tentang proses beracara di Pengadilan? Inilah pertanyaan besar yang perlu dijawab secarra akurat. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu dilihat kembali pendaat para pakar hukum yang menjelaskan tentang kelemahan-kelemahan proses litigasi, sehingga membuka peluang terjadinya pelanggaran hukum formil yang diterapkan di lembagalembaga peradilan termsuk Peradilan Agama. John J. Cound, seorang pakar hukum dari Amerika Serikat mengatakan bahwa: Court of highly structured institution trained representatives (lawyers) present arguments for their clients vefore a factfindign (judge) and of course, a xourts decisions are enforced by the state. But the formality thats characteristic have led some to conclude that in manya cases court are not the best available dispute resolution forum.10 Artinya, pengadilan merupakan lembaga yang sangat tertata rapi yang secara tehnis melatih para wakil (pengacara) untuk mempresentasikan argumen-argumen bagi klien mereka sebelum penemuan fakta oleh hakim. Dan tentunya keputusan-keputusan pengadilan tersebut ditegakkan oleh Negara. Namun formalitas yang merupakan karakteristik dari pengadilan dapat menimbulkan kerugian. Kerugian-kerugian ini mengarahkan sebagian masyarakat untuk menyimpulka bahwa pengadilan bukan merupakan forum penyelesaian perkara yang terbaik dalam banyak kasus.

Amir Syarifuddin dan Harun Al-Rasyid, Himpunan Perundang-Undangan Dan Peraturan Pemerintah Tentang Badan-Badan Peradilan di Indonesia, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1989), h. 162

10

8 Pokok pikiran pendapat John J. Cound tersebut terletak pada kalimat namun formalitas yang merupakan karakteristik pengadilan, terkadang dappat menimbulkan kerugian. Dalam konteks ini, maksud formalitas adalah proses penyelesaian perkara berlangsung. Formalitas terssebut dilaksanakan dimulai dari cara mengajukan tuntutan hak, bagaimana bersikap selama proses pemerisaan perkara berlangsung sampai tahap akhir pelaksanaan putusan. Efek yang ditimbulkan oleh realita tersebut langsung bermuara pada panjangnya jangka waktu yang diperlukan untuk melaksanakan formalitas tersebut, dan juga sekaligus berppengaruh pada besarnya dana yang harus dikeluarkan selama proses tersebut berlangsung. M. Yahya Harahap, seorang pakar hukum Indonesia, memiliki perspektif yang berada dalam memafarkan kelemahan-kelemahan proses litigasi. Ia berpendapat bahwa sistem litigasi sangat potennsial dalam memperlambat penyelesaian perkara. Potensi tersebut terletak pada ketidakmampuan sitem litigasi untuk memperkecil, apalagi melenyapkann penggunaan upaya hukum yang diselimuti oleh Itikat buruk. Hal ini terlihat dalam pengajuan banding dan kasasi bahkan peninjauan kembali yang telah menjadi trend. Akibatnya, masyarakat pencari keadilan dijangkiti sikap irasional. Mereka tidak lagi mempersoalkan apakah ptutusan yang dijatuhkan benar dan adil, kekalahan dianggap sebagai ketidak adilan. Oleh karena itu, segala itu upaya hukum yang dibenarkan undang-undang dimanfaatkan.11

11

Ibid, h. 20

9 F. Hipotesis Berdasarkan data awal penulis tentang masalah ini, penulis berhipotesis bahwa pasal 57 ayat 3 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang menghendaki terlaksananya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan belum terlaksana secara baik di Pengadilan Agama Panyabungan.

G. Metode Penelitian 1. Objek dan Bidang keilmuan Objek penelitia ini adalah hukum Acara Pengadilan Agama yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, khususnya pasal 57 ayat 3 dan aplikasinya di Peradilan Agama. 2. Jenis dan Pendekatan Jenis penelitian yang digunakan, dalam penyelesaian proposal ini adalah penelitian lapangan (field research) dengan menggunakan pendekatan empirik (empirical approach). 3. Data dan Sumber Data Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data yang berkaitan dengan kondisi objektif Pengadilan Agama Panyabungan dan panduan ideal proses litigasi sesuai denan pasal 57 ayat 3 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989. Adapun sumber data kahian ini adalah sebagai berikut: a. Sumber data primer, dokumentasi data perkara yang disidangkan dan yang diputus di Pengadilan Agama Panyabungan Tahun 2010/2011 (pertama karena dianggap sudah bisa mewakili tahun sebelumnya, kedua karena mudah untuk

10 didapatkan juga memudahkan ingatan bagi para hakim, panitera terhadap kasus yang mereka tangani). b. Sumber data skunder, panduan proses pemeriksaan perkara Pengadilan. c. Sumber data tertier, berupa Kamus dan Ensiklopedia. 4. Instrumen Pengumpulan Data Teknis analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara (interview), observasi dan literatur pendukung yang relevan. 5. Analisa Data Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis deskriptif dan kualitatif. 6. Penyajian Data Data yang telah dikumpulkan untuk menyelesaikan proposal ini disajikan secara deskriptif analitis. 7. Metode Penulisan Dalam konteks metode penulisan, penulis berpedoman pada pedoman penulisan proposal yang dianjurkan oleh Jurusan Muamalat STAIM Panyabungan.

11 G. Sistematika Pembahasan Untuk membahas penyajian ini secara sistematis, penulis akan membaginya menjadi beberapa bab, yang dalam tiap babnya terdiri dari beberapa sub bab. Adapun sistematika pembahasan kajian ini adalah sebagai berikut: Bab I merupakan bagian pendahuluan yang menguraikan mengenai latar belakang, perumusan masalah, batasan istilah, tujuan penelitian, kerangka pemikiran, hipotesis, metode penelitian, dan sistematika pembahasan. Bab II, merupakan Kajian Teori, yang meliputi; pengertian litigasi, dasar hukum litigasi, kondisi objektif di Pengadilan Agama, pengertian beracara dengan sederhana, cepat dan biaya ringan. Bab III, merupakan Hasil Penelitian dan Pembahasan, yang meliputi; Proses beracara di Pengadilan Agama Panyabungan, Analisis terhadap litigasi dalam menyelesaikan suatu perkara di Pengadilan Agama Panyabungan apakah sudah sesuai dengan Pasal 57 Ayat 3 UU NO 7 Tahun 1989 Bab IV, merupakan Penutup, yang berisi tentang kesimpulan mengenai masalah litigasi di Pengadilan Agama Panyabungan, serta saran yang berguna untuk masukan kepada penulis.

12 DAFTAR KEPUSTAKAAN

Amir Syarifuddin dan Harun Al-Rasyid, Himpunan Perundang-Undangan Dan Peraturan Pemerintah Tentang Badan-Badan Peradilan di Indonesia, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1989) Pagar, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Peradilan Agama di Indonesia, (Medan : IAIN Press, 1995) Peter Salim dan Yenni Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, (Jakarta : Modern English Press, 1991), R. Tresna, Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad, (Jakarta :PT. Pradnya Paramita, 1978) Setiawan, Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara Perdata, (Bandung : Alumni, 1992), Sudikno Metokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta : Liberty, 1993), W.J.S. Purwadarminta. Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka), William Christian Van den Berg, Reception in Complexa, lihat Sajuti Thalib, Receptio Acontario Hubungan Hukum Adat Dengan Hukum Islam, (Jakarta : PT. Bina Aksara, 1985)

Anda mungkin juga menyukai