Anda di halaman 1dari 5

Ning

Hery santoso . Ketika kita berdiri sunyi pada dinding biru ini menghitung ketidakpastian dan bahagia menunggu seluruh usia. (Dua jam yang lalu, sebelum merebahkan badan, Ning mengutip bait terakhir puisi Goenawan Moehamad itu pada buku hariannya). Dan gelap mendekap. Hanya seberkas cahaya tipis, menerobos lubang-lubang angin, menampilkan gerak-gerak bayangan pada permukaan dinding yang lembabmenggigil. Di luar hujan menggemuruh. Sesekali nyiprat ke dalam, melalui sela-sela jendela yang ditutup tidak sempurna. Dingin. Ning melingkar di bawah selimut. Dia belum juga lelap. Berkali-kali matanya dipejamkan, tapi selalu gagal. Detak jantungnya terus menguat, memompa darah segar ke sel-sel kelabu otaknya, memacu benda-benda kecil itu bekerja, menghadirkan potongan-potongan peristiwa, lintasanlintasan kejadian, kegairahan, kebimbangan, juga kegalauan. Apakah semua itu memang harus terjadi? Atau seharusnya tak pernah terjadi?. Tapi bukankah sesuatu terkadang hadir tanpa bisa kita duga-duga, mengalir begitu saja, ibarat banjir bandang yang menggelegak, melumat apapun yang dijumpainya. Mungkin saat itu aku kesurupan. Jin-jin dan peri-peri merasuki tubuhku, sebagaimana dulu ibu pernah bercerita, bahwa semasa kecil aku kerap mengalaminya. Entahlah. Yang jelas, pada malam itu aku tak merasakan apapun, kecuali kegairahan pada lenggak-lenggok tubuh seorang penari. Aku bukan penari! Tapi pernah lama belajar tari pada seorang lelaki separuh baya yang kemudian kupacari sayang ia kini menghilang. Menurutnya, menari bukanlah menggerakkan tubuh, tapi melecut rasa. Lenggak-lenggok yang terlihat tidak lebih dari sekedar bayangan sukma yang mewujud. Dan pada kejadian itu, betapa aku telah mempraktekkannya dengan sempurna. Oh,.. Ning membetulkan selimut, mengusir dingin yang membekuk tulang. Kedua kelopak matanya mengatup kuat, seperti sedang berusaha mengundang kantuk, agar ia bisa lelap sempurna dan sejenak melupakan semua hal yang selama beberapa hari ini terasa mengganggu. Ia lelah, merindukan kantuk yang tak kunjung tiba.

Gusti, aku ingin tidur. Aku ingin istirahat, sejenak matanya membuka, menangkap gerak-gerak gemulai di dinding, bayangan daun yang sejak tadi menemaninya. Seperti lenggok tubuh penari, pikirnya sambil mengencangkan pelukan pada guling kesayangan yang dibawanya dari kampung halaman. Ia mencoba mengganti posisi. Miring ke kiri, merapat ke salah satu sisi dinding. Hujan tinggal rinai. Tapi dingin tak juga usai. Bismillah, semoga, aku bisa terlelap. Ia memejam, berusaha menidurkan hati yang tak mau berhenti bercakap: Pada awalnya aku hanya menemani Fai menunggu jemputan Savitri yang tak kunjung datang. Aku dan dia menunggu di sebuah rumah kontrakan yang dijadikan kantor lembaganya. Malam itu dia harus menyingkir. Sejak terjadi bentrokan masal pada kasus pembebasan tanah masyarakat di Blitar, dia sering disebut-sebut koran sebagai provokator. Sebuah sumber bahkan mengatakan dia akan diciduk. Apa yang kulakukan malam itu tidak lebih dari sebuah rasa empati sesama kawan. Selama ini aku dan dia sudah sering bahu-membahu mengatasi berbagai persoalan. Tapi entahlah, tiba-tiba aku merasakan ada sesuatu, ketika benar-benar menatap tubuhnya yang kurus-kering, berantakan, dan kelelahan. Kantor sepi, tak ada orang lain selain aku dan dia. Aku menanyakan padanya apakah sudah makan malam. Dia menjawab singkat: belum. Aku membelikannya sebungkus nasi padang. Dia tak mau makan, katanya mual. Aku memaksanya. Dia bersikeras menolak. Aku tak punya pilihan. Tapi kemudian beribu-ribu peri seperti merasukiku, mengarahkan tangan pada sebuah gerakan. Pelan-pelan tanganku terangkat, seirama dengan dentang jam dinding yang serasa suara saron. Aku menyuapi Fai. Sesuap, dua suap, tiga suap dan setelahnya aku merasakan waktu berjalan sangat cepat. Peri-peri menggiringku ke sebuah altar. Dan dalam seribu kegairahan aku menari gemulai. Melenggokkan tubuh, berputar menggasing, menjemput warna-warna, keharuman, dan ketiadaan. Entah berapa lama. Aku hanya bisa merasakan segala sesuatunya telah menjadi lungset. Dan lelah menyerbu. Dan kantuk menggebu. Sayup-sayup aku mendengar suara rendah Fai yang menawariku segelas air. Savitri datang ketika malam sudah larut. Anak kolonel itu membangunkanku. Aku membangunkan Fai. Kami bertiga akhirnya menumpang mobilnya, mengantarkan Fai ke sebuah tempat yang sampai saat ini kami rahasiakan. Ning membalik, menelentangkan tubuhnya yang hanya 40 kg. Matanya dibuka lebarlebar, seolah telah menyerah pada malam. Hanya ada gelap dan bayang-bayang yang masih setia bersandar di dinding. Capek, keluhnya, sembari menyilangkan kedua

tangan di bawah kepala. Matanya masih tetap terbuka, mencoba mengatasi gelap yang ada di sekitarnya. Di luar tak lagi terdengar kecipak kaki hujan memukul tanah tergenang. Sesekali hanya angin mendesis, mengingatkan pada bunyi kereta api pengangkut tebu di kampung halamannya. Iapun tersenyum, membayangkan dirinya yang mungil, berlarian mengejar asap yang keluar dari cerobong kereta yang hampir setiap sore lewat di depan rumahnya. Ah, betapa aku ingin kembali mungil, pikirnya sambil perlahan-lahan bangkit dan menegakkan badan kerempengnya. Ia meraba-raba dinding, berusaha mencari benda kecil putih yang sudah akrab dengan ujung-ujung jarinya. Dan klik. Kamarpun menyala. Gelap menghilang. Juga bayang-bayang itu. Ia membuka pintu, bergegas menuju ke kamar mandi. Langkah-langkah yang lembek. Sandal terseret. Dalam keremangan 25 wat. Tak berapa lama ia kembali, dan menghempaskan diri ke kasur tipis yang tak lagi simetris. Ia telentang, menengadah langit-langit yang kini benderang. Kedua tangannya ia sandarkan di dada. Kedua kakinya ia biarkan menjulur ke lantai. Sudah seminggu aku terlambat, keluhnya dalam hati. Ia membayangkan wajah legam kedua orang tuanya di kampung halaman. Kedua matanya yang menatap lurus ke atas mulai membasah. Sembab. Bisakah aku memperoleh maaf? , ketegarannya mulai remuk, dan hati kecilnya mencoba memohon. Aku siap menanggung segala akibatnya, tapi tidak siap untuk menjadi orang lain, sebagaimana yang dulu dialami Mas Aryo. Tiga ratus persen ini kesalahanku. Aku telah melanggar tabu nomor satu. Dan agaknya aku tengah menuai buahnya.. Air mata menganak sungai di pipinya. Perlahan-lahan terdengar isak yang tertahan. Ning belum merubah posisi. Dia masih telentang. Kedua tangannya masih bersandar di dada. Kedua kakinya masih menjulur ke lantai. Tapi matanya perlahan-lahan meredup. Nafasnya mulai halus. Dan ia tertidur, mengarungi malam yang terasa lebih dingin dari biasanya. *** Kau sudah tidur Ning ?, seseorang mengetuk jendela kamar kosnya. Kau sudah tidur Ning ?, orang itu mengulanginya sekali lagi. Ning, bangun !, aku Savitri.

Ning tergagap-gagap, begitu mendengar suara sahabatnya itu. Dia cepat-cepat membuka jendela dan menanyakan apa gerangan yang terjadi hingga malam-malam begini membangunkannya dari tidur. Cepat ikut aku, kata bapak kau masuk dalam daftar orang-orang yang malam ini akan diswiping. Bapak menyuruhku secepatnya memberitahu kamu. Baik betul bapakmu itu. Sudahlah, diskusinya nanti. Ning cepat-cepat bangkit dan meninggalkan tempat tidurnya. Setelah mengganti pakaian dan menyelipkan beberapa baju ke dalam tas punggung, dia segera keluar menemui Savitri. Mereka berdua meluncur menembus gelap. Dari kejauhan mobil yang mereka tumpangi tak ubahnya perahu yang sedang berlabuh, terseok-seok membelah genangan air hujan yang menutupi badan jalan. Lebih baik kita ke tempat persembunyian Fai saja. Di sana aman. Dan lagi kamu bisa mengulanginya sesukamu, ucap Savitri sambil menggoda Ning. Ning hanya diam. Membisu. Tapi kemudian dia merasakan sesuatu, peri-peri kembali merasuki tubuhnya, melepas semua beban dan belenggu yang selama ini dia rasakan. Dengan enteng dia mengatakan kepada sahabatnya itu bahwa bila benar tengah menuai buahnya, dia akan mengulanginya seribu kali lagi. Savitri terbahak-bahak mendengarnya. Ning hanya tersenyum, tangannya terus meraba-raba, mencari sesuatu di dalam tas punggungnya. Dan klik. Sebatang rokok menyala. Kau merokok Ning ? Biar hangat Sebelumnya pernah merokok ?. Sekali saja Kapan ? Malam itu, ketika menemani Fai Tawa mereka meledak bersama, membangunkan ujung-ujung saraf yang tersebar di segenap permukaan tubuh Ning. Dalam kepungan asap dan aroma tembakau yang terbakar, pelan-pelan Ning mulai menggerakkan persendian, meliukkan bahu, menggoyangkan pinggul tipisnya, mengikuti irama kaset yang diputar Savitri.

Tiba-tiba aku ingin menari Sebentar lagi sampai, kau bisa menari sepuasnya, ucap Savitri sambil menginjak rem kuat-kuat, menghindari kelebat putih yang melintas di depan mobilnya. Ada apa Vit?! Entah, mungkin peri-peri sedang lewat Savitri memindahkan gigi, menginjak gas kuat-kuat dan mobil melesat, meninggalkan bayangan putih yang bergerak-gerak, melenggak-lenggok, seakan-akan sedang menari, sambil melambaikan tangan pada mereka berdua. Rupanya kau datang lagi, Ning bergumam di hati, tajam menatap spion. Dan gelap mendekap. Dan dingin menyekap.

Creswick, the last Oct. 01

Anda mungkin juga menyukai