Anda di halaman 1dari 16

1) Hubungan dengan Peer a) Hubungan Remaja dengan Teman Sebaya Seperti yang telah dijelaskan di bagian sebelumnya, masa

remaja adalah masa dimana seorang individu mengalami perubahan secara signifikan dalam aspek biologis, kognitif, psikologis, dan sosial. Bisa dikatakan remaja adalah masa dimana individu meniti jalan menuju kedewasaan. Berbagai perubahan yang dialami untuk menuju kedewasaan ini menyebabkan masa remaja menjadi masa yang sulit bagi seorang individu. Mereka mengalami berbagai hal, mulai dari kegembiraan, kecemasan, masalah yang rumit, penemuan-penemuan baru, kebingungan, gangguan dari masa lalu, sampai hal-hal yang mulai harus dipikirkan berkaitan dengan masa depan mereka (Lerner, Brennan, Noh, & Wilson, 1998). Remaja merasakan berbagai hal tersebut sebagai sesuatu yang dramatis hingga mereka membutuhkan orang lain yang bisa sungguh-sungguh mengerti mereka. Orang tua mereka tak lagi mereka pandang sebagai individu yang bisa megerti mereka secara sepenuhnya. Oleh karena itu, pada masa remaja hubungan dengan teman sebaya akan relatif meningkat seiring dengan menurunnya hubungan remaja dengan orang tuanya. Dengan teman sebaya, remaja merasa lebih diterima dan bisa mengembangkan kemandirian serta identitas diri mereka sendiri secara bebas tanpa pengawasan dari orang tua mereka (Focus Adolescent Service, 2008). Pada masa remaja, biasanya seseorang tidak hanya memiliki satu teman dekat saja tapi mereka tergabung dalam satu atau lebih kelompok. Biasanya dalam kelompok ini terdiri dari remaja yang memiliki persamaan latar belakang (jenis kelamin, ras, dan tingkat sosial ekonomi), persamaan orientasi terhadap sekolah, atau kesamaan dalam minat/hobi. Hubungan persahabatan yang terjalin pada masa ini juga bersifat dinamis. Dinamis disini berarti bahwa persahabatan yang mereka bina bisa berlangsung lama, berpindah dari satu kelompok ke kelompok yang lain, bisa kehilangan salah satu sahabat, atau membina persahaban yang baru. Hubungan dengan teman sebaya juga bisa mendorong perubahan positif dalam perkembangan remaja. Dengan teman sebayanya, remaja dapat mengeksplorasi identitas diri mereka, belajar norma sosial, dan melatih kemandirian mereka. Hubungan sehat dengan teman sebaya juga dapat memberikan dukungan sosial bagi individu dalam menghadapi berbagai tantangan yang mereka hadapi pada masa remaja. Selain itu, remaja

merasakan masa-masa bahagia dan menyenangkan bersama kelompok teman sebaya mereka (Guzman, 2007). Namun tidak selamanya hubungan dengan teman sebaya bisa memberi pengaruh positif pada anak. Penelitian membuktikan bahwa tekanan dari teman sebaya membuat anak berlaku negatif, seperti mulai merokok, menggunakan obatobatan terlarang, melakukan perilaku seksual (Heubeck, 2010). Risiko terjadinya pengaruh negatif ini bisa meningkat jika anak berteman dengan orang yang lebih tua dari mereka (Smith, 2004), terutama yang berkaitan dengan perilaku seksual. Sementara itu di Indonesia saat ini sedang marak topik pencucian otak pada remaja mengenai paham agama tertentu. Hal ini juga merupakan dampak negatif dari pergaulan dengan orang di luar keluarganya. Dalam harian Okezone, pemerhati anakKak Setomenyatakan bahwa remaja memang sasaran empuk untuk doktrindoktrin sesat (http://news.okezone.com/read/2011/04/22/337/448890/abg-sasaran-

empuk-doktrin-nii, 2011). Pada masa remaja, individu sedang berada dalam proses pencarian jati diri, sehingga mereka cenderung mdak dibekali oleh mengeksplorasi hal-hal di sekitar mereka untuk menemukan prinsip utama dalam hidup mereka. Jika dalam proses eksplorasi ini individu tidak memiliki pendirian yang teguh dan cenderung terisolasi secara sosial, individu tersebut akan melakukan apa pun demi mendapat pengakuan dari orang lain (Miller, 2004, dalam Heubeck, 2010). Dalam kasus doktrin paham sesat, individu tersebut rela melakukan apa pun yang diinginkan kelompoknya demi mendapatkan perasaan bahwa dirinya berharga bagi orang lain. Selain itu, menurut teori Kohlberg (dalam Boujlaleb, 2006) remaja sedang berada tahapan moral dimana mereka tak lagi menekankan goodness tapi lebih mementingkan untuk memenuhi harapan orang lain dan membuat senang orang lain.

b) Sikap Orang tua terhadap Hubungan Remaja dengan Teman Sebaya Meningkatnya hubungan anak dengan teman sebayanya bukan berarti peran orang tua dalam kehidupan anaknya menjadi tidak penting. Hubungan dengan orang tua akan mempengaruhi pembentukan hubungan dengan teman sebaya, dan begitu juga sebaliknya. Dalam hal ini, pola asuh orang tua sangat berpengaruh dalam pembentukan hubungan dengan teman sebaya. Pola asuh autoritatif akan memberikan pengaruh paling baik dalam pembentukan hubungan dengan teman sebaya. Kebanyakan anak yang diasuh dengan pola ini cenderung mandiri, percaya diri, dewasa, memiliki social skill dan prestasi akademik yang baik, serta lebih mudah

beradaptasi. Sementara anak yang diasuh dengan pola authoritarian akan cenderung pemalu, memiliki social skill yang rendah, dan tumbuh menjadi individu yang dependent. Namun pola asuh authoritarian akan tepat jika diterapkan dalam lingkungan yang miskin atau tingkat criminal yang tinggi. Sedangkan anak yang diasuh dengan pola asuh permisif akan cenderung kurang dalam hal kedewasaan, disiplin, kepemimpinanm dan kemampuan untuk bertahan dalam pengaruh buruk dari teman sebaya. Pola asuh yang terakhir, yaitu rejecting-neglecting, akan membuat anak cenderung buruk dalam kemampuan akademik, terlibat dalam kenakalan remaja dan ketidakmampuan dalam mengontol perilaku impulsif (Bateman, 2011). Dalam penelitian yang dilakukan oleh Field dan Diego (2002), remaja yang memiliki hubungan yang kuat baik dengan orang tua maupun teman sebayanya cenderung memiliki lebih banyak teman, banyak menghabiskan waktu dengan keluarga, memiliki tingkat depresi yang rendah, dan mencapai prestasi akademik yang memuaskan. Mereka juga lebih mudah dalam menyesuaikan diri di lingkungan serta mengembangkan sikap simpati pada orang lain. Namun menyeimbangkan kualitas baik antara hubungan dengan orang tua dan dengan teman sebaya bukan merupakan hal yang mudah. Pada kenyataannya, kebanyakan orang tua mengasosiasikan hubungan dengan teman sebaya akan membawa pengaruh buruk pada anak mereka. Karena anggapan demikian, banyak orang tua yang malah memberi batasan yang sangat ketat pada anak dalam bergaul. Padahal pada masa remaja, anak sangat membutuhkan penerimaan dan dukungan dari orang terdekatnya. Jika orang tua memberi batasan yang ketat maka anak akan merasa terisolasi dan merasa dirinya tidak dimengerti oleh orang tuanya. Keadaan ini akan mengarah pada perilaku berisiko untuk mendapatkan penerimaan dari pihak lain yang belum tentu merupakan pihak yang baik (Focus Adolescent Service, 2008). Oleh karena itu, sebaiknya orang tua mendukung hubungan anak dengan teman sebayanya dan tetap memberikan pengawasan. Berikut cara-cara yang bisa dilakukan orang tua untuk mendukung hubungan anak dengan teman sebayanya (Smith, 2004):
y y

Mengenal dan mengetahui latar belakang semua teman terdekat anak. Fokus pada teman-teman anak yang memiliki sifat positif, yang mungkin bisa menjadi role-model positif bagi anak.

Awasi hubungan anak dengan teman lawan jenis yang menurut Anda berisiko member pengaruh negative, terutama pada teman yang lebih tua.

Mencari tahu bagaimana hubungan teman-teman anak Anda dengan orang tua mereka. Berikut ini merupakan strategi untuk meminimalisir efek negative dari teman

sebaya (Brown, 1990, dalam Guzman, 2007):


y

Tumbuhkan self-esteem positif anak sehingga mereka dapat mempersiapkan d iri untuk mengembangkan hubungan yang positif dan menolak tekanan negatif. Mendorong hubungan yang positif antara orang-orang dewasa di sekitar anak dan teman-teman sebaya anak, sehingga dapat menciptakan lingkungan yang positif bagi anak.

Mendorong hubungan yang beragam dengan individu-individu dengan berbagai latar belakang.

Mendukung parent education untuk keluarga dengan anak remaja, sehingga orang tua dapat mengetahui pola asuh yang tepat bagi anak remajanya.

Persiapkan anak untuk bisa membuat keputusan yang baik dan melawan perilaku negatif.

Ajarkan strategi untuk mengatakan tidak pada tekanan negatif.

2) Dating a) Dating pada Remaja Pada masa remaja, anak mulai memikirkan, membicarakan, dan terlibat secara langsung dalam hubungan romantis (Furman, 2002, dalam Sorensen, 2007). Bahkan hubungan romantis merupakan pusat dari kehidupan sosial remaja (Teenage Research Unlimited, 2006, dalam Sorensen, 2007). Walaupun mereka tidak terlibat langsung dalam hubungan romantis, pada masa ini mereka terpreokupasi pada isu-isu yang berkaitan dengan hubungan romantis. Remaja menghabiskan banyak waktunya bersama kelompok yang terdiri dari dua gender dimana dalam kelompok ini biasanya mereka memulai hubungan romantis mereka (Connoly, Craig, Goldbreg, & Pepler, 2004, dalam Sorensen, 2007). Walaupun sebagian besar hubungan romantis pada masa remaja hanya bertahan selama beberapa minggu atau bulan, jalinan hubungan ini berperan penting dalam kehidupan remaja dan penting untuk mengembangkan kapasitas untuk membina hubungan jangka panjang yang berkomitmen pada masa dewasa nanti. Kualitas dari hubungan romantis ini juga memiliki efek jangka panjang pada self-

esteem dan membentuk nilai-nilai individu dalam membina hubungan romantis dan nilai-nilai seksual (Barber & Eccles, 2003, dalam Sorensen, 2007). Hubungan romantis pada masa remaja bisa memberikan dampak positif maupun dampak negatif. Dampak positif bisa didapatkan jika remaja dapat membina hubungan yang sehat. Hubungan romantis yang sehat ditandai oleh adanya keterbukaan, tingkat kepercayaan yang tinggi, dan pasangan biasanya memiliki usia yang hampir sama. Hubungan sehat ini membantu remaja untuk menemukan identitas diri mereka, mengembangkan interpersonal skill, dan juga dapat memberikan dukungan emosional yang kuat (Barber & Eccles, 2003, dalam Sorensen, 2007). Sementara itu, hubungan yang tidak sehat dapat meningkatkan risiko hal-hal yang tidak diinginkan dan dapat memberi dampak yang berkepanjangan. Salah satu dampak negatif hubungan romantis adalah terjadinya kekerasan, baik kekerasan verbal, emosional, maupun fisik. Sebagian besar remaja mengaku pasangan mereka sering membuat mereka merasa diri mereka buruk dan memalukan. Tak jarang juga dari mereka merasakan kekerasan fisik dari pasangannya ( Teenage Research Unlimited, 2006, dalam Sorensen, 2007). Kekerasan dalam berpacaran tidak hanya terjadi pada pasangan heteroseksual. Bahkan studi menujukkan bahwa mereka dengan orientasi seksual minoritas mengalami lebih banyak kekerasan daripada remaja lain (Massachusetts Department of Education, 2003, dalam Sorensenn, 2007). Remaja yang mengalami kekerasan fisik dalam berpacaram akan memiliki risiko yang lebih tinggi untuk terlibat dalam hubungan dengan kekerasan pada masa dewasa (National Center for Injury Prevention and Control, 2006, dalam Sorensen, 2007). Selain itu, hubungan romantis pada masa remaja juga bisa menyebabkan kehamilan pada remaja dan tertular penyakit seksual. Biasanya remaja yang mengalami hal ini karena mereka cenderung menerima hubungan yang tidak sehat. Mereka terlalu mentolerir paksaan dari pasangan mereka (Albert, Brown, & Flanigan, 2003, dalam Sorensen, 2007). Bahkan tak jarang yang mengartikan paksaan tersebut sebagai tanda cinta dari pasangannya.

b) Sikap Orang tua terhadap Perilaku Dating Remaja Selama ini banyak orang tua yang menolak anak remajanya untuk berpacaran. Namun melihat bahwa hubungan romantis merupakan isu yang penting bagi remaja, akan lebih baik jika orang tua turut berperan aktif dalam mendampingi anak remajanya untuk menjalani hubungan romantis. Pendampingan ini juga diharapkan

dapat mengurangi risiko dampak negatif dari hubungan romantis pada remaja. Untuk itu, orang tua sebaiknya mengetahui tentang hal-hal berikut ini ketika menyadari anak remajanya mulai tertarik dalam isu berpacaran (Witmer, 2011):
y

Ketika anak remaja mulai tertarik pada isu berpacaran, sebaiknya orang tua memahami hal tersebut sebagai sesuatu yang normal pada tahap perkembangan remaja. Akan lebih baik jika orang tua juga mengkomunikasikan pemahamannya ini terhadap anak, sehingga anak merasa perasaannya diterima dan menjadi lebih terbuka pada orang tua.

Remaja tidak tahu bagaimana harus membina hubungan romantis yang sehat. Oleh karena itu, sebaiknya orang tua membicarakan isu ini secara terbuka pada anak dan mengajarkan anak mengenai nilai nilai penting dalam membina hubungan romantis. Kedua orang tua juga harus memberi contoh pada anak dengan cara membina hubungan suami-istri yang sehat.

Remaja yang orang tuanya membicarakan isu berpacaran akan lebih siap dalam menjalani hubungan romantis dan merasa lebih bahagia. Orang tua sebaiknya tidak membuat anak merasa cemas dan tertolak dengan member peraturan yang sangat ketat dalam berpacaran. Akan lebih baik jika orang tua membicarakan isu ini dengan santai, sehingga hubungan antara orang tua dan anak juga akan semakin kuat.

Pada masa ini, remaja membutuhkan privasi. Orang tua kadang merasa tidak nyaman ketika mereka tidak tahu apa yang tengah terjadi dalam hidup mereka. Namun ketika anak mulai berpacaran sebaiknya orang tua tidak terlalu banyak berusaha untuk mengetahui semua hal yang dialami anaknya. Sebaiknya orang tua memberi ruang kebebasan bagi anak, tapi ketika anak membutuhkan panduan, orang tua diharapkan agar selalu ada untuk mereka.

Apa pun yang terjadi dalam hubungan romantisnya,

anak tetap

membutuhkan pendampingan dari orang tua. Tidak selamanya pengalaman anak dalam berpacaran adalah hal yang menyenangkan, oleh karena itu sebaiknya orang tua mempersiapkan diri untuk menghadapi berbagai kemungkinan yang akan terjadi. Orang tua sebaiknya tetap bisa memberikan pendampingan seburuk apa pun pengalaman yang didapat anak dalam hubungan romantisnya. Selain mendukung dan mengawasi, orang tua juga harus peka terhadap kemungkinan adanya tanda-tanda anaknya telah mengalami kekerasan dalam

hubungan romantisnya. Berikut merupakan hal-hal yang bisa menjadi tanda adanya kekerasan tersebut (Witmer, 2011):
y y

Prestasi di sekolah menurun drastis. Menjadi cenderung susah mengambil keputusan dan berhenti mengemukakan pendapatnya sendiri.

y y y y y y y

Perubahan mood atau kepribadian. Penggunaan obat-obatan terlarang atau alcohol. Emosional yang meledak-ledak, tidak hanya mood swings. Depresi. Cenderung terisolasi dan sangat tertutup. Adanya tanda luka. Membiarkan tingkah laku abuser. Akan lebih baik jika Anda mampu mengenali tanda-tanda pelaku kekerasa

dalam hubungan romantis anak Anda. Berikut merupakan hal-hal bisa menjadi pertanda tersebut (Witmer, 2011):
y

Individu tersebut mudah cemburu, terlalu sensitif, dan cenderung mongontrol pasangannya.

Melakukan kekerasan secara verbal dan mengancam akan melakukan kekerasan fisik.

y y y y y y y

Mood swings yang tidak dapat diprediksi dan mudah marah. Menggunakan obat-obatan terlarang atau alcohol. Mengisolasi pasangannya dari teman-teman dan keluarganya. Menggunakan paksaan saat bertengkar, baik secara fisik maupun emosional. Menekankan peran gender yang kaku, dan jika perempuan cenderung posesif. Menyalahkan orang lain atas masalah atau perasaannya. Mempunyai pengalaman hubungan dengan kekerasan. Jika orang tua menyadari adanya tanda-tanda tersebut, sebaiknya orang tua

mengajak anak berdiskusi dengan cara yang tenang dan tidak terlalu menekan. Orang tua juga sebaiknya meminta anak untuk mempertimbangkan apakah akan melanjutkan hubungan tersebut atau tidak, tapi jangan terlalu menekan anak untuk segera mengakhiri hubungannya. Biarkan anak yang menentukan sendiri pilihannya dengan diberi pengetahuan tentang konsekuensi-konseukuensi dari setiap pilihan yang dia pilih.

c) Dating Menurut Agama Saat ini banyak keluarga Indonesia yang mengasuh anak mereka dengan tuntunan ajaran agama yang cukup ketat. Hal ini tentu akan mempengaruhi hubungan remaja dengan teman lawan jenisnya mengingat dalam ajaran Agama Islam yang merupakan agama mayoritas di Indonesiaterdapat hukum-hukum yang mengatur dan membatasi pergaulan antar lawn jenis. Jadi apakah ada berpacaran dalam pandangan Agama Islam? Jawaban dari pertanyaan tersebut tergantung dari pengartian makna pacaran itu sendiri. Selama ini kebanyakan orang mengartikan pacaran sebagai kisah sejoli yang hanya sekedar untuk menjalin hubungan kasih dua sejoli, dan hanya sekedar untuk bersenang-senang. Jika yang dimaksud pacaran adalah demikian, maka dalam hukum Islam itu dilarang. Namun jika pacaran diartikan sebagai sarana untuk mengenal calon pendamping lebih jauh, dengan batasan-batasan menurut syariah Islam, maka pacaran itu diperbolehkan dalam Islam. Pacaran dengan arti tersebut memiliki istilah tersendiri dalam Islam, yaitu taaruf. Tujuan taaruf ini adalah sebatas untuk mengenal karakter calon pasangan kita, bukan untuk bersenang-senang. Dalam taaaruf ini, pasangan tidak boleh pergi berduaan tanpa ditemani oleh mahram atau anggota keluarga, karena dalam Islam jika sepasang manusia bersama tanpa ada orang ketiga yang menemani, maka orang ketiganya adalah setan yang akan menjerumuskan kedua manusia tersebut dalam hal maksiat. Kaidah yang paling tepat untuk bergaul antar lawan jenis menurut Islam adalah dengan pandai-pandai menempatkan diri dan menjaga hati. Islam juga mempunyai etika pergaulan antara laki-laki dan perempuan, yaitu sebagai berikut: Saling menjaga pandangan di antara laki-laki dan wanita, tidak boleh melihat aurat , tidak boleh memandang dengan nafsu dan tidak boleh melihat lawan jenis melebihi apa yang dibutuhkan. (An-Nur:30-31) 1. Sang wanita wajib memakai pakaian yang sesuai dengan syari'at, yaitu pakaian yang menutupi seluruh tubuh selain wajah, telapak tangan dan kaki (An-Nur:31) 2. Hendaknya bagi wanita untuk selalu menggunakan adab yang islami ketika bermu'amalah dengan lelaki, seperti:
o

Di waktu mengobrol hendaknya ia menjahui perkataan yang merayu dan menggoda (Al-Ahzab:32)

Di waktu berjalan hendaknya wanita sesuai dengan apa yang tertulis di surat (An-Nur:31 & Al-Qisos:25)

3. Tidak diperbolehkan adanya pertemuan lelaki dan perempuan tanpa disertai dengan muhrim. (Juanda Kusuma, 2011) Dengan etika-etika tersebut, mungkin sebagian dari kita bertanya-tanya kalau tidak ada pacaran, lalu bagaimana cara kita menemukan calon pasangan kita? Biasanya anak dalam keluarga yang berpegang teguh pada ajaran Islam mencari pasangan dengan berdoa, melakukan pengamatan terhadap calon potensial, dan keluarga juga berperan dalam pencarian pasangan ini. Dalam pencarian pasangan, biasanya keluarga muslim melakukan investigasi lebih jauh pada kandidat prospektif dengan berbincang dengan orang terdekat kandidat, seperti guru, professor, atasan, imam, atau rekan kerjanya. Dengan investigasi ini, keluarga bisa mempelajari karakter dari kandidat tersebut (Syed, 2009). Setelah proses ini, jika kedua pihak setuju untuk melangkah ke arah pernikahan, maka bisa dilakukan taaruf. Pasangan boleh bertemu untuk saling mengenal dengan syarat ada orang ketiga yang merupakan muhrim untuk mendampingi mereka berdua.

d) Pernikahan Remaja Isu lain dalam kehidupan remaja adalah pernikahan pada usia remaja. Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Hadi Supeno, dalam diskusi publik di kantor KPAI Jakarta (10/9/2009) mengatakan bahwa angka pernikahan usia dini atau kurang dari 18 tahun masih tinggi mencapai 690 ribu lebih kasus, atau sekitar 34 persen (34% dari semua pernikahan yang terjadi adalah pernikahan dini) pada tahun 2009. Kasus pernikahan dini, dia menambahkan, juga tidak hanya terjadi pada masyarakat pedesaan tapi juga pada masyarakat wilayah perkotaan yang tingkat pendidikannya rata-rata lebih tinggi. Pernikahan dini yang terjadi pada masyarakat miskin terjadi karena mereka tidak punya pilihan lain. Mereka tidak bisa memilih untuk bersekolah atau mengembangkan ketrampilan. Keadaan ekonomi yang paspasan menjadikan pernikahan sebagai satu-satu pilihan yang diharapkan bisa memperbaiki keadaan. Sementara menurut Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), Aisyah Aminy, terjadinya pernikahan dini juga diakibatkan oleh anggapan bahwa pernikahan pada usia dini tidak melanggar aturan agama dengan alasan tambahan "untuk menghindari perbuatan zina"

(http://www.primaironline.com/berita/detail.php?artid=pernikahan-dini-di-indonesia-

capai-690-kasus-per-tahun&catid=Sosial, 2009). Pernikahan pada usia remaja banyak terjadi pada negara-negara di Asia Selatan atau Afrika Barat (Heberland, Chong, Bracken, & Parker, 2004). Alasan pernikahan dini ini memang kebanyakan karena kondisi ekonomi dan anak yang sudah tidak dapat melanjutkan sekolah. Komisioner Bidang Penelaahan KPAI Susilawati

(http://www.primaironline.com/berita/detail.php?artid=pernikahan-dini-di-indonesiacapai-690-kasus-per-tahun&catid=Sosial, 2009) menjelaskan bahwa angka

pernikahan dini yang tinggi memberikan kontribusi terhadap peningkatan kematian ibu, aborsi, perceraian dan kekerasan dalam rumah tangga. Orang yang menikah pada usia dini rata-rata keadaan emosinya masih labil karena secara psikologis belum matang sehingga belum bisa menjalankan fungsi keluarga dengan baik. Ini akan memicu munculnya masalah dalam keluarga yang berujung pada hal-hal tersebut. Selain itu, berdasarkan berdasarkan berbagai studi (Heberland, Chong, Bracken, & Parker, 2004), pernikahan dini menimbulkan banyak permasalahan, yang antara lain adalah sebagai berikut:
y

Dalam lingkungan tertentu, peremouan yang menikah pada usia dini rentan terkena penyakit menular seksual. Hal ini terjadi karena kebanyakan pasangan mereka adalah pria yang jauh lebih tua, dan kemungkinan sudah pernah melakukan hubungan seksual dengan wanita lain. Selain itu dalam berhubungan seksual setelah menikah, tentu banyak pasangan yang tidak menggunakan pengaman.

Remaja perempuan yang menikah biasanya juga berada di bawah tekanan keluarganya untuk segera hamil. Padahal hal tersebut meningkatkan risiko saat melahirkan bayi, karena organ reproduksi remaja yang belum cukup matang.

Remaja perempuan memiliki kuasa yang kecil dalam rumah tangganya. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya kekerasan pada remaja perempuan.

Remaja perempuan yang menikah dan pindah ke tempat suaminya cenderung memiliki social network yang sedikit, sehingga mereka kurang dukungan sosial. Hal ini bisa mengarah pada depresi.

Jika suami sama-sama masih remaja, kemungkinan pasangan tersebut akan mengalami kesulitan ekonomi (Neiler, 2002). Untuk mengurangi angka pernikahan pada usia remaja, bisa dilakukan hal-hal

berikut ini (Heberland, Chong, Bracken, & Parker, 2004):

Pastikan anak perempuan tetap dapat bersekolah walaupun berasal dari keluarga miskin.

Menyediakan lapangan kerja juga dapat menekan angka pernikahan dini. Dengan bekerja, anak perempuan yang tidak lagi sekolah dapat menghidupi dirinya sendiri tanpa bergantung pada pasangan, sehingga dorongan untuk menikah dapat ditekan.

Mengadakan program berbasis komunitas pada masyarakat dengan angka pernikahan dini untuk memberi pengetahuan mengenai risiko pernikahan dini.

Membuat hukum batas usia pernikahan yang tegas dan berdiskusi dengan orang tua, pemuka agama atau orang-orang lain dalam masyarkat yang mendorong diadakannya pernikahn di bawah batas usia menikah yang legal. Selain mencegah terjadinya pernikahan dini, intervensi juga sebaiknya

diberikan kepada remaja yang menikah dini untuk mengurangi risiko terjadinya permasalahan yang merugikan. Intervensi yang bisa dilakukan antara lain adalah sebagai berikut (Heberland, Chong, Bracken, & Parker, 2004):
y

Menumbuhkan kesadaran para perempuan yang menikah dini akan adanya kemungkinan mereka terkena penyakit menular seksual.

Memberi edukasi mengenai reproduksi, kehamilan, melahirkan, dan cara mengatasi postpartum depression.

Memberi edukasi pada para suami mengenai kesehatan reproduksi dan cara berkomunikasi yang sehat dalam pernikahan.

3) Pengaruh Teknologi dan Media terhadap Remaja a) Pengaruh Teknologi Berkembangnya teknologi menyebabkan perubahan budaya yang

mempengaruhi cara manusia bekerja, belajar, dan menghabiskan waktu luangnya. Remaja saat ini banyak menghabiskan waktunya dengan berbagai teknologi di sekitar mereka, salah satunya adalah menggunakan jejaring sosial untuk mebina hubungan sosial secara lebih luas. Remaja juga merupakan pengguna terbesar jejaring sosial (Helsel, 2008). Perkembangan teknologi khususnya internet memungkinkan remaja untuk belajar berbagai hal baru dari seluruh dunia dengan lebih mudah dan merangsang kreativitas mereka untuk menciptakan hal-hal baru melalui internet. Mereka juga dapat mengembangkan identitas diri mereka, mengeksplorasi seksualitas

dan moralitas, terus berinteraksi dengan teman dan keluarga, dan melakukan refleksi diri melalui jejaring sosial (Helsel, 2008). Namun perkembangan teknologi ini juga bisa menimbulkan konsekuensi negatif bagi kehidupan manusia. Adanya internet menyebabkan batasan antara ruang publik dan ruang pribadi menjadi tidak jelas. Hal ini bisa menyebabkan stress dan berkurangnya kepuasan diri, karena dalam situasi apa pun mereka terus terhubung dengan ruang public sehingga individu tak pernah bisa benar-benar meluangkan waktu untuk diri mereka sendiri (Chesley, 2005, dalam Helsel, 2008). Remaja merupakan pengguna teknologi paling aktif. Mereka bisa menghabiskan waktu mereka dalam dunia maya untuk bermain games, beinteraksi dengan teman mereka, atau belanja shopping. Hal ini bisa menyebabkan kurangnya komunikasi mereka dengan anggota keluarga. Dalam dunia maya, remaja juga bisa terekspos oleh hal-hal berbau pornorafi yang dapat menimbulkan adiksi atau terlibat dalam hubungan online yang tidak sehat (Wolak, Mitchell, & Finkelhor, 2003). Untuk mencegah terjadinya dampak negative dari penggunaan teknologi, sebaiknya orang tua member batasan pada anak dalam penggunaan teknologi, misal dalam hal waktu penggunaan. Selain itu orang tua juga harus bisa menjalin komunikasi yang sehat dengan anak dan tidak terlalu banyak menekan anak, karena komunikasi yang tidak sehat dapat menyebabkan anak melarikan diri ke penggunaan teknologi yang abusive.

b) Remaja dan Budaya Populer i) Idola Remaja Pada masa remaja, kebanyakan anak tertarik pada musik dan biasanya mereka memiliki artis idola. Memiliki idola merupakan salah satu fase dalam penemuan identitas diri remaja. Idola kadang dijadikan sebagai role-model oleh remaja (Hagood, 1995). Terdapat beberapa alasan yang melandasi pemilihan idola oleh remaja. Sebagian besar remaja mungkin mengidolakan seorang penyanyi karena penyanyi tersebut sedang naik daun, dan semua teman-teman mereka di sekolah selalu membicarakan penyanyi tersebut di sekolah. Mengidolakan penyanyi tersebut menjadi tampak keren dalam kalangan remaja tersebut, sehingga mereka memilih penyanyi tersebut sebagai idola mereka. Sementara remaja lain mungkin mengidolakan seorang penyanyi karena karakteristik penyanyi dan musiknya dianggap remaja tersebut dapat

merepresentasikan dirinya di depan lingkungan sosialnya (Hagood, 1995). Remaja tersebut dalam kesehariannya juga mengenakan berbagai atribut yang berkaitan dengan penyanyi tersebut atau menggunakan berbagai aplikasi dari penyanyi tersebut di jejaring sosial agar dunia tahu bagaimana karakteristik remaja tersebut. Lingkungan sosial pun dapat menebak karakteristik remaja tersebut dari penampilannya karena pada dasarnya lingkungan memiliki stereotype terhadap penggemar musik tertentu (McDonald, Rentfrow, & Oldmeadow, 2009). Pemilihan idola juga bisa dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya yang berlaku di lingkungan sosial remaja (Cheung, 2000, dalam Giles, 2003). Remaja membutuhkan figure dari media untuk menjadi role-model mereka. Teori perkembangan remaja menyatakan bahwa figure dewasa dari luar anggota keluarga memiliki peran penitng dalam transisi kehidupan anak menuju masa dewasa (Giles, 2003). Erikson (1968, dalam Giles, 2003) menyatakan bahwa hubungan penggemar dengan idolanya merupakan suatu bentuk secondary attachments, yang menandai transisi dari primary attachment dengan orang tua menuju attachment dewasa (intimate, romantic/sexual). Greene dan Adams-Price (1990, dalam Giles, 2003) secondary attachment bisa dibagi menjadi dua kelompok. Yang pertama adalah romantic attachment (seperti perasaan jatuh cinta pada idola), yang biasanya dirasakan oleh perempuan. Attachment ini merupakan miniatur dari intimate relationship pada masa dewasa. Attachment ini bisa membantu anak perempuan dalam menyelesaikan masalah seksual yang sedang mereka hadapi (Hinnerman, 1002, dalam Giles, 2003). Sedangkan attachment yang kedua yaitu identification attachment (misalnya mengidolakan pemain sepak bola). Tipe attachment ini lebih merepresentasikan proses modeling terutama yang berhubungan dengan dunia kerja orang dewasa. Remaja bisa sangat terobsesi pada idolanya secara berlebihan. Hal ini mungkin disebabkan karena kebutuhan mereka terhadap figur attachment yang begitu kuat hingga mengarah ke idolism. Selain itu perasaan bahwa diri mereka sangat mengenal dengan baik idolanya juga membuat mereka terobsesi.

ii) Perilaku Negatif yang Timbul dari Idola. Memiliki idola tak selamanya membantu perkembangan identitas remaja ke arah yang lebih baik. Perilaku negatif yang dilakukan oleh Sang Idola kerap kali dicontoh oleh remaja, mulai dari hal kecil seperti cara berpakaian, prinsip dasar dari

idola, bahkan sampai perilaku bunuh diri. Remaja sering mencontoh perilaku idolanya karena pada dasarnya idola mereka adalah role-model mereka dan terkadang pemberitaan media membuat perilaku negatif Sang Idola seolah-olah menjadi sesuatu yang hebat (Cox, 2007). Kejadian yang paling ekstrim adalah kasus bunuh diri yang marak terjadi setelah kematian Kurt Cobain. Kasus seperti ini sering disebut sebagai copycat suicide. Dalam berbagai penelitian disebutkan bahwa kasus bunuh diri ini banyak terjadi di kawasan dimana pemberitaan tentang kematian figur model tersebut paling banyak diekspos ke masyarakat (Meyers, 2009, dalam Wikipedia.com). Keinginan individu untuk melakukan copycat suicide ini didasari oleh perasaan bahwa dirinya senasib dengan figur model yang meninggal . Sebagai penggemar, tentu seseorang merasa tahu apa yang dirasakan idolanya dan merasa punya banyak persamaan prinsip, sehingga tak khayal seorang penggemar mengikuti copycat suicide.

REFERENSI Focus Adolescent Service. (2008). Your Teen's Friends Peer Influence & Peer Relationships. Retrieved from http://www.focusas.com/PeerInfluence.html, on May 1, 2011 Bateman, H.V. (2011). Adolescent Peer Culture: Parents Role. Retrieved from http://www.answers.com/topic/adolescent-peer-culture-parents-role on May 1, 2011 Heubeck, Elizabeth . (2010). Teen Peer Pressure: Raising a Peer Pressure-Proof Child. Retrieved from http://www.webmd.com/parenting/teen-abuse-cough-medicine-9/peerpressure?page=1 on May 1, 2011 Smith, Anita M. (2004). The Power of Peers. Retrieved from http://www.youthdevelopment.org/articles/fp109901.htm on May 1, 2011 Cox, Larry. (2007). Teen Pop Culture Icons & Parents - The Decay of Modern-day Adolescence. Retrieved from http://www.buzzle.com/articles/teen-pop-culture-iconsparents-decay-modern-day-adolescence.html on May 1, 2011 Witmer, Denis. (2011). Five Truths about Your Teen and Dating. Retrieved from http://parentingteens.about.com/od/teenculture/a/teen_dating2.htm on May 1, 2011 Witmer, Denis. (2011). Warning Signs of Teen Dating Violence. Retrieved from http://parentingteens.about.com/od/teendating/a/datingviolence.htm on May 1, 2011 Witmer, Denis. (2011). Dating Violence: What Can a Parent Do? Retrieved from http://parentingteens.about.com/od/teendating/a/datingviolence2.htm on May 1, 2011

. (2009). Pernikahan Dini di Indonesia Capai 690 Kasus per Tahun. Retrieved from http://www.primaironline.com/berita/detail.php?artid=pernikahan-dini-di-indonesiacapai-690-kasus-per-tahun&catid=Sosial on May 1, 2011 Kusuma, J. (2011). Pacaran Sesuai Ajaran Islam. Retrieved from http://www.pesantrenvirtual.com/index.php?option=com_content&task=view&id=73 5&Itemid=30 on May 1, 2011 Syed, I.B. (2009). Halal Dating. Retrieved from http://www.irfi.org/articles/articles_51_100/halal_dating.htm on May 1, 2011 Field, T. & Diego, M. (2002). Adolescents' Parent and Peer Relationships. Retrieved from http://findarticles.com/p/articles/mi_m2248/is_145_37/ai_86056756/pg_5/?tag=mantl e_skin;content on May 1, 2011 Virdhani, Marieska Harya. (2011). ABG Sasaran Empuk Doktrin NII. Retrieved from http://news.okezone.com/read/2011/04/22/337/448890/abg -sasaran-empuk-doktrin-nii on May 1, 2011 Giles, D. (2003). Media Psychology. London: Lawrence Erlbaum Associates Publishers http://en.wikipedia.org/wiki/Copycat_suicide on May 1, 2011 Wolak, J., Mitchell, K.J., & Finkelhor, D. (2003). Escaping or Connecting? Characteristics of Youth Who Form Close Online Relationships, Journal of Adolescence 26 (2003) 105119 Rentfrow, P.J., McDonald, J.A., & Oldmeadow, J.A. (2009). You Are What You Listen To: Young Peoples Stereotypes About Music Fans, Group Processes & Intergroup Relations 2009 Vol. 12 (3) 329-344 Hagood, M. C. (1995). Troubling Identity and Literacy: Young Adolescents Subjectivities and Literacies Using Popular Culture Texts. Disertasi. Retrieved from http://kakali.org/sampledissertations/hagood_margaret_c_200205_phd.pdf on May 1, 2011 Sorensen, S. (2007). Adolescent Romantic Relationships. Retrieved from http://www.actforyouth.net/resources/rf/rf_romantic_0707.pdf on May 1, 2011 Helsel, S.D. (2008). The Influence of Technology on Adolescent Development: An Ecocultural Analysis of Cybersocial Activity. Disertasi. Dequesne University Guzman, M.R.T. (2007). Friendship, Peer Influence, and Peer Pressure During The Teen Years. Retrieved from http://www.ianrpubs.unl.edu/epublic/live/g1751/build/g1751.pdf on May 1, 2011

Haberland, N., Chong, E.L.,Bracken, H.J., & Parker, C. (2004). Early Marriage and Adolescent Girls. Retrieved from http://www.popcouncil.org/pdfs/Early_Marriage.pdf on May 1, 2011 Boujlaleb, N. (2006). Adolescents and Peer Pressure. Retrieved from http://www.aui.ma/VPAA/cads/research/cad-research-student-06-adolescentspeer.pdf on May 1, 2011 Seiler, N. (2002). Is Teen Marriage a Solution? Retrieved from http://www.clasp.org/admin/site/publications_archive/files/0087.pdf on May 1, 2011

Anda mungkin juga menyukai