Anda di halaman 1dari 3

TRIBUN TIMUR, RABU 17 MEI 2006 | 06:19 WITA

DILEMA VOLATILITAS NILAI TUKAR RUPIAH


Oleh Marsuki Dosen Unhas

TRIBUN TIMUR

Salah satu persoalan ekonomi yang sulit dimengerti di negeri ini, semenjak krisis keuangan adalah berkenaan dengan persoalan nilai tukar rupiah, sebab belum ada kesepakatan apalagi kepastian tentang berapa sebenarnya nilai yang wajar yang dapat dianggap tepat. Akibatnya, setiap waktu masyarakat selalu mempersoalkannya, karena jika nilai tukar rupiah menguat banyak pihak yang takut, demikian juga jika nilai tukar rupiah melemah. Ditakuti, karena jika nilai tukar rupiah menguat, itu sama artinya akan mempersulit posisi tawar kita di pasar internasioanl, sebab harga produk komoditas ekspor kita akan menjadi mahal, sehingga akan mempersulit perbaikan posisi nilai cadangan devisa kita. Kemudian, jika nilai tukar rupiah melemah, hal itu akan mempersulit posisi produktivitas para industriawan kita, karena akan terbebani biaya usaha yang semakin besar, sebagai akibat dari usaha mereka yang sangat tergantung pada sumber daya komponen impor, sehingga selanjutnya mempersulit kemampuan produk ekspor negara. Sehingga untuk sementara waktu, Indonesia tampaknya pada kondisi tingkat atau nilai tukar rupiah berapa saja, negeri ini selalu dalam posisi sulit dan dirugikan. Padahal, seharusnya tidaklah demikian, jika perekonomian bangsa ini di kelola dengan benar, diantaranya dengan cara mengurai dari mana seharusnya persoalan nilai tukar tersebut harus dibenahi. Dalam kerangka logika teori, dijelaskan bahwa ada beberapa sumber yang menyebabkan volatilitas nilai tukar. Diantaranya, adalah ditentukan oleh kekuatan-kekuatan internal dan eksternal dari suatu negara. Dari sisi internal, hal itu ditentukan oleh arah perkembangan pendapatan masyarakat, tingkat inflasi, arah kebijakan moneter terhadap jumlah penawaran uang, serta tingkat suku bunga. Sedangkan dari sisi ekternal, hal itu disebabkan oleh perilaku atau kekuatan pelaku di pasar keuangan global, dimana jelas akan sulit dikendalikan oleh otoritas negara. Sederhanya, dijelaskan bahwa pengaruh dari perkembangan pendapatan masyarakat terhadap posisi nilai tukar akan berhubungan terbalik, yakni jika pertumbuhan ekonomi tinggi maka ada kecendrungan nilai tukar akan melemah. Demikian juga dengan kasus inflasi dan jumlah uang beredar. Sedangkan pengaruh tingkat suku bunga justru berhubungan lurus, sehingga jika suku bunga dalam negeri tinggi maka nilai tukar mata uang nasional akan menguat pula. Artinya, dengan tanpa memperhitungkan faktor ekternal yang tidak mungkin dikontrol oleh otoritas negara, maka sebenarnya besarnya posisi dan arah volatilitas nilai tukar dapat di prediksi secara relatif, meskipun belum diketahui dengan tepat kemanfaatannya. Dalam prakteknya, tentu saja hal tersebut tidak akan sesederhana itu, karena apa yang terjadi di lapangan adalah sangat ditentukan oleh perilaku dan kekuatan-kekuatan dari para pelaku ekonomi yang terlibat langsung atau tidak, dengan kondisi volatilitas nilai tukar tersebut. Tapi yang jelas bahwa tindakan atau keputusan mereka bukan hanya ditentukan oleh pertimbangan logik rasionalitas ekonomi atau bisnis saja, tapi juga oleh faktor-faktor non ekonomi yang jelas sulit diketahui arah perubahannya oleh otoritas negara.
1

Namun demikian, bukan berarti bahwa otoritas negara, dalam hal ini utamanya otoritas moneter atau bank sentral tidak dapat melakukan sesuatu untuk memprediksi arah volatilitas nilai tukar tersebut. Karena begitu sulitnya secara exogen lembaga ini mengetahui secara tepat dalam menentukan besarnya nilai tukar yang wajar, maka lembaga ini menggunakan pendekatan tertentu, mulai yang rumit sampai yang praktis, disertai dengan analisa faktual tentang kondisi dari berbagai sektor-sektor ekonomi riel dan keuangan, seperti perilaku investasi, tabungan, kegiatan ekspor atau impor, serta besarnya dan pola arus dana keluar dan masuk di suatu negara. Secara umum, langkah-langkah tersebut tampaknya dipraktekkan oleh otoritas moneter di Indonesia (BI). Tapi tampaknya pendekatan yang digunakan BI sangat mengandalkan instrumen suku bunga tinggi, untuk menjaga posisi nilai tukar rupiah agar dapat menguat dan stabil. Tampaknya, dalam waktu terakhir ini, kebijakan tersebut mampu memposisikan nilai tukar rupiah sesuai dengan yang ditargetkan (Imaginary band), yakni antara Rp. 8.930 Rp. 9.070 per dollar AS. Tapi masalahnya, pendekatan suku bunga tinggi ini, dikenal sebagai pendekatan yang hanya memberi ruang kepada pelaku spekulasi di pasar uang dan modal. Jadi bukan instrumen yang dapat memperkuat atau membangun kegiatan fundamental sektor ekonomi produktif. Jadi sekilas, strategi tersebut sepertinya berhasil, karena telah membuat masuknya dana-dana asing. Tapi sayangnya dana-dana tersebut adalah dana-dana spekulatif yang panas (Hot money), dimana dana-dana tersebut akan selalu siap untuk menguap kembali, jika sudah dianggap tepat untuk di tarik kembali. Sehingga jika kebijakan suku bunga tinggi ini terus dipertahankan BI, maka sebenarnya otoritas moneter sudah terjebak dalam politik kepentingan pemilik uang panas tersebut, yang selalu memburu untung besar. Oleh karena itu, beberapa pihak yang kritis selalu mempertanyakan bahwa dengan posisi nilai tukar rupiah yang menguat tersebut, apa manfaat yang akan diperoleh bangsa ini sesungguhnya. Karena yang jelas bahwa kebijakan suku bunga tinggi guna mempertahankan posisi nilai tukar rupiah yang ditargetkan, telah mempunyai biaya yang mahal, karena berimplikasi pada sulitnya tingkat suku bunga di pasar kredit perbankan diturunkan, dimana hal ini berarti akan menghambat perbaikan pada sektor-sektor fundamental perekonomian sektor riel. Oleh karena itu, kebijakan suku bunga tinggi ini sudah seharusnya secepatnya dikoreksi oleh otoritas moneter pada posisi yang wajar dalam kaitannya dengan kepentingan sektor ekonomi riel yang produktif. . Sebaliknya, dalam kasus dimana posisi nilai tukar rupiah melemah, hal ini juga bukan sesuatu yang baik bagi negeri ini, seperti yang kita alami beberapa waktu yang lalu. Padahal, menurut logika sederhananya, dengan posisi nilai tukar rupiah yang rendah, seharusnya bangsa ini memperoleh keuntungan besar, sebab berarti kita mempunyai peluang pasar ekspor yang menguntungkan, sebab harga komoditas ekspor kita akan murah, sehingga dapat meningkatkan pendapatan devisa. Tapi dalam kenyataannya hal ini tidak terlaksana, karena kapasitas dari produk komoditas ekspor kita baik secara kuantitas maupun kualitas belum mampu dipenuhi sesuai kebutuhan pasar internasional. Diantaranya, hal ini ditengarai karena selama ini para pengusaha kita, lebih banyak menggunakan sumber daya komponen impor dalam berbagai jenis industri mereka, sehingga mereka terbebani biaya besar, dan sebagai akibatnya, kapasitas produk ekspor nasional berkurang. Berdasarkan penjelasan dari dua kasus tersebut, maka tampaknya, segala sesuatunya yang perlu diperhatikan oleh otoritas negara ke depan adalah bukan hanya ditumpukan pada upaya memperkuat atau melemahkan posisi nilai tukar rupiah saja, tapi yang penting memperbaiki kemampuan posisi fundamental sektor-sektor perekonomian riel bangsa ini. Diantaranya, memperbaiki lingkungan berusaha dan berinvestasi, melalui beberapa instrumen kebijakan atau regulasi dari otoritas fiskal yang tidak memberatkan, tidak bersifat koruptif atau manipulatif. Selain itu, otoritas moneter dan keuangan perlu memperbaiki kondisi di pasar

perkreditan dan pasar modal, agar kegiatan di kedua pasar tersebut tidak didasarkan pada prinsip spekulatif dan moral hazard, atau tidak berpihak pada kepentingan kelompok tertentu. Jika hal tersebut dapat dilakukan, maka sebenarnya meskipun nilai tukar rupiah kita melemah, namun selama ada barang yang dapat diproduksi untuk di ekspor sesuai kebutuhan pasar internasional, berarti nilai tukar rupiah yang lemah namun mempunyai manfaat. Seperti yang dialami saat ini oleh negeri bambu, Cina. Sehingga kebijakan nilai tukar yang perlu dilaksanakan oleh otoritas negara ini adalah kebijakan nilai tukar yang bersendikan pada asas manfaat (Utility), jadi bukan karena asas gengsi.

Anda mungkin juga menyukai