Anda di halaman 1dari 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA III.1.Klasifikasi Nyeri Nyeri dapat diklasifikasikan dalam beberapa kelompok : III.1.

1 Berdasarkan timbulnya nyeri dapat diklasifikasi menjadi : a. Nyeri Akut Nyeri yang timbul mendadak dan berlangsung sementara. Nyeri ini ditandai dengan adanya aktivitas otonom seperti : takikardia, hipertensi, hiperhidrosis, pucat dan midriasis dan perubahan wajah. Bentuk nyeri akut dapat berupa : 1. Nyeri somatik luar : nyeri tajam di kulit, subkutis dan mukosa 2. Nyeri somatik dalam : nyeri tumpul pada otot rangka, sendi dan jaringan ikat 3. Nyeri viseral : nyeri akibat disfungsi organ viseral b. Nyeri Kronik Nyeri berkepanjangan dapat berbulan-bulan tanpa tanda-tanda aktivitas otonom kecuali serangan akut. Nyeri tersebut dapat berupa nyeri yang tetap bertahan sesudah penyembuhan luka (penyakit/operasi) atau awalnya berupa nyeri akut lalu menetap sampai melebihi 3 bulan. III.1.2 Berdasarkan derajat nyeri dikelompokkan menjadi : a. Nyeri ringan adalah nyeri yang hilang timbul, terutama sewaktu melakukan aktivitas sehari-hari dan hilang pada waktu tidur. b. Nyeri sedang adalah nyeri terus menerus, aktivitas terganggu yang hanya hilang apabila penderita tidur. c. Nyeri berat adalah nyeri yang berlangsung terus menerus sepanjang hari, penderita tak dapat tidur atau sering terjaga oleh gangguan nyeri sewaktu tidur.

III.1.3. Berdasarkan sumber nyeri , maka nyeri dibagi menjadi : a. Nyeri somatik luar Nyeri yang stimulus berasal dari kulit,jaringan subkutan dan membran mukosa. Nyeri biasanya dirasakan seperti terbakar,jatam dan terlokalisasi b. Nyeri somatik dalam Nyeri tumpul (dullness) dan tidak terlokalisasi dengan baik akibat rangsangan pada otot rangka, tulang, sendi dan jaringan ikat. III.1.4 Berdasarkan sebab dapat diklasifikasikan : a. Nyeri Nosiseptif Diartikan sebagai persepsi adanya suatu bahaya yang dihasilkan oleh kerusakan selular yang berhubungan dengan injuri pada prosedur bedah, trauma dan penyakit. Rasa sakit nosiseptif juga dinamakan rasa sakit inflamatori karena adanya inflamasi perifer dan mediator inflammasi yang berperan penting dalam inisiasi dan perkembangan rasa sakit. Umumnya, intensitas dari rasa sakit nosiseptif berbanding lurus dengan besarnya kerusakan jaringan dan pengeluaran mediator inflammasi. b. Nyeri Neuropatik Rasa sakit neuropatik diartikan oleh International Association of the Study Pain sebagai rasa sakit yang diinisiasi atau disebabkan oleh lesi patologis atau disfungsi pada saraf perifer dan susunan safar pusat (SSP). Beberapa ahli mempertimbangkan bahwa suatu keadaan sakit kronik berhubungan dengan perubahan remodeling struktural atau plastisitas harus dikarakteristikan sebagai neuropatik. c. Nyeri Psikogenik Nyeri ini berhubungan dengan adanya gangguan jiwa misalnya cemas dan depresi. Nyeri akan hilang apabila keadaan kejiwaan pasien tenang. III.2. Patofisiologi Nyeri Proses fisiologi nyeri Kerusakan jaringan adalah merupakan sumber rangsang nyeri (noxious stimuli). Rangsang nyeri akan diterima oleh reseptor nyeri (nosiseptor) yang ditemukan hampir diseluruh bagian tubuh, kemudian melalui serabut saraf A delta

(myelinated dan fast conduction) dan serabut saraf C (unmylinated dan slow conduction) akan diteruskan susunan saraf pusat sehingga akan disadari sebagai suatu nyeri. Proses dari sumber rangsang nyeri sampai dirasakan nyeri sebagai presepsi nyeri terdapat suatu rangkaian elektrofisiologi yang disebut nosisepsi. Nosisepsi ini meliputi 4 proses fisiologis yaitu : 1. Transduksi Yaitu proses di mana suatu rangsangan nyeri (noksius stimuli ) baik fisik (tekanan, suhu) maupun kimia (substansi nyeri) diubah menjadi aktivitas listrik yang akan diterima ujung-ujung saraf sensoris (nerve ending) 2.Transmisi Proses penjalaran rangsangan nyeri melalui serabut saraf sensoris sebagai kelanjutan dari transduksi. Dalam proses ini terlibat tiga komponen saraf yaitu saraf sensorik perifer yang meneruskan impuls ke medula spinalis, kemudian jaringan saraf yang meneruskan impuls yang menuju ke atas (asendens), dari medula spinalis kebatang otak dan talamus. Yang terakhir hubungan timbal balik antara talamus dan korteks. 3. Modulasi Yaitu proses terjadinya interaksi antara sistem analgesik endogen dengan asupan nyeri yang masuk ke kornu posterior. Merupakan suatu proses desenden yang dikontrol oleh otak. Yang termasuk analgesik endogen adalah opiat endogen, serotonergik dan noradrenergik yang memiliki kemampuan menekan asupan nyeri di kornu posterior. Kornu posterior diibaratkan sebagai pintu gerbang nyeri yang bisa tertutup atau terbuka untuk menyalurkan impuls nyeri. 4. Persepsi Yaitu proses akhir dari suatu mekanisme nyeri yang dimulai dengan transduksi, transmisi, dan modulasi yang pada akhirnya menghasilkan persepsi nyeri yang sangat subjectif yang dikenal sebagai persepsi nyeri.Seperti pada gambar 1.

Gambar Proses Perjalanan Nyeri Sensitisasi Perifer Kerusakan jaringan akan menyebabkan dilepaskannya sejumlah substansi nyeri berupa ion K, H, Bradikinin, histamin, prostaglandin, dan substansi P dan lain sebagainya. Substansi nyeri ini akan merangsang ujung-ujung saraf A delta dan serabut C (nosiseptor). Subtansi P dan prostaglandin akan meningkatkan sensitasi dan mengaktifkan nosiseptor. Prostaglandin inilah yang diduga memegang peranan besar dalam respon inflamasi nyeri. Semakin banyak substansi nyeri dilepaskan akan semakin banyak nosiseptor yang diaktifkan dan diikuti dengan peningkatan sensitivitas dari nosiseptor itu sendiri. Proses peningkatan jumlah dan sensivitas nosiseptor tersebut menyebabkan proses transduksi menjadi lebih sensitif, hal ini yang menyebabkan rangsangan nyeri akan dirasakan lebih hebat dan berlangsung lama,walaupun rangsangan sudah dihentikan. Sensitisasi Sentral Seperti halnya stimulus noksius (pada nosiseptor) yang berkepanjangan dapat menyebabkan sensitisasi perifer, demikian pula stimulasi yang berulang-ulang pada neuron kedua akan menyebabkan sensitisasi sentral. Kemampuan jaringan

saraf untuk mengubah responnya terhadap stimulus merupakan fungsi sistem saraf dan disebut plastisitas neural. Proses modulasi ini terjadi karena sensitisasi neuron di kornu dorsalis. Sensitisasi sentral dapat berlangsung dalam waktu singkat disebut wind up sampai beberapa jam. Fenomena wind up dan long term potentiation bergantung pada aktivasi reseptor. Secara klinis perubahan akibat hipersensitifitas sentral ini dikenal sebagai hiperalgesia, alodinia, persisten pain dan reffered pain. III.3. Penilaian Nyeri Nyeri merupakan masalah yang sangat subjektif. Pengetahuan insidens dan beratnya nyeri pasca bedah sangat penting untuk melakukan penanganan nyeri yang optimal. Ada beberapa metode yang umumnya digunakan untuk menilai nyeri antara lain : a. Verbal Rating Scale (VRS) Metode ini menggunakan suatu word list untuk mendiskripsikan nyeri yang dirasakan. Pasien disuruh memilih kata-kata atau kalimat yang menggambarkan karakteristik nyeri yang dirasakan dari word list yang ada. Metoda ini dapat digunakan untuk mengetahui intensitas nyeri dari saat pertama kali muncul sampai tahap penyembuhan. Penilaian ini menjadi beberapa kategori nyeri yaitu : tidak nyeri (none) nyeri ringan (mild) nyeri sedang (moderate) nyeri berat (severe) nyeri sangat berat (very severe)

2. Numerical Rating Scale (NRS) Metoda ini menggunakan angka-angka untuk menggambarkan range dari intensitas nyeri.Seperti pada gambar 2. Umumnya pasien akan menggambarkan intensitas nyeri yang dirasakan dari anga 0-10. 0 menggambarkan tidak ada nyeri sedangkan 10 menggambarkan nyeri yang hebat.

Gambar 2. Numeric Rating Scale 3. Visual Analogue Scale (VAS) Metoda ini paling sering digunakan untuk mengukur intensitas nyeri. Metoda ini mnenggunakan garis sepanjangs 10 cm yang menggambarkan keadaan tidak nyeri sampai nyeri yang sangat hebat. Pasien menandai angka pada garis yang menggambarkan intensitas nyeri yang dirasakan. Keuntungan menggunakan metode ini adalah sensitif untuk mengetahui perubahan intensitas nyeri, mudah dimengerti dan dikerjakan, dan dapat digunakan dalam berbagai kondisi klinis. Kerugiannya adalah tidak dapat digunakan pada anak-anak usia 8 tahun dan mungkin sukar diterapkan jika pasien sedang berada dalam nyeri hebat.

Gambar 3. Visual Analogue Scale 4. McGill Pain Questionnaire (MPQ) Metoda ini menggunakan check list untuk mendiskripsikan gejala-gejala nyeri yang dirasakan. Metoda ini menggambarkan nyeri dari berbagai aspek antara lain sensorik, afektif dan kognitif. Intensitas nyeri digambarkan dengan merangakig dari 0 sampai 3. 5. The Faces Pain Scale Metoda ini dengan cara melihat mimik wajah pasien dan biasanya untuk menilai nyeri pada anak-anak.

Gambar 4. Faces Pain Scale

3.4

Penyebab Variasi Kebutuhan Analgesik Pada praktek klinis, kebutuhan tersebut didasarkan pada percobaan dan kesalahan yang pernah dilakuakan; Anestesilogis yang beada pada posisi yang tepat untuk terlibat dalam peresepan analgesia pasca operasi, sesuai dengan perkiraan kebutuhan dosis yang diperolehnya selama tatalaksana anesthesia.

3.4.1 Lokasi dan Jenis Pembedahan Secara umum, pembedahan abdomen letak tinggi menyebabkan nyeri yang lebih berat daripada pembedahan abdomen letak rendah, di mana perubahannya dihubungkan dengan nyeri yang lebih berat daripada pembedahan perifer. Keumuman ini tidak sepenuhnya akurat, operasi pada bilangan inervasi yang beragam dapat berhubungan dengan nyeri yang sangat berat. Jenis nyeri dapat berbeda pada jenis pembedahan yang berbeda. Operasi pada sendi berhubungan dengan nyeri yang tajam,berbeda dengan pembedahan abdomen yang berhubungan dengan jenis nyeri; sakit tumpul terus menerus yang menimbulkan mual ( yang berespon baik pada morfin) dan nyeri tajam yang disebabkan batuk dan pergerakan (yang berespon cukup buruk pada morfin). Nyeri berhubungan dengan pembedahan pada bilangan tertentu dapat berespon cukup buruk pada opioid, namun baik pada obat anti inflamasi non steroid. Terdapat kejadian yang meningkat pada invasive minimal berupa pembedahan laparaskopik yang menghasilkan nyeri pasca operasi yang tidak berkelanjutan daripada jika dibandingan dengan teknik tradisional, namun nyeri dapai menjadi berat, terutama pada periode segera setelah pasca operasi.

3.4.2 Umur, Jenis Kelamin dan Berat Badans Kebutuhan anlgesik pada laki-laki dan perempuan memiliki kemiripan pada jenis pembedahan yang sama. Namun, terdapat pengurangan kebutuhan analgesic pada usia lanjut. Sebagai dampaknya, hal tersebut penting bagi ahli anestesi untuk mengurangi osis obat opioid pada pasien manula. Sebagai contoh,

dosis awal yang rasional untuk intramuscular (atau subkutan) pemberian morfin pasca operasi adalh 1.5-1.5 mg untuk pasien yang berumur 20-39 tahun, tetapi dosis harus diturunkan hanya berkisar 2.5-5.0 mg untuk pasien yang berumur 7085 tahun.Praktek ahli anestesi telah menetapkan peresepan obat opioid poten pada miligtram atau microgram per berat badan memiliki landasan ilmiah berlaku yang lemah. Tidak terdapat bukti untuk menunjukkan bahwasannya berat badan pada populasi dewasa mempengaruhu besarnya pemberian opioid.

3.4.3 Faktor Psikologi Kepribadian pasien berpengaruh pada persepsi nyeri dan respon terhadap obat analgesic. Sehingga, pasien dengan kecemasan yang rendah dan penilaian neurotisism rendah pada skala personalitas menunjukkan nyeri pasca operasi yang ringan dan membutuhkan dosis opioid yang lebih rendah daripada pasien yang memiliki tingkat skala ini yang lebih tinggi. Pasien dengan penilaian tinggi menunjukkan insidensi konplikasi dada pasca operasi yang lebih tinggi .Lamanya kecemasan pasien juga mempengaruhi persepsi nyeri; peningkatan kecemasan menyebabkan peningkatan derajat nyeri pasca operasi yang di dapat dan peningkatan kebutuhan opioid. Faktor psikologikal tersebut membantu menjelaskan keberhasilan psikoterapi pre operasi. Kecemasan dan kebutuhan analgesic pasca operasi dikutangi apabila perencanaan pre operasi oleh ahli anestesi meliputi penjelasan yang akan terjadi selama peri operasi dan perhatian detail pada ketentuan pemulihan dari nyeri. III.4. Pengobatan Nyeri Pada pengobatan nyeri biasanya digunakan analgetik golongan anti inflamasi non steroid dan golongan opioid untuk mengatasi nyeri. III.4.1 Obat Anti Inflamasi Non Steroid Obat Anti Inflamasi Non Steroid digunakan untuk mengatasi nyeri pasca bedah yang sedang atau ringan. NSAID merupakan golongan obat yang menghasilkan analgesia melalui aksi peripheral. Mekanisme kerja obat ini

menghambat aktivitas ensim siklo-oksigenase, sehingga terjadi penghambatan sintesis prostaglandin perifer. Prostaglandin dihasilkan oleh fosfolipid dari dinding sel yang rusak akibat trauma bedah. Prostaglandin sendiri secara langsung tidak menyebabkan nyeri tetapi menurunkan respons terhadap inflamasi sehingga mengurangi nyeri perifir. NSAID dapat diberikan secara oral, rectal atau intravena. NSAID meredakan nyeri tanpa sedasi, depresi pernapasan, mual dan muntah tetapi penggunaannya terbatas pada efek samping pada lambung, ginjal dan trombosit, serta asma yang diinduksi aspiripin pada pasien yang rentan. Tabel Penggolongan OAINS secara Kimiawi

III.4.2 Analgesik Opioid Opioid merupakan obat-obatan analgetik utama yang masih dipakai dalam memberikan terapi pada nyeri dan sangat efektif sebagai obat analgesik pasca bedah. Reseptor opioid ada 3 jenis utama yaitu mu (), delta () dan kappa. Reseptor opioid sebenarnya tersebar luas diseluruh jaringan sistem saraf pusat, tetapi lebih terkonsentrasi di otak tengah yaitu disistem limbik, talamus, hipotalamus, korpus striatum, sistem aktivasi retikuler dan di korda spinalis yaitu subtansia gelatinosa

dan dijumpai pula dipleksus saraf usus. Molekul opioid dan polipeptida endogen (metenkefalin, beta-endorfin, dinorfin) berinteraksi dengan reseptor morfin dan menghasilkan efek.

Klasifikasi Obat golongan opoiod

Efek penggunaan opiod ialah : 1. Susunan Saraf Pusat Berupa analgesia dan narkosis. Dapat juga menimbulkan euforia, disforia, rasa kantuk, tidak dapat berkonsentrasi, sukar berpikir, apaptis, aktivitas motorik berkurang, ketajaman penglihatan berkurang, ekstremitas terasa berat, badan terasa panas, muka gatal dan mulut kering. a. Depresi pernafasan Depresi pernafasan, efek samping dari opioid yang paling ditakuti, biasanya dapat dihindari dengan melakukan titrasi dosis dengan cermat. Sejumlah penelitian yang mengamati hipoksia pada periode pasca-operatif, pada pasienpasien yang mendapatkan opioid sebagai pereda nyeri, menemukan bahwa pengukuran frekuensi nafas sebagai indikator depresi nafas memiliki manfaat yang sangat kecil, dan seringkali episode hipoksemia terjadi tanpa penurunan

frekuensi nafas. Depresi pernafasan selalu didahului oleh sedasi, dan indikator klinis awal yang paling baik adalah meningkatnya sedasi. b. Mual dan muntah Mual dan muntah pasca-operatif, sering terjadi dan seringkali pula dihubungkan dengan pemberian obat-obatan opioid. Resiko ini dikurangi dengan penggunaan droperidol, dexamethasone dan odansetron, yang sama efektifnya; propofol dan penghilangan nitrous oxide dinilai kurang efektif dalam mengatasi hal ini. c. Miosis Morfin dan kebanyakan opioid agonis yang bekerja pada reseptor u dan k menyebabkan miosis. Miosis ditimbulkan oleh perangsangan pada segmen otonom inti saraf okulomotor. 2. Saluran Cerna Menyebabkan pergerakan lambung berkurang tonus bagian antrum meninggi dan motilitas. Meninggikan tonus dan spasme periodik usus halus. Mengurangi atau menghilangkan gerakan propulsi usus besar, meninggikan tonus dan menyebabkan spasme usus. 3. Sistem Kardiovaskular Morfin dan opioid lain menurunkan kemampuan sistem kardiovaskuler untuk berinteraksi terhadap berubahan sikap. Pasien mungkin mengalami hipotensi ortostatik dan dapat jatuh pingsan terutama akibat vasodilatasi perifer yang terjadi berdasarkan efek langsung terhadap pembuluh darah kecil. Morfin dan opioid lain melepaskan histamin yang merupakan faktor penting dalam timbulnya hipotensi. 4. Kulit Menyebabkan pelebaran pembuluh darah kulit, sehingga kulit tamapak merah dan terasa panas terutama diflush area (muka,leher,dan dada bagian atas). 5. Metabolisme Menyebabkan suhu badan turun akibat aktivitas otot yang menurun, vasodilatasi perifer dan penghambatan mekanisme neural di SSP.

III.5. Prinsip umum Penatalaksanaan Nyeri Terapi farmakologi dalam menangani nyeri mengikuti WHO THREE-STEP ANALGESIC LADDER. Tiga langka tangga analgesic menurut WHO untuk pengobatan nyeri itu terdiri dari : 1. Pada mulanya, langkah pertama, hendaknya menggunakan obat analgesic non opioid. 2. Apabila masih tetap nyeri naik ke tangga/langkah kedua, yaitu tambah obat opioid lemah misalnya kodein 3. Apabila ternyata masih belum reda atau menetap maka sebagai langkah ketiga disarankan menggunakan opioid keras yaitu morfin.

Anda mungkin juga menyukai