Anda di halaman 1dari 2

FAJAR, 14 JUN 2005, 45 x (Komentar)

EVALUASI KINERJA BI MAKASSAR DALAM MEREALISASIKAN MAKASSAR TRIPARTIT MEETING: PERBANKAN, PENGUSAGA DAN PEMERINTAH
Oleh: Marsuki Sesuai UU BI yang baru peran atau tugas BI yang utama dalah : menetapkan dan melaksanakan kebijaksanaan moneter, memperlancar sistem pembayaran serta mengawasi sektor perbankan. Sasaran utama dari tugas BI tersebut adalah dikhususkan untuk menciptakan stabilitas nilai tukar rupiah baik dalam kepentingan skala nasional maupun internasional. Dalam skala nasional, utamanya dalam skala daerah maka untuk mencapai sasaran final kebijaksanaan moneter tersebut, BI di masing-masing wilayah atau daerah harus mampu menjabarkan ke tiga tugas tersebut diatas secara spesifik dengan beberapa langkah strategis. Dalam kasus di Sulawesi Selatan misalnya, BI Makassar yang merupakan kantor perwakilan BI Pusat, tampaknya telah melakukan langkah-langkah strategis tersebut dengan melakukan kegiatan yang disinergikan dengan para pelaku ekonomi lainnya seperti pengusaha, perbankan serta pemerintah, meskipun disana sini masih ada beberapa kelemahan yang perlu dibenahi. Salah satu bentuk implementasi kegiatan BI Makassar tersebut adalah dengan telah dideklarasikan tiga tahun lalu Kesepakatan Tripartit Makassar yang sinergik antara para stake yaitu Pemda, pengusaha serta pelaku perbankan atau pelaku ekonomi di Sul-Sel. Setiap tahunnya akan di lakukan dialog dan kesepakatan-kesepakatan baru untuk ditindak lanjuti. Kesepakatan tersebut terdiri dari tujuh butir keputusan yang diagendakan harus dilaksanakan. Ketujuh kesepakatan tersebut adalah : Peningkatan fungsi intermediasi perbankan di Sul-Sel; Peningkatan akses pembiayaan sektor UMKM; Adanya skim kredit khusus sektor UMKM; Peningkatan infrastruktur perbankan; Peningkatan kewenangan pemutusan kredit pada kantor cabang perbankan di KTI; Peningkatan pembiayaan ke sektor pertanian; serta Restrukturisasi kredit sektor UMKM. Ketujuh kesepakan tersebut sepintas diantaranya dapat dikatakan telah terlaksana, namun masih banyak yang belum sesuai dengan harapan. Misalnya, target peningkatan peran intermediasi perbankan sudah memang sangat signifikan, seperti ditunjukkan oleh nilai LDR yang telah mencapai hampir 95 persen. Tapi dalam hal ini masih ada masalah yang sangat perlu diperhatikan, yakni penyaluran kredit tersebut ternyata masih lebih didominasi oleh kredit sektor konsumsi dan kredit modal kerja yang berjangka pendek, jadi belum untuk kredit ke sektor produktif. Sehingga jelas hal ini masih memerlukan perhatian dan pengarahan yang lebih serius dari pihak BI Makassar. Selanjutnya terhadap kesepakatan kedua, beberapa indikator menunjukkan juga telah adanya perbaikan, seperti telah semakin meningkatnya jumlah sektor UMKM yang memperoleh kredit. Tapi masalahnya masih ada beberapa peraturan perbankan yang tidak dipatuhi oleh lembagalembaga perbankan di daerah untuk dilaksanakan. Misalnya belum dilaksanakannya peraturan tentang KAP Kredit s.d Rp. 500 juta yang dapat disalurkan perbankan tanpa harus didasarkan pada nilai penjaminan, tapi pada pertimbangan prospek kemampuan membayar dan prospek usaha. Demikian juga belum optimalnya strategi pengembangan kerjasama antara kelembagaan keuangan bank umum dengan BPR (linkage program), serta belum berperannya

lembaga penjamin kredit (LPK), maupun belum berperannya secara langsung lembaga konsultan keuangan mitra bank (KKMB), yang selama ini sudah dilatih. Kemudian, mengenai perlu adanya skim kredit khusus untuk UMKM berupa adanya kredit bersubsidi atau tingkat bunga khusus, tampaknya sama sekali belum tersentuh atau diupayakan. Hal ini mungkin dikarenakan peraturan untuk kepentingan tersebut bukan merupakan kebijaksanaan BI wilayah Makassar. Sehingga untuk kepentingan tersebut berarti diperlukan terobosan dari BI Makassar untuk mengajukan proposal yang logis dan dapat dipertanggungjawabkan, kemudian ditawarkan ke BI pusat untuk dapat dipertimbangkan yang disusun bersama dengan pihak-pihak terkait lainnya. Selanjutnya mengenai peningkatan infrastruktur perbankan, tampaknya sebagian besar target yang direncanakan telah tercapai, seperti telah dilakukannya kegiatan konsultasi dan pelatihan-pelatihan kepada perbankan dan lembaga-lembaga KKMB dan pelatihan-pelatihan BDS, telah tersedianya informasi UMKM, atau telah berlangsungnya bazar perbankan, seperti kegiatan Bank Ekspo. Meskipun demikian ada beberapa dalam kaitan ini masalah yang perlu diperhatikan, seperti masih lambatnya proses perizinan pembukaan kantor cabang atau BPRBPR. Kemudian mengenai peningkatan kewenangan pemutusan jumlah kredit di kantor cabang, memang pada beberapa bank telah menunjukkan adanya perbaikan, tapi masih lebih banyak yang belum melaksanakannya. Sehingga rata-rata keputusan tersebut baru berkisar antara Rp. 1 miliar sampai dengan Rp 2 miliar. Hal ini disebabkan diantaranya karena penempatan pejabat kredit senior masih belum dapat dilaksanakan sesuai rencana serta masih adanya kekhawatiran para pimpinan bank sendiri terhadap kondisi pasar kredit di wilayah Sul-sel khususnya. Mengenai peningkatan pembiayaan ke sektor pertanian, tampaknya telah ada peningkatan tapi belum siginfikan, karena baru berkisar kurang dari 8 persen dari rencana total kredit yang akan disalurkan perbankan. Selain itu juga belum berjalannya rencana pembiayaan dengan pola kemitraan inti plasma misalnya, apalagi tersedianya skim pembiayaan khusus untuk sektor pertanian. Yang paling ironis meskipun pemerintah pusat telah menyediakan dana murah untuk sektor UMKM mislanya melalui program SUP 005, yang jumlahnya mencapai Rp 166 miliar, tapi bank pelaksana ternyata tidak menjalankan fungsinya dengan baik, sehingga dana murah tersebut tidak tersalur sesuai harapan atau baru sekitar 35 persen dari jumlah tersebut. Sedangkan mengenai kebijaksanaan restrukturisasi kredit UMKM, terutama penyelesaian hutang dan pemberian penghapusan bunga serta denda atau rescheduling kredit, dapat dikatakan belum berjalan sama sekali di Sul-Sel, meskipun sebenarnya Kepres tentang hal tersebut sudah ada (Kepres, No. 52/2002 dan No. 56/2002). Memperhatikan masih rendahnya tingkat efektifitas pencapaian ke tujuh butir kesepakan tersebut berarti para stake holders yang bersepakat, perlu merumuskan lebih detail tentang hal-hal yang perlu diprioritaskan untuk segera dapat dilaksanakan. Untuk kepentingan tersebut maka setiap stake holders perlu merumuskan terlebih dulu secara sendiri-sendiri masalah, strategi dan harapan-harapannya masing-masing, kemudian selanjutnya dibicarakan dan dirumuskan beberapa langkah kompromistis yang dapat dilakukan para pihak, tanpa ada pihak yang harus dirugikan. Untuk mencapai maksud tersebut, maka pihak BI Makassar harus selalu berperan sebagai pihak atau pelaku utama yang perlu menjembatani dan mengarahkan para pihak yang terlibat dengan melakukan kegiatan-kegiatan secara terarah guna menyelesaikan masalah dengan melaksanakan strategi yang telah disepakati bersama secara berkesinambungan.

Anda mungkin juga menyukai