Anda di halaman 1dari 7

.: Kolektif Info Coup d'etat 65 :.

Sebuah Rumah Sejarah yang Alpa Disinggahi


Category : Artikel Terkait Published by Anonymous on 27/Aug/2007

Studi Indonesia di Rusia Sebuah Rumah Sejarah yang Alpa Disinggahi Alex Supartono dan Lisabona Rahman DI awal tahun 1930-an, ketika "Indonesia" masih menjadi cita-cita sedikit intelektual Indonesia, Alexander Huber telah menerbitkan buku Indonesia, Sketsa Sosial-Ekonomi di Moskwa. Dunia akademis Rusia ternyata menyimpan banyak catatan sejarah awal perjalanan Indonesia. Hasil dari hubungan dua bangsa yang penuh warna: dari persahabatan abadi sampai permusuhan ideologis. Dunia akademis ternyata adalah pencatat paling teliti sejarah sebuah hubungan politik antarnegara.Perkenalan akademisi Rusia dengan wilayah Indonesia bermula sejak paruh terakhir abad ke-19, ketika tahun 1876 diterbitkan lima buku tentang flora yang ada di Kebun Raya Bogor. Dalam buku ini juga disinggung adat, kebiasaan, keseharian hidup masyarakat Sunda dan Jawa. Dari generasi awal sarjana Rusia, antropolog NN Miklukho-Maklai (1846-1888), adalah yang paling fenomenal. Ia mendarat di Pantai Utara Papua untuk empat kali ekspedisi, selama 10 tahun meneliti suku-suku di Papua, dan menghasilkan lima jilid buku. Ia kemudian menjadi dokter, guru, dan kawan bagi masyarakat setempat menentang segala bentuk kolonialisasi Barat, termasuk Rusia. Benda-benda yang menggambarkan kehidupan suku-suku di Papua pada saat itu tersimpan sampai sekarang di Museum Ketimuran St Petersburg. Dan Pantai Utara Papua itu pun kemudian lebih dikenal orang dengan Pantai Maklai. Kontak akademisi Rusia di wilayah Hindia Belanda ini dimungkinkan karena hubungan Kerajaan Belanda dan Kekaisaran Rusia yang cukup dekat pada masa itu. Seorang konsul Kekaisaran Rusia, yang pertama dan terakhir, ditempatkan di Batavia tahun 1894-1899. Konsul itu adalah Modest M Bakunin, paman dari tokoh Anarkisme terkenal Mikhail Bakunin. Sebagaimana kebiasaan pejabat pada masa itu, setelah masa tugasnya Bakunin menerbitkan memoar setebal 456 halaman pada tahun 1902 dengan judul Negeri Belanda Tropika: Lima tahun di Pulau Jawa. Buku ini menjadi salah satu tonggak studi Indonesia di Rusia karena di dalamnya terdapat kamus pertama bahasa Rusia-Melayu yang terdiri dari sekitar 500 kata dan ekspresi. Bakunin yang juga terpesona pada sastra Melayu, terutama pantun, memasukkan beberapa contoh pantun dalam bukunya, serta menerjemahkan dan menerbitkan buku lain mengenai pantun. Lewat dia pula Museum Ketimuran (sekarang Institut Kajian Ketimuran Akademi Sains St Petersburg) membeli beberapa manuskrip Melayu kuno. Revolusi Besar Sosialis Oktober 1917 yang melahirkan Uni Republik-Republik Soviet Sosialis mengubah perspektif para akademisi Rusia. Mereka tidak lagi melayani kepentingan ekspansi modal kekaisaran, tetapi mulai memikirkan perubahan nasib umat manusia secara keseluruhan, terutama bangsa-bangsa terjajah. Partai Komunis Uni Soviet yang berkuasa menggariskan bahwa semua studi yang dilakukan harus diabdikan pada kelas pekerja dan petani bangsa terjajah dalam kerangka perjuangan rakyat dunia melawan kolonialisme dan imperialisme. Perubahan di atas juga menarik keterlibatan langsung Pemerintah Uni Soviet dalam pergerakan
http://dev.progind.net Tuesday, 22/Jun/2010 10:41 / Page 1

rakyat Hindia Belanda melawan kolonialisme. Ketika Partai Komunis Indonesia gagal dalam perlawanannya melawan Belanda di Sumatera dan Jawa tahun 1926-1927, selain digantung dan dibuang ke Digul, ada beberapa pimpinan yang sempat melarikan diri ke Uni Soviet. Di situ mereka ditampung dan difasilitasi untuk terus mengampanyekan Indonesia merdeka. Sikap ini sebenarnya adalah kelanjutan dari penerjemahan karya Tan Malaka Indonesia dan Tempatnya di Timur yang Sedang Bangkit dari bahasa Belanda yang diterbitkan tahun 1924 di Moskwa. Disusul karya Darsono (dengan nama pena, Dingli) Perjuangan Petani Indonesia diterjemahkan dari bahasa Perancis tahun 1927. Manowar Musso tahun 1931 juga menerbitkan brosur populer berjudul Indonesia dan kumpulan artikel antara lain tentang pemberontakan awak Indonesia di kapal perang Belanda "Zeven Provincien" tanggal 5 Februari 1933. Sedangkan Semaun, yang tinggal lebih lama di Moskwa, tahun 1940 menerbitkan brosur berjudul Indonesia dengan oplah mencapai 50.000 eksemplar. Sebelum kembali ke Indonesia tahun 1946, Musso sempat menyusun bahan pelajaran bahasa Indonesia untuk mahasiswa Uni Soviet. Semaun yang baru pulang setelah bertemu Soekarno tahun 1957, sempat mengajar bahasa Indonesia selama tiga tahun (1945-1947) di Institut Ketimuran dan Institut Hubungan Luar Negeri Moskwa. Ia menyempurnakan tulisan Musso yang kemudian diterbitkan sebagai buku pelajaran bahasa Indonesia pertama untuk mahasiswa Uni Soviet. Di awal 1945, Semaun juga memulai siaran bahasa Indonesia di Radio Moskwa dan bekerja sebagai editor, sebelum tugasnya digantikan oleh mahasiswa Indonesia yang belajar di sana. Mereka berdua dicatat sebagai peletak dasar pendirian Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia di Institut Negara-Negara Asia Afrika Universitas Negara Moskwa. "Indonesia": Keberpihakan pada pembebasan bangsa terjajah Dengan latar belakang di atas, pada tahun 1930 Alexander Huber, sarjana Institut Ketimuran Moskwa, sudah memakai nama Indonesia dalam judul bukunya. Ini adalah terobosan besar dalam dunia akademis Barat karena penggunaan "Indonesia" untuk menyebut wilayah jajahan Belanda pada masa itu sangatlah tidak lazim. Belanda selalu menyebut Hindia Belanda atau Holan Tropika-untuk menyebut bagian Kerajaan Belanda yang beriklim tropis. Dengan memanfaatkan kedekatan hubungan diplomatik dan kepentingan pemodal yang menanamkan investasinya di Hindia Belanda-yang biasanya menyandang dana untuk berbagai studi dan penelitian para akademisi-mereka terus berkampanye menolak nama lain yang bisa memberikan identitas baru bagi tanah koloninya tersebut. Usaha ini bisa dibilang sukses karena sampai paruh pertama abad XX, buku atau karya ilmiah penulis Barat lain tetap memakai nama Hindia Belanda, Hindia Timur, atau Kepulauan Hindia Timur. Pada awal abad XX seorang sarjana Jerman, Ernst Heinrich Haeckel, menerbitkan hasil penelitiannya dengan judul Dari Insulinde. Buku ini mendapat kecaman keras dari kalangan akademisi Barat karena judulnya. Haeckel membela diri dengan mengatakan bahwa judul itu adalah ciptaan penulis Belanda sendiri pada akhir abad XIX: Eduard Douwes Dekker alias Multatuli. Nama Indonesia pertama kali disebut oleh Ratu Wilhelmina dalam pidatonya di Inggris. Menurut Time 7 Desember 1942, Ratu yang sedang melarikan diri serbuan Nazi ini menyebut nama Indonesia secara resmi untuk mengucapkan terima kasih atas keikutsertaan "penduduk asli Holand Tropika" dalam gerakan bawah tanah melawan fasisme di Belanda. Dibutuhkan waktu hampir satu abad untuk membuat Ratu Belanda mengucapkan kata itu, sejak pertama kali disebut tahun 1850. Pemilihan nama Indonesia oleh para akademisi Uni Soviet sejak tahun 1920-an, memang berada dalam konteks gerakan komunis internasional. Sejarah memang tidak mencatat keterlibatan Uni Soviet dalam kemerdekaan Indonesia 1945. Namun perhatian negara ini semakin besar pada
http://dev.progind.net Tuesday, 22/Jun/2010 10:41 / Page 2

Indonesia karena perkembangan signifikan PKI dan orientasi politis pemerintahan Soekarno yang anti-Barat. Apalagi setelah Konferensi Asia Afrika di Bandung 1955, simpati Uni Soviet pun semakin besar. Tiga tahun kemudian Uni Soviet menyediakan diri sebagai tuan rumah Konferensi Pengarang Asia Afrika di Tashkent, Uzbekistan, di mana Indonesia mengirimkan Utuy Tatang Sontani sebagai salah satu wakilnya. Disusul dengan dukungan Uni Soviet dalam perebutan Irian Barat 1962, dengan pengiriman kapal perangnya. Berbanding lurus dengan itu, hubungan akademis Indonesia-Uni Soviet pun memasuki zaman keemasan. Jumlah sarjana Uni Soviet yang mempelajari Indonesia naik pesat. Tema-tema kebangkitan dan perlawanan rakyat dalam pembebasan nasional menjadi pilihan utama. Hasil-hasil studi seperti monograf Perang Diponegoro sampai keterlibatan Tentara Merah dalam perebutan Irian Barat laris di pasaran. Selain terbitan karya sarjana Uni Soviet sendiri, juga diterbitkan karya-karya terjemahan, baik ke dalam bahasa Rusia atau ke bahasa republik-republik Uni Soviet lain seperti Slav, Ukraina dan Estonia. Dua jilid Indonesia Menggugat, Sarinah dan Menuju Indonesia Merdeka serta karya Soekarno lain diterjemahkan ke dalam bahasa Rusia, juga kumpulan pidato dan buku-buku para pimpinan PKI. Sampai sekarang Perpustakaan Bahasa dan Sastra Asing Moskwa memiliki bagian khusus tentang Soekarno. Semua karya Soekarno dalam berbagai bahasa dan pidato Soekarno hingga Nawaksara tersimpan di sana. Rumah bagi satu babak sejarah Indonesia Kunjungan pertama Soekarno ke Uni Soviet tahun 1956 menghasilkan pengiriman tujuh mahasiswa Indonesia pertama ke Moskwa tahun berikutnya (dua diantaranya adalah pekerja film Sjumandjaya dan Ami Prijono). Nikita S Khrushchev melakukan kunjungan balasan Februari-Maret 1960. Ketua Dewan Menteri Uni Republik-Republik Soviet Sosialis ini di Yogyakarta mengumumkan pembukaan Universitas Persahabatan Bangsa-Bangsa di Moskwa, yang kemudian berganti nama menjadi Universitas Patrice Lumumba, untuk menghormati pejuang pembebasan nasional Kongo. Bersama pengumuman ini, Khrushchev mengundang mahasiswa Indonesia untuk belajar di sana dengan beasiswa Pemerintah Uni Soviet. Sejak itu mengalirlah mahasiswa Indonesia ke sana. Perjanjian antar organisasi massa, partai, dan institusi lain termasuk militer, menambah jumlah orang Indonesia yang belajar di Uni Soviet. Sampai awal tahun 1965, mahasiswa Indonesia yang belajar di berbagai perguruan tinggi merupakan jumlah terbesar mahasiswa asing yang ada di Uni Soviet. Mereka yang belajar di Uni Soviet, termasuk mahasiswa militer di Dusanbe, Odessa, dan kota-kota lain di Selatan Uni Soviet, dan mereka yang belajar di sekolah-sekolah khusus partai, mencapai sekitar 2.000 orang. Di awal tahun 1960-an, pengiriman mahasiswa Indonesia ke Uni Soviet ini menjadi fenomena sosial masyarakat kota besar di Indonesia. Kerja sama ini terputus ketika terjadi peristiwa 1965 di Indonesia. Pemerintah baru yang orientasi politisnya berseberangan dengan pemerintahan lama, segera memerintahkan para mahasiswa yang sedang belajar di Uni Soviet untuk pulang. Sebagian besar memenuhi perintah ini dan sisanya tetap tinggal dan menjadi pelarian politik sampai sekarang. Memburuknya hubungan berdampak besar bagi kerja sama akademis kedua negara. Para peneliti Uni Soviet yang sedang berada di Indonesia diminta kembali ke negaranya dan Lembaga Persahabatan Indonesia-Uni Soviet ditutup. Padahal, lembaga inilah yang selama ini menjadi penggerak utama kerja sama ilmu dan kebudayaan kedua negara. Di tengah kekeringan ini, yang relatif bertahan adalah studi sastra.
http://dev.progind.net Tuesday, 22/Jun/2010 10:41 / Page 3

Dari si kancil, Utuy Tatang Sontani, sampai Puisi Mantra Walau literatur tentang sastra Melayu telah muncul sejak awal tahun 1900-an, namun kajian bahasa dan sastra Indonesia baru berkembang pesat tahun 1950-an, bersamaan dengan makin dekatnya hubungan diplomatik kedua negara. Jurusan bahasa Indonesia di Universitas Negara Moskwa dibuka tahun 1945 dan beberapa tahun kemudian Prof Intojo-tokoh Pujangga Baru-dikirim ke Moskwa untuk mengajar, disusul Boejoeng Saleh Puradisastra, Usman Effendi dan AT Effendi. Pada masa inilah penerjemahan dan penerbitan sastra Indonesia dalam bahasa Rusia dimulai. Dongeng-dongeng Jawa terbitan Balai Pustaka seperti Si Kancil, Hikayat Seri Rama, Hikayat Panji Semirang, dan Suropati karangan Abdul Muis adalah karya-karya awal yang diterjemahkan. Selanjutnya disusul serial terjemahan Cerita Dari Blora (Pramoedya Ananta Toer, 1957), Salah Asuhan (Abdul Muis, 1960), Siti Nurbaya (Marah Rusli, 1961), Peristiwa di Banten Selatan (Pramoedya Ananta Toer, 1961), Tambera (Utuy Tatang Sontani, 1964) dan Suara Tiga Ribu Pulau (Vilen V Sikorskii, ed, antologi puisi "Angkatan 50" seperti Chairil Anwar, Agam Wispi, Rivai Apin, Sitor Situmorang dan lain-lain, 1963). Orang yang berperan besar dalam menerjemahkan karya-karya sastra Indonesia ini adalah Rono Semaun, putra Semaun dari perkawinannya dengan seorang perempuan Rusia, yang terbunuh di Moskwa dalam usia relatif muda. Selain karya-karya klasik, kita lihat bahwa karya yang dipilih untuk diterjemahkan terkait erat kesesuaian ideologisnya dengan Pemerintah Uni Soviet. Hanya Chairil Anwarlah yang berhasil menembus batas ideologis ini, walaupun kecaman terhadap individualismenya selalu mengiringi setiap bahasan tentang dirinya. Karya Mochtar Lubis Jalan Tak Ada Ujung misalnya, ditolak oleh penerbit di Moskwa karena dianggap melunturkan semangat revolusi. Karya Utuy Tatang Sontani Orang-Orang Sial, hanya bisa terbit di Tallin, dalam bahasa Estonia. Kumpulan cerpen Utuy ini oleh penerbit di Moskwa dinilai terlalu pesimistik dan melulu mengungkap sisi gelap revolusi. Dalam kajian sastranya, LEKRA menjadi tema favorit karena dianggap sebagai contoh sastra progresif dan menjadi puncak sastra Indonesia. Walau demikian, beberapa karya Pramoedya Ananta Toer tetap dikecam terjebak dalam humanisme, mengandung kontradiksi dan keraguan terhadap revolusi. Karena itulah Keluarga Gerilya baru bisa terbit dalam bahasa Rusia di Moskwa pada awal 1985, setelah sensor relatif mereda. Sedangkan novel Idrus, Surabaja, dikecam karena dianggap telah melakukan pendekatan yang keliru terhadap revolusi. Beberapa cerpennya hanya bisa terbit di Kiev dalam bahasa Ukraina. Kelompok sastrawan "Gelanggang" seperti Asrul Sani, HB Jassin, Trisno Sumardjo, dijadikan contoh kemerosotan sastra Indonesia karena dianggap menerima mentah-mentah sastra Barat yang lamban. Mereka dianggap tidak sesuai dengan Indonesia Baru, di mana tugas sastrawan adalah menyokong perjuangan pembebasan nasional, pembangunan ekonomi, dan perlawanan terhadap imperialisme. Peristiwa tahun 1965 yang meruntuhkan Soekarno dan menghancurkan kekuatan kiri di Indonesia membuat para Indolog Uni Soviet tergugup-gugup, terutama mereka yang yakin akan kemenangan revolusi di Indonesia. Kondisi ini tentu saja berpengaruh besar, baik terhadap kerja penerjemahan dan kajian sastra Indonesia di Uni Soviet. Walau demikian karya-karya yang sudah disiapkan sebelum tahun 1965 masih sempat diterbitkan, seperti Penyair-Penyair Muda Indonesia (antologi puisi Ajip Rosidi, Amarzan Ismail Hamid, Koesalah Soebagyo Toer, WS Rendra dan lain-lain, 1965) dan Puspa Pantai Nan Jauh (antologi puisi Amir Hamzah, Sanusi Pane, Asmara Hadi, JE Tatengkeng dan lain-lain, 1966), keduanya diedit oleh Vilen V Siorskii. Namun anehnya cerpen-cerpen Idrus dan Utuy Tatang Sontani yang sebelumnya ditolak, malah bisa terbit dalam Terang Bulan (Elena Vladimirovna Revunenkova, ed, antologi cerpen, 1969). Bahkan dalam kata
http://dev.progind.net Tuesday, 22/Jun/2010 10:41 / Page 4

pengantarnya tidak ada lagi celaan "salah mengartikan revolusi" terhadap Idrus. Setelah itu, kajian Sastra Indonesia modern mengalami masa-masa sunyi. Para pengkaji yang sebelumnya aktif, terjepit dalam posisi sulit. Secara ideologis mereka tetap harus mendukung para sastrawan revolusioner, padahal tidak ada lagi bahan tentang ini yang bisa didapat dari Indonesia. Sedangkan produksi sastra setelah tahun 1965 adalah hasil dari para sastrawan "musuh LEKRA", yang bersama Orde Baru muncul sebagai pemenang. Kalau mereka tetap membahasnya, mereka takut penelitiannya tidak dibiayai atau hasilnya tidak dipublikasikan, atau malah dituduh sebagai pendukung rezim penghancur komunis. Keadaan sulit di atas membuat para akademisi banting stir pada tema-tema "netral" seperti kajian sastra klasik dan lingusitik. Pada masa-masa inilah bermunculan monograf-monograf kajian sastra seperti Evolusi Persajakan Melayu Klasik: Bentuk-Bentuk Naratif Puisi Lisan dan Tulisan (Vladimir Iosifovich Braginsky, 1973), dan Pembaruan Islam dan Lahirnya Sastra Melayu Baru (Inga Ivanova Dem'ianova, 1973). Walau masih ada juga bahasan seperti Maoisme dan Tragedi Sastra Demokratik Indonesia (Nadezhda Matveevna Smurova, 1977). Sedangkan terjemahan pada masa ini diterbitkan satu buku: Hikayat Sang Boma (1973) berdasarkan edisi Balai Pustaka tahun 1924. Pilihan lain adalah mengolah bahan yang sempat dikumpulkan sebelum tahun 1965 di Perpustakaan Bahasa dan Sastra Asing Moskwa. Dari bahan-bahan ini V Sikorskii berhasil menyusun dua buku Petunjuk Bibliografi Utuy Tatang Sontani dan Petunjuk Bibliografi Sitor Situmorang (1977). Kekurangan bahan ini sebenarnya sempat teratasi dengan kedatangan beberapa sastrawan LEKRA dari RRC sejak awal 1970-an. Para sastrawan ini tidak bisa pulang setelah mengikuti perayaan 1 Oktober 1965 di RRC. Situasi sulit karena Revolusi Kebudayaan sejak 1966, membuat sebagian dari mereka berusaha lari ke Eropa Barat. Transportasi yang paling mungkin saat itu adalah kereta api Trans Siberia via Moskwa. Sebagian dari mereka "berhenti" di Moskwa karena fasilitas yang disediakan tuan rumah sebagai (bekas) partai sekawan. Di antaranya adalah Utuy Tatang Sontani, Kuslan Budiman, Rusdi Hermain, dan Soerjana (wartawan Harian Rakjat). Kedatangan Utuy ke Moskwa tahun 1971 mendapat sambutan cukup besar dari pemerintah dan masyarakat sastra Uni Soviet. Utuy sudah dikenal sebelumnya karena perannya pada Konferensi Pengarang Asia Afrika tahun 1958 di Tashkent, Uzbekistan, dan tahun 1965 di Peking. Karyanya Tambera dicetak ulang tepat setahun sebelum kedatangannya ke Moskwa. Mereka berdua sempat pula mengajar Bahasa dan Sastra Indonesia di Moskwa dan menghasilkan karya-karya sastra di pengasingan. Paling tidak ada empat novel dan tiga otobiografi yang ditulis Utuy sampai ia meninggal tahun 1979 di Moskwa. Salah satu novelnya Kolot Kolotok diterbitkan secara terbatas oleh Jurusan Indonesia Universitas Negara Moskwa sebagai bahan pelajaran. Namun anehnya karya-karya sastra eksil ini sampai sekarang belum menjadi bahasan lebih jauh oleh ahli sastra Indonesia di Rusia. Ketika ia meninggal, sebagai penghormatan nisannya ditempatkan sebagai nisan pertama di pemakaman Islam pertama di Moskwa. Runtuhnya Uni Soviet: Simalakama bagi dunia akademis Sastra Indonesia setelah tahun 1965 harus menunggu lama sebelum kembali menjadi tema pembahasan. Ketika kontrol pemerintah melonggar, bersamaan dengan melemahnya Uni Soviet secara keseluruhan pada awal 1980-an, baru karya-karya Iwan Simatupang, Mochtar Lubis, Umar Kayam, Goenawan Mohamad, Taufiq Ismail dan Budi Darma mulai dibahas. Sebagian besar bahan dikirim dari Belanda, atau sedikit dari Amerika Serikat dan Australia. Namun penerjemahan dan penerbitan karya sastra Indonesia setelah 1965 bisa dikatakan terhenti, selain Antologi Puisi-Puisi
http://dev.progind.net Tuesday, 22/Jun/2010 10:41 / Page 5

Ajip Rosidi dan Soebagjo Sastrowardojo tahun 1985. Penerjemahan ini pun hanya dalam kepentingan pembahasan ilmiah saja, dan bukan untuk kepentingan pembaca lebih luas. Kebekuan ini sempat cair, ketika pada tahun yang sama Bumi Manusia, diterbitkan di Moskwa. Karya tetralogi Pulau Buru Pramoedya Ananta Toer yang pertama ini dicetak 50.000 eksemplar dan habis dalam beberapa minggu. Hasil mengejutkan dari penerbitan buku Pramoedya tersebut menggairahkan kembali penerjemahan karya sastra Indonesia lainnya. Novel Umar Kayam, Sri Sumarah, diterjemahkan oleh Boris Parnickel dan terbit tahun 1988. Disusul Antologi Prosa Modern Indonesia Tahun 70-an yang disusun oleh Vladimir Iosifovich Braginsky. Dalam antologi ini terdapat terjemahan novel-novel Iwan Simatupang, Ziarah, Mochtar Lubis, Harimau! Harimau!, Umar Kayam, Sri Sumarah, Putu Wijaya, Telegram, Utuy Tatang Sontani, Kolot Kolotok, Danarto, Nostalgia, Budi Darma, Orang Setengah Umur dan Secarik Kertas, dan juga karya-karya Kuntowijoyo, Misbach Jusa Biran, Gerson Poyk dan Wildan Yatim. Sayangnya publikasi ini tidak mendapatkan sambutan yang diharapkan. Bubarnya Uni Soviet tahun 1989 berdampak sangat besar pada dunia akademis. Para akademisi yang sebelumnya mendapat subsidi penelitian dan publikasi yang hampir tak terbatas, tiba-tiba harus memikirkan kebutuhan pokok. Dengan kondisi seperti itu pengkaji Indonesia, khususnya sastra, tinggallah para veteran "Perang Dunia Kedua". Tidak ada lagi antusiasme mahasiswa untuk mengambil jurusan-jurusan spesifik seperti Indonesia. Walau jurusan Indonesia sampai sekarang masih tetap mempunyai mahasiswa, itu pun sekadar untuk memenuhi kebutuhan bisnis dan diplomatik. Angkatan termuda dari para pengkaji sastra Indonesia di Rusia adalah Evgeniia Sergeevna Kukushkina, kelahiran tahun 1963. Publikasi yang disiapkannya, Puisi Mantra: Penjelmaan Jampi Arkaik dalam Persajakan Modern, yang membahas puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri, sampai sekarang belum juga diterbitkan. Juga Mariia Aleksandrovna Boldyreva dengan dua naskahnya, Puisi Indonesia Dewasa Ini: Soebagjo Sastrowardojo, Taufiq Ismail, Goenawan Mohamad, dan Esai tentang Puisi Indonesia Dewasa Ini: Sitor Situmorang, Toto Sudarto Bachtiar, Ajip Rosidi, mengalami nasib serupa. Mereka yang sampai sekarang bertahan, menyiasati keadaan dengan mengajar pada universitas-universitas luar negeri yang mempunyai kajian Asia. Pilihan lain adalah pindah ke studi sastra Malaysia, yang mempunyai kedekatan bahasa dan sejarah sastra dengan Indonesia. Ada juga usaha untuk mengatasi kondisi di atas, seperti mendirikan Nusantara Society tahun 1992. Dengan memperluas wilayah studi daerah dengan bahasa Austronesia (Indonesia, Malaysia, Brunei, Filipina), serta bekerja sama dengan berbagai institut dan universitas di Singapura, Malaysia, Belanda, dan Australia, para Indolog ini berharap bisa tetap terus mengadakan penelitian dan publikasi. Usaha ini cukup berhasil, seperti diterbitkannya Imej Nusantara dalam Sastra Rusia, karya Vladimir Braginsky oleh KITLV Leiden tahun 1999 lalu, walau masih jauh untuk menyamai prestasi yang pernah diraih. Sampai akhir tahun 2000 lalu, Perpustakaan Sastra dan Bahasa Asing Moskwa mencatat tidak kurang dari 6.000 judul karya ilmiah akademisi Rusia tentang Indonesia, sejak akhir abad XIX sampai awal abad XXI. Untuk kajian sastra saja, sejak Ludmila A Mervant menerbitkan Teater Melayu tahun 1929, tercatat lebih dari 300 judul. Sebagian besar karya-karya itu lahir pada zaman keemasan hubungan kedua negara, ketika pidato Soekarno didengarkan ratusan ribu orang di Moskwa dan ketika banyak anak Indonesia mendapat nama-nama Rusia. Tidak perlu dipungkiri bahwa karya-karya yang lahir pada masa itu penuh dengan nuansa ideologis dan keberpihakan. Namun dengan demikian kita jadi tahu harus pergi ke mana kalau mau mempelajari periode dan tema tertentu dari sejarah Indonesia.
http://dev.progind.net Tuesday, 22/Jun/2010 10:41 / Page 6

Moskwa juga tidak hanya menjadi rumah bagi ribuan karya ilmiah tentang Indonesia. Perpustakaan Bahasa dan Sastra Asing di Moskwa juga menyimpan terbitan yang dikelola oleh orang-orang Indonesia yang tak bisa pulang (eksil) seperti Tekad Rakyat, Marhaen Menang, dan Organisasi Pemuda Indonesia. Majalah bulanan Tekad Rakyat misalnya, tercatat terbit sejak tahun 1966 sampai tahun 1991. Kekayaan sejarah pers Indonesia ini belum pernah disentuh. Demikian pula karya-karya sastra eksil Indonesia yang dihasilkan di Moskwa, seperti karya-karya Utuy Tatang Sontani, Kuslan Budiman, dan Rusdi Hermain, masih belum tereksplorasi lebih jauh untuk melengkapi sejarah sastra Indonesia. Selain karya-karyanya, tentu makam Utuy Tatang Sontani merupakan salah satu ikon penting perjalanan hubungan Indonesia-Rusia. Mungkin karena situasi hubungan Indonesia-Rusia yang tak terlalu erat, makam ini belum juga dikukuhkan menjadi tanda persahabatan Indonesia-Rusia. Setidaknya, kini korps diplomatik Indonesia di Rusia punya tugas baru: menggali lebih dalam, karena Rusia merupakan salah satu rumah bagi sejarah Indonesia. Alex Supartono (JKB) dan Lisabona Rahman (LP4M) Keduanya sedang mengerjakan penelitian tentang Media dan Sastra Eksil Indonesia. >Jumat, 6 Juli 2001 Sumber: Kompas http://www.kompas.com

http://dev.progind.net

Tuesday, 22/Jun/2010 10:41 / Page 7

Anda mungkin juga menyukai