Anda di halaman 1dari 3

Buletin Elektronik

www.Prakarsa-Rakyat.org

SADAR
Simpul Untuk Keadilan dan Demokrasi
Edisi: 223 Tahun V - 2009 Sumber: www.prakarsa-rakyat.org

NEOLIBERALISME PERBURUHAN DAN JANJI PARA CAPRES

Oleh Dian Anshar *

Adalah sebuah fenomena menarik ketika wacana neoliberalisme begitu marak diusung calon-calon presiden dan tim suksesnya dalam masa kampanye saat ini. Berbeda dengan pemilu 2004, tak satupun dari pasangan calon yang menggembargemborkan neoliberalisme. Kini neoliberalisme dipakai sebagai isu dagangan ataupun senjata untuk menyerang kandidat lainnya. Padahal, sebagai sebuah diskursus dan kebijakan, neoliberalisme sebenarnya sudah berkembang dan diterapkan secara intensif hampir sepuluh tahun belakangan ini. Bila mengacu pada sejarah kemunculannya, neoliberalisme adalah sebuah strategi untuk mengatasi krisis kapitalisme negara kesejahteraan di negara-negara industri maju pada era 1970-an yang dicirikan oleh naiknya angka pengangguran, inflasi, dan jatuhnya angka pertumbuhan ekonomi. Dalam bidang ketenagakerjaan, ia muncul dalam bentuk strategi pasar tenaga kerja fleksibel dengan ciri paling utamanya adalah perubahan bentuk-bentuk hubungan kerja yang permanen ke non-permanen secara luas. Milton Friedman salah satu ekonom neoliberal terkemuka dalam bukunya Capitalism and Freedom (1982) menyatakan bahwa tingkat pengangguran yang tinggi terjadi karena pasar tenaga kerja tidak fleksibel, yang dicirikan oleh berbagai bentuk kekakuan (rijiditas) institusional yang menghalangi keseimbangan pasar. Solusi untuk pengangguran dengan demikian adalah dengan melakukan de-institusionalisasi pasar tenaga kerja. Caranya dengan merubah hubungan kerja yang tetap ke temporer, mengurangi kesepakatan-kesepakatan tentang jaminan kerja dan tunjangan, serta menetralisir peranan serikat pekerja baik dalam peraturan-peraturan dan hukum perburuhan. Hal ini agak berseberangan dengan konsultan-konsultan bisnis pada saat itu yang percaya bahwa Barat dapat belajar dari tradisi Jepang dalam memperlakukan perusahaannya sebagai sebuah kolektivitas sosial yang penting, bukan bisnis semata.

Di Indonesia, neoliberalisme secara perlahan tapi pasti mulai diintrodusir sejak krisis ekonomi tahun 1997. Hal itu tertuang dalam berbagai paket kebijakan ekonomi untuk mengatasi krisis yang disepakati oleh pemerintah yang berkuasa secara bergantian dalam Letter of Intent (LoI) dengan IMF dan Bank Dunia. Di bidang ketenagakerjaan, ia mengambil bentuk dalam reformasi sistem perundangan-undangan tentang ketenagakerjaan menjadi tiga paket UU Perburuhan yang terdiri dari UU Serikat Pekerja, UU Ketenagakerjaan dan UU Pengadilan dan Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI). Terutama UU No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUK 13) yang dirancang pada masa Gus Dur ini, secara jelas melandaskan dirinya pada filosofi pasar tenaga kerja fleksibel, dimana ia mengakomodir dan melegalkan perubahan hubungan kerja tetap menjadi jangka pendek secara luas, seperti penggunaan tenaga kerja kontrak, paruh waktu, dan sistem outsourcing. Selain itu, UU tersebut juga mengurangi berbagai bentuk pesangon dan jaminan kerja, dan menfasilitasi kebijakan restukturisasi, efesiensi, rasionalisasi upah, dan pemutusan hubungan kerja yang tentunya sejalan dengan kebijakan privatisasi perusahaan-perusahaan negara yang merupakan ciri lain dari kebijakan ekonomi neoliberal. Setelah dirumuskan pada masa Gus Dur, UUK 13 kemudian disahkan oleh Presiden Megawati, tentunya dengan dukungan hampir seluruh partai-partai di parlemen. Meski ditolak mentah-mentah oleh serikat buruh, pemerintah yang berkuasa tidak bergeming. Pada masa pemerintahan berikutnya, yakni SBY-JK, ruh neoliberalisme pada UUK 13 ini tentunya tidak pernah dilepaskan, melainkan tetap dipertahankan. Bahkan keduanya sama-sama bersepakat untuk mengajukan revisi atas UUK.13, sebagai bagian dari paket kebijakan perbaikan iklim investasi, yang salah satu pasalnya bukan penghapusan sistem kerja kontrak atau outsourcing, tapi penghapusan pesangon bagi pekerja dengan masa kerja tujuh tahun dan delapan tahun. Sebuah kebijakan yang khas neoliberal. Di tengah riuhnya masa kampanye capres dan cawapres kali ini, uniknya, seluruh kontestan yang berkompetisi berusaha menampilkan wajah ramahnya kepada kalangan pekerja dan sikap anti-nya, atau paling tidak sikap kritisnya, terhadap sistem kerja kontrak dan outsourcing. Megawati dalam kontrak politik yang ditandatanganinya dengan beberapa serikat buruh kuning di Rengasdengklok awal Juni ini, menjanjikan akan menghapus sistem tersebut. Tentunya Mega tidak pernah lupa bahwa dia lah yang dahulu melakukan pengesahan terhadap UU buruh kontrak tersebut. Demikian pula dengan sang incumbent SBY. Menjelang pemilu, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi di bawah pemerintahannya diberitakan berencana untuk mengusulkan revisi atas UUK 13 tentang penghapusan terhadap sistem buruh kontrak. JK yang juga terkenal dengan lontaran-lontaran tak simpatiknya terhadap tuntutan-tuntutan para pekerja, kini bersama-sama dengan eks pimpinan buruh Dita Sari menebar janji kebijakan yang pro-buruh, dengan lagi-lagi yang paling penting

adalah janji menghapuskan sistem kontrak dan outsourcing. Hal ini berbeda dengan sikapnya seperti pada May Day 2007 yang lalu, yang terang-terangan menolak tuntutan buruh untuk menghapus sistem kontrak dan menjadikan tanggal Satu Mei sebagai hari libur buruh, sebaliknya bersikukuh untuk tetap merevisi UUK 13 tentang pesangon yang ditolak oleh buruh. Bagi pekerja tentu tidak ada janji yang lebih manis dari pada janji-janji para calon presiden di masa kampanye. Sistem kerja kontrak atau outsourcing, hilangnya jaminan dan kepastian kerja, telah menjadi ancaman yang siap merenggut masa depan diri dan keluarga mereka setiap saat. Tidak heran kemudian, banyak serikatserikat pekerja yang begitu berharap dan terilusi dengan janji-janji tersebut lewat kontrak-kontrak politik dengan pasangan capres-cawapres. Namun siapa yang bisa membantah bahwa tidak ada dari capres-capres tersebut yang tidak berkontribusi terhadap berlangsungnya praktek neoliberalisme perburuhan di Indonesia. Sama halnya tidak pernah ada dari mereka yang selama ini terbukti pernah memperjuangkan penghapusan praktek-prakter dan kebijakan neoliberal perburuhan yang telah berlangsung beberapa tahun dan memakan korban jutaan pekerja dan keluarganya. Dan setelah kampanye, tampaknya sekali lagi kita akan melihat bahwa janji-janji manis para capres ini hanya akan menjadi mimpi di siang bolong para buruh.

* Penulis adalah Peneliti untuk bidang perburuhan, demokrasi dan gender di SIGI Indonesiaku, sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek. ** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

webmaster@prakarsa-rakyat.org

Anda mungkin juga menyukai