2006
Daftar isi
i ii iii 1 2 2 3 5 6 8 8 8 10 12 12 13 15 15 17 19 19 20 20 23 23 24 26 28 34 36 40 41 44 47 48 49 51 53 54 55 55 56 58 58 58 60 60 60 60 61 61 Kata Pengantar dari Menteri Kesehatan ri Kata Pengantar dari universitas syiah Kuala Kata Pengantar dari Kedutaan besar Kanada ucapan terima Kasih ringkasan eksekutif Rancangan Proyek Temuan-temuan Kunci Rekomendasi Pendahuluan dan latar belakang rancangan Penelitian dan Metodologi Tim Peneliti Rancangan Penelitian Tim Peneliti Lapangan dan Undangan untuk Berpartisipasi Demografi responden Responden Kuesioner Informan-informan Kunci Peristiwa traumatik Peristiwa Traumatik Selama Konflik Trauma Gender Perbedaan Berdasarkan Kabupaten Evakuasi Paksa dan Bentuk Pengungsian Lainnya Peristiwa-peristiwa yang Dialami Selama Tsunami Rasa Ketidakpastian Kehidupan Sehari-hari Paska-Konflik Depresi, Kecemasan dan gangguan stres traumatik (Traumatic Stress Disorders) Ukuran-ukuran Distres Psikologis dan Gangguan Neuropsikiatrik Analisa Gejala Psikologis dan Diagnosa Psikiatrik Temuan-temuan Gejala Distribusi Resiko: Kelompok Mana yang Memiliki Resiko Tertinggi? Efek Pengalaman Traumatik Terhadap Distres Psikologis Trauma di Kepala idiom setempat untuk Menggambarkan Distres Mimpi dan Arwah Kesehatan Mental dan Psikososial Masyarakat Pengalaman Tokoh/ Pemimpin Masyarakat Dampak dari Tsunami Daya Tahan dan Respon Obat-obatan Tradisional di Aceh Opini Masyarakat: Apa yang Harus Dilakukan? Persepsi Masyarakat Terhadap LSM dan Layanan Kesehatan Umum Persepsi Penyelenggara Kesehatan Umum Tentang Komunitas yang Terkena Dampak Konflik Anak-anak dan Pemuda Menuju Perdamaian rekomendasi Program Perawatan Kesehatan Jiwa Masyarakat Tim-tim Kunjungan Kesehatan Mental Bagi Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik Program-program Kunjungan ke Keluarga Evaluasi dan Konseling Menyangkut Trauma di Kepala Pengintegrasian Dengan Layanan Kesehatan Lainnya Pengintegrasian Program-program Psikososial dan Pengembangan Mata Pencaharian Pentingnya Inovasi dan Evaluasi Pengimplementasian yang Terlokalisir
Daftar tabel
12 12 14 14 15 16 17 18 21 25 26 2 6 27 27 27 29 29 30 31 32 32 33 33 34 34 35 37 37 38 39 44 46 49 54 56 Tabel 1.1 Demografi Peserta Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin, Tempat Tinggal, Usia Tabel 1.2 Demografi Peserta Penelitian Berdasarkan Status Pernikahan, Pendidikan, dan Rumah Tabel 1.3 Demografi Informan Kunci Berdasarkan Gender, Tempat Tinggal, Usia Tabel 1.4 Demografi Informan Kunci Berdasarkan Status Pernikahan, Pendidikan, dan Jabatan Dalam Masyarakat Tabel 2 Peristiwa Trauma Masa Lalu yang Dialami, berdasarkan Gender dan Kabupaten Tabel 2 (lanj.) Peristiwa Trauma di Masa Lalu Tabel 3.1 Trauma Kepala / Cidera Otak Potensial Berdasarkan Jenis Kelamin dan Daerah Tabel 3.2 Pemerkosaan & Serangan Seksual di Masa Lalu, Kekerasan Gender Saat Kini, & Penghancuran Rumah, Berdasarkan Jenis Kelamin dan Daerah Tabel 4 Faktor Penyebab Stres dan Rasa Ketidakpastian Mengenai Kehidupan Sehari-hari Paska-Konflik Tabel 5.1 Kategori Depresi-HSCL Tabel 5.2 Kategori Inti Kuesioner Trauma Harvard Tabel 6.0 Distres Emosional dan Konflik Tabel 6.1 Depresi berdasarkan Gender dan Distrik Tabel 6.2 Gejala Trauma dan PTSD berdasarkan Gender dan Kabupaten Table 6.3 Gejala Kecemasan, berdasarkan Gender dan Kabupaten Tabel 7.1 Odds Ratio yang Telah Disesuaikan untuk Depresi dan PTSD Berdasarkan Kabupaten Tabel 7.2 Odds Ratio Yang Telah Disesuaikan Untuk Depresi dan PTSD Berdasarkan Gender Tabel 7.3 Odds Ratios yang Telah Disesuaikan Untuk Depresi dan PTSD Berdasarkan Usia Table 8.1 Pidie: Depresi Berdasarkan Gender Berdasarkan Usia Table 8.2 Pidie: PTSD berdasarkan Gender berdasarkan Usia Table 8.3 Bireuen: Depresi Berdasarkan Gender Berdasarkan Usia Table 8.4 Bireuen: PTSD berdasarkan Gender berdasarkan Usia Table 8.5 Aceh Utara: Depresi berdasarkan Gender berdasarkan Usia Table 8.6 Aceh Utara: PTSD berdasarkan Gender berdasarkan Usia Table 9.1 Pengukuran2 Kesehatan Mental (Odds Ratios) bagi Responden Yang Mengalami Peristiwa Traumatik di Masa Lalu Tidak Disesuaikan Tabel 9.2 Pengukuran2 Kesehatan Mental (Odds Ratios) bagi Responden Yang Mengalami Peristiwa Traumatik di Masa Sekarang Tidak Disesuaikan Tabel 9.4 Trauma di Kepala/Cidera Otak Potensial: Persentase Responden berdasarkan Gender dan Usia Tabel 9.5 Trauma di Kepala/Cidera Otak Potensial: Persentase Responden berdasarkan Gender dan Usia Untuk Bireuen Tabel 9.6 Trauma di Kepala/Cidera Otak Potensial: Persentase Responden berdasarkan Gender dan Usia Untuk Aceh Utara Tabel 9.7 Resiko Yang Meningkat untuk Depresi atau PTSD bagi Orang Yang Menderita Trauma di Kepala (Odds Ratio disesuaikan) Tabel 10.1 Pandangan Responden Mengenai Penyakit Mental di Masyarakat dan di Keluarga Tabel 10.2 Pilihan Responden Atas Kelompok-kelompok di Dalam Komunitas Mereka yang Paling Menderita Akibat Stres atau Trauma yang Terkait Dengan Konflik Tabel 10.3 Tindakan Mencari Bantuan Selama Enam Bulan Terakhir Tabel 10.4 Opini mengenai Layanan Kesehatan Mental LSM dan Mitra-mitra Pelaksana Tabel 10.5 Sikap Terhadap Proses Perdamaian
Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara/ September 2006
Kata Pengantar
Kata Pengantar dari Menteri Kesehatan RI Kata Pengantar dari Universitas Syiah Kuala Kata Pengantar dari Kedutaan Besar Kanada
Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara/ September 2006
Provinsi Nangroe Aceh Darusalam (NAD) adalah salah satu Provinsi di Indonesia yang mempunyai masalah dengan karakteristik khusus. Beberapa tahun yang lalu dengan beberapa masalah internal berupa konflik yang relatif berkepanjangan dan kemudian menjadi lebih parah dengan adanya bencana tsunami pada tanggal 26 Desember 2004. Hal-hal tersebut memberi dampak yang luas terhadap berbagai sendi kehidupan masyarakat. Salah satu masalah yang mengemuka disamping masalah hukum, keamanan, sosial dan ekonomi, adalah masalah kesehatan, termasuk masalah kesehatan jiwa. Kita sangat bergembira bahwa masa-masa sulit ini sudah terlewati dan menjadi kwajiban kita semua untuk memulihkan segera mungkin hal-hal yang merugikan masyarakat, seperti dampak dari peristiwa tadi. Dibidang kesehatan telah diambil langkah yang komprehensif yang dirumuskan dalam berbagai program jangka pendek, jangka menengah, maupun jangka panjang. Dibidang kesehatan jiwa dimana dampaknya terasa cukup besar, Departeman Kesehatan RI telah bekerja sama dengan Pemerintah NAD, Pemerintah Provinsi dan LSM baik Dalam Negeri maupun Luar Negeri. Untuk ini telah dirancang dan dijalankan suatu model pelayanan kesehatan jiwa yang komprehensif tidak hanya untuk daerah yang terkena tsunami, tetapi juga daerah-daerah lainnya diharapkan model ini dapat dijadikan acuan untuk pengembangan kesehatan jiwa di Provinsi lain. Maka kami sangat bergembira dengan adanya kegiatan psychococial need assessment di Pidie, Bireun dan Aceh Utara yang dilakukan bersama-sama oleh International Organization for Migration (IOM), the Department of Social Medicine from Harvard Medical School dan Syiah Kuala University (SKU). Saya percaya bahwa hasil assessment ini sangat sejalan dan memberikan konstribusi yang bermakna kepada program yang sedang kita kembangkan, seperti program peningkatan kapasitas dalam bentuk pelatihan dokter Puskesmas maupun Rumah Sakit Umum (RSU) Kabupaten serta pengembangan konsep CMHN (Community Mental Health Nursing). Mudah-mudahan kerja sama ini dapat dilanjutkan dengan program-program yang lain. Untuk semua pihak yang telah memungkinkan terselenggaranya program ini saya sampaikan penghargaan yang setinggitingginya. Semoga hal ini memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada seluruh masyarakat NAD pada khususnya, dan pada masyarakat Indonesia pada umumnya. Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu memberkahi kita semua.
DR. Dr. Siti Fadilah Supari, Sp.JP (K) Menteri Kesehatan DepKes RI
ii
Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara/ September 2006
Laporan ini merupakan survei empirik dan sistematik yang pertama tentang pengalaman anggota masyarakat yang menderita karena konflik sebelum penandatanganan MoU tanggal 15 Augustus 2005 antara Pemerintah RI dan GAM yang mengawali proses perdamaian. Penelitian ini merupakan percobaan pertama untuk mempelajari konsekuensi konflik yang terfokus pada Psychological Needs Assessment Affected by the Conflict. Survei tersebut dilaksanakan oleh sejumlah peneliti yang direkrut oleh Pusat Pengembangan Studi Kawasan Unversitas Syiah Kuala, bekerja sama dengan para Peneliti Senior dari depatemen Kedokteran Sosial, Fakultas Kedokteran Harvard, Amerika Serikat, dan didukung oleh International Organization for Migration (IOM), Indonesia, beserta kantor perwakilannya di Banda Aceh. Penelitian lapangan dilakukan di Kabupaten Pidie, Bireuen dan Aceh Utara selama bulan Februari 2006. Survei ini khusus dirancang untuk mendapatkan dan mengevaluasi keadaan kesehatan psikologi dan mental atau problemaproblema masyarakat yang bayak dipengaruhi oleh konflik bersenjata tersebut. Namun tujuan yang utama dari penelitian ini adalah upaya untuk mempelajari dan memahami sebanyak mungkin tentang isyu-isyu agar dapat menjadi pertimbangan kebijakan. Satu temuan besar dalam penelitian ini ialah bahwa mereka yang selamat dalam konflik ini mengalami trauma, dipresi yang berat, dan masalah-masalah kesehatan mental di samping kekurangan sumber daya. Namun bagaimanapun, konsekuensi konflik ini tidak tersebar secara merata di antara ketiga Kabupaten yang diteliti. Dalam ukuran kuantitatif tertentu, Kabupaten Pidie kampung halaman pemimpin nomor satu GAM, tidak begitu menderita dibandingkan dengan kedua Kabupaten yang lain. Pengalaman orang seorang yang berkait dengan konflik ini berbeda dari seorang ke seorang yang lain. Mayoritas penduduk di daerah penelitian memerlukan penanganan profesional bagi trauma dan kesehatan mental mereka; mereka memerlukan bantuan untuk mengatasi problema kehidupan sosial mereka, dan mereka memerlukan sumber-sumber daya ekonomi. Dalam perkataan lain, orang-orang yang mendapat musibah ini memerlukan penyembuhan atas luka yang dalam di hati mereka yang timbul dari konflik yang tidak mereka ciptakan. Oleh karena itu, manuskrip ini perlu bagi Gubernur, anggota DPRD, Menteri Kesejahteraan Rakyat, dan Menteri Pendidikan untuk dibaca dan dipergunakan sebagai dasar pertimbangan kebijakan dan proses pengambilan keputusan. Seiring dengan itu, temuan-temuan dalam laporan ini seharusnya dapat menjadi perhatian bagi LSM lokal dan internasional, para donor, masyarakat akademik di Aceh, dan bagi siapa saja yang merasa prihatin atas musibah ini.
Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara/ September 2006
iii
Satu tahun terakhir ini merupakan masa yang bersejarah bagi Aceh, yang ditandai dengan lahirnya pondasi untuk perdamaian abadi, otonomi khusus, dan institusi-institusi demokrasi baru. Mereka yang merasakan manfaat dari proses perdamaian ini - yang kini masih berjalan - adalah banyak pihak, tidak hanya warga Aceh melainkan semua rakyat Indonesia dan juga masyarakat internasional. Selain bantuan kemanusiaan dan pembangunan yang substansial untuk masyarakat Aceh menyusul terjadinya musibah tsunami, Kanada juga dengan cepat menerima tantangan untuk mendukung proses rekonstruksi dan usaha menciptakan perdamaian paska konflik di Aceh. Untuk alasan ini, Pemerintah Kanada, melalui Global Peace and Security Fund dari Departemen Luar Negeri dan Pembangunan Internasional, dan bekerja sama dengan mitra-mitra lainnya, turut mendukung proyek Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen dan Aceh Utara. Rekomendasi yang terdapat di dalam laporan ini menunjukkan bahwa penelitian ini tidak hanya memiliki manfaat yang besar namun juga mampu menjawab kebutuhan yang ada, dengan menyediakan data yang diperlukan untuk membuat keputusan tentang peranan pelayanan kesehatan di dalam mendukung proses re-integrasi. Laporan ini juga menunjukkan pentingnya kemitraan di antara pihak pemerintah, lembaga-lembaga internasional, kalangan akademis, dan juga tokoh-tokoh masyarakat di dalam usaha menciptakan perdamaian. Oleh karena itu, atas nama Pemerintah Kanada, dengan segala kerendahan hati saya mengucapkan selamat kepada para mitra di mana berkat kerja keras mereka, laporan yang sangat berharga ini dapat terselesaikan, sehingga dapat menjadi alat bantu bagi mereka semua yang tengah membangun kembali Aceh yang damai dan demokratis.
iv
Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara/ September 2006
Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara/ September 2006
1. Lima ratus sembilan puluh enam responden, 35 informan utama, dan 17 anggota GAM dari kabupaten Pidie, Bireuen dan Aceh Utara yang namanya tidak disebutkan, atas waktu dan kesediaan mereka mengkontribusikan data yang disajikan dalam laporan ini. Untuk itu ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kami sampaikan 2. Pusat Pengembangan Studi Daerah di Universitas Syiah Kuala (USK) yang melaksanakan penelitian di lapangan, pelatihan staf, dan pemasukan data. Profesor Bahrein Sugihen merupakan konsultan utama dalam perancangan penelitian. Ibu Rosnani mengorganisir pelatihan, mengkoordinir kerja lapangan, dan membantu tim Harvard di Aceh. Lembaga ini juga membentuk staf peneliti yang terdiri dari duabelas dosen dari USK. Kami mengucapkan terima kasih kepada Pak Adnan Abdullah, Pak Nazir Basyir, dan Pak Husaini Daud yang mengetuai tim peneliti di Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara, disamping semua pewawancara dalam proyek ini. Kami juga berterima kasih kepada Pak Sofyan dari USK atas kerjanya dalam memasukan data. 3. Departemen Kesehatan RI yang mendukung penelitian psikososial IOM di Aceh, khususnya Dinas Kesehatan Propinsi di Banda Aceh, dan Dinas Kesehatan Kabupaten di Pidie, Bireuen, Aceh Utara dan Lhokseumawe. Rumah sakit jiwa di Banda Aceh menyediakan lima perawat kesehatan mental yang bergabung sebagai staf peneliti, sedangkan Dinas Kesehatan Pidie dan Bireuen masing-masing menyediakan dua perawat kesehatan mental. Kontribusi yang diberikan oleh para perawat terhadap penelitian ini sangat luar biasa. 4. Dewan Perlindungan Masyarakat dan Persatuan Negeri di kantor Gubernur Banda Aceh atas izin serta surat pengantar yang mereka berikan untuk melaksanakan penelitian sosial ilmiah dan kesehatan umum di desa-desa di Aceh. 5. Para mitra riset IOM di Fakultas Kedokteran Harvard yang bertanggung jawab atas keseluruhan rancangan penelitian, pengembangan kuesioner, pengelolaan data, analisa statistik, dan penulisan laporan. Professor Byron Good dan Professor Mary-Jo DelVecchio Good merupakan Peneliti Utama dalam proyek ini. Matthew Lakoma melakukan analisa statistik yang efisien dan kreatif, serta Sharon Abramowitz menghabiskan waktu dua minggu yang sangat sibuk di Aceh guna membantu pengembangan kuesioner, pelatihan staff, dan penyusunan protokol penelitian. 6. Tim Program Paska Konflik IOM di Banda Aceh, yang merupakan rekan kerja yang sangat baik dalam merencanakan dan mendiskusikan materi yang termuat dalam laporan ini. Jesse Grayman bertindak sebagai Manajer Proyek dan koordinator dari penelitian ini. Tim Medis yang berperan sebagai sumber pendukung utama yang dapat diandalkan dalam penyusunan program dan materi. Kami mengucapkan rasa terima kasih kepada Dr. Ibrahim Puteh atas keahliannya di bidang psikiatri dan atas kesediannya memandu kami dalam sistem layanan kesehatan dan universitas di Banda Aceh. Para dokter dari ICRS yakni Dr. Abdul Razak Kelana Ibrahim, Dr. Teuku Arief Dian, dan Dr. Noor Anita Humaira yang memfasilitasi riset lapangan di Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara. Su Lin Lewis yang telah memberikan masukan-masukan penting dan data latar belakang untuk merancang metodologi penentuan sampel. Kesehatan mental merupakan sisi yang baru dalam penyusunan program DDR, dan kami berterima kasih kepada Direktur Program Mark Knight karena telah menyadari pentingnya aspek ini dalam Program Reintegrasi Paska Konflik IOM. Terakhir, Dr. Nenette Motus yang telah menulis proposal awal untuk kegiatan penelitian ini dan memulai proses riset dengan menelpon Fakultas Kedokteran Harvard pada bulan Oktober 2005. Kami mengucapkan terima kasih kepada beliau atas kesabaran dan keyakinannya pada pekerjaan kami. 7. Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Internasional Kanada yang mendukung kegiatan medis Paska Konflik IOM di Aceh. Kami berterimakasih kepada mereka atas pendanaan riset lapangan. Dukungan keuangan untuk analisa data dan penulisan laporan diperoleh dari Departemen Kesehatan Sosial, Fakultas Kedokteran Harvard. 8. Byron Good, Mary-Jo DelVecchio Good, Jesse Grayman, dan Matthew Lakoma yang menulis laporan ini
Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara/ September 2006
ringKasan eKseKutif
Antara bulan Desember 2005 sampai dengan bulan Februari 2006, tim peneliti dari International Organization for Migration (IOM) dan Departemen Kesehatan Sosial Fakultas Kedokteran Harvard, melaksanakan Penelitian Kebutuhan Psikososial (PKP) di tiga kabupaten dengan tingkat konflik tinggi di pantai timur laut propinsi Aceh (NAD), dengan dukungan dana dari Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Internasional Kanada melalui kontrak kerja dengan IOM dan Fakultas Kedokteran Harvard. Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengevaluasi kebutuhan psikososial dan kesehatan mental masyarakat yang terkena dampak mendalam akibat konflik antara Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), sehubungan dengan telah berlangsungnya gencatan senjata paska penandatanganan Nota Kesepahaman pada tanggal 15 Agustus 2005. Laporan ini berfokus pada kebutuhan psikososial dan kesehatan mental yang ada saat ini di daerah-daerah konflik tinggi di Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara. Laporan ini secara sengaja tidak mengidentifikasi kelompok-kelompok atau individu-individu yang memainkan peran utama dalam kekerasan yang terjadi di masyarakat Aceh.
rancangan ProyeK
Penelitian ini dirancang untuk memperoleh data empiris secara ilmiah yang berfungsi sebagai dasar dalam mengembangkan layanan kesehatan mental dan psikososial guna mendukung upaya-upaya pemulihan diri yang dilakukan oleh masyarakat. Secara khusus, PKP ini bermaksud mengetahui tingkat pengalaman trauma karena konflik yang diderita oleh masyarakat, mengidentifikasi tingkat masalah psikososial dan kesehatan mental serta risiko sub-kelompok yang ada di dalam populasi, mengidentifikasi pola daya tahan dan sumber daya yang dipergunakan oleh masyarakat dan para anggotanya dalam menangani masalah kesehatan jiwa, dan menilai urgensi kebutuhan intervensi kesehatan mental dalam bentuk-bentuk tertentu di daerah-daerah yang selama beberapa dekade terkena dampak kekerasan. Penelitian ini dirancang oleh beberapa peneliti senior dari Fakultas Kedokteran Harvard. Penelitian ini meliputi dua komponen utama. Pertama, penelitian kualitatif yang melibatkan informan-informan kunci guna meneliti bagaimana konflik mempengaruhi kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat serta apa yang menurut para tokoh masyarakat perlu diprioritaskan pelaksanaannya dalam merespon dampak psikososial yang muncul akibat konflik. Kedua, survei formal terhadap penduduk dewasa dari kelompok masyarakat terpilih, yang dirancang untuk mengukur tingkat pengalaman trauma karena kekerasan, tingkat distres psikologis yang terkait dengan pengalaman-pengalaman tersebut, serta layanan yang perlu di prioritaskan. Kedua komponen penelitian ini didukung oleh diskusi focus group dengan para anggota GAM termasuk mantan kombatan dan tahanan politik. Para peneliti lapangan dari Pusat Pengembangan Studi Daerah di Universitas Syiah Kuala melakukan interview di 30 desa di kabupaten Pidie, Bireuen dan Aceh Utara, yang dipilih secara acak selama dua minggu pertama bulan Februari 2006. Data kemudian dianalisa secara bersama-sama oleh tim Harvard dan tim IOM. Jumlah sample untuk survei kuantitatif sebanyak 596 orang responden dewasa, berusia 17 tahun atau lebih, yang dipilih secara acak dari 30 desa penelitian. Prosedur pemilihan sampel dilakukan sedemikian sehingga dapat disajikan sample yang terdistribusi secara baik dan representatif. Disamping itu, 75 informan kunci, yang terdiri dari tokoh masyarakat yang terseleksi, telah pula diwawancarai. Temuan yang diperoleh dapat digeneralisir pada masyarakat dengan tingkat konflik tinggi di kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara.
Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara/ September 2006
teMuan-teMuan Kunci
1. Temuan pertama dan yang paling berkesan dari survei ini adalah bahwa para anggota masyarakat tersebut telah mengalami peristiwa traumatik yang mengerikan dan terakumulasi dalam tingkat cukup tinggi sebagai akibat kekerasan. Beberapa contoh data menggambarkan dampak besar yang diakibatkan oleh konflik terhadap para penduduk sipil di daerah tersebut sebagai berikut: 78% dari keseluruhan sampel melaporkan telah mengalami pengalaman perang. 38% mengalami peristiwa dimana mereka harus melarikan diri dari bahaya. 8% wanita telah kehilangan suami akibat konflik, dan 5% dari keseluruhan sampel memiliki anak yang terbunuh. 41% sampel melaporkan memiliki anggota keluarga atau teman yang terbunuh, dan 33% melaporkan keluarganya atau temannya diculik atau hilang. 45% melaporkan harta mereka disita atau dimusnahkan, dan 33% mengalami pemerasan atau perampasan. 2. Baik para pria maupun wanita mengalami tingkat kekerasan yang luar biasa, namun tingkatan dan jenis dari peristiwa traumatik yang dialami berbeda-beda berdasarkan jenis kelamin. Para pria melaporkan kekerasan fisik yang secara signifikan lebih tinggi dibanding wanita. 56% pria melaporkan telah mengalami penganiayaan (20% wanita), 36% melaporkan telah diserang dengan mengunakan senjata api atau pisau (14% wanita), 25% pria melaporkan telah disiksa (11% wanita), 19% pria melaporkan telah dikurung (5% wanita), dan 65% pria (dan 45% wanita) melaporkan telah dipaksa menyaksikan kekerasan fisik terhadap orang lain. Walau tingkat kekerasan seksual yang dilaporkan telah dilakukan terhadap wanita rendah, yang sebagian disebabkan oleh stigma, para wanita mengalami serangan fisik dari kombatan pria dalam bentuk kekerasan gender. Disamping itu, pengalaman yang sering terjadi adalah rumah mereka dijarah dan dimusnahkan yang dinilai merupakan serangan yang sangat keras terhadap tempat tinggal wanita. 3. Terdapat perbedaan yang cukup signifikan dari daerah ke daerah. Para responden di Bireuen dan Aceh Utara melaporkan tingkat peristiwa traumatik maupun gejala psikologis yang jauh lebih tinggi daripada para responden di Pidie. 85% responden di Bireuen dan 87% di Aceh Utara mengalami peperangan, dibanding dengan 66% di Pidie. 66% responden di Bireuen melaporkan telah memiliki anggota keluarga atau teman terbunuh, dibanding dengan 40% di Aceh Utara dan 21% di Pidie. 22% responden di Aceh Utara melaporkan telah ditangkap dan ditahan oleh salah satu pihak pada konflik, 14% di Bireuen, dan 4% di Pidie. 4. Pertanyaan mengenai peristiwa yang mengakibatkan stres atau peristiwa traumatik yang terjadi sejak penandatanganan Nota Kesepahaman Perdamaian menggarisbawahi temuan penting lainnya dalam penelitian ini. Banyak warga menceritakan kesulitan dalam memenuhi kebutuhan keluarganya (85%), kesulitan mencari pekerjaan (90%), atau kesulitan dalam memulai kembali aktifitas mata pencaharian mereka selama masa paska-konflik (71%). 72% melaporkan kekhawatiran mengenai cukupnya persediaan makanan, sedangkan 59% melaporkan kekhawatiran mengenai perumahan yang layak. Temuantemuan dalam bentuk angka ini mendukung wawancara kualitatif, yang menunjukkan adanya kekhawatiran mendalam mengenai permasalahan dasar pada mata pencaharian. Konflik yang berlangsung selama hampir 30% tersebut jelas telah memporak-porandakan ekonomi setempat, menghalangi penduduk desa mengolah tanah mereka, memusnahkan hewan mereka, menghancurkan jaringan perdagangan, merusak rumah mereka, dan menghalangi para kaum muda memasuki kelompok tenaga kerja. Oleh karena itu, upaya pemulihan akan berhadapan dengan peristiwa-peristiwa traumatik yang dahsyat yang diderita oleh masyarakat, ekonomi yang rusak serta sumber daya masyarakat yang hancur untuk ditangani dengan segera. Disamping itu, 47% responden melaporkan telah melihat para pelaku kejahatan dan kekerasan sebagai sumber rasa stres yang berkelanjutan, 30% melaporkan mengalami serangan atau ancaman fisik atau psikologis dan 21% mengalami perampokan sejak ditandatanganinya Nota Kesepahaman. Walau dengan berhentinya konflik formal, rasa ketidakamanan yang berkelanjutan tetap merupakan suatu tantangan menuju pemulihan para individu maupun masyarakat.
5. Gejala psikologis pada kelompok penduduk ini luar biasa tinggi, setara dengan penduduk paska-konflik seperti di Bosnia dan Afghanistan. Studi ini mengunakan daftar gejala (symptom checklist), yang diterjemahkan dan diadaptasi khusus untuk warga Aceh dalam mengungkapkan gejala, dan prosedur standar untuk mengestimasi orang yang memenuhi
Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara/ September 2006
kriteria untuk sebuah diagnosa klinis. Protokol yang diterima secara internasional untuk menentukan apakah seseorang mengalami depresi berat, gangguan kecemasan, atau Gejala Stres Paska Trauma mengindikasikan bahwa 65% dari keseluruhan sampel menduduki peringkat tinggi pada skala gejala depresi, 69% pada skala gejala kecemasan, dan 34% pada skala gejala PTSD. Dengan menggunakan tingkat pengukuran gejala yang sangat tinggi untuk mengidentifikasi kasus-kasus yang paling parah, ditemukan 18% dari sampel memenuhi kriteria mengidap depresi pada tingkat sangat tinggi dan 10% mengidap PTSD pada tingkat yang sangat tinggi. Adalah jelas bahwa kebutuhan agar layanan kesehatan mental menangani konsekuensi kesehatan mental dari konflik ini adalah sangat tinggi pada kelompok penduduk tersebut. Perlu dicatat bahwa banyak responden menderita efek trauma kompleks bertahun-tahun mengalami peristiwa kekerasan dan ketidakamanan secara berulang-ulang, berhentinya episode trauma, dan kemudian kembali ke situasi aman dan stabil. Trauma merujuk pada pengalaman dari individu maupun masyarakat, dan respons kesehatan mental yang efektif akan membutuhkan penanganan klinis bagi individu maupun intervensi psikososial bagi masyarakat.
6. Odds analysis mengindikasikan adanya faktor-faktor yang terkait dengan kemungkinan yang lebih besar untuk mengidap depresi dan penyakit yang berhubungan dengan trauma, disamping kelompok-kelompok dengan resiko tinggi. Pertama, terdapat hubungan yang langsung dan sangat signifikan antara jumlah peristiwa traumatik yang dialami dengan depresi maupun PTSD. Tingginya jumlah pengalaman peristiwa konflik yang dilaporkan meningkatkan kemungkinan bahwa orang tersebut akan mengalami gejala depresi dan PTSD yang sedang maupun sangat tinggi. Kedua, semua kelompok di Bireuen dan Aceh Utara memiliki kemungkinan lebih tinggi untuk mengalami gejala-gejala tersebut dibanding dengan yang di Pidie. Wanita memiliki kemungkinan yang sedikit lebih tinggi dibanding pria, walau jauh lebih rendah dibanding sebagian besar studi yang dilakukan terhadap populasi normal. Ketiga, dengan meneliti secara seksama berdasarkan gender, umur dan kabupaten, maka dapat diidentifikasikan beberapa kelompok dengan tingkat depresi dan PTSD yang sangat tinggi. Kelompok yang paling muda (17-29) dan yang paling tua (54 dan lebih) dari para pria dan wanita memiliki resiko yang paling tinggi. Sebagai contoh, 48% pria muda melaporkan gejala depresi berat yang sangat tinggi; 24% pria muda, 25% pria-pria yang paling tua, dan 33% dari wanita-wanita yang paling tua melaporkan tingkat gejala PTSD yang sangat tinggi. 7. Tingkat trauma terhadap kepala dan potensi kerusakan otak, yang diakibatkan penganiayaan, pencekikan, penenggelaman, dan bentuk penyiksaan atau kekerasan lainnya, adalah luar biasa tinggi dan membutuhkan intervensi klinis dan penelitian lebih lanjut. Para pria, khususnya yang berusia muda, di Bireuen dan Aceh Utara merupakan perseorangan yang beresiko paling tinggi. Cukup menakjubkan, 67% pria muda di Aceh Utara dan 68% di Bireuen melaporkan telah mengalami trauma di kepala. Temuan-temuan ini mengindikasikan sebuah bidang kritis untuk intervensi. 8. Evakuasi secara paksa maupun sukarela merupakan kejadian yang sering terjadi di daerah-daerah konflik. 38% dari responden mengatakan bahwa mereka terpaksa melarikan diri dari bangunan terbakar dan hampir setengah dari sampel (47%) mengatakan mereka terpaksa melarikan diri dari keadaan bahaya pada suatu waktu selama konflik. Data kualitatif mendukung angka-angka tersebut dengan sangat baik. Para responden dalam sampel ini sebagian besar melaporkan pengungsian secara lokal dan sementara, umumnya terbatas di dalam kabupaten mereka, dan seringkali dalam kecamatan yang sama. Evakuasi biasanya merupakan peristiwa kolektif, satu desa secara bersama-sama meninggalkan tanah mereka, dan pindah ke fasilitas milik pemerintah di tingkat kecamatan maupun kabupaten. Masyarakat desa pada umumnya akan tetap mengungsi selama beberapa minggu hingga beberapa tahun, dan pulang hanya setelah diberikan izin atau setelah perjanjian perdamaian. Para kelompok yang pulang menemukan rumah dan harta mereka seperti ternak, sawah, taman, perkebunan dan peralatan entah dibakar habis atau dijarah habis-habisan. Kami harus memulai kembali dari nol, merupakan ungkapan yang sederhana namun akurat yang sering diucapkan kepada tiap pewawancara dalam melakukan penelitian ini. 9. Walau dengan adanya sejarah trauma dan gejala tinggi yang diakibatkannya, masyarakat dan sebagian besar individu yang ada di dalamnya tetap kuat dan bertekad tinggi. Mereka melaporkan telah menanggulangi pengalaman traumatik mereka dengan berdoa dan berkonsultasi pada ahli agama, dengan mencari perawatan medis umum, dan dengan berbicara pada teman atau anggota keluarga dan dengan berusaha melupakan apa yang telah terjadi. Hampir tidak ada yang
Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara/ September 2006
berkonsultasi dengan konsultan kesehatan mental guna menangani masalah mereka. Para responden sangat bersyukur dengan berakhirnya kekerasan, dan sebagian besar dari mereka berusaha keras untuk membangun kembali masyarakat mereka yang rusak parah dan terus melanjutkan hidup mereka. 10. Masih terdapat rasa ketidakpercayaan yang signifikan terhadap fasilitas kesehatan umum, khususnya di Bireuen dan Aceh Utara, yang merupakan suatu halangan dalam menyediakan perawatan kesehatan melalui sistem kesehatan umum. Sebagai contoh, hanya 35% responden di Bireuen dan 36% di Aceh Utara yang mengatakan bahwa mereka akan menerima bantuan kesehatan mental yang diberikan melalui klinik pemerintah, dibanding dengan 74% di Pidie. Dalam beberapa kasus, puskesmas diduduki oleh kelompok-kelompok kombatan selama konflik. Juga terdapat keterbatasan pengetahuan bahwa beberapa klinik kesehatan masyarakat telah mengembangkan kemampuan baru di bidang kesehatan mental, dan hanya sedikit yang mengetahui mengenai juru-juru rawat kesehatan mental masyarakat (yang telah dilatih sebagai bagian dari upaya yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan RI, dengan dukungan WHO dan Asian Development Bank). Beberapa kegiatan kunjungan khusus akan diperlukan guna menyentuh sejumlah banyak komunitas yang terisolir yang mengalami paling banyak trauma selama konflik dan untuk menghubungkan komunitas-komunitas tersebut dengan para pekerja kesehatan mental yang baru dilatih di dalam sistem pelayanan kesehatan.
reKoMenDasi
1. Pengalaman bersama tim medis keliling IOM, didukung oleh hibah dari pemerintah Kanada, mengindikasikan kemauan tinggi untuk menggunakan layanan kesehatan mental yang disediakan oleh tim-tim medis spesialis keliling. Terdapat peluang besar untuk mengembangkan tim kesehatan mental keliling di tingkat kabupaten, dengan didasarkan pendekatan tim medis keliling yang diprakarsai oleh IOM. Tim-tim seperti itu akan memberikan layanan kesehatan mental secara langsung, pendidikan keluarga dan mendukung pemahaman dan penanganan penyakit jiwa, disamping perawatan medis mendasar, dan akan memberikan kontribusi besar dalam menjembatani jarak antara penduduk dengan para perawat kesehatan mental masyarakat yang bekerja di dalam sistem pelayanan kesehatan umum pokok. 2. Hampir setengah dari keseluruhan sampel melaporkan telah dipaksa untuk melarikan diri dari keadaan bahaya pada suatu waktu selama konflik. Para penduduk yang pulang memiliki kebutuhan-kebutuhan khusus dalam membangun kembali kehidupan mereka yang hancur selama masa penciptaan perdamaian dan reintegrasi di Aceh dan harus dipandang sebagai Pengungsi Internal dan oleh karena itu merupakan target inti dari layanan bantuan IOM. Perlu dicatat bahwa sampel yang digunakan tidak termasuk responden yang masih mengungsi sebagai akibat konflik, sehingga persentase aktual dari pengungsi dari bekas daerah konflik kemungkinan adalah lebih tinggi dibanding daripada yang disebutkan dalam laporan ini. 3. Masyarakat internasional perlu menyadari mendesaknya kebutuhan untuk memberikan layanan kesehatan mental kepada masyarakat yang paling terkena dampak konflik. Mengembangkan layanan kesehatan mental membawa resiko tersendiri. Berbicara mengenai pengalaman kekerasan di masa lalu dapat dianggap ancaman politik terhadap beberapa pihak di dalam konflik, dan akan membutuhkan dukungan dari pihak-pihak yang menduduki posisi tinggi dalam lembagalembaga tersebut. Namun demikian, penyelesaian atas kekerasan yang telah terjadi bertahun-tahun akan membutuhkan upaya psikososial dan kesehatan mental yang terpadu, disamping bantuan ekonomi, dalam rangka menangani trauma individu maupun komunitas dan untuk mendukung serangkaian upaya untuk membangun kembali komunitas-komunitas tersebut. 4. Menangani kesehatan mental dan masalah psikososial yang terkait dengan trauma kompleks dalam daerah-daerah yang terisolir dengan akses terbatas terhadap pelayanan kesehatan mental adalah sangat menantang. Perlu disadari secara jelas bahwa tidak ada satu modalitas tunggal yang pasti efektif dan berkesinambungan. Melainkan, sebuah komitmen perlu diciptakan terhadap pengembangan program terapi inovatif di daerah-daerah terseleksi, terhadap pendokumentasian masing-masing program, dan terhadap pengevaluasian yang seksama atas keefektifan pendekatan-pendekatan terapautik.
Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara/ September 2006
Bencana alam dan besarnya kehancuran kemanusiaan yang disebabkan oleh tsunami memperbaharui tekad politik di pihak Pemerintah RI maupun masyarakat internasional, khususnya Masyarakat Eropa, untuk mencari penyelesaian atas konflik antara GAM dan angkatan bersenjata dan polisi Republik Indonesia.1 Pada tanggal 15 Agustus 2005, sebuah Nota Kesepahaman untuk menciptakan Demobilisasi, Demiliterisasi dan Reintegrasi (DDR) ditandatangani oleh GAM dan Pemerintah RI. International Organization for Migration (IOM) diberi tanggung jawab oleh Pemerintah RI untuk membantu proses DDR sesuai dengan ketentuan perjanjian perdamaian. Kepakaran IOM di bidang paska-konflik telah dikenal dibanyak negara termasuk diantaranya Timor Timur, Kamboja, Afghanistan, dan Kosovo. Kegiatan dalam program DDR yang sering difasilitasi oleh IOM meliputi pendaftaran mantan kombatan dan tahanan politik, transportasi ke komunitas asal, proyek manfaat perdamaian berdampak cepat bagi masyarakat penerima, rekonstruksi layanan kesehatan di daerah bekas konflik, serta intervensi kesehatan darurat bagi korban konflik dan mantan kombatan. Khusus di Aceh, IOM telah mendirikan sepuluh kantor Informasi, Konseling dan Rujukan (ICRS) di berbagai kabupaten/kota di Aceh guna memfasilitasi kebutuhan reintegrasi para mantan tahanan dan kombatan GAM. Para klien ICRS menerima bantuan dana untuk biaya pulang, layanan kesehatan dan fasilitasi rujukan kesehatan, disertai dengan pelatihan kerja dan dukungan mata pencaharian lainnya. Staff ICRS juga memfasilitasi proyekproyek manfaat perdamaian yang dimotori sendiri oleh masyarakat di beberapa desa yang menerima banyak kepulangan mantan tahanan politik dan kombatan dan/atau telah mengalami kegiatan konflik yang tinggi. Sebagai bagian dari program bantuan medis dan psikososial bagi manusia dan masyarakat yang terkena dampak konflik, IOM mengusulkan untuk melaksanakan penelitian kebutuhan psikososial di tiga kabupaten di timur laut Aceh yang telah sangat terkena pengaruh konflik. Tujuan dasar dari penelitian kebutuhan yang diusulkan tersebut adalah untuk mengevaluasi kebutuhan psikososial dan kesehatan mental di komunitas-komunitas yang terkena dampak konflik, memberikan data empiris
Perundingan perdamaian terakhir sebelum terjadinya tsunami dilakukan dengan mediasi oleh Henry Dunant Center for Humanitarian Dialogue yang bermarkas di Jenewa. Perundingan-perundingan tersebut gagal pada bulan Mei 2003.
Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara/ September 2006
yang dapat berfungsi sebagai dasar untuk mengembangkan layanan dalam rangka mendukung berbagai upaya pemulihan yang dilakukan oleh komunitas-komunitas tersebut selama masa-masa mengikuti proses berhentinya kekerasan. Secara khusus, IOM mengusulkan untuk mengetahui tingkat pengalaman traumatik yang terkait dengan konflik yang dialami oleh anggota komunitas tersebut, untuk menilai tingkat permasalahan psikososial dan kesehatan mental dan mengidentifikasi subkelompok berisiko tinggi diantara penduduk, untuk menetapkan prioritas layanan kesehatan mental dan psikososial bagi para anggota komunitas, untuk mengidentifikasi pola tekad dan sumber daya yang dimiliki oleh masyarakat dan para anggotanya dalam mengelola permasalahan kesehatan mental, dan untuk menilai mendesaknya kebutuhan akan bentuk-bentuk tertentu layanan kesehatan mental di daerah-daerah yang terkena dampak kekerasan selama bertahun-tahun. Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Internasional Kanada sepakat untuk mendukung usulan Penelitian Kebutuhan Psikososial tersebut. Rancangan studi dan pelaksanaannya dilakukan antara bulaan Desember 2005 sampai dengan Februari 2006. Tiga kabupaten daerah studi yang terletak di pantai timur laut propinsi Aceh Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara secara geografis saling berhubungan dari barat ke timur. Dampak tsunami di ketiga kabupaten ini tidak separah yang terjadi di sepanjang pesisir barat propinsi Aceh dan di ibu kota propinsi Banda Aceh.2 Namun demikian, secara bersamaan ketiga kabupaten tersebut merupakan daerah di Aceh yang memiliki sejarah konflik terpanjang dan paling intensif sejak akhir tahun 1970an. Ketidakamanan yang disebabkan oleh konflik di kabupaten-kabupaten tersebut seringkali sangat tinggi, menghambat kegiatan sehari-hari, mulai dari sekolah, pertanian, pencarian layanan kesehatan, aktivitas pasar, hingga perjalanan dari kota ke kota dan dari desa ke desa. Peristiwa yang melibatkan kekerasan, serangan terhadap pribadi, pelecehan, pemerasan, dan pembunuhan merupakan pengalaman yang sering dialami oleh kebanyakan penduduk di Aceh, terutama di ketiga daerah ini. Inilah sebabnya, Nota Kesepahaman yang berhasil ditandatangani pada bulan Agustus 2005 antara Pemerintah RI dan pimpinan GAM guna menyelesaikan konflik disambut dengan suka cita dan harapan oleh banyak warga Aceh. Nota Kesepahaman dan masa perdamaian yang tercipta setelahnya, jelas memberi peluang untuk membangun kembali komunitas, pemulihan trauma dan layanan kesehatan mental bagi mereka yang selama ini telah mengalami dampak dari trauma kompleks yang telah berlangsung bertahun-tahun.
Jumlah pengungsi tsunami di Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara (termasuk kota Lhokseumawe) pada saat dilakukannya penelitian lapangan tersebut adalah 19.906 (4,2% penduduk Pidie), 10.032 (2,9%), dan 11.171 (1,8%) respectively..
Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara/ September 2006
rancangan Penelitian
Penelitian ini menetapkan sembilan tujuan: 1. Untuk memahami bagaimana komunitas-komunitas tertentu di Aceh telah dipengaruhi oleh konflik.
Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara/ September 2006
2. Untuk memahami sifat trauma yang diderita oleh masyarakat secara umum dan oleh kelompok-kelompok sosial tertentu. 3. Untuk memahami permasalahan sosial dan psikologis yang disebabkan oleh konflik. 4. Untuk mengamati dan mendokumentasikan cara para anggota masyarakat berbicara mengenai konflik dan proses demiliterisasi dan reintegrasi yang sedang berlangsung. 5. Untuk mengidentifikasi permasalahan psikososial dan kesehatan mental yang paling penting di ketiga kabupaten yang dipilih, yang disebabkan oleh konflik dan, dalam beberapa kasus, oleh tsunami. 6. Untuk menentukan prioritas para anggota dan tokoh masyarakat mengenai permasalahan psikososial dan kesehatan mental yang dipandang membutuhkan penanganan secara langsung. 7. Untuk menentukan kelompok-kelompok berisiko khusus yang mengalami kesehatan mental dan pengalaman trauma yang menimbulkan stres (stresor trauma experiences), dan untuk meneliti kebutuhan akan penyediaan layanan kesehatan mental yang memiliki dasar di dalam masyarakat. 8. Untuk mengidentifikasi dan membandingkan tingkat masalah mental dari stresor trauma experiences, depresi dan PTSD, pada penduduk yang memiliki resiko tinggi. 9. Untuk mengidentifikasi sumber daya di dalam masyarakat yang mungkin berguna untuk disertakan dalam mengembangkan intervensi psikososial khusus. Rancangan penelitian tersebut meliputi dua komponen: wawancara informan kunci dan survei formal terhadap orang dewasa berusia 17 tahun ke atas yang dipilih secara acak. Wawancara kualitatif terhadap informan kunci dirancang untuk menilik konteks historis dari konflik, bagaimana konflik tersebut mempengaruhi komunitas dengan berjalannya waktu, dan apakah beberapa segmen penduduk tertentu lebih rentan daripada segmen lainnya. Para tokoh masyarakat diminta untuk mendiskusikan prioritas untuk layanan psikososial dan kesehatan mental untuk komunitas mereka, dan pandangan mereka mengenai cara-cara terbaik untuk menangani dampak dari konflik. Wawancara survei formal dirancang untuk mengukur pengalaman peristiwa traumatik yang terkait dengan konflik, untuk menilai pengalaman peristiwa-peristiwa penyebab stres, dan untuk mengidentifikasi tingkat distres psikososial yang ada saat ini yang terkait dengan pengalaman-pengalaman tersebut. Survei ini mengkombinasikan pertanyaan terbuka yang dirancang untuk penduduk Aceh yang telah mengalami konflik selama berpuluh-puluh tahun dan bencana tsunami, serta skala tervalidasi yang telah banyak digunakan yang memungkinkan perbandingan dengan penelitian-penelitian lain di masa lampau terhadap kebutuhan psikososial dari penduduk konflik dan paska-konflik. Wawancara dimulai dengan pertanyaan-pertanyaan demografi dasar yang diikuti oleh pertanyaan-pertanyaan terbuka. Para responden ditanya apakah mereka terkena pengaruh tsunami, apakah konflik mempengaruhi kehidupan mereka dan kehidupan keluarga mereka, dan apakah ada anggota keluarga, termasuk responden sendiri, yang telah menjadi korban konflik. Pertanyaan-pertanyaan terbuka tersebut diikuti oleh pengukuran-pengukuran kuantitatif dengan megunakan Skala Peristiwa Trauma yang telah tervalidasi dari Harvard dan yang diadaptasi khusus untuk menggambarkan bentuk umum trauma yang dialami masyarakat yang sedang disurvei. Skala tersebut meliputi sebuah daftar pertanyaan ya/tidak (checklist) dari peristiwaperistiwa traumatik yang dialami selama konflik dan sebuah daftar pertanyaan ya/tidak mengenai pengalaman stres serta peristiwa traumatik selama masa paska-konflik. Tingkat distres emosional dan psikologis diteliti dengan sebuah pertanyaan penilaian diri secara umum. Pertanyaan-pertanyaan dasar tersebut diikuti oleh versi 25 butir dari Daftar Pertanyaan Hopkins Tentang Gejala Depresi dan Kecemasan, sebuah skala yang banyak digunakan dalam penelitian distres emosional pada situasi bencana dan masyarakat yang terkena trauma. Kuesioner Trauma Harvard (HTQ) yang terdiri dari 42 butir merupakan pengukuran luas yang meliputi sebuah inti yang terdiri dari 16 butir yang digunakan untuk menilai Gangguan Stres Paska Trauma (PTSD). Disamping itu, butir-butir pertanyaan yang dirancang untuk merekam wacana-wacana populer mengenai berbagai pengalaman yang mengganggu paska-tsunami maupun paska-konflik diintegrasikan ke dalam pengukuran kuantitatif agar responden dapat menceritakan pengalaman mimpi buruk, hantu, arwah, dan terdengarnya suara-suara orang yang telah meninggal.
10
Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara/ September 2006
Sebuah pengukuran yang terdiri dari empat butir pertanyaan dimasukkan dari Kuesioner Trauma Harvard guna menilai adanya dan kerasnya peristiwa-peristiwa yang berkemungkinan mengakibatkan trauma atau kerusakan otak, termasuk pemukulan di daerah kepala, pencekikan, penenggelaman, dan luka fisik lainnya. Survei tersebut diakhiri dengan pertanyaan-pertanyaan tertutup maupun terbuka mengenai persepsi responden terhadap layanan kesehatan mental masyarakat yang paling diperlukan, opini mereka mengenai kelompok mana yang menderita trauma paling berat sebagai akibat konflik atau yang paling berisiko mengidap gangguan kesehatan mental, penilaian mengenai siapa yang memberi pelayanan dan kepada siapa masyarakat dapat berpaling untuk berusaha pulih dari pengalaman-pengalaman buruk yang masih tersisa dari konflik, perasaan mereka terhadap layanan-layanan kesehatan umum, dan komentar serta saran mengenai proses perdamaian paska-konflik dan pembangunan kembali masyarakat. Survei ini dirancang untuk memfasilitasi perbandingan dengan penelitian lainnya terhadap populasi yang terkena dampak konflik dengan tujuan memetik pelajaran mengenai intervensi kesehatan mental yang berguna dari kasus-kasus sebelumnya. Sebagian besar pertanyaan dalam survei dibuat dalam bentuk pertanyaan terbuka guna memungkinkan kekhasan peristiwa di Aceh untuk menentukan interpretasi dan makna dari analisa komparatif serta pelajaran. Secara keseluruhan, wawancara informan kunci dan survei difokuskan pada permasalahan mental dan psikososial yang berkaitan dengan pengalaman konflik di masa lalu. Sebagai sebuah instrumen penelitian kesehatan, pertanyaan yang diajukan tidak menanyakan mengenai kelompok atau individu yang mungkin bertanggung jawab atas kekerasan terhadap masyarakat Aceh. Melainkan, riset ini mengaitkan pengalaman traumatik dengan kebutuhan kesehatan saat ini. Oleh karena itu, hasil dari studi in tidak memenuhi kriteria spesifik yang biasa disyaratkan untuk penyelidikan hak azasi manusia. Melainkan, hasil dari studi ini berguna untuk memberi informasi bagi pengembangan layanan kesehatan mental dan psikososial di dalam masyarakat Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara yang terkena dampak konflik.
Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara/ September 2006
11
subyek wawancara termasuk sebuah daftar organisasi yang dapat membantu dalam menangani permasalahan psikososial. Masing-masing kuesioner diberi kode nomor sehingga tidak meninggalkan tanda pengenal pribadi guna memastikan kerahasiaan responden. Para peneliti mengikuti protokol perizinan standar yang telah disetujui oleh Dewan Penilai Internal pada Fakultas Seni dan Ilmu Universitas Harvard. Wawancara yang dilakukan oleh para ketua tim terhadap informan-informan kunci lebih bersifat informal. Setelah persetujuan diperoleh, para ketua tim mengadakan percakapan, biasanya di dalam meunasah pusat kegiatan warga yang umumnya digunakan oleh anggota masyarakat pria, namun juga wanita ketika menerima tim peneliti dari luar. Para ketua tim melakukan wawancara terhadap 75 informan kunci, 67 diantaranya pria dan delapan lainnya wanita. Diantara ke 75 informan tersebut terdapat kepala desa, tokoh agama, anggota GAM, tokoh wanita dan pemuda, purnawirawan TNI, dan tetua desa. Catatan lapangan untuk tiap wawancara dibuat setiap hari oleh para ketua tim. Topik yang dibicarakan meliputi sejarah konflik, pemahaman penduduk setempat mengenai penyakit jiwa, cerita penyakit jiwa di dalam masyarakat mereka yang berkaitan dengan konflik, sumber daya serta prioritas lokal dalam penanganan penyakit jiwa, dan pendapat mengenai proses perdamaian. Disamping wawancara yang dilakukan oleh para ketua tim tersebut, wawancara informan kunci tambahan dilakukan oleh tim dari Harvard dan USK, koordinator IOM dan asisten teknis IOM. Koordinator IOM mewawancarai dokter, perawat, dan/atau bidan dari puskesmas terdekat dimana para tim peneliti sedang berkunjung dan juga pengobat tradisional. Tim dari Harvard dan USK menyelenggarakan diskusi kelompok di beberapa kelompok masyarakat, khususnya dengan para wanita, dan bersamasama dengan koordinator IOM melaksanakan diskusi focus group dengan sebuah kelompok pria yang heterogen yang berasal dari GAM termasuk pimpinan, mantan kombatan, mantan tahanan politik, dan warga sipil.
12
Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara/ September 2006
DeMografi resPonDen
resPonDen Kuesioner
Tim mewawancarai 596 orang dewasa berusia 17 tahun ke atas yang terpilih sebagai responden survei PNA. Para responden cukup tersebar berdasarkan umur, jenis kelamin, status perkawinan dan pendidikan, sehingga memvalidasi nilai pemilihan acak para anggota keluarga. Hanya sedikit pihak yang menolak untuk diwawancara.
Tabel 1.1 Demografi Peserta Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin, Tempat Tinggal, Usia
Jenis Kelamin Pria Wanita Kabupaten Pidie Bireuen Aceh Utara Usia 17-29 30-40 41-53 54-82
Tabel 1.2 Demografi Peserta Penelitian Berdasarkan Status Pernikahan, Pendidikan dan Rumah
% Pria (N=315) Status Pernikahan Belum menikah Sudah Menikah Cerai atau terpisah Janda/ duda Pendidikan Tidak pernah sekolah Pendidikan dasar (SD) SMP SMA D1/ D2/ D3/ akademi Pendidikan universita Tempat tinggal Tinggal di rumah sendiri Tinggal dengan teman atau saudara Tinggal di rumah yang ditelantarkan atau rusak milik orang lain Menyewa rumah Tinggal di barak atau tenda 20 77 2 2 6 48 23 20 2 2
% Wanita (N=281) 12 70 3 6 1 1 1 48 21 13 5 2 7 8 3 2 5 3
4 8 8 4 2 2
5 8 6 3 3 2
Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara/ September 2006
13
Tabel 1.1 dan 1.2 menggambarkan ciri khas demografi para responden. Mayoritas dari responden sudah menikah, berpendidikan setidaknya sekolah dasar, dan memiliki rumah sendiri yang ditempati. Hanya sedikit komunitas yang diteliti rusak akibat tsunami, dan karenanya hanya dua persen responden yang tinggal di barak yang disediakan untuk korban tsunami. Lebih dari setengah responden adalah pria (53%). Distribusi sampel berdasarkan umur dan jenis kelamin mengindikasikan keberhasilan pemilihan rumah secara acak. Ditemukan 25% responden berada di kelompok umur 17-79 tahun, 31% di kelompok umur 3040 tahun, 24% di kelompok umur 41-53 tahun, dan 20% di kelompok umur 54-82 tahun. Empatpuluh persen sampel (n=237) berasal dari kabupaten Pidie dan masing-masing sebanyak 30% berasal dari kabupaten Bireuen (n=179) dan Aceh Utara (n=180). Ketiga tim peneliti menghabiskan tujuh hingga sepuluh hari di lapangan mengumpulkan data. Analisa kuantitatif berikut ini disajikan berdasarkan dua variabel independen yang signifikan yakni jenis kelamin dan wilayah tempat tinggal. Variabel wilayah tempat tinggal yakni kabupaten dinilai sangat penting dalam memahami variabilitas regional peristiwa konflik traumatik. Responden dari kabupaten Pidie secara konsisten melaporkan mengalami peristiwa konflik, trauma pribadi serta distres psikologis pada tingkat lebih rendah; sedangkan responden darei kabupaten Bireuen dan Aceh Utara melaporkan pengalaman yang lebih tinggi berkaitan dengan konflik, trauma dan distres psikologis, walau jenisjenis trauma sedikit berbeda. Perbedaan antar kabupaten tersebut konsisten dalam sebagian besar aspek yang diteliti, namun perbedaan-perbedaan tersebut terlihat lebih nyata ketika permasalahan keamanan hidup yang ditanyakan. Ditemukannya perbedaan berdasarkan kabupaten tersebut cukup mengejutkan, mengingat kesan yang diperoleh oleh sebagian berar pengamat konflik selama ini bahwa kabupaten-kabupaten yang terletak di timur laut Aceh merupakan suatu kesatuan daerah yang berkesinambungan dengan satu sejarah dan pengalaman yang sama selama konflik, dibanding dengan daerah-daerah lainnya di Aceh seperti kabupaten-kabupaten di dataran tinggi tengah atau pesisir pantai barat daya. Penyelidikan terhadap faktor-faktor lainnya seperti tingkat kepemimpinan setempat di dalam GAM dan TNI selama konflik disamping perekonomian lokal juga dapat membantu memahami perbedaan-perbedaan tersebut. Analisa berdasarkan gender mengindikasikan perbedaan yang cukup signifikan dalam pengalaman kekerasan dan peristiwa traumatik yang dialami pria dan wanita, disamping perbedaan-perbedaan tingkat depresi berdasarkan gender. Dalam beberapa aspek analisa juga disajikan menurut usia, tidak hanya karena usia memprediksi risiko beberapa bentuk penyakit jiwa, tetapi juga karena usia dan gender secara bersama-sama terkait dengan pengalaman peristiwa traumatik tertentu sebagai bagian dari konflik.
inforMan-inforMan Kunci
Tabel 1.3 dan 1.4 menunjukkan profil dari informan kunci yang diwawancarai oleh ketua tim peneliti di masing-masing kabupaten. Para ketua tim umumnya mewawancarai dua atau tiga tokoh masyarakat di masing-masing desa yang mereka kunjungi. Distribusi usia bersifat representatif, mengingat pemimpin umumnya muncul setidaknya setelah berumur tiga puluh tahun. Kesenjangan jenis kelamin dari informan kunci merupakan suatu kenyataan yang disayangkan yang merefleksikan tantangan yang dihadapi pewawancara pria dalam menemukan wanita pada suatu percakapan yang bersifat pribadi di dalam masyarakat Islam di pedesaan. Para ketua tim umumnya mewawancarai kepala desa, karena tata tertib bagi pendatang mengharuskan mereka melapor kepada kepala desa. Setelah bertemu dengan kepala desa, para ketua tim minta bertemu dengan para tokoh formal dan informal di desa tersebut yang dapat menceritakan pengalaman yang dialami masyarakat selama konflik dan dapat berbicara mengenai permasalahan yang menyangkut kesehatan mental dan psikososial. Para tetua desa, tokoh agama dan sekretaris desa merupakan informan kunci yang paling sering diwawancarai setelah kepala desa, disamping para tokoh wanita serta anggota GAM.
14
Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara/ September 2006
Tabel 1.3 Demografi Informan Kunci Berdasarkan Gender, Tempat Tinggal, Usia
% Total Sampel (N=75) Jenis kelamin Pria Wanita Kabupaten Pidie Bireuen Aceh Utara Usia 17-29 30-40 41-53 54-82 89 11 43 32 25 7 27 31 35
Tabel 1.4 Demografi Informan Kunci Berdasarkan Status Pernikahan, Pendidikan dan Jabatan Dalam Masyarakat
% Pria (N=67) Status Pernikahan Tidak pernah menikah Sudah menikah Cerai atau terpisah Janda/ duda Pendidikan Tidak sekolah Pendidikan dasar (SD) SMP SMA Diploma (D1) Universitas Jabatan dalam Masyarakat Kepala desa Tokoh agama Sekretaris desa Anggota GAM Tetua desa Tokoh wanita Tokoh pemuda Tokoh masyarakat lainnya Perwira TNI (purnawirawan) 6 92.5 0 1.5 0 26 26 36 9 3
Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara/ September 2006
15
Peristiwa trauMatiK
Peristiwa trauMatiK selaMa KonfliK
Temuan pertama dan yang paling berkesan dalam survei ini adalah para warga di ketiga kabupaten yang diteliti mengalami peristiwa traumatik dengan tingkat yang cukup tinggi. Beberapa contoh mengilustrasikan efek besar yang diciptakan oleh konflik terhadap penduduk sipil di daerah ini antara lain: 78% sampel melaporkan telah mengalami pengalaman perang. 38% melarikan diri dari rumah yang terbakar di komunitas mereka, dan 47% melarikan diri dari situasi bahaya. Delapan persen wanita mengalami suami yang terbunuh dalam konflik, dan 5% dari seluruh responden memiliki anak yang tewas di dalam konflik. Empat puluh satu persen sampel mempunyai anggota keluarga atau teman yang terbunuh, dan 33% melaporkan memiliki anggota keluarga atau teman yang diculik atau hilang. Empat puluh lima persen responden melaporkan harta kekayaan mereka disita atau dimusnahkan, sedangkan 33% mengalami pemerasan atau perampasan. Banyak responden mengalami pelecehan atau serangan terhadap hak-hak asasi kemanusiaan mereka. 17% responden dilecehkan di depan umum, 8% dipaksa untuk melecehkan orang lain, 7% dipaksa untuk mengkhianati keluarga atau teman, serta 6% dipaksa untuk menyakiti dan menciderai anggota keluarga. Sebagian lainnya dipaksa untuk berperang (22%) mengurus kombatan (27%), dan dipaksa untuk mencari anggota komunitas mereka di hutan (35%). Pengalaman pelecehan tersebut lebih sering dialami oleh pria dibanding wanita, kecuali untuk hal dipaksa memberi makan atau tempat tinggal. Kabupaten Pidie adalah daerah yang memiliki persentase terkecil untuk semua praktek-praktek tersebut. Tabel 2 pada empat halaman di bawah ini digambarkan perbedaan tingkat pengalaman traumatik di masa lalu yang terkait dengan konflik, yang dirinci menurut gender dan daerah. Tabel 2 Peristiwa Trauma Masa Lalu yang Dialami, berdasarkan Gender dan Kabupaten % Pria (N=315) Mengalami perang (pemboman, kontak senjata) Terpaksa melarikan diri dari rumah yang terbakar Terpaksa melarikan diri dari bahaya Terpaksa bersembunyi Pemukulan badan Diserang dengan pisau atau senjata api Disiksa Luka fisik serious akibat perang Menyaksikan hukuman fisik Dilecehkan atau dipermalukan di depan umum Perkosaan Dipaksa untuk memperkosa anggota keluarga Serangan seksual lainnya Pasangan terbunuh Pasangan hilang, diculik Anak terbunuh Anak hilang, diculik Anggota keluarga atau teman terbunuh 83 43 52 20 56 36 25 19 61 22 % Wanita (N=281) 73 33 42 12 20 14 11 6 45 11 % Pidie (N=237) 66 30 42 4 20 14 7 6 37 4 % Bireuen % Aceh Utara % Total Sampel (N=237) (N=237) (N=596) 85 59 61 25 49 32 25 17 68 26 87 28 40 24 53 35 25 17 62 25 78 38 47 16 39 26 18 13 54 17
1 1 3
1 0 4
0 0 0
1 0 5
2 1 6
2 2 5 2 49
8 3 5 4 31
3 1 4 1 21
3 5 4 1 66
8 3 9 7 40
1 0.2 3 5 3 5 3 41
16
Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara/ September 2006
Anggota keluarga atau teman hilang Diculik Ditangkap, ditahan oleh TNI/POLRI atau GAM Dipenjara Dipisah secara paksa dari keluarga Isolasi paksa Penyitaan, pemusnahan harta benda Pemerasan, perampasan Kerja paksa Dipaksa memberi makan, perumahan kepada TNI atau GAM Dipaksa melawan TNI atau GAM Dihukum karena tidak melawan TNI atau GAM Dipaksa mencari jenazah Tidak diizinkan mengubur secara Islam Dipaksa melukai anggota keluarga Dipaksa melukai bukan anggota keluarga Dipaksa memusnahkan harta orang lain Dipaksa mengkhianati /membahayakan anggota keluarga Dipaksa mengkhianati /membahayakan bukan anggota keluarga Seseorang dipaksa untuk mengkhianati /membahayakan Anda Dipaksa melecehkan orang lain Dipaksa mencari anggota keluarga di hutan Tidak memiliki tempat tinggal akibat konflik Kekurangan makanan, minuman akibat konflik Sakit, tidak ada akses terhadap pelayanan kesehatan
36 8 19 4 11 10 49 36 44 29
30 2 5 2 7 4 40 28 11 25
12 1 4 1 1 1 25 16 21 13
52 5 14 3 14 12 57 44 40 41
42 12 22 5 15 11 59 44 29 33
33 5 12 3 9 7 45 33 29 27
28 17 15 7 10 11 6 10 10 11 11 46 22 86 64
16 5 8 4 2 2 1 3 4 3
11 1 5 1 2 1 1 1 1 2
28 14 16 13 14 15 7 17 17 16 16 55 34 96
33 23 17 4 3 6 2 4 4 5
22 11 12 5 6 7 3 7 7 7
5 24 25 77 55
2 18 14 71 33
8 39 26 83 73
8 35 24 82 60
82
Tabel di atas memberikan bukti nyata mengenai besarnya penderitaan dan teror yang dialami masyarakat. Dari kisah yang diceritakan dalam menjawab pertanyaan terbuka pada waktu survei maupun wawancara informan kunci, ditemukan bukti bahwa kualitas emosional dan testimonial yang dialami masyarakat tidak dapat terukur oleh angka. Dari data kualitatif terungkap fakta bahwa banyak pria maupun wanita yang diinterogasi secara brutal, diintimidasi, dipaksa memberikan informasi yang tidak mereka ketahui, serta dipukul (atau hal lain yang lebih buruk) kalau tidak menjawab. Beberapa contoh lain yang dialami adalah pencekikan dengan kantong plastik, pelecehan seksual di depan umum, penenggelaman di dalam septik tank dan saluran air kotor, serta dipaksa untuk melukai atau melecehkan teman dan orang-orang yang dicintai. Para wanita menceritakan bahwa mereka dipaksa melihat bersama anak-anak mereka sewaktu suami dan anak lelaki mereka dimutilasi dan dibunuh. Cerita mengenai kerja paksa atau dipaksa untuk menjadi pelindung seseorang adalah lazim terjadi. Disamping itu, banyak komunitas melaporkan sekolah dan bangunan umum ditempat tinggal mereka dibakar atau dihancurkan, atau telah diperas untuk uang. Kesemua ini menjadikan mereka kehilangan sumber daya komunitas. Semua pejabat komunitas dipaksa untuk memberikan informasi dan bertanggung jawab atas tindakan penduduk desa kepada kedua belah pihak, menciptakan perasaan terjebak di tengah-tengah dan keengganan untuk memimpin. (Lihat Pengalaman Tokoh Masyarakat)
Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara/ September 2006
17
trauMa genDer
Penganiayaan fisiK terhaDaP Pria, terMasuK luKa KePala
Ada orang yang dipukul sampai hilang ingatan orang dituakan di Bireuen Beberapa bentuk trauma jelas berkaitan dengan gender. Walau kekerasan fisik telah dialami secara luas baik oleh pria maupun wanita di segala usia, namun pria melaporkan kekerasan fisik yang dialami lebih banyak daripada wanita 56% pria melaporkan telah dipukuli (20%), 36% pria telah diserang dengan senjata api atau pisau (14% wanita), 25% pria telah disiksa (11% wanita), 19% pria telah ditangkap (5% wanita), dan 65% pria (45% wanita) telah dipaksa menyaksikan kekerasan fisik terhadap orang lain. Perbedaan berdasarkan daerah bersifat konsisten dengan angka-angka tersebut. Satu set pertanyaan spesifik, yang diambil dari Kuesioner Trauma Harvard dan yang disajikan dalam Tabel 3.1 di bawah, mengindikasikan bahwa pada umumnya pria menderita trauma di kepala yang dapat menyebabkan luka di otak atau anoxia (cidera akibat kurangnya oksigen). 36% pria melaporkan telah dipuli di bagian kepala, 19% telah mengalami pencekikan, 7% ditenggelamkan, serta 8% mengalami bentuk trauma kepala lainnya. Ketika diuraikan berdasarkan gender dan usia, ditemukan 48% pria berusia 17 dan 29 telah dipukuli di kepala.
Tabel 3.1 Trauma Kepala / Cidera Otak Potensial Berdasarkan Jenis Kelamin dan Daerah % Pria (N=315) Dipukuli di kepala Pencekikan Penenggelaman Trauma kepala lainnya 36 19 7 9 % Wanita (N=281) 7 7 0.4 2 % Pidie (N=228) 8 7 2 0.5 % Bireuen % Aceh Utara % Total Sampel (N=180) (N=179) (N=596) 29 18 6 9 35 17 5 10 22 13 4 6
Seratus dua puluh empat responden yang diwawancara (103 pria dan 21 wanita) memberikan penjelasan kualitatif mengenai jenis luka kepala yang dialami, konteks dari peristiwa trauma fisik, perubahan perilaku yang terjadi serta kesehatan fisik setelah luka tersebut. Sebagian kecil responden mengalami luka kepala ketika ditahan dan dimintai keterangan, sedangkan sebagian besar lainnya mengalami luka kepala di tempat-tempat umum di tengah masyarakat seperti di rumah, di sawah, di taman, di warung kopi, serta khususnya ketika pergi dan pulang dari pasar. Alasan pemukulan seringkali adalah karena warga dituduh berbohong atau salah menjawab ketika diinterogasi. Sebagian besar responden melaporkan telah dipukul di kepala dengan bagian belakang senjata api atau kayu berat, namun luka kepala juga diakibatkan karena diinjak, disetrum, ditenggelamkan di sumur atau septik tank, diseret di jalanan, ditutup dengan plastik, atau dipukul di mata atau telinga. Banyak responden memperlihatkan kepada pewawancara bekas-bekas luka mereka, termasuk luka di leher dan tulang. Ada yang melaporkan hilang ingatan, kebingungan, kesulitan dalam berfikir, napas yang tersengal-sengal, rasa sakit serta sakit kepala yang berkepanjangan. Hanya sebagian kecil responden (signifikan) menyatakam bahwa gejala-gejala tersebut terjadi hanya beberapa minggu dan kemudian sembuh dengan sendirinya. Data ini menyimpulkan bahwa pemeriksaan neuropsikiatri klinis adalah sangat dibutuhkan guna menetapkan tingkat efek neurokognitif dari trauma organik spesifik yang diderita penduduk. Sebuah kasus klinis berikut ini menunjukkan pentingnya pemeriksaan klinis tersebut. Di awal bulan Desember 2005, staff medis IOM menyelidiki kasus seorang mantan tahanan, seorang klien ICRS yang baru saja dimasukkan lagi ke penjara karena menurut keterangan keluarga adalah orang gila. Lainnya mengatakan ia seorang kriminal, tertangkap basah mencuri dari tetangga di desanya dimana ia baru saja pulang. Setelah beberapa kali kunjungan ke penjara, staf medis IOM menemukan kisah ini berubah menjadi sebuah cerita yang lebih kompleks. Di penjara, pria muda tersebut tidak psikotik, namun ekpsresinya menerawang, tubuhnya tidak terawat, kulitnya penuh panu, serta sulit melakukan kontak mata dengan dokter yang memeriksanya. Ia mengaku telah mencuri sebuah sepeda motor dan karenanya ditangkap. Di desa tersebut, keluarga dan tetangganya mengatakan bahwa sejak diberi amnesti, ia memperlihatkan perilaku yang aneh yang meresahkan masyarakat. Ia mengambil barang-barang dan meletakkan di tempat lain; benda-benda kecil seperti kelapa dan ayam, dan benda-benda besar seperti sapi dan sepeda motor. Ia tidak pernah merahasiakan tindakannya, dan biasa tertangkap setiap kali melakukannya.
18
Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara/ September 2006
Ketika seseorang datang untuk menyampaikan berita bahwa ibunya telah meninggal di kabupaten lain di Aceh, ia memanjat sebuah pohon kelapa. Ketika dimarahi karena memanjat dan bukannya langsung berkemas untuk berpergian, ia bertanya kepada pembawa berita apakah ia juga akan membayar ongkos bus. Di malam hari, ia melepas kaosnya, menaruhnya di pundak, mengenakan tas ransel yang diberikan kepadanya saat dilepas dari penjara, dan berjalan-jalan di desa, bolak-balik, biasanya di belakang rumah penduduk, tanpa ada tujuan. Masyarakat menyadari bahwa ia telah berubah secara signifikan ketika di penjara. Sebelum penangkapan, ia merupakan orang yang pendiam namun termasuk anggota masyarakat desa yang berfungsi dengan baik. Sekarang, kata para tetangganya, ia menderita stres yang terjadi ketika di penjara dimana ia dipukuli secara parah setidaknya sekali waktu yang berakibat membengkaknya kepala. Para penduduk berusaha mengerti dan mentolerir perilakunya yang aneh dan mengesalkan tersebut, namun ketika salah satu penduduk desa menemukan sepeda motornya yang dicuri di belakang rumah tetangganya yang lain, kesabaran masyarakat habis dan kepala desa memintanya untuk ditahan. Dalam bagian lain laporan ini (Tabel 9.4 9.7), dijelaskan secara lebih rinci kalangan yang memiliki risiko khusus mengalami luka kepala yang dapat mengarah pada konsekuensi kesehatan mental jangka panjang, dan bagaimana trauma di kepala terkait dengan depresi dan PTSD.
KeKerasan seKsual
Peristiwa serangan seksual dan pemerkosaan, jarang dikemukakan oleh wanita maupun pria dan datanya dapat dilihat dalam Tabel 3.2. Ini mungkin karena adanya rasa malu dan stigma serta karena sebagian besar responden wanita diwawancarai oleh pria. Di lain sisi, wanita di desa yang berbicara dengan anggota wanita tim dari Harvard dan USK bercerita bagaimana mereka diinterogasi dengan menggunakan ular disodorkan di depan muka mereka, atau bagaimana taktik agresif kontak tubuh dan ancaman digunakan sebagai bagian dari interogasi oleh para kelompok kombatan. Walau pria melaporkan agresi fisik yang paling parah, para wanita juga tidak luput dari tindakan tersebut. Satu per lima responden wanita melaporkan telah dipukuli tubuhnya, 14% telah diserang dengan menggunakan pisau atau senjata api, 11% pernah disiksa, 6% menderita luka berat akibat perang, 7% mengalami pemukulan di kepala dan 7% mengalami pencekikan. Hanya 1% responden melaporkan pemerkosaan dan 4% menceritakan kekerasan seksual lainnya. Masa paska-konflik juga tidak luput dari terjadinya pelbagai peristiwa agresif dan penuh kekerasan. 24% wanita melaporkan penyerangan (36% pria); 4% wanita dan pria melaporkan kekerasan terhadap wanita; serta 7% wanita dan pria melaporkan kekerasan terhadap anak-anak. Tabel 3.2 Pemerkosaan & Serangan Seksual di Masa Lalu, Kekerasan Gender Saat Kini, & Penghancuran Rumah, Berdasarkan Jenis Kelamin dan Daerah % Pria (N=315) Pemerkosaan Berkaitan Dengan Masa Konflik Serangan Seksual & Pemerkosaan Keluarga Secara Paksa pada Masa Konflik Penyerangan Yang Terjadi Saat Kini Kekerasan Terhadap Wanita Saat Kini Kekerasan Terhadap Anak Saat Kini Pulang dan Menemukan Rumah Hancur Saat Kini Penghancuran/ Penyitaan Harta Pada Masa Konflik * (tidak hanya rumah) 1 4 36 4 7 24 49 % Wanita (N=281) 1 % Pidie (N=228) 0 % Bireuen % Aceh Utara % Total Sampel (N=180) (N=179) (N=596) 1 2 7 1
0 24 4 7 17 40
0 24 2 4 9 25
5 28 8 9 22 57
42 5 9 36 59
3.2 30 4 7 21 45
Di sebuah desa dengan konflik tinggi dan kekacauan perang telah menimbulkan situasi porak-poranda, para wanita sangat mengeluhkan penyerangan tidak hanya terhadap tubuh mereka namun juga terhadap rumah mereka. Wanita muda maupun tua menceritakan bagaimana suatu hari dua tahun yang lalu mereka dipaksa meninggalkan rumah mereka dan dikirim ke sebuah kantor pemerintah kabupaten. Sewaktu kembali, mereka menemukan rumah mereka hancur, atap seng penuh dengan lubang, perabotan rumah tangga dan harta pribadi mereka porak-poranda dan hancur atau dicuri tidak ada satu piringpun yang utuh, tidak satu piringpun, jerit seorang wanita usia awal 40-an ketika menceritakan dengan kesal peristiwa yang telah membawa trauma kepada banyak wanita di desa tersebut. Seorang wanita lain berusia 65 tahun, yang pernah suatu saat
Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara/ September 2006
19
memiliki uang yang cukup untuk naik Haji ke Mekkah, bertutur kami dipaksa untuk pergi hanya dengan baju yang kami pakai; ketika kami pulang hanya itulah yang kami miliki, hanya baju yang kami pakai. Semua yang ada di rumah hilang atau hancur. Seorang lainnya bercerita bagaimana sekelompok tentara masuk ke rumahnya untuk berteduh dan menghukum para wanita. Selama tiga malam mereka takut mendengar setan mereka menembakkan senapan ke atas rumah saya dan menghancurkannya, mereka menembak lubang-lubang di atap, sekarang bocor dan berkeping-keping, runtuh; mereka menembaki dinding, atau roboh ke dalam. Mereka menghancurkan semua barang saya, piring-piring dan barang-barang saya. Tidak ada yang tidak disentuh. Orang-orang muda tersebut menembaki bayang-bayang di malam hari, yakin mereka mendengar suara kombatan di hutan sekitarnya. Dalam sebuah diskusi focus group dengan para pimpinan GAM pria serta para anak buahnya, para pria menceritakan bahwa keluarga, isteri dan anak-anak mereka, mengalami trauma akibat konflik. Para wanita diinterogasi dan dikasari, barangbarangnya dicuri, atau uangnya dirampas. Wanita pada umumnya merupakan pemilik rumah keluarga di daerah Aceh, dan mereka mengelola sebagian besar kegiatan di sawah dan pasar. Penghancuran rumah tersebut mirip dengan sebuah pemerkosaan yang meninggalkan noda, pemerkosaan rumah para wanita, yang menimbulkan kemarahan yang intens yang tidak terbungkam atau terkena stigma, kemarahan dan frustasi karena ketidakadilan.
20
Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara/ September 2006
di Aceh selama bertahun-tahun sebelum konflik telah kembali ke pulau asal mereka; sebagian transmigran lainnya berlindung di daerah Sumatera Utara. Lebih lanjut, banyak pula warga Aceh pergi ke daerah lain di Indonesia untuk menyelamatkan diri, dan ada pula yang melintasi perbatasan pergi ke Malaysia, Eropa atau Amerika Serikat. Para responden umumnya melaporkan pengungsian yang bersifat lokal dan sementara, biasanya di dalam kabupatennya sendiri, dan seringkali dalam kecamatan yang sama. Kisah pengungsian internal selama konflik yang berlangsung di ketiga kabupaten ini umumnya dimulai dengan datangnya sekelompok bersenjata (dari kedua belah pihak) di desa diikuti dengan memberi peringatan kepada penduduk mengenai akan adanya kegiatan perang disertai dengan instruksi implisit untuk pergi, atau perintah yang lebih memaksa untuk pergi dari desa. Penduduk desa diberi tahu bahwa kelompok bersenjata tersebut tidak akan bertanggung jawab atas keselamatan mereka yang tinggal di desa. Evakuasi biasanya suatu peristiwa kolektif, seluruh masyarakat desa meninggalkan rumah mereka, dan pergi ke sebuah fasilitas pemerintah di tingkat kecamatan atau kabupaten. Para komunitas desa terkadang mengungsi hanya untuk beberapa minggu, dan pulang hanya setelah diizinkan, namun kemudian menemukan rumah dan sumber mata pencaharian mereka seperti hewan ternak, sawah, taman, perkebunan, dan peralatan rumah tangga hangus atau dijarah habis. Kami harus memulai dari nol, merupakan ungkapan sederhana namun akurat yang berulang kali diucapkan penduduk sewaktu melakukan penelitian ini. Banyak komunitas pengungsi memilih untuk tidak kembali ke kampung halaman mereka hingga konflik bertakhir, ada pula diantara mereka yang tinggal di barak selama 18 bulan atau lebih. Pada saat ini banyak komunitas pengungsi memutuskan untuk pulang setelah penandatanganan perjanjian perdamaian, namun mereka harus memulai dari nol suatu kenyataan , yang menampilkan adanya perasaan kerentanan. Para penduduk yang kembali kekampung halamannya memiliki berbagai kebutuhan tertentu dalam membangun kembali kehidupan mereka yang hancur, yang perlu diperhatikan selama masa pembangunan perdamaian dan pekerjaan reintegrasi di Aceh.
Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara/ September 2006
21
yang mendalam mengenai masalah mata pencaharian di ketiga kabupaten, bahkan juga di daerah-daerah yang disebut memiliki tingkat konflik rendah.
Tabel 4 Faktor-faktor Penyebab Stres dan Rasa Ketidakpastian Mengenai Kehidupan Sehari-hari Paska-Konflik Peristiwa Penyebab Stres Saat Ini (Paska Konflik) yang Dialami Kurangnya tempat tinggal yang layak Kurangnya fasilitas air dan sanitasi Kelaparan atau kekurangan makanan Kesulitan memenuhi kebutuhan keluarga Kesulitan memperoleh pekerjaan Sulit untuk memulai menjalani kehidupan Pulang ke rumah dan mendapati rumah dalam keadaan rusak Mengetahui kematian anggota keluarga atau teman Tidak tahu apa yang terjadi pada anggota keluarga/ teman Melihat pelaku kejahatan Ditolak oleh keluarga dan masyarakat Takut untuk tinggal bersama keluarga dan anggota masyarakat Mengalami penyerangan Mengalami perampokan Pergeseran nilai agama Pergeseran nilai sosial Kekerasan terhadap wanita Kekerasan terhadap anak % Pria (N=315) 63 79 75 86 92 72 24 48 % Wanita (N=281) 54 71 69 85 86 70 17 43 % Pidie (N=237) 40 61 66 78 82 56 9 % Bireuen % Aceh Utara % Total Sampel (N=180) (N=179) (N=596) 80 92 86 96 97 95 22 50 62 78 67 84 92 67 59 75 72 85 90 71
36 45 15
21 45 14
42 10
16
13
20 54 3 23
49 4 21
46 1 13
38 3 20 24 11 3 7 2 4
54 2 9
47 3 18
36 22 12 20 4 7
24 20 11 21 4 7
28 23 13 33 8 9
42 32 21 25 5 9
30 21 11 20 4 7
22
Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara/ September 2006
Di desa-desa dengan tingkat konflik rendah, dimana anak-anak sering disuruh tetap di rumah pada hari-hari dimana suara tembakan terdengar, wanita tidak hanya kehilangan sepeda motor dan sapi dan mesin jahit karena adanya pemerasan dari kedua belah pihak, tetapi mereka juga dipaksa untuk menemani tentara kembali ke kamp, untuk melindungi tentara yang takut berjalan di kegelapan, menjadi perisai, bahkan ketika mereka dipaksa memberitahukan tempat rahasia saudara pemberontak mereka, suami mereka, anak lelaki mereka, dan saudara jauh mereka. Mereka bercerita bagaimana mereka terjebak di tengahtengah sebuah permainan pria dengan sedikit tawa dan juga dengan takjub karena untuk saat ini semuanya telah berakhir, karena proses perdamaian sekarang sedang berjalan. Mereka tidak ragu untuk secara langsung menjelaskan, namun dengan ketulusan yang memukau, bahwa jalan yang paling penting menuju pemulihan mencakup suatu bentuk bantuan keuangan bagi mereka yang akan memberi manfaat kesehatan mental. Pemulihan dalam kondisi seperti ini maupun yang lebih buruk, jelas mensyaratkan agar peristiwa traumatik yang diderita oleh masyarakat dengan perekonomian yang rusak serta sumber daya yang hancur perlu ditangani secara langsung dan segera. Ini dapat dibantu dengan adanya pil uang yang seringkali merupakan bantuan yang paling berharga bagi individu yang memiliki tekad kuat namun telah dianiaya dan dilecehkan.
KeselaMatan
Hampir setengah sampel (47%) melaporkan melihat pelaku kejahatan, yang jelas bermakna karena para responden melihat sendiri pihak-pihak yang melakukan tindakan kriminal atau kekerasan di komunitas mereka selama konflik, bahkan setelah penandatanganan perjanjian perdamaian. Lima puluh empat persen responden di Aceh Utara maupun Bireuen masih melihat orang-orang yang melakukan tersebut, dibanding dengan 38% responden di Pidie. Tidak ditanyakan siapa orang-orang yang terlibat tersebut, sehingga interpretasi menjadi sedikit kabur. Angka tersebut dapat merujuk pada kombatan GAM yang pulang, atau merujuk pada kegiatan pengawasan rutin yang dilakukan oleh apa yang disebut sebagai pasukan organik pemerintah, yang mensiratkan bahwa petugas polisi dan tentara tersebut adalah warga Aceh, bukan pasukan dari daerah lain di Indonesia, yang sebagian besar memang telah meninggalkan Aceh sejak penandatanganan perjanjian perdamaian. Tiga pulu persen sampel (36% dari seluruh pria) melaporkan mengalami penyerangan dan 21% melaporkan perampokan. Kedua angka tersebut lebih tinggi di Aceh Utara. Berlangsungnya kekerasan yang berkelanjutan di masyarakat dan terlihatnya bekas pelaku kejahatan, turut memupuk rasa ketidakpastian dan keresahan di desa-desa, bahkan pada masa-masa perdamaian ini.
Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara/ September 2006
23
24
Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara/ September 2006
Sebuah pengukuran yang terdiri dari empat butir pertanyaan telah diambil dari Kuesioner Trauma Harvard guna menilai adanya dan tingkat keparahan peristiwa-peristiwa yang kemungkinan telah menyebabkan kepala trauma atau cidera otak, termasuk pemukulan pada bagian kepala, pencekikan, penenggelaman, dan cidera fisik lainnya.
Mollica, Richard F., Laura S. MadDonald, Michael Massagli, and Derrick M. Silove. 2004. Measuring Trauma, Measuring Torture. Instructions and Guidance on the Utilization of the Harvard Program in Refugee Traumas Versions of The Hopkins Symptom Checklist-25 (HSCL-25) & The Harvard Trauma Questionnaire (HTQ). Cambridge, MA: Harvard Program in Refugee Trauma.
Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara/ September 2006
25
yang didapat tersebut hanya dapat dianggap sebagai suatu kisaran. Namun mereka mengindikasikan tingkat depresi dan penyakit pada masyarakat yang berkaitan dengan trauma. Sejumlah 14 pertanyaan depresi dari HSCL dimasukkan ke dalam algoritma depresi (lihat Tabel 5.1). Para individu dianggap mengidap suatu gejala tertentu jika mereka memberi nilai 3 atau 4 kepada dirinya sendiri pada suatu butir tertentu. Guna untuk dapat diklasifikasikan memiliki gejala depresi, seorang subyek pada awalnya membutuhkan suatu respons positif pada salah satu dari butir pertanyaan mengenai rasa depresi atau penurunan rasa minat/kesenangan. Disamping itu, sebuah nilai positif pada 4 dari ke enam gejala pada DSM-IV Kriteria A dibutuhkan untuk pengklasifikasian yang positif. Sejumlah 3 dari ke 6 gejala pada DSM-IV Kriteria A dibutuhkan jika ada respons positif untuk rasa depresi maupun penurunan rasa minat/ kesenangan . 4 5 6 Sebuah algoritma yang lebih konservatif juga diteliti. Dalam hal ini, pertanyaan-pertanyaan dianggap positif dalam checklist jika penilaian hanya pada 4. Semua langkah-langkah lainnya dalam algoritma depresi primer tetap sama. Tabel 5.1 Kategori Depresi-HSCL Perasaan Depresi Mudah menangis Merasa tidak ada harapan untuk masa depan Merasa galau Merasa kesepian Minat/rasa senang yang berkurang Tidak ada rasa minat terhadap segala hal Hilangnya minat atau kesenangan seksual Gejala DSM-IV Kriteria A Nafsu makan rendah Kesulitan untuk tidur atau tetap tidur Merasa kurang bertenaga dan/atau merasa segala sesuatu perlu usaha Menaruh kesalahan pada diri anda sendiri untuk segala hal Terlalu khawatir mengenai segala hal dan/atau merasa tidak berguna Berpikir untuk mengakhiri hidup anda
Masing-masing pertanyaan diberi peringkat Tidak sama sekali Sedikit Cukup sering atau Sangat sering berturut-turut 1 , , , hingga 4. Sejumlah 16 butir dari Kuesioner Trauma Harvard (HTQ) dimasukkan ke dalam algoritma PTSD. Para individu dianggap mengidap suatu gejala tertentu jika mereka memberi nilai pada diri mereka 3 atau 4 pada suatu butir tertentu. Untuk diklasifikasikan sebagai mengidap gejala PTSD (atau memenuhi kriteria diagnostik untuk PTSD), seorang subyek memerlukan respons positif pada 1 atau lebih gejala mengalami kembali (re-experiencing symptom), 3 atau lebih gejala penghindaran atau mati rasa (avoidance and numbing symptoms), dan 2 atau lebih gejala rangsangan (arousal symptoms). (Lihat tabel 5.2) Pengalaman sebuah peristiwa traumatik (kriteria A) telah diasumsikan terjadi pada semua responden. Sekali lagi, sebuah algoritma yang lebih konservatif juga diteliti. Dalam hal ini, pertanyaan-pertanyaan diberi tanda positif hanya jika nilai yang diberikan adalah 4. semua langkah-langka dalam algoritma PTSD primer tetap sama.
Mollica et al. Disability Associated with Psychiatric Comorbidity and Health Status in Bosnian Refugees Living in Croatia in Journal of the American Medical Association (JAMA). Volume 282(5), 04 August 1999, pp 433-439. Mollica et al. Dose-effect Relationships of Trauma to Symptoms of Depression and Post-Traumatic Stres Disorder Among Cambodian Survivors of Mass Violence in The British Journal of Psychiatry. Volume 173(12), December 1998, pp 482-488. Sabin et al. Factors Associated with Poor Mental Health Among Guatemalan Refugees Living in Mexico 20 Years After Civil Conflict in Journal of the American Medical Association (JAMA). Volume 290(5), 06 August 2003, pp 635-642.
26
Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara/ September 2006
Tabel 5.2 Kategori Inti Kuesioner Trauma Harvard Gejala Mengalami Kembali (re-experiencing) (DSM-IV kriteria B) Fikiran atau ingatan yang muncul kembali tentang peristiwa yang paling menyakitkan atau menakutkan Merasa seolah-olah peristiwa terjadi lagi Mimpi buruk yang muncul kembali Reaksi emosional atau fisik secara tiba-tiba ketika diingatkan mengenai peristiwa yang paling menyakitkan atau traumatik Gejala Penghindaran atau Mati Rasa (avoidance and numbing) (DSM-IV kriteria C) Merasa jauh dari orang-orang Tidak mampu merasakan emosi Menghindari melakukan kegiatan atau pergi ke tempat yang mengingatkan anda akan peristiwa yang traumatik atau menyakitkan tersebut Ketidakmampuan untuk mengingat beberapa bagian dari peristiwa yang paling traumatik atau menyakitkan tersebut Menurunnya minat pada kegiatan sehari-hari Merasa seolah-olah anda tidak memiliki masa depan Menghindari fikiran atau perasaan yang terasosiasikan berkaitan dengan peristiwa traumatik atau menyakitkan tersebut Gejala Rangsangan (arousal) (DSM-IV criterion D) Merasa resah, mudah kaget Kesulitan untuk berkonsentrasi Sulit tidur Merasa was-was Merasa kesal atau sering tiba-tiba marah
Masing-masing pertanyaan diberi peringkat Tidak sama sekali Sedikit Cukup sering atau Sangat sering berturut-turut 1 , , , hingga 4.
teMuan-teMuan gejala
Tabel 6.0, 6.1, dan 6.2 menyajikan temuan-temuan tentang penilaian diri sendiri mengenai tingkat distres emosional umum, gejala dan diagnosa depresi, serta gejala dan diagnosa PTSD, baik berdasarkan gender maupun kabupaten. Secara keseluruhan, temuan-temuan tersebut menandakan tingkat distres psikologis yang sangat tinggi dalam pada populasi ini. Tabel 6.0 melaporkan temuan dari tiga pertanyaan umum yang dirancang untuk menilai perasaan distres emosional yang umum dari responden. Dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, 76% pria dan 85% wanita tampak menderita kesulitan menyangkut suasana hati (mood) maupun perasaan mereka, seperti merasa depresi, sedih, cemas, takut, atau tidak mampu mengendalikan amarah mereka, dan masing-masing memberi peringkat keseriusan rata pada 3.0 dan 2.9. 95% pria maupun wanita memperlihatkan tanda bahwa kesulitan emosional mereka diakibatkan oleh konflik.
% Pria (N=315) Mengalami distress emosional umum? Diakibatkan konflik? Keseriusan (mean pada skala 1-4 (SD)) 76 95 3.0 (0.9)
% Bireuen % Aceh Utara % Total Sampel (N=180) (N=179) (N=596) 91 98 3.1 (0.9) 94 98 3.0 (0.8) 80 95 2.9 (0.9)
Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara/ September 2006
27
Gejala psikologis atau diagnosa psikiatrik bagi informan Nilai rata2 depresi Sx score >1.75 = symptomatic Diagnosa Depresi DSM *Algoritma DSM Awal Sx= 3 atau 4 Nilai rata2 depresi Sx score >3 = symptomatic DSM Depression Diagnosis **Algoritma DSM Revisi, Sx = 4
% Pria (N=315) 64 54 16 18
% Wanita (N=281) 67 57 18 19
% Pidie (N=237) 44 38 6 6
Tabel 6.2 Gejala Trauma dan PTSD berdasarkan Gender dan Kabupaten
Gejala psikologis atau diagnosa psikiatrik DSM-IV Nilai rata2 PTSD Sx >2.5 = symptomatic Diagnosa PTSD Algoritma DSM Awal Sx=3 atau 4 Nilai rata2 PTSD Sx >3 = symptomatic Diagnosa PTSD Algoritma DSM Revisi, Sx=4
% Pria (N=315) 33 37 17 11
% Wanita (N=281) 35 35 16 10
% Pidie (N=237) 12 14 3 1
Gejala kecemasan yang dialami oleh informan Nilai kecemasan rata2 (>1.75) Nilai kecemasan rata2 (>3) Catatan:
% Pria (N=315) 64 30
% Wanita (N=281) 75 36
% Pidie (N=237) 54 23
Perbedaan signifikan antara gender: Nilai kecemasan rata-rata (>1.75) Perbedaan signifikan antara kabupaten: Nilai kecemasan rata-rata (>1.75) dan Nilai kecemasan rata-rata (>3)
28
Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara/ September 2006
Tabel 6.1 lebih bersifat kompleks. Pertama, dengan menggunakan nilai cutoff 1,75 sebagai nilai rata-rata (mean) pada butirbutir depresi HSCL, sebagaimana yang direkomendasikan oleh Mollica dan rekan-rekannya, 65% dari total populasi 64% pria dan 67% wanita dapat dianggap mengalami depresi. Dengan menggunakan algoritma diagnostik sebagaimana yang direkomendasikan oleh Mollica dan rekan-rekannya, 55% dari total populasi 54% pria dan 57% wanita patut didiagnosa mengidap depresi berat. Tingkat depresi berbeda-beda antar kabupaten, yang serupa dengan temuan-temuan mengenai tingkat peristiwa traumatik di ketiga kabupaten yang diteliti. 38% responden di Pidie memenuhi kriteria diagnosa depresi berat, dengan menggunakan algoritma yang direkomendasikan, 62% responden di Aceh Utara, dan 72% responden di Bireuen memenuhi kriteria depresi berat. Tabel 6.1 juga menyajikan temuan-temuan untuk persentase orang dengan tingkat gejala depresi yang tinggi (sebuah ratarata 3,0 atau lebih) dan mereka yang memenuhi kriteria yang lebih konservatif untuk sebuah diagnosa depresi besar (dimana sebuah gejala memenuhi kriteria hanya jika responden menjawab 4, yang mengindikasikan bahwa mereka telah sering mengalami gejala selama minggu terakhir). Masing-masing 17% dan 18% dari keseluruhan populasi mengidap tingkat gejala depresi tersebut, atau bentuk yang lebih parah. Sekali lagi, pria dan wanita hampir sama, dan tertinggi adalah di Bireuen, paling rendah di Pidie. Tabel 6.2 menyajikan temuan serupa tentang gejala trauma dan diagnosa PTSD. Dengan menggunakan nilai rata-rata cutoff dan algoritma yang direkomendasikan Mollica dan rekan-rekannya, dan digunakan dalam penelitian di kondisi konflik di tempat lain, tingkat manusia yang menderita gejala trauma atau terdiagnosa PTSD diperkirakan ada pada 34% dan 36% dari total populasi. Dengan menggunakan kriteria algoritma awal, 16% dari total populasi memenuhi PTSD; dengan menggunakan kriteria yang lebih ketat pada algoritma revisi, 10% dari total populasi menderita PTSD. Tabel 6.3 menyajikan temuan-temuan gejala kecemasan dan gangguan kecemasan. Hal tersebut meliputi gejala seperti rasa kecemasan tinggi atau panik disamping perasaan khawatir, ketidakamanan, dan ketakutan yang kronis. Gejala-gejala tersebut terutama tinggi pada masyarakat-masyarakat tersebut. 69% dari semua responden melaporkan gejala pada tingkat cutoff standar, dan 33% melaporkan gejala kecemasan tingkat yang lebih tinggi (nilai mean 3,0 atau lebih tinggi). Wanita hanya sedikit lebih tinggi kemungkinannya merasakan kecemasan dibanding pria, namun tingkatan di Bireuen dan Aceh Utara sangat tinggi, mencerminkan pola kekerasan dan trauma di komunitas-komunitas tersebut. Kompleksitas dari tabel-tabel tersebut tidak sepatutnya mengaburkan temuan yang didapat: populasi ini memiliki tingkat tinggi depresi dan gejala yang terkait dengan trauma, menduduki peringkat yang sama seperti penduduk di daerah-daerah konflik tinggi seperti Bosnia atau Kamboja atau Afghanistan. Para anggota komunitas-komunitas tersebut memiliki daya tahan sangat kuat, namun kekerasan selama bertahun-tahun telah menciptakan depresi dan trauma kompleks tingkat tinggi. Layanan yang berbasis masyarakat yang ditargetkan pada gangguan klinis dan pada pertolongan bagi anggota masyarakat untuk membangun kembali kehidupan mereka harus dijadikan prioritas mendesak.
Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara/ September 2006
29
Tabel 7.1 Odds Ratio yang Telah Disesuaikan untuk Depresi dan PTSD Berdasarkan Kabupaten *Kabupaten Pidie Bireuen or (95% CI) Diagnosa Depresi DSM *Algoritma DSM Awal Sx= 3 atau 4 Diagnosa Depresi DSM **Algoritma DSM Revisi, Sx = 4 Diagnosa PTSD *Algoritma DSM Awal Sx=3 atau 4 PTSD Diagnosis **Algoritma DSM Revisi , Sx=4 1.00 4.96 (3.19-7.72) 9.63 (4.93-18.82) 7.10 (4.36-11.57) 26.87 (6.23-115.88) 2.63 (1.74-3.96) 5.59 (2.84-11.03) 6.65 (4.11-10.78) 28.18 (6.56-120.98) Aceh Utara
1.00
1.00
1.00
*Kabupaten: 0=Pidie (referensi) dan disesuaikan untuk gender dan usia Berbeda secara signifikan dari segi statistik pada p<0.0001
Tabel 7.2 Odds Ratio yang Telah Disesuaikan Untuk Depresi dan PTSD Berdasarkan Gender
Diagnosa Depresi DSM *Algoritma DSM Awal Sx= 3 atau 4 Diagnosa Depresi DSM **Algoritma DSM Revisi, Sx = 4 Diagnosa PTSD * Algoritma DSM Awal Sx=3 atau 4 PTSD Diagnosis ** Algoritma DSM Revisi, Sx=4
*Gender: 0=wanita (referensi) dan disesuaikan untuk kabupaten dan usia Berbeda secara signifikan dari segi statistik pada p<0.05
30
Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara/ September 2006
Tabel 7.3 Odds Ratios yang Telah Disesuaikan Untuk Depresi dan PTSD Berdasarkan Usia *Usia 17-29 30-40 41-53 atau (95% CI) Diagnosa Depresi DSM * Algoritma DSM Awal Sx= 3 atau 4 Diagnosa Depresi DSM **DSM Algorithm Revisi, Sx = 4 Diagnosa PTSD * Algoritma DSM Awal Sx=3 atau 4 Diagnosa PTSD ** DSM Algorithm Revisi, Sx=4 1.00 0.93 (0.59-1.48) 0.42 (0.23-0.78) 0.78 (0.48-1.26) 0.43 (0.20-0.91) 1.78 (1.07-2.96) 0.81 (0.44-1.49) 0.83 (0.49-1.41) 0.56 (0.26-1.23) 1.19 (0.71-2.02) 1.36 (0.71-2.57) 0.91 (0.51-1.60) 1.29 (0.59-2.79) 54-82
1.00
1.00
1.00
*Usia: 0=17-29 (referensi) dan disesuaikan untuk gender dan kabupaten Berbeda secara signifikan dari segi statistik pada p<0.05
Tabel 7.1-7.3 mengindikasikan penjelasan yang disajikan melalui penguraian berdasarkan kabupaten, gender dan usia terhadap responden yang mengidap gejala depresi dan PTSD; masing-masing analisa odds ratio menyesuaikan untuk mengakomodir variasi yang diciptakan oleh kabupaten, usia atau gender. Pada tabel 7.1, responden dari Bireuen dan Aceh Utara lebih berkemungkinan mendapat nilai positif pada semua algoritma depresi dan PTSD dibanding dengan responden di kabupaten Pidie. Perbedaan-perbedaan tersebut sangat signifikan di semua algoritma, dimana responden dari Bireuen 5 hingga 10 kali lebih berkemungkinan memenuhi kriteria depresi dan 7 hingga 27 kali lebih berkemungkinan memenuhi kriteria PTSD daripada responden Pidie. Responden dari Aceh Utara 3-6 kali lebih berkemungkinan memenuhi kriteria depresi dan 6 hingga 28 kali lebih berkemungkinan untuk memenuhi kriteria PTSD dibanding dengan responden dari Pidie. Tabel 7.2 mengindikasikan bahwa pentingnya gender sebagai kontributor berada jauh di bawah kabupaten dalam memenuhi kriteria. Sebagai contoh, ketika mengontrol untuk kabupaten dan usia, pria secara signifikan berkemungkinan jauh lebih kecil memenuhi kriteria dibanding wanita dalam masalah depresi pada algoritma depresi awal sebesar .68. Signifikansi pada tingkat .05 tidak dipenuhi oleh nilai-nilai lain pada algoritma depresi dan PTSD, walau odds ratio mengindikasikan bahwa pria berkemungkinan agak lebih sedikit daripada wanita untuk menderita gejala depresi dan PTSD. Temuan ini adalah penting. Wanita umumnya menderita depresi dan gejala depresi lebih tinggi daripada pria dalam populasi yang diteliti. Disini, pria dan wanita kedua-duanya menderita depresi tingkat tinggi, dengan pria hanya sedikit lebih kecil kemungkinannya dibanding wanita, mencerminkan tingkat kekerasan yang telah dialami pria di masyarakat-masyarakat Aceh tersebut. Tabel 7.3 menyajikan hubungan antara nilai-nilai algoritma usia dan depresi dan PTSD, yang disesuaikan dengan pengaruh gender dan kabupaten. Ini merupakan gambar yang kompleks. Membandingkan nilai-nilai depresi kelompok usia lebih tua dengan yang lebih muda, responden pada kelompok usia 41-53 secara signifikan lebih berpeluang menderita gejala depresi daripada orang-orang yang lebih muda (sebesar 1,78 kali). Namun demikian, individu dalam kelompok usia 30 hingga 40 secara signifikan lebih berkemungkinan mendapat nilai yang lebih rendah pada nilai depresi (.42) maupun PTSD (.43) dengan menggunakan algoritma dengan kriteria paling ketat. Data deskriptif yang mendasari analisa odds ratio disebutkan dalam Tabel 8.1 - 8.6, yang memeriksa distribusi berdasarkan kabupaten, gender dan usia para individu yang nilainya memenuhi kriteria pada algoritma depresi awal dan yang lebih ketat, serta algoritma PTSD awal dan yang lebih ketat. Sekali lagi, pengaruh dari tempat tinggal seorang sebagai suatu penjelasan tingginya nilai untuk depresi dan kecemasan semakin sangat penting. Faktor gender hanya sedikit menjelaskan perbedaanperbedaan yang ada, dan nilai yang dimiliki pria dan wanita di semua sampel hampir serupa. Perbedaan berdasarkan usia lebih
Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara/ September 2006
31
bersifat kompleks dan dapat mencerminkan pengalaman siklus hidup ataupun pengalaman stres yang terkait dengan konflik maupun paska-konflik, dimana banyak pria dan wanita muda berusia 17-29 dari Bireuen dan Aceh Utara mencatat nilai tinggi pada algoritma untuk depresi dan PTSD, dan para usia baya tampak lebih tinggi, sedangkan yang tua sekali lagi mendapat nilai lebih tinggi lagi pada skala-skala tersebut. Angka-angka tersebut menceritakan sebuah kisah yang sangat kompleks. Namun demikian, kabupaten Pidie dimana para responden melaporkan trauma yang lebih sedikit juga memiliki sedikit responden, berapapun usianya, yang memenuhi kriteria yang lebih ketat untuk algoritma depresi dan PTSD. Perbedaannya paling mencolok pada tabel-tabel deskriptif berikut ini.
Tabel 8.1 Pidie: Depresi Berdasarkan Gender Berdasarkan Usia SAMPEL PIDIE % (N=236) Gejala psikologis atau diagnosa psikiatrik DSM-IV Pria (N=106) Usia 17-29 (n=15) 47 Usia 30-40 (n=26) 15 Usia 41-53 (n=26) 35 Usia 54-82 (n=39) 26
Diagnosa Depresi DSM *Algoritma DSM Awal Sx= 3 atau 4 Diagnosa Depresi DSM **Algoritma DSM Revisi, Sx = 4
0 Wanita (N=130)
Usia 17-29 (n=38) Diagnosa Depresi DSM *Algoritma DSM Awal Sx= 3 atau 4 Diagnosa Depresi DSM **Algoritma DSM Revisi, Sx = 4 42
10
12
32
Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara/ September 2006
Tabel 8.2 Pidie: PTSD berdasarkan Gender berdasarkan Usia SAMPEL PIDIE % (N=236) Gejala psikologis atau diagnosa psikiatrik DSM-IV Pria (N=106) Usia 17-29 (n=15) 13 Usia 30-40 (n=26) 4 Usia 41-53 (n=26) 12 Usia 54-82 (n=39) 5
Diagnosa PTSD *Algoritma DSM Awal Sx=3 atau 4 PTSD Diagnosis **Algoritma DSM Revisi, Sx=4
0 Wanita (N=130)
Usia 17-29 (n=38) Diagnosa PTSD *Algoritma DSM Awal Sx=3 atau 4 PTSD Diagnosis **Algoritma DSM Revisi, Sx=4 21
Tabel 8.3 Bireuen: Depresi Berdasarkan Gender Berdasarkan Usia SAMPEL BIREUEN % (N=177) Gejala psikologis atau diagnosa psikiatrik DSM-IV Pria (N=114) Usia 17-29 (n=25) 68 Usia 30-40 (n=44) 75 Usia 41-53 (n=21) 67 Usia 54-82 (n=24) 79
Diagnosa Depresi DSM *Algoritma DSM Awal Sx= 3 atau 4 Diagnosa Depresi DSM **Algoritma DSM Revisi, Sx = 4
48
16 Wanita (N=63)
33
42
Usia 17-29 (n=25) Diagnosa Depresi DSM *Algoritma DSM Awal Sx= 3 atau 4 Diagnosa Depresi DSM **Algoritma DSM Revisi, Sx = 4 72
36
14
30
67
Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara/ September 2006
33
Tabel 8.4 Bireuen: PTSD berdasarkan Gender berdasarkan Usia SAMPEL BIREUEN % (N=177) Gejala psikologis atau diagnosa psikiatrik DSM-IV Pria (N=114) Usia 17-29 (n=25) 56 Usia 30-40 (n=44) 48 Usia 41-53 (n=21) 48 Usia 54-82 (n=24) 67
Diagnosa PTSD *Algoritma DSM Awal Sx=3 atau 4 Diagnosa PTSD **Algoritma DSM Revisi, Sx=4
24
5 Wanita (N=63)
10
25
Usia 17-29 (n=25) Diagnosa PTSD *Algoritma DSM Awal Sx=3 atau 4 Diagnosa PTSD **Algoritma DSM Revisi, Sx=4 56
20
18
20
33
Tabel 8.5 Aceh Utara: Depresi berdasarkan Gender berdasarkan Usia SAMPEL ACEH UTARA % (N=176) Gejala psikologis atau diagnosa psikiatrik DSM-IV Pria (N=90) Usia 17-29 (n=19) 58 Usia 30-40 (n=25) 56 Usia 41-53 (n=28) 75 Usia 54-82 (n=18) 44
Diagnosa Depresi DSM *Algoritma DSM Awal Sx= 3 atau 4 Diagnosa Depresi DSM **Algoritma DSM Revisi, Sx = 4
21
16 Wanita (N=86)
14
28
Usia 17-29 (n=23) Diagnosa Depresi DSM *Algoritma DSM Awal Sx= 3 atau 4 Diagnosa Depresi DSM **Algoritma DSM Revisi, Sx = 4 44
30
14
30
38
34
Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara/ September 2006
Tabel 8.6 Aceh Utara: PTSD berdasarkan Gender berdasarkan Usia SAMPEL ACEH UTARA % (N=176) Gejala psikologis atau diagnosa psikiatrik DSM-IV Pria (N=90) Usia 17-29 (n=19) 58 Usia 30-40 (n=25) 48 Usia 41-53 (n=28) 54 Usia 54-82 (n=18) 50
Diagnosa PTSD *Algoritma DSM Awal Sx=3 atau 4 Diagnosa PTSD **Algoritma DSM Revisi, Sx=4
21
12 Wanita (N=86)
14
22
Usia 17-29 (n=23) Diagnosa PTSD *Algoritma DSM Awal Sx=3 atau 4 Diagnosa PTSD **Algoritma DSM Revisi, Sx=4 44
22
14
15
25
* Berbeda secara signifikan secara statistik pada p< 0.0001 to p< 0.05 Catatan: 0-3 Peristiwa= kelompok referensi
Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara/ September 2006
35
4 5.00 4 0.00 3 5.00 3 0.00 2 5.00 2 0.00 1 5.00 1 0.00 5.00 0.00
41.10*
Odds Ratios
28.19* 22.26* 11.42* 1.00 3.04* 6.25* 1.00 1.83 Depression-Revised 12.75* 5.83* 1.00 PTSD-Initial 11.57* 6.91* 1.00 2.94
Depression-Initial
PTSD-Revised
Mental Health Algorithms 0-3 events 4-7 events 8-10 events > or = 11 events
Tabel 9.2 Pengukuran Kesehatan Mental (Odds Ratios) bagi Responden Yang Mengalami Peristiwa Traumatik di Masa Sekarang Tidak Disesuaikan Distres Emosional yang Dialami Informan Jumlah peristiwa traumatik Gejala Depresi- Algoritma Awal ATAU (95% CI) 1.00 5.40 (2.90-10.03)* 14.55 (7.50-28.25)* 21.42 (9.59-47.85)* Gejala Depresi- Algoritma Revisi ATAU (95% CI) 1.00 6.96 (1.64-29.53)* 14.16 (3.34-60.04)* 25.92 (5.91-113.59)* Gejala PTSD- Algorithm Awal ATAU (95% CI) 1.00 4.87 (2.04-11.67)* 14.00 (5.80-33.78)* 40.77 (15.33-108.45)* Gejala PTSD- Algoritma Revisi ATAU (95% CI) 1.00 6.13 (0.80-46.75) 11.66 (1.54-88.34)* 41.41 (5.44-315.26)*
* Berbeda secara signifikan secara statistik pada p< 0.0001 to p< 0.05 Catatan: 0-3 Peristiwa= kelompok referensi
36
Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara/ September 2006
4 5.00 4 0.00 3 5.00 3 0.00 2 5.00 2 0.00 1 5.00 1 0.00 5.00 0.00
40.77*
41.41*
Odds Ratios
25.92* 21.42* 14.55* 5.40* 1.00 Depression-Initial 14.16* 6.96* 1.00 Depression-Revised 1.00 PTSD-Initial 14.00* 4.87* 1.00 PTSD-Revised 11.66* 6.13
Mental Health Algorithms 0-3 events 4-7 events 8-10 events > or = 11 events
Terdapat hubungan yang kuat antara jumlah peristiwa traumatik yang dilaporkan responden dengan tingkat psikologis mereka baik depresi maupun gejala yang terkait dengan trauma. Tabel 9.1 dan 9.2 menggambarkan hal ini secara cukup dramatis. Tabel 9.1 menyajikan odds ratio bagi responden yang mengalami berbagai tingkatan peristiwa traumatik. Para individu yang mengalami 4 hingga 7 peristiwa memiliki kemungkinan tiga kali lebih tinggi untuk memenuhi kriteria depresi pada algoritma awal, dan berpeluang hampir dua kali lipat lebih tinggi untuk memenuhi kriteria pada algoritma yang lebih ketat, dibanding dengan mereka yang mengalami 0 hingga 3 peristiwa traumatik. Mereka berpeluang hampir tujuh kali lebih tinggi untuk memenuhi kriteria PTSD pada algoritma awal dan hampir 3 kali lebih tinggi pada algoritma yang lebih ketat. Para individu yang mengalami 8 hingga 10 peristiwa traumatik di masa lalu memiliki peluang 6 kali lebih tinggi untuk memenuhi kriteria depresi dan berpeluang 11 hingga 22 kali lebih tinggi untuk memenuhi kriteria kedua algoritma PTSD. Ketika para individu mengalami 11 atau lebih peristiwa traumatik di masa lalu, kemungkinan mereka untuk mendapatkan nilai tinggi di kesemua empat algoritma kriteria untuk depresi dan PTSD menjadi tinggi sekali lebih dari 11 untuk depresi dan antara 28 dan 41 untuk PTSD, sebagaimana ditunjukkan pada tabel dan grafik. Perbedaan-perbedaan yang signifikan jauh lebih kuat jika para responden mengalami 8 atau lebih peristiwa traumatik. Tabel 9.2 menyajikan odds ratios untuk tingkatan distres psikologis bagi responden yang mengalami peristiwa stres di masa sekarang. Sekali lagi, para individu yang mengalami 4-7 peristiwa stres saat ini berpeluang 5 hingga 7 kali lebih tinggi untuk memenuhi kriteria depresi dan berpeluang 5 hingga 6 kali lebih tinggi untuk memenuhi kriteria PTSD dibanding mereka yang mengalami 0 hingga 3 peristiwa. Para individu yang mengalami 8 hingga 10 peristiwa stres saat sekarang berpeluang lebih dari 14 kali untuk memenuhi kriteria depresi pada kedua algoritma, dan 11 hingga 14 kali lebih berpeluang memenuhi kriteria PTSD. Para individu yang mengalami 11 atau lebih peristiwa stres pada masa sekarang berpeluang 20 hingga 26 kali lebih tinggi untuk memenuhi kriteria depresi pada kedua algoritma, dan lebih dari 40 kali lebih berpeluang untuk memenuhi kriteria PTSD di kedua algoritma. Berbagai odds ratio tersebut hampir semuanya, kecuali satu, bersifat signifikan ketika membandingkan para individu dalam ketiga kategori peristiwa (4-7, 8-10, > 11, secara berturut-turut) dengan para individu yang mengalami 0-3 peristiwa stres.
trauMa Di KePala
Sebagaimana disebutkan di atas, responden dalam jumlah yang cukup mengejutkan tingginya telah mengalami trauma di kepala dan pencekikan atau penenggelaman, yang keduanya dapat menyebabkan cidera otak permanen yang dapat mempengaruhi fungsi kognitif, labilitas emosional, dan perilaku. (Lihat Tabel 3.1) Walau sejumlah signifikan wanita menderita trauma di kepala, pria mengalami tingkat yang sangat tinggi. 36% dari seluruh pria di dalam survei melaporkan telah dipukuli di kepala, 19% dicekik, dan 7% mengalami penenggelaman dan 9% lainnya mengalami bentuk lain trauma di kepala. Penguraian temuan-temuan tersebut berdasarkan gender dan usia memperjelas siapa yang memiliki resiko tertinggi (lihat Tabel 9.4).
Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara/ September 2006
37
Tabel 9.4 Trauma di Kepala/Cidera Otak Potensial: Persentase Responden berdasarkan Gender dan Usia Pria (N=280-304) Jenis trauma di kepala/ cidera otak potensial *Segala Jenis Trauma di Kepala Jenis Tertentu Dipukul di kepala Pencekikan Penenggelaman Trauma di kepala lainnya Usia 17-29 % (N=53-58) 52 48 18 13 17 Usia 30-40 % (N=84-92) 40 39 20 5 6 Usia 41-53 % (N=70-75) 40 35 24 4 9 Usia 54-82 % (N=72-79) 33 23 14 10 7
Wanita (N=258-272) Usia 17-29 % (N=81-84) *Segala Jenis Trauma di Kepala Jenis Tertentu Dipukul di kepala Pencekikan Penenggelaman Trauma di kepala lainnya 17 10 7 1 3 Usia 30-40 % (N=82-88) 15 10 9 0 2 Usia 41-53 % (N=62-70) 5 2 3 0 0 Usia 54-82 % (N=33-37) 5 0 5 0 3
Temuan-temuan tersebut mengejutkan terutama ketika melihat persentase orang yang terlibat berdasarkan kabupaten, disamping berdasarkan usia dan gender. Tabel 9.5 dan 9.6 menunjukkan seberapa banyak orang muda di Bireuen dan Aceh Utara menderita berbagai macam trauma kepala sebagai bagian dari situasi konflik yang terjadi. Semua pria memiliki resiko tinggi, namun pria muda cenderung beresiko lebih tinggi untuk berbagai macam trauma di kepala di kedua kabupaten tersebut.
Tabel 9.5 Trauma di Kepala/Cidera Otak Potensial: Persentase Responden berdasarkan Gender dan Usia Untuk Bireuen BIREUEN Pria (N=100-112) Jenis trauma di kepala/ cidera otak potensial *Segala Jenis Trauma di Kepala Jenis Tertentu Dipukul di kepala Pencekikan Penenggelaman Trauma di kepala lainnya Usia 17-29 % (N=23-25) 68 60 29 17 17 Usia 30-40 % (N=41-43) 40 37 16 7 5 Usia 41-53 % (N=19-21) 43 29 26 5 10 Wanita (N=59-61) Usia 17-29 % (N=23-25) *Segala Jenis Trauma di Kepala Jenis Tertentu Dipukul di kepala Pencekikan Penenggelaman Trauma di kepala lainnya 28 12 17 0 4 Usia 30-40 % (N=20-22) 23 14 18 0 5 Usia 41-53 % (N=9) 0 0 0 0 0 Usia 54-82 % (N=5) 0 0 0 0 0 Usia 54-82 % (N=17-23) 44 32 14 12 21
38
Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara/ September 2006
Tabel 9.6 Trauma di Kepala/Cidera Otak Potensial: Persentase Responden berdasarkan Gender dan Usia Untuk Aceh Utara
ACEH UTARA Pria (N=80-87) Jenis trauma di kepala/ cidera otak potensial *Segala Jenis Trauma di Kepala Jenis Tertentu Dipukul di kepala Pencekikan Penenggelaman Trauma di kepala lainnya Usia17-29 % (N=17-18) 67 67 11 12 29 Usia 30-40 % (N=19-23) 61 57 35 5 16 Usia 41-53 % (N=26-28) 61 61 33 4 15 Usia 54-82 % (N=17-18) 33 28 17 18 6
Wanita (N=75-81) Usia 17-29 % (N=19-21) *Segala Jenis Trauma di Kepala Jenis Tertentu Dipukul di kepala Pencekikan Penenggelaman Trauma di kepala lainnya 29 19 11 5 5 Usia 30-40 % (N=22-26) 27 24 13 0 4 Usia 41-53 % (N=26-27) 7 4 4 0 0 Usia 54-82 % (N=7) 0 0 0 0 0
*Dari keempat jenis luka kepala yang berbeda-beda tersebut, jika seorang responden menjawab ya terhadap satu atau lebih dari empat pertanyaan tersebut, maka jawabannya adalah ya untuk variabel yang baru (Segala jenis trauma di kepala), yang kemudian akan menunjukkan berapa responden mengalami trauma kepala fisik dalam bentuk apapun. Catatan- Analisa chi square: Perbedaan signifikan (p<0.001) untuk gender dan distrik Perbedaan non-signifikan pada usia Catatan- Keparahan (severity) (hilang kesadaran dan durasi) telah diperiksa, 88% tidak hilang kesadaran. Hanya dua persen menyatakan kepada pewawancara mengenai jangka waktu hilang kesadaran.
Trauma di kepala dapat menyebabkan efek yang spesifik dan langsung terhadap emosi, kemampuan kognitif (ingatan, kemampuan belajar), dan perilaku, sebagaimana yang digambarkan kasus klinis di atas. Bentuk trauma ini juga menempatkan orang pada rasio tinggi untuk depresi dan PTSD. Tabel 9.7 menggambarkan hal ini. Ini perlu ditafsirkan sebagai mengindikasikan bahwa pengalaman pemukulan di kepala, pencekikan atau penenggelaman, atau bentuk cidera kepala lainnya akan membuat responden 2.2 hingga 2.6 kali lebih berkemungkinan menderita depresi klinis atau PTSD.
Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara/ September 2006
39
Tabel 9.7 Resiko Yang Meningkat untuk Depresi atau PTSD bagi Orang Yang Menderita Trauma di Kepala (Odds Ratio disesuaikan) Distres Emosional yang Dialami Informan Trauma di Kepala Gejala Depresi- Algoritma Awal ATAU (95% CI) 2.21 (1.40-3.47) 3.23 (1.92-5.42) 2.55 (1.40-4.62)** Gejala Depresi- Algoritma Revisi ATAU (95% CI) 2.59 (1.54-4.36) 3.07 (1.74-5.42) 1.70 (0.92-3.14) Gejala PTSD- Algoritma Awal ATAU (95% CI) 2.33 (1.49-3.62) 3.14 (1.92-5.15) 2.69 (1.54-4.68) Gejala PTSD- Algoritma Revisi ATAU (95% CI) 2.43 (1.29-4.59)** 2.75 (1.40-5.40)** 2.34 (1.15-4.75)* Gejala KecemasanMean (>1.75) ATAU (95% CI) 2.75 (1.63-4.65) 3.15 (1.74-5.70) 2.40 (1.21-4.75)* Gejala KecemasanMean (>3.00) ATAU (95% CI) 2.95 (1.89-4.58) 3.52 (2.17-5.72) 2.08 (1.24-3.50)**
Penenggelaman
Disesuaikan untuk gender, usia, dan kabupaten Berbeda secara signifikan secara statistik pada p<0.0001 Berbeda secara signifikan secara statistik pada p<0.001 ** Berbeda secara signifikan secara statistik pada p<0.01 * Berbeda secara signifikan secara statistik pada p<0.05
Hingga kini, hanya sedikit kegiatan kesehatan mental yang berfokus pada cidera kepala. Karena cidera kepala dapat mempengaruhi perilaku jangka panjang yang dapat disalahartikan sebagai perilaku kriminal, dan juga dapat mempengaruhi perhatian, pembelajaran, dan fungsi kognitif lainnya, perhatian khusus perlu diarahkan pada masalah ini. Khususnya, penelitian perlu membahas persentase warga yang mengidap dampak jangka panjang dari trauma di kepala untuk masyarakat secara umum, maupun mantan kombatan dan tahanan. Temuan-temuan tersebut juga memiliki relevansi klinis yang bersifat langsung. Perawat kesehatan mental masyarakat, dokter umum, dan psikiater memerlukan pelatihan lanjutan guna memeriksa dan menanggapi permasalahan yang terkait dengan cidera kepala sebagai bagian dari tugas klinis rutin dan sebagai bagian layanan rujukan lanjutan. Penelitian kebutuhan ini memberikan bukti bahwa sebuah program khusus yang berfokus pada trauma kepala perlu dilaksanakan dengan dukungan masyarakat internasional.
40
Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara/ September 2006
Sebelum daftar gejala depresi, kecemasan dan trauma dibacakan kepada responden kuesioner, mereka diberikan pertanyaanpertanyaan berikut ini: Konflik telah membawa tekanan yang unik kepada warga Aceh selama beberapa tahun terakhir. Apakah tekanan-tekanan tersebut memiliki efek terhadap perasaan, energi, atau kesehatan anda dalam kehidupan seharihari? Dapatkah anda menjelaskan apa saja dampak tersebut? Jawaban terhadap pertanyaan ini menarik karena para responden menjelaskan kepada pewawancara apa yang ada di benak mereka tentang penyakit jiwa dalam bahasa mereka sendiri sebelum mereka mendengar gejala yang tercantum dalam daftar yang telah distandarisasi. Jawaban-jawaban mereka menyajikan sebuah daftar istilah setempat yang menggambarkan distres, sebuah langkah penting pertama dalam penelitian atau intervensi kesehatan mental lintas budaya. Hal pertama yang kita perhatikan ketika berbicara dengan orang Aceh mengenai kesehatan mental adalah bahwa kata-kata stres dan trauma dalam bahasa Inggris telah diserap penuh ke dalam idiom setempat untuk masalah mental, terutama dikarenakan konflik yang telah berlangsung selama tigapuluh tahun dan gempa serta tsunami yang baru saja terjadi. Salah satu informan kunci menjelaskan kepada pewawancaranya: sebelum konflik, tidak ada orang di sini yang tahu arti kata trauma. Seperti dalam bahasa Inggris, kedua kata tersebut sangat sering digunakan dalam bahasa setempat sehingga sulit untuk mengetahui apa sebenarnya maksud seseorang ketika mengatakan stres atau trauma. Namun demikian, penyelidikan yang lebih mendalam memberikan sebuah generalisasi yang luas. Banyak orang menggunakan kata stres dan trauma untuk menjelaskan hal yang sama, kedua-duanya menyampaikan arti tekanan psikologis yang disebabkan oleh peristiwa eksternal seperti perang, kematian dalam keluarga, atau bencana alam. Makna mereka saling tumpang tindih, namun melihat dari penggunaan kata-kata tersebut selama wawancara dengan informan kunci, trauma dapat berupa kondisi sementara yang bisa sembuh. Sebaliknya, kata stres tidak seperti dalam bahasa Inggris dimana stres dapat berarti hal-hal ringan seperti hari yang buruk di kantor menggambarkan sebuah kondisi yang lebih serius yang berjangka panjang yang mungkin membutuhkan perawatan psikiatri di sebuah rumah sakit. Seseorang dapat menderita trauma namun masih dapat hadir dan setidaknya tampak berfungsi normal di dalam masyarakat, sedangkan ketika seseorang menderita stres, ia terlihat tidak mampu melakukan peran sosial yang normal. Oleh karena itu, kata trauma cenderung muncul lebih sering dalam transkrip wawancara (misalnya, semua orang di desa ini masih mengalami trauma akibat konflik). Diluar kedua kategori distres mental yang umum digunakan secara lokal ini, jawaban terhadap pertanyaan yang disebutkan di atas memberikan sebuah daftar gejala umum yang menggambarkan pemahaman masyarakat lokal mengenai trauma, yang juga sesuai dengan beberapa istilah di dalam daftar (checklist) gejala, namun yang mengandung karakteristik khusus setempat. Disamping itu, banyak warga Aceh secara langsung menyebut somatisasi distres mental, yang tidak hanya berarti bahwa distres psikologis yang diakibatkan konflik seringkali bermanifestasi sebagai penyakit fisik, namun juga bahwa orang Aceh memahami bahwa beberapa penyakit fisik mereka diakibatkan oleh distres psikologis. Sebagian besar orang menyebutkan rasa takut sebagai gejala umum trauma, namun rasa takut jarang disebutkan sebagai suatu kondisi umum. Biasanya, para
Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara/ September 2006
41
responden mengaitkan ras takut mereka terhadap sesuatu yang spesifik seperti Saya takut keramaian, Saya menjadi takut ketika melihat seragam militer/mendengar suara mesin/mendengar suara seperti tembakan senjata. Tekanan seringkali disebut namun ini bisa merupakan kutipan responden yang menegaskan bahasa yang digunakan dalam pertanyaan awal kembali ke pewawancara. Berikut ini adalah daftar gejala, baik fisik maupun psikologis, yang seringkali disebutkan untuk menggambarkan pemahaman orang Aceh mengenai distres psikologis: Kehilangan semangat Resah Tidak mampu tidur di malam hari Pusing yang sering timbul Melamun Mengingat apa yang terjadi Gemetar Masalah jantung (berbagai bentuk) Rasa sakit di jantung Jantung berdetak kencang Rasanya jantung saya copot Lemah jantung Serangan jantung (setelah mendengar berita buruk) Lelah tanpa alasan Sering sedih/air mata Sulit berfikir, lamban berfikir, mudah lupa atau terlalu banyak berfikir Merasa tidak bisa apa-apa Mencurigai orang lain / sulit bersosialisasi / mengisolasi diri Tidak bisa bekerja Penyakit fisik lainnya Badan sakit Lemas
42
Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara/ September 2006
MiMPi Dan Kunjungan arwah setelah Peristiwa KeKerasan yang baru saja terjaDi
Beberapa responden mengaitkan kunjungan arwah dan mimpi tentang konflik dengan waktu saat terjadinya peristiwa konflik yang sebenarnya, dimana mereka memperhatikan bahwa apa yang mereka alami tersebut hanya bersifat sementara. Beberapa penduduk desa bahkan ingat mimpi-mimpi yang memprediksi peristiwa konflik yang terjadi segera setelahnya: Ya, saya mengalami mimpi buruk mengenai konflik, namun tidak setelah MoU. Saya selalu mengalami mimpi buruk setelah suatu peristiwa konflik di desa saya. Saya mengalami mimpi buruk setiap kali situasi keamanan buruk. Saya bermimpi mengenai konflik yang benar-benar terjadi di keesokan harinya. Saya melihat arwah orang setelah mereka terbunuh.
Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara/ September 2006
43
nuansa agaMa
Bayangan serta pesan-pesan yang bernuansa Islam secara signifikan tampil di dunia supernatural dan mimpi para komunitas Aceh yang tinggal di bekas daerah konflik. Telah disebutkan di atas bagaimana sebuah arwah berterima kasih kepada temannya karena telah memberikan penguburan sesuai Islam. Responden lain menceritakan sebuah arwah yang memintanya untuk membungkus jasadnya dalam kain kafan, yakni sebuah prosedur dalam sebuah penguburan cara Islam. Lainnya menceritakan telah dikunjungi oleh tokoh agama desa mereka yang telah meninggal dunia, yang mengingatkan mereka untuk sholat dan berdoa secara teratur. Seseorang lainnya menceritakan sebuah arwah yang membacakan kalimat syahadat, penyataan keyakinan kaum Muslim. Mimpi tentang tsunami dan gempa, yang dipenuhi dengan banjir dan tanah yang terbuka lebar, mengingatkan warga Aceh akan hari kiamat dalam agama Islam.
44
Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara/ September 2006
Pria (n=315) Apakah menurut anda terdapat masalah kesehatan mental di masyarakat anda yang terkait dengan tsunami dan/atau konflik (%Ya) Mereka yang menjawab ya: 69
Wanita (n=281) 62
Pidie (n=237) 59
Bireuen (n=180) 80
Total (n=596) 66
Wanita (n=175)
Total (n=393)
Pria (n=218)
Pidie (n=140)
B ireuen (n=144)
Apakah anda rasa masalahmasalah tersebut telah mempengaruhi anda dan keluarga anda? (% Ya) Jumlah orang yang memberikan jawaban deskriptif mengenai masalah kesehatan mental di dalam keluarga:
54
55
29
67
55
n=123
n=93
n=43
n=96
n=77
n=216
66% dari seluruh responden merasa ada masalah-masalah kesehatan mental di masyarakat mereka yang berkaitan dengan tsunami, konflik, atau kedua-duanya. Perbedaan antara pria dan wanita tidak signifikan secara statistik, namun perbedaan antara ketiga kabupaten secara signifikan berbeda satu sama lainnya. 55% dari mereka yang menjawab ya terhadap pertanyaan pertama kemudian mengatakan bahwa masalah-masalah tersebut mempengaruhi responden maupun keluarga mereka, dengan perbedaan yang signifikan antar kabupaten: 29% di Pidie, 67% di Bireuen, dan 70% di Aceh Utara. Sedikit lebih dari sepertiga total sampel memberikan penjelasan mengenai masalah-masalah psikososial yang membawa pengaruh bagi mereka dan keluarga mereka. Yang menarik mengenai jawaban-jawaban dari pertanyaan tersebut adalah banyaknya jumlah jawaban yang menjelaskan perasaan responden ter-proyeksi terhadap orang-orang lain yang telah terkena dampak konflik atau tsunami. Nasib yang diderita oleh korban-korban lainnya disebut berulang kali sebagai sesuatu yang mempengaruhi responden dan keluarganya. Para responden merasa sedih, kasihan, takut, tidak berdaya, dan ingin beramal dalam menghadap pengalaman konflik orang lain, dan mereka menyebutkan hal tersebut dengan cukup benar sebagai masalah psikososial dalam diri mereka sendiri. Dimulai dengan perasaan khawatir mengenai orang lain, masalah-masalah yang disebutkan oleh para responden dapat dikelompokkan ke dalam tema-tema tambahan berikut ini: distres psikologis, kesulitan sehari-hari, perubahan dalam hubungan sosial, dan ingatan mengenai apa yang terjadi.
Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara/ September 2006
45
Khawatir tentang orang lain Rasa sedih terhadap korban konflik Kasihan terhadap korban konflik Merasa bertanggung jawab atas penderitaan orang lain Sulit berfikir tentang atau melihat korban konflik lainnya Memberi nasehat ke orang lain Takut atau terganggu orang lain yang menderita penyakit mental Takut menjadi korban konflik: jika melihat orang lain, saya tidak dapat bayangkan apa jika itu terjadi pada saya Tidak berdaya atau tidak mampu untuk membantu orang lain Distres Psikologis Masih merasa was-was Syok Mudah lupa Lemah secara fisik Takut meninggalkan rumah, takut pergi bekerja Sering terkejut Fikiran-fikiran sulit Mual karena sakit kepala Hilang semangat Senantiasa mengingat-ingat apa yang terjadi Pingsan Takut berbicara dengan orang lain Takut pada pria yang di dekatnya Tidak percaya siapa-siapa Rasa benci Sulit tidur Tidak dapat melihat ke laut (khusus tsunami) Tidak tahan melihat tentara atau seragam tentara Takut keramaian Kesulitan sehari-hari Merawat anggota keluarga korban konflik Sulit mendapat penghasilan / pekerjaan yang lebih buruk Tidak cukup uang Masalah kesehatan fisik / membutuhkan bantuan medis Berhenti sekolah Pemerasan Bertanggung jawab menghidupi keluarga seorang diri Hidup dengan cacat fisik Tanah hancur / tanah tidak layak untuk pembangunan atau tani Rumah tidak layak / rumah hangus terbakar Tidak ada keadilan
46
Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara/ September 2006
Perubahan Dalam hubungan sosial Anggota keluarga bergabung dengan GAM Peran pimpinan lebih sulit Keluarga dengan orang tua tunggal Hilangnya teman atau anggota keluarga yang terpercaya Membantu / menyediakan rumah bagi korban konflik atau tsunami Desas-desus mengenai penculikan anak Takut menjadi orang yang tidak berarti Rasa tidak percaya terhadap masyarakat Perkawinan yang tidak bahagia Lebih banyak pengemis datang ingatan tentang Peristiwa yang telah terjadi Penculikan terhadap keluarga Penyiksaan Pemukulan Tembakan / tertembak senjata Dikejar-kejar oleh pasukan
Para responden kemudian diminta untuk menceritakan kepada kami kelompok-kelompok mana dalam komunitas mereka yang paling menderita akibat stres atau trauma yang terkait dengan konflik. Para responden bebas memilih banyaknya jumlah kelompok yang mereka inginkan, tidak perlu berurut, dari kelompok-kelompok berikut ini: wanita, pria, anak-anak, pemuda, mantan tahanan politik, mantan GAM-TNI, orang tua, janda/duda akibat konflik, dan lainnya. Hasilnya disajikan dalam Tabel 10.2 di bawah:
Tabel 10.2 Pilihan Responden Atas Kelompok-kelompok di Dalam Komunitas Mereka yang Paling Menderita Akibat Stres atau Trauma yang Terkait Dengan Konflik Mana dari kelompok-kelompok berikut ini di dalam komunitas anda yang paling menderita akibat stress atau trauma yang terkait dengan konflik? (% Ya) Wanita Pria Anak-anak Pemuda Mantan tahanan politik Mantan GAM-TNI Orang tua Janda / duda akibat konflik Lainnya Pria (n=315) Wanita (n=281) Pidie (n=237) Bireuen (n=180) Aceh Utara (n=179) Total (n=596)
70 84 37 76 24 32 43 37 4
59 77 26 66 13 18 33 26 9
44 70 3 57 0 2 10 4 12
87 94 56 95 43 61 66 66 1
69 81 45 65 20 22 48 35 3
65 81 32 71 19 26 38 32 6
Karena para responden bebas untuk memilih seberapa banyak kelompok dari daftar tersebut, masing-masing baris dalam tabel itu merupakan persentase dari orang-orang yang berkata ya terhadap kategori tersebut, namun tanpa mengabaikan pilihan lainnya. Oleh karena itu, persentase pada masing-masing kolom tidak menjadi berjumlah 100%.
Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara/ September 2006
47
terjePit
Kata terjepit sering disebutkan ketika informan membicarakan peran dan pengalaman mereka selama konflik. Para kombatan dari kedua belah pihak menganggap para pemimpin desa bertanggung jawab atas kegiatan dan keterpihakan masyarakatnya. Dalam bahasa Aceh, salah seorang tokoh agama di Bireuen menggambarkannya sebagai keuchik lageu boh sunti, kepala desa terjepit bagaikan buah tamarin di bawah batu. Para warga lainnya menyebutkan bahwa kepala desa ditekan dari kanan dan kiri, atau dari atas dan bawah. Para pemimpin desa merasa mereka tidak dapat menyenangkan semua orang dan selalu merasa serba salah. Seorang tokoh agama lainnya di Pidie menjelaskan bahwa ia dapat menjaga jarak antar kedua belah pihak dengan hanya memberikan sumbangan uang kepada GAM ketika mereka meminta, dan memberikan lagi ketika pasukan pemerintah datang. Namun tidak semua pemimpin dapat luput dari kekerasan; para kepala desa seringkali disiksa agar memberikan informasi mengenai anggota masyarakatnya, lainnya terbunuh di depan keluarganya, dan diceritakan bahwa salah satu dari keluarga tersebut di Pidie kemudian mengisolasikan diri dan menderita stres psikologis yang berat.
48
Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara/ September 2006
Sementara itu, koordinator IOM, setelah menjelaskan kepada warga desa di warung kopi bahwa tim penelitinya sedang mengumpulkan informasi mengenai kesehatan jiwa yang berkaitan dengan konflik, mendengarkan cerita-cerita dari warga setempat mengenai kepala desa mereka yang gila. Sesekali waktu ia akan hilang selama beberapa hari, dan semua orang tahu bahwa kalau dia pergi maka ia sedang menyendiri untuk berdoa di hutan, namun tidak ada yang mengerti apa yang dia katakan. Keluarganya sudah terbiasa, dan tampaknya demikian juga semua orang di masyarakat desa tersebut, karena mereka menceritakan kisah tersebut tanpa dibuat-buat, rasa benci atau Ketakutan. Selama hari itu, semua staf peneliti melihat kepala desa berjalan mondar-mandir di sekitar desa, sewaktu mereka melakukan wawancara di berbagai rumah yang dipilih, dan dia juga melewati warung kopi tersebut beberapa kali. Wawancara ke-tiga yang dilakukan oleh tim Pidie tersebut untuk hari itu adalah dengan kepala desa itu sendiri, yang berterusterang mengenai pengalamannya dengan kesehatan mental. Sewaktu mereka duduk bersama-sama dengannya di meunasah selama 80 menit, kepala tim memperhatikan bahwa kepala desa menampilkan banyak gejala yang ia sebutkan, seperti keresahan dan ketidakmampuan untuk duduk diam. Ia selalu merasa harus bergerak, yang mungkin menjelaskan tindakannya berjalan-jalan tanpa tujuan di dalam desa sewaktu tim peneliti sedang berada di sana. Ia sangat sadar bahwa ia berperilaku seperti seseorang yang mengidap gangguan mental, dan menceritakan saat-saat ia sedang menyendiri ketika ia berperilaku paling aneh. Walau dengan penyakitnya tersebut, masyarakat memilihnya sebagai kepala desa, jelasnya, karena tidak ada orang lain yang mau menghadapi kedua belah pihak selama konflik. Ia tidak takut untuk mengambil posisi tersebut, jelasnya, karena ia memiliki pengetahuan agama yang sangat mendalam. Para warga mengatakan bahwa ia pugo nahu, gila karena menghafalkan dan membacakan ucapan-ucapan aneh dalam bahasa Arab. Disamping itu, ia mengerti beberapa istilah dalam bahas Jawa dan ini berguna dalam negosiasinya dengan tentara RI yang menganggapnya sebagai teman karena usahanya tersebut. Beberapa kali ia dituduh membantu GAM, dan desanya diawasi ketat selama konflik, namun ia berhasil lolos dari nasib yang mengenaskan jika ia berbicara dalam bahasa Jawa. Sebuah kunjungan ke suatu masyarakat hanya untuk satu hari membuat sulit untuk meneliti sebab maupun akibat, namun walau konflik ini kemungkinan telah memperburuk kesehatan jiwa kepala desa tersebut (sebagaimana yang dilaporkan oleh warga lain), ini bisa jadi merupakan contoh unik di seluruh Aceh dimana penyakit jiwa kemungkinan telah memberi dampak protektif terhadap nyawa kepala desa dan status sosialnya selama tahun-tahun konflik. Contoh ini menunjukkan bagaimana sebuah komunitas dan seorang individu dapat secara strategis mempergunakan penyakit jiwa ke dalam bentuk yang bersifat protektif yang tidak lazim.
Beberapa responden menyebutkan bahwa sebagian besar orang yang mengidap gejala-gejala tersebut pulih sendiri setelah beberapa minggu atau bulan setelah tsunami, dan salah satu korban tsunami bahkan mengatakan Tidak, [namun] karena
Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara/ September 2006
49
orang-orang datang untuk mengunjungi dan menenangkan saya, yang menandakan tidak hanya bahwa trauma terburuk yang dialami selama tsunami telah berlalu dan masyarakat memulai menjalani hidup kembali, namun juga bahwa mekanisme dukungan sosial sudah ada untuk menanggapinya. Beberapa wawancara informan kunci dari desa-desa korban tsunami dalam sampel kami menyebutkan bahwa bantuan tsunami telah melunakkan dampak stres dan trauma yang disebabkan konflik: Dengan datangnya bantuan untuk bencana tsunami, masyarakat mulai tenang beberapa bulan kemudian, seolah-olah beban konflik dapat dilupakan bantuan paska-tsunami telah membuat masyarakat kami lebih tenang. Para pengamat yang lebih berperspektif politik menyadari peran penting yang dimainkan tsunami dalam mengakhiri konflik dan memungkinkan orangorang untuk pulang: Setelah tsunami dan keadaan keamanan yang membaik, bersamaan dengan orang-orang asing yang datang bekerja di Aceh, putar saya memutuskan untuk pulang kembali. Sementara itu, beberapa responden kuesioner dari desa-desa yang terletak jauh dari pesisir yang terkena tsunami mengetahui adanya bantuan besar-besaran yang didatangkan ke tempat lain, disamping masyarakat mereka sendiri yang terkena konflik, walau dengan adanya pernyataan bantuan bagi korban konflik berdasarkan perjanjian perdamaian.
Dalam enam bulan terakhir, pernahkah anda melakukan hal-hal berikut ini untuk menanggulangi pengalaman buruk berkaitan dengan konflik? (%Ya) Membicarakannya dengan teman atau keluarga Mengunjungi dukun atau tabib/ minum obat tradisional Mencari bantuan medis Berkonsultasi dengan seorang ahli kesehatan mental Berkonsultasi dengan seorang ahli agama Berdoa Olah-raga Mencoba melupakan pengalaman tersebut Pindah ke lain tempat Tidak melakukan apa-apa Lainnya Tidak ada pengalaman buruk (Tidak berlaku)
Pria (n=315)
Wanita (n=281)
Pidie (n=237)
Bireuen (n=180)
Total (n=596)
36 2
34 3 11 2 11 70 1 15 5 6 2 26
18 0 3 0 8
56 7 34 3 34 92 3 17 2 5 1 6
37 2
35 3
19 1 23 71 4 17 1 6 2 23
12 1 11 81 4 29 2 15 4 4
15 1 17 71 2 16 3 6 2 24
47 0 5 4 0 1 53
50
Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara/ September 2006
Pria lebih cenderung mencari bantuan medis (19% dibanding 11%) dan berkonsultasi dengan seorang ahli agama (23% dibanding 11%). Wanita maupun pria mencari ketenangan dalam berdoa (71%) dan lebih banyak orang dari Bireuen (92%) dan Aceh Utara (81%) daripada Pidie (47%) yang merasa perlu untuk melakukan hal tersebut. 35% dari warga, yang terbagi rata antara pria dan wanita, dan lebih banyak yang dari Bireuen (56%) dan Aceh Utara (37%) daripada Pidie (18%) berbicara mengenai masalah kesehatan jiwa dengan teman atau keluarga. Hanya 1% dari responden mencari pertolongan dari ahli kesehatan mental, yang mencerminkan kurangnya ketersediaan layanan kesehatan mental di masyarakat Aceh maupun kemampuan untuk membayar biaya layanan kesehatan medis khusus. Para pewawancara juga menanyakan sebuah pertanyaan terbuka mengenai siapa yang menolong mengurus korban konflik yang menderita penyakit mental di masyarakat mereka. Hampir setengah sampel (280 responden, 47%) menyempatkan diri untuk menjawab. Sebagian besar dari jawaban-jawaban tersebut mengatakan para keluarga melakukannya sendiri dan seringkali dengan menekankan bahwa tidak ada pertolongan lain bagi korban konflik yang berpenyakit mental kecuali keluarga mereka sendiri. Sebuah minoritas signifikan dari responden menyebutkan beberapa komponen sistem pelayanan kesehatan umum di Indonesia seperti bidan desa, puskesmas, dokter dan perawat, rumah sakit di tingkat kabupaten, dan juga rumah sakit jiwa di Banda Aceh, namun pertanyaan ini juga memberikan peluang yang tidak disangka bagi responden untuk mengutarakan ketidakpuasan mereka atas kurangnya pelayanan kesehatan di Aceh. Beberapa jawaban yang umum menyangkut hal ini meliputi berbagai bentuk pernyataan di bawah ini: Hanya bagi mereka yang bisa membayar Tidak di sekitar sini atau tidak ada bantuan di sini karena adanya konflik Tidak ada bantuan LSM di sini Tidak ada bantuan pemerintah di sini Tidak ada siapa-siapa Saya harus mengurus sendiri saudara-saudara saya yang sakit Pernyataan putus harapan, menyerah, atau pasrah Pernyataan marah terhadap para petinggi di Aceh
Perlu untuk dicatat bahwa di satu desa yang terkena dampak tsunami, sebuah LSM telah membuka sebuah klinik trauma bagi korban di masyarakat tersebut. Beberapa responden dari desa ini menyebutkan klinik tersebut sebagai suatu sumber daya dalam masyarakat mereka, sekali lagi menandakan bahwa setelah lebih dari 18 bulan setelah bencana terdapat cakupan layanan yang tidak proporsional di daerah-daerah tsunami jika dibandingkan dengan daerah Aceh lainnya. Ketika ditanyakan mengenai sumber daya masyarakat untuk menangani kesehatan mental yang terkait dengan konflik, para informan kunci memberikan jawaban-jawaban yang seluruhnya konsisten dengan apa yang dikatakan oleh responden kuesioner, namun dengan penjelasan yang lebih rinci yang menandakan bahwa dukungan dari segi agama merupakan langkah berikut setelah perawatan oleh keluarga. Juga terlihat dari para informan kunci adalah elemen nafsi-nafsi yang disebutkan di atas, yakni konflik memaksa para individu dan keluarga untuk memprioritaskan kebutuhan mereka di atas kepentingan komunitas. `atau satu orang pun yang peduli mengenai penyakit mental di komunitas, semuanya bergantung pada keluarga masingmasing. Tidak ada perhatian terhadap orang-orang yang mengidap stres atau trauma karena tidak ada yang bisa atau memiliki kesempatan, karena orang-orang menemui kesulitan bahkan hanya untuk mengurus diri sendiri. Masyarakat tidak mampu dan tidak peduli tentang nasib orang-orang yang mengidap penyakit mental; jika mereka bisa sembuh kembali, itu karena terjadi dengan sendirinya. Teman-temannya menyarankan untuk ikut pengajian dan dengan cara itu kondisinya lambat-laun stabil dan akhir-akhir ini ia tampak sehat lagi. Bantuan komunitas hanya datang dari keluarga orang yang sakit dan dari zakat. Mereka yang menderita penyakit mental hanya dirawat oleh keluarga mereka sendiri dan ikut pengajian.
Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara/ September 2006
51
52
Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara/ September 2006
dengan mereka, dan terkadang bahkan tidak melakukan pemeriksaan fisik. Kedua adalah kedekatannya dengan rumah mereka. Sebagian besar pasien dapat menemukan dokter tradisional di dalam komunitas mereka sendiri dan hubungan antara dokter tradisional dan pasiennya memastikan diberikannya perhatian dan kenyamanan. Ketiga adalah elemen agama dan kejiwaan. Situasi fisik sebuah klinik tidak memiliki nuansa praktek agama, sedangkan kekuatan Tuhan untuk menyembuhkan, yang ditimbulkan oleh obat-obatan tradisional yang diramu dengan menggunakan pengucapan ayat-ayat Quran, menghilangkan ketidakpastian yang umumnya menyertai pil generik yang sering tidak difahami yang dibagikan di klinik. Tiga anggota tim peneliti psikososial IOM mewawancarai seorang dokter tradisional ahli penyakit jiwa di Bireuen. Ia membedakan korban konflik dari kasus-kasus sihir yang ia tangani, dan menjelaskan kepada kami bahwa sebagian besar dari pasien yang ia temui dapat dikategorikan sebagai korban konflik, memperkirakan bahwa sebagian besar gejala tersebut ditimbulkan dari pemukulan yang berlebihan terhadap tubuh. Ia sendiri menderita pukulan ke kepala dari sebuah popor senjata api dalam sebuah operasi sweeping di desanya. Pada saat ia diperintahkan untuk tidak lagi menerima pasien di rumahnya, sebuah perintah yang ia ikuti selama 20 hari sebelum membuka kembali. Pasien korban konflik dapat dibedakan dari pasien-pasien jenis lainnya yang ia tangani karena mereka biasanya masih bisa mengucapkan ayat-ayat Quran tanpa gangguan, sedangkan pasien-pasien korban sihir biasanya tidak mau mengucapkan doa. Ia mengaku telah menangani baik tentara GAM maupun KOSTRAD selama konflik. Jumlah pasiennya telah meningkat sejak penandatanganan perjanjian perdamaian karena warga sipil lebih memiliki kebebasan untuk berpergian. Ia memiliki dua orang magang untuk membantunya dan sebuah bangunan baru di samping rumahnya sedang dibangun guna menampung pasien-pasien lain, khususnya pasien-pasien yang psychotic yang mungkin melakukan kekerasan terhadap orang lain.
Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara/ September 2006
53
Bantuan kerja Perbaiki jalanan! dan perbaikan infrastruktur lainnya Rehabilitasi tanah dan rekonstruksi pertanian lainnya Traktor dan bantuan modal lainnya
bantuan Medis Kami butuh akses yang lebih mudah terhadap layanan medis. Kami membutuhkan kunjungan medis ke komunitas kami atau Dokter perlu datang ke desa kami. Bangun sebuah RS jiwa yang lebih dekat daripada Banda Aceh. Bantuan keuangan untuk pelayanan medis. Berikan pasien perawatan yang lebih baik di klinik dan rumah sakit. Kami butuh obat-obatan lebih banyak. Kami membutuhkan obat secara teratur/konsisten. Kami membutuhkan obat yang benar. Dan juga Kami membutuhkan obat gratis. Kami butuh terapi/konseling. Kami perlu dokter tradisional keliling. Pasien jiwa perlu mendapatkan perawatan dengan segera sebelum kondisinya memburuk. Pergi ke pusat trauma (hanya khusus dalam satu desa yang memiliki pusat trauma) Kami membutuhkan lebih banyak puskesmas pembantu Bantuan transportasi untuk layanan medis Perawatan pengidap penyakit mental membutuhkan sebuah LSM yang akan lebih aktif mensosialisasi dan mengambil tindakan. Tidak hanya menunggu pasien berobat mensosialisasi dan bertindak. Dukungan agama Kelompok pengajian bagi pengidap penyakit mental Berdoa sendiri-sendiri Tawakkal kepada Allah Perawatan pengidap penyakit mental perlu disertai dengan dukungan tokoh agama di dalam masyarakat. upaya sosial yang lebih baik Jangan meninggalkan orang sakit sendirian. Pendampingan bagi yang sakit mental. Berikan semangat / harapan hidup bagi pengidap penyakit jiwa. Sering berkumpul dengan taman dan tetangga Bergabung dalam kegiatan sehari-hari Berbagi pengalaman satu sama lain. Berbicara dengan saudara dan teman dekat. Menciptakan lembaga khusus sebagai wadah aspirasi manusia Habiskan waktu lebih lama di warung kopi desa Mereka membutuhkan dukungan dan arah. Ketidakberdayaan Kami hanya warga desa yang tidak berdaya. Mereka tidak dapat mengurus diri mereka sendiri. Membantu para pengidap penyakit mental merupakan tugas para ahli. Kita tidak boleh bermain-main dengan jiwa orang lain.
54
Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara/ September 2006
Tabel 10.4 Opini mengenai Layanan Kesehatan Mental LSM dan Mitra-mitra Pelaksana
Pria (n=315)
Wanita (n=281)
Pidie (n=237)
Bireuen (n=180)
Total (n=596)
Jika sebuah LSM luar menawarkan anda atau keluarga anda layanan kesehatan mental, yang dilaksanakan melalui GAM, apakah anda akan menerimanya? (%Ya) Jika sebuah LSM luar menawarkan anda atau keluarga anda layanan kesehatan mental, yang dilaksanakan melalui Pemerintah RI, apakah anda akan menerimanya? (%Ya)
68
51
64
65
60
51
52
74
35
36
51
Secara keseluruhan, para komunitas yang terkena dampak konflik sedikit lebih memilih layanan LSM yang dilaksanakan dengan kerjasama GAM daripada pemerintah Indonesia, namun perbedaan ini tampaknya sebagian besar diakibatkan oleh jawaban yang diberikan oleh pria. Wanita biasanya secara rata menerima layanan LSM yang dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia maupun GAM dengan perbandingan pilihan secara berturut-turut sebesar 52% dan 51%, namun apa yang mencolok adalah perbedaan antara dukungan pria (68%) dan wanita (51%) terhadap layanan dari GAM, yang mungkin mencerminkan persepsi pria mengenai bagaimana mereka diperlakukan oleh tentara Indonesia selama konflik. Dalam kedua skenario, mayoritas responden mendukung pemberian layanan kesehatan mental di masyarakat mereka. Opini ini lebih umum diungkapkan dalam wawancara dengan informan-informan kunci; tokoh masyarakat hampir semuanya secara antusias mendukung segala macam bentuk bantuan LSM di desa mereka. Tabel 10.4 di atas merupakan titik awal untuk diskusi mengenai persepsi masyarakat tentang layanan kesehatan umum yang ada. Hanya 35% dan 36% responden dari Bireuen dan Aceh Utara akan menggunakan layanan LSM jika dilaksanakan oleh pemerintah. Sebagian besar orang, ketika meminta bantuan LSM, meminta bantuan langsung, tidak melalui pemerintah, yang dipandang sebagai berperspektif proyek, dimana kata proyek memiliki arti sebuah kesempatan bagi birokrat untuk memainkan anggaran untuk kepentingan mereka sendiri. Wawancara dengan para informan kunci yang dilakukan oleh koordinator IOM, dan tim peneliti dari Harvard dan Syiah Kuala mengungkapkan sebuah rasa ketidakpercayaan yang tinggi terhadap puskesmas dan layanan kesehatan pemerintah lainnya. Puskesmas pada masa konflik terkadang merupakan tempat bagi kedua belah pihak konflik untuk mengumpulkan informasi mengenai penduduk setempat, menempatkan dokter dan perawat pada posisi yang sama sulit seperti yang digambarkan oleh para pemimpin masyarakat. Beberapa pos militer tingkat kecamatan dibangun di sebelah klinik, sehingga menjamin orang-orang tidak akan menggunakan bahkan jika hidup di dekat daerah tersebut. Di sebagian besar masyarakat bekas konflik, layanan kesehatan tidak tersedia karena daerah-daerah tersebut terisolir. Dapat diingat bahwa jawaban yang paling sering dijumpai mengenai siapa yang menangani masalah kesehatan mental di masyarakat responden adalah keluarga para orang yang sakit. Kutipan dari salah satu informan kunci pantas untuk diulang di sini: Tidak ada lembaga atau satu orang pun yang peduli mengenai penyakit mental di komunitas, semuanya bergantung pada keluarga masing-masing. Kemiskinan, tentunya, merupakan satu lagi halangan untuk mengakses layanan kesehatan, bahkan dari klinik pemerintah yang murah jika dipertimbangkan ongkos perjalanan dari desa-desa yang terletak jauh. Warga Indonesia dapat memperoleh layanan medis bebas biaya melalui program asuransi kesehatan nasional, namun dengan surat rujukan yang benar yang memverifikasi status miskin dari kelapa desa, kantor kecamatan, dan bahkan kantor kabupaten jika rujukan kedua dibutuhkan pada rumah sakit tingkat kabupaten. Setelah mendapatkan surat-surat tersebut, asuransi harus diperoleh dari kantor asuransi,
Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara/ September 2006
55
kemudian pasien harus kembali ke puskesmas yang terdekat dengan desa asal untuk pemrosesan di dalam jaringan rujukan. Keseluruhan proses, termasuk transportasi, kemungkinan sama tingginya dengan atau bahkan lebih tinggi daripada sebuah kunjungan biasa ke klinik, dan dengan semua biaya dan usaha, sebagian besar pasien lebih memilih menggunakan uang mereka untuk klinik swasta.
PersePsi Penyelenggara Kesehatan uMuM tentang KoMunitas yang terKena DaMPaK KonfliK
Saat tim peneliti melaksanakan wawancara dalam desa-desa yang dipilih secara ajak, para Koordinator IOM biasanya mengunjungi puskesmas terdekat untuk bertemu dengan personil kesehatan setempat. Seperti halnya dengan kepala desa, staf kesehatan bertanggung jawab atas kebutuhan-kebutuhan tertentu dari masyarakat di sekitarnya, sehingga menempati sebuah posisi yang sulit diantara kedua pihak selama konflik. Di satu sisi, para staf puskesmas, sebagai pegawai pemerintah, diharuskan membuat laporan dan informasi lainnya mengenai komunitas mereka kepada badan pemerintah manapun, terkadang dibawah tekanan. Di lain sisi, GAM diketahui sering memeras personil kesehatan pada hari pembayaran gaji, dan terkadang menculik dokter dan perawat guna merawat para orang yang luka di hutan dan tempat persembunyian lainnya. Seperti para guru sekolah, banyak staf kesehatan akhirnya berhenti pergi bekerja, secara efektif menutup layanan kesehatan di berbagai daerah hitam di Aceh. Oleh karena itu tidaklah mengejutkan bahwa Koordinator IOM menemukan suatu kurangnya pengetahuan mengenai permasalahan konflik dan daerah konflik diantara para staf puskesmas semakin sedikit yang mereka ketahui, semakin mereka dimintai pertanggungjawaban dari kedua belah pihak. Kebanyakan puskesmas telah dibuka kembali sejak perjanjian perdamaian, dan beberapa klinik satelit direncanakan akan dibangun kembali dalam beberapa tahun mendatang, namun staf kesehatan masih belum melakukan kegiatan ke pelosok di bekas daerah konflik, dan seperti banyak warga perkotaan Aceh tetap was-was mengenai suasana keamanan di sana.
56
Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara/ September 2006
makanan kecil meminta untuk melihat identitas para peneliti dan surat izin untuk melaksanakan penelitian psikososial di desa. Mereka tampak seperti orang-orang baik seperti anda, katanya dengan nada curiga, namun kemudian mereka mengambil anak-anak kami. Mungkin masih berkaitan, salah satu responden kuesioner menyebutkan dua kali hadirnya pedagang di komunitasnya dan desa-desa tetangga yang tidak berbicara bahasa Aceh. Memang semua ini desas-desus yang tidak terbukti, namun kebenarannya bukanlah masalah terpenting. Desas-desus merupakan indikator baik atas ketidakpastian sosial dan mengungkapkan kekhawatiran-kekhawatiran jangka panjang mengenai ancaman-ancaman terhadap komunitas dari pihak luar.
Menuju PerDaMaian
Pendapat yang secara bersamaan mengungkapkan pujian maupun keraguan disampaikan kepada semua pewawancara mengenai proses perdamaian. Hal pertama yang perlu disebutkan di sini adalah bahwa para komunitas mendefinisikan atau menganggap perdamaian sebagai peluang untuk bekerja, berpergian, dan bersosialisasi kembali. Sebagai contoh, pemukulan pada tubuh selama konflik paling sering dialami dalam suasana desa yang biasa, khususnya pada perjalanan menuju dan dari pasar untuk berdagang. Sekarang para warga desa dapat membawa barang-barang mereka ke pasar tanpa rasa takut akan pemerasan di sepanjang jalan, dan dapat membawa pulang perlengkapan rumah tangga tanpa dituduh memberikan bantuan logistik kepada kedua belah pihak. Para informan kunci seringkali menggambarkan ini sebagai kebebasan dan bahkan kemerdekaan , sebuah istilah yang sarat dengan nuansa nasionalis bagi orang Indonesia dan tuntutan penting yang dilepaskan dari azas GAM pada saat penandatanganan perjanjian perdamaian di Helsinki. Kegiatan sehari-hari lainnya yang mendefinisikan suatu perasaan damai bagi para responden adalah kemungkinan untuk berpergian di sore hari, bersosialisasi secara berkelompok di depan umum (khususnya warung-warung kopi desa), dan untuk kembali ke tanah pertanian dan perkebunan hutan untuk melaksanakan kegiatan pertanian. Tabel 10.5 merangkum jawaban-jawaban responden terhadap pertanyaan yang menyangkut proses perdamaian di Aceh. Tidak ada yang memberikan jawaban tidak setuju atau sangat tidak setuju terhadap sebuah pertanyaan yang meminta pendapat responden mengenai proses perdamaian sejak penandatanganan perjanjian di Helsinki pada tanggal 15 Agustus 2005, dan sebagian besar (78%) berkata mereka sangat setuju dengan proses tersebut. Tabel 10.5 Sikap Terhadap Proses Perdamaian Pria (n=315) Wanita (n=281) Pidie (n=237) Bireuen (n=180) Aceh Utara (n=179) Total (n=596)
Apa pendapat anda mengenai proses perdamaian sejak penandatanganan MoU? (%Ya) Sangat setuju Setuju Apakah pernah ada peusijeuk atau upacara lainnya yang dilaksanakan di desa anda bagi mantan tahanan politik atau kombatan GAM yang telah pulang ke masyarakat sejak penandatanganan MoU? (%Ya) Jika ya, apakah anda pernah hadir atau berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan tersebut? (%Ya) Tidak pernah Jarang Sering Selalu Tidak tahu / menolak menjawab
85 15 35
70 30 21
70 30 29
94 6 39
73 27 17
78 22 28
42 18 18 15 6
63 10 13 4 11
74 6 13 6 1
28 25 16 18 13
31 19 24 7 19
52 14 16 10 8
Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara/ September 2006
57
Sebuah peusijeuk merupakan sebuah upacara yang biasanya diadakan setelah peristiwa yang bergejolak; istilah tersebut (dari sijeuk, sama dengan sejuk dalam bahasa Indonesia) secara harafiah bermakna pendinginan, sebuah metafora yang memiliki arti menenangkan emosi. Peusijeuk dapat berupa peristiwa desa kolektif atau kegiatan pribadi yang dilakukan di rumah individu. Sejak perjanjian perdamaian, desa dan keluarga di seluruh penjuru Aceh telah menyelenggarakan acara peusijeuk untuk menerima kembali mantan tahanan politik dan bekas kombatan, dan dapat digunakan sebagai salah satu pengukur reintegrasi paska-konflik. Adalah sulit untuk menafsirkan statistik peusijeuk di Tabel 10.5 di atas karena hanya sedikit yang diketahui mengenai perbedaan pelaksanaan praktek upacara ini dari satu kabupaten ke kabupaten lainnya atau bahkan antar desa, namun secara umum hampir sepertiga dari seluruh responden menyatakan adanya peusijeuk di komunitas setelah perjanjian perdamaian. Banyak responden menyatakan bahwa mereka tidak tahu mengenai atau tidak menghadiri peusijeuk di komunitas mereka sendiri karena mereka merasa itu adalah sebuah acara keluarga dan bukan kegiatan masyarakat. Sebuah pengamatan yang lebih seksama terhadap partisipasi dalam kegiatan peusijeuk berdasarkan gender dan daerah menandakan bahwa peusijeuk diakui oleh lebih banyak pria daripada wanita dan kemungkinan lebih sering dilakukan di Bireuen dan Aceh Utara dibanding Pidie. Tabel 10.5 menunjukkan bahwa para responden lebih banyak yang mendukung proses perdamaian secara umum. Namun demikian, karena telah mengalami berbagai kegagalan perdamaian di masa lalu, beberapa rasa kekhawatiran diungkapkan. Baik responden kuesioner maupun informan kunci ditanyai mengenai pendapat mereka tentang proses perdamaian yang sedang berjalan saat ini, masalah dan tantangan dalam pelaksanaan, serta usulan-usulan untuk dapat melanjutkan kehidupan. Beberapa tema secara konsisten muncul yang menciptakan keraguan dan kekhawatiran diantara para warga di daerah-daerah bekas konflik. Ketika AMM pergi, kami khawatir konflik akan mulai kembali. Banyak responden mengutarakan kekhawatiran tidak hanya mengenai apa yang akan terjadi jika AMM pergi, tetapi seluruh komunitas asing yang telah datang di Aceh sejak tsunami. (misalnya, Saat para orang asing pergi, akan ada masalah.) Keberadaan orang-orang dari seluruh penjuru dunia yang bekerja di Aceh sejak Januari 2005 telah memainkan peran penting, walau secara tidak langsung, dalam menciptakan dam mempertahankan perdamaian di Aceh. Beberapa responden dan informan kunci menyebutkan adanya peningkatan kejahatan di beberapa bulan terakhir. Pendistribusian yang tidak merata atas bantuan bagi warga Aceh. Terdapat dua contoh mencolok utama yang disebut oleh warga desa untuk menggambarkan bantuan yang tidak adil di Aceh. Contoh yang pertama adalah bantuan yang tidak proporsional yang didatangkan ke darah tsunami sedangkan daerah-daerah yang rusak berat akibat konflik tetap terabaikan. Contoh kedua adalah pendistribusian secara tidak merata atas subsidi bahan bakar bagi desa dari pemerintah. Para kepala desa dituduh telah memberi batuan uang dari pemerintah ke[ada para teman dekat dan keluarga dan bukan kepada warga yang paling miskin yang membutuhkannya. Salah satu responden menyatakannya secara langsung: Terdapat krisis kepercayaan diantara tokoh-tokoh desa kami. Banyak responden khawatir bahwa GAM dan pemerintah Indonesia tidak akan mematuhi ketentuan yang telah disepakati di dalam MoU. Contoh-contoh yang disebutkan adalah keterlambatan dalam pembuatan undang-undang otonomi daerah, tidak adanya bantuan bagi korban konflik sipil, kegagalan untuk secara memadai mensosialisasikan proses perdamaian di Aceh, dan pertanyaan besar mengenai pemilu daerah. Banyak responden menyampaikan harapan mereka bahwa kedua belah pihak akan tetap bersikap etis dan mematuhi perjanjian perdamaian. Terakhir, beberapa orang masih merasa takut akibat kegagalan perdamaian di masa lalu, atau mungkin keresahan jangka panjang yang tercipta semasa konflik. Saya takut akan ada elemen masyarakat yang masih ingin mempertahankan kehancuran dan konflik. Sampai sekarang masih banyak orang di masyarakat tetap takut bekerja di ladang, kebun, dan hutan. Setelah perdamaian, kami masih khawatir, masih tidak yakin.
58
Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara/ September 2006
reKoMenDasi
Berikut ini adalah berbagai rekomendasi yang didasarkan pada data yang disajikan di atas, pengalaman pelaksanaan penelitian psikososial di lapangan, dan diskusi dengan rekan-rekan di dinas kesehatan kabupaten, puskesmas, dan rumah sakit jiwa di Banda Aceh.
tiM-tiM Kunjungan Kesehatan Mental bagi MasyaraKat yang terKena DaMPaK KonfliK
Penelitian Kebutuhan Psikososial yang diuraikan di sini telah mengidentifikasi suatu kebutuhan mendesak akan layanan kesehatan mental dan psikososial kepada masyarakat yang paling terkena dampak konflik. Masyarakat-masyarakat tersebut seringkali bersifat terpencil dan umumnya diluar jangkauan layanan kesehatan yang ada saat ini, dan kemiskinan (yang disebabkan konflik) dan ketidakpercayaan terhadap layanan kesehatan yang diselenggarakan pemerintah merupakan hambatan dalam menyediakan layanan. Namun demikian para warga di masyarakat-masyarakat tersebut mengalami luka fisik dan masalah kesehatan mental dalam tingkat yang sangat tinggi yang diakibatkan oleh kekerasan dan evakuasi paksa. Dengan demikian, layanan kunjungan yang spesifik sangat dibutuhkan guna menyediakan pelayanan dan untuk membangun jembatan antar masyarakat dengan layanan kesehatan mental masyarakat yang baru berkembang tersebut. Kami merekomendasikan agar tim-tim kunjungan kesehatan mental tingkat kabupaten, yang didasarkan pada model tim medis keliling ICRS yang dimiliki IOM, didirikan guna memberikan layanan medis dan psikososial secara segera kepada desa-desa di
Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara/ September 2006
59
kecamatan yang paling terkena dampak konflik, dan untuk membantu menjembatani kesenjangan dalam kepercayaan antara penduduk yang terkena dampak konflik dengan layanan kesehatan mental yang baru dikembangkan di sistem pelayanan kesehatan pokok. Tim-tim tersebut perlu menyediakan layanan kesehatan mental klinis maupun di masyarakat, termasuk kegiatan dukungan trauma berbasis masyarakat, disamping pelayanan medis umum yang diarahkan pada pemenuhan kebutuhan-kebutuhan yang paling mendesak di masyarakat tersebut. Mereka perlu dirancang tidak sebagai sistem layanan paralel maupun sebagai layanan yang permanen, namun sebagai layanan sementara untuk memenuhi kebutuhan mendesak para masyarakat yang terkena dampak konflik dan untuk mendirikan kembali hubungan antara masyarakat-masyarakat tersebut dengan layanan kesehatan umum. Sejak awal, CMHN perlu disertakan di tim-tim kunjungan guna memfasilitasi pengembangan hubungan-hubungan yang dimaksud. IOM telah membantu pemerintah Indonesia dalam kegiatan reintegrasi paska-konflik sejak para tahanan pertama diberikan amnesty hanya beberapa hari setelah perjanjian perdamaian ditandatangani di bulan Agustus 2005. Sejak pembukaan sepuluh kantor ICRS (Layanan Informasi, Konseling, dan Rujukan) di seluruh Aceh, IOM telah bekerjasama dengan beberapa kantor pemerintahan kabupaten di berbagai permasalahan reintegrasi, termasuk bidang medis dan kesehatan psikososial. Staf ICRS telah melakukan kunjungan ekstensif be bekas daerah-daerah konflik, dan oleh karena itu IOM berada dalam posisi ideal untuk memprakarsai program bantuan trauma yang berbasis masyarakat di darah-daerah di Aceh yang paling serius terkena dampak konflik. Sebuah kunjungan yang dilakukan oleh tim medis keliling IOM ke desa pegunungan Cot Pinang (sebuah psudonim) mendemonstrasikan bagaimana kunjungan psikososial berbasis masyarakat dapat berhasil dan seperti apa kemungkinan bentuknya. Seorang psikiater Aceh, yang juga seorang dokter umum di ICRS tingkat kabupaten, dan seorang perawat, beserta para anggota dari tim peneliti psikososial dari Harvard, IOM, dan Universitas Syiah Kuala, berkunjung ke desa Cot Pinang guna menyelenggarakan sebuah klinik kesehatan mental di meunasah desa tersebut. Para staff ICRS telah memberitahukan para kepala desa sebelumnya, sehingga orang-orang yang paling memerlukan perawatan akan dapat membuat rencana untuk hadir. Puluhan orang berkumpul di meunasah, dan satu per satu para warga berbincang-bincang dengan psikiater, menjelaskan gejala yang mereka alami, dan menceritakan trauma mereka yang diakibatkan konflik. Pemeriksaan mendasar kemudian dilakukan, dan perawatan medis diberikan, dan banyak rujukan yang dibuat ke puskesmas untuk rawatan lanjutan. Sekitar 50 pasien di diperiksa selama siang dan sore hari. Kunjungan yang dilakukan oleh Tim Medis Keliling menjadi semacam ritual masyarakat, dimana para anggota masyarakat menceritakan pengalaman mereka selama konflik kepada tim medis maupun tim peneliti. Kegiatan ini menyajikan data mengenai kebutuhan mendesak akan layanan kesehatan mental di desa-desa seperti Cot Pinang. Hal tersebut juga mengindikasikan bahwa para anggota masyarakat yang terkena dampak konflik seperti Cot Pinang menyadari pentingnya stres, trauma, dan penyakit mental, bahwa mereka menginginkan dan berkemauan untuk menjalani evaluasi kesehatan mental dan intervensi klinis, dan bahwa layanan keliling tersebut memiliki kemampuan untuk memberikan akses terhadap perawatan orang-orang yang paling terkena dampak konflik. Data dari studi yang dilaporkan di sini juga mengindikasikan bahwa layanan yang terbatas pada evaluasi dan rujukan tidak akan efektif, dan bahwa tim-tim seperti itu perlu melakukan perawatan dan pengobatan klinis, memberikan rawatan lanjutan sementara, dan dengan berjalannya waktu membangun hubungan-hubungan dengan puskesmas. Kunjungan ke Cot Pinang menunjukkan bahwa IOM perlu melanjutkan model kunjungan keliling, mengingat kegiatan kunjungan yang telah dilakukan oleh kantor-kantor ICRS ke beberapa masyarakat yang paling rusak di Aceh. Tim-tim kunjungan sebagai bagian dari program layanan kesehatan sementara jelas perlu menyertakan para juru rawat CMHN dari puskesmas-puskesmas terdekat. Pengintegrasian kedua program tersebut sejak awal dapat memfasilitasi masuknya kembali personil kesehatan ke dalam daerah-darah Aceh yang lama telah terisolir dan memprakarsai kasus-kasus untuk ditindaklanjuti oleh para juru rawat CMHN tersebut di klinik-klinik terdekat. IOM berada dalam posisi yang sangat baik untuk membantu menjembatani jarak kepercayaan antara penduduk dan layanan kesehatan yang telah meninggalkan mereka selama ini dan perlu menjelajahi kemungkinan memulai program seperti itu.
60
Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara/ September 2006
Pengintegrasian Pencaharian
PrograM-PrograM
PsiKososial
Dan
PengeMbangan
Mata
Temuan-temuan dari Penelitian Kebutuhan Psikososial ini menunjukkan secara jelas bahwa masalah kesehatan mental terjadi bersamaan dengan masalah ekonomi yang terkait dengan konflik. Hal ini penting terutama dalam masyarakat-masyarakat yang menderita evakuasi paksa dari desa mereka atau penghancuran yang sistematis atas infrastruktur dasar. Studi ini memberikan bukti kuat akan adanya kebutuhan adanya layanan kesehatan mental. Di lain sisi, penelitian kami menandakan bahwa program-program kesehatan mental serta program-program bantuan ekonomi dan infrastruktur harus dilakukan secara bersamaan. Program kesehatan mental kecil kemungkinannya untuk berhasil jika tidak ada investasi berupa pembangunan kembali ekonomi setempat. Di lain sisi, intervensi kesehatan mental dan program mata pencaharian dapat berinteraksi secara sinergis, dimana program-program kesehatan mental akan memberikan efek multiplier pada manfaat program mata pencaharian tersebut.
Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara/ September 2006
61
62
Penelitian Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara/ September 2006
untuk keterangan lebih lanjut: international organization for Migration (ioM) surya building 13th floor jl. Mh. thamrin Kav.9 jakarta 10350 indonesia Ph. +6221 3983 8529 fax. +6221 3983 8528 email. infoindonesia@iom.int www.iom.or.id