Anda di halaman 1dari 11

Makalah

Anak dalam Hukum Islam dan Hukum Nasional


sebagai syarat untuk memenuhi tugas hukum kekeluargaan dan waris islam yang di bimbing oleh Bp. Baidhowi, S.Ag, M.Ag

Disusun Oleh: Auria Patria Dilaga NIM:8111409103 Danang Prasetya .N NIM:8111409103 Anis Wahdi Kevin Rean .S NIM:8111409255 NIM:8111409058

Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang 2010

PENDAHULUAN
1.LATAR BELAKANG Asal usul anak merupakan dasar untuk menunjukan adanya hubungan kemahraman (nasab) dengan ayahnyanya (orang tua kandungnya). Pada dasarnya anak menjadi tanggung jawab kedua orang tuanya,dalam agama islam hukum itu di sebut fiqh, Dalam hukum islam pemeliharaan anak meliputai banyak hal seperti dalam masalah ekonomi,pendidikan,dan segala sesuatu yang menjadi kebutuhan anak,dalam konsep Islam tanggung jawab ekonomi ada di pundak suami sebagai kepala rumah tangga. Perwalian menurut pasal 1 Kompilasi huruf h adalah kewenangan yang di berikan pada seseorang untuk melakukan perbuatan hukum sebagai wakil untuk kepentingan atas nama anak yang tidak mempunyai orang tua atau orang tua nya masih hidup tetapi tidak cakap hukum. Problematika tentang anak yang sebagian telah kami kemukakan di atas tadi mungkin banyak yang terjadi di lingkungan kita. Mungkin juga ada dari kita yang mengalami hal ini. Sebenarnya dalam hukum Islam telah di atur tentang silsilah atau asal usul anak secara kompleks namun, tak jarang juga yang mengalami perdebatan dengan Hukum Perdata di Indonesia . Hukum Perdata (BW) di Indonesia adalah hukum yang berasal dari hukum belanda dan mengadaptasi dari hukum rancis yang didalamnya terbagi menjadi 4 buku yaitu : buku I(ke satu) tentang orang buku II(ke dua) tentang kebendaan buku III(ke tiga) tentang perikatan buku IV(ke empat) tentang Daluarsa dan Pembuktian

Hukum Perdata dan Hukum Islam berjalan beriringan tergantung kita meemandang dari segi kepentingan ataupun dari segi permasalahan. Karna Hukum Perdata masuk dalam hukum nasional yang sifatnya tertulis. Berangkat dari perbedaan itu dan tema kami tentang Asal Usul Anak, kami akan mencoba untuk mengkaji dan melihat perbedaan dari ke duanya atas tema Asal Usul Anak dan dengan judul Anak dalam Hukum Islam dan Hukum Nasional.

RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana asal-usul anak dalam kacamata hukum islam dan hukum perdata? 2. Bagaimana hak-hak anak dalam hukum Islam dan Hukum perdata ? 3. Siapa sajakah yang berwenang atau berhak menjadi wali dalam hukum nasional dan hukum islam?

PEMBAHASAN

1.Asal-Usul Anak dalam Hukum Islam dan Hukum Nasional


Asal-usul anak merupakan dasar untuk menunjukkan adanya hubungan kemahraman (nasab) dengan ayahnya. Hal itu terjadi karena kesepakatan para ulama yang memutuskan bahwa anak zina atau hanya mempunyai hubungan nasab kepada ibu atau saudara ibunya. Masalah asal-usul anak ini terdapat beberapa ketentuan hukum yang berbedabeda. Ada tiga sumber hukum yang mengatur masalah asal-usul anak yaitu hukum islam, hukum nasional (KUHPer, UUP, Kompilasi hukum, dll), dan hukum adat yang berlaku dimasing-masing daerah. Namun, sesuai dengan permasalahan yang kami angkat, kami akan menjelaskan Asal Usul Anak dalam Hukum Islam dan Hukum Nasional.

Dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 mengatur tentang asal-usul anak dalam beberapa pasal, antara lain: Pasal 42: Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Pasal 43: (1) Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. (2) Kedudukan anak tersebut ayat (1) diatas selanjutnya akan diatur dalam peraturan pemerintah. Pasal 44: (1) Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh isterinya bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzina dan anak itu akibat dari perzinaan tersebut.

(2) Pengadilan memberikan keputusan tentang sah tidaknya anak atas permintaan pihak yang bersangkutan. Memperhatikan pasal 42 tersebut, didalamnya memberi toleransi hukum kepada anak yang lahir dalam perkawinan yang sah, meskipun jarak pernikahan dan kelahiran anak kurang dai batas waktu minimal usia kandungan seperti akan dijelaskan kemudian. Undang-Undang tidak mengatur batas minimal usia kandungan,baik dalam pasal-pasalnya maupun dalam penjelasannya. Dalam kompilasi ditegaskan dan dirinci, apa yang diatur dalam Undang-Undang Perkawinan. Pasal49: Anak yang sah adalah: a. Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah. b. Hasil pembuahan suami isteri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut. Pasal 100: Anak yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Pasal 101: Seorang suami yang mengingkari sahnya anak, sedang isteri tidak menyangkalnya, dapat meneguhkan pengingkarannya dengan lian. Pasal 99 diatas mengandung pembaharuan hukum dalam mengantisipasi kemungkinan terjadinya bayi tabung. Jadi tetap dibatasi antara suami dan isteri yang terikat oleh perkawinan yang sah. Pasal 102: Kompilasi juga tidak merinci batas batas minimal dan maksimal usia bayi dalam kandungan sebagai dasar suami untuk menyangkal sahnya anak yang dilahirkan isterinya. (1)Suami yang akan menginkari seorang anak yang lahir dari isterinya,mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama dalam jangka waktu 180 hari sesudah hari lahirnya atau 360 hari sesudah putusnya perkawinan atau

setelah suami itu mengetahui bahwa isterinya melahirkan anak dan berada di tempat yang memungkinkan dia mengajukan perkaranya kepada Pengadilan Agama (2)Pengingkaran yang di ajukan sesudah lampau waktu tersebut tidak dapat di terima Batasan 180 hari atau 6 bulan di atas ternyata tidak menjelaskan batas minimal usia kandungan ,demikian 360 hari bukan menunjuk batas maksimal usia baayi dalam kandungan Al Quran member petunjuk yang jelas tenteng masalah ini. Batas minimal usia bayi dalam kandungan adalah 6 bulan dihitung dari saat akad nikah dilangsungkan. Ketentuan ini diambil dari firman Allah:

mengandungnya sampai menyapihnya adalah 30(tiga puluh) bulan (dua setengah tahun) (QS.al-ahqaq,46:15).

Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun (dua puluh empat bulan, pen) (QS.Luqman, 31:14). Kedua ayat tersebut, oleh ibnu Abbas dan disepakati para ulama, ditafsirkan bahwa ayat pertama menunjukkan bahwa ayat pertama menunjukkan bahwa tenggang waktu mengandung dan menyapih adalah 30 bulan. Ayat kedua menerangkan bahwa menyapihnya setelah bayi disusukan secara sempurna membutuhkan waktu dua tahun atau dua puluh empat bulan. Oleh sebab itu apabila bayi lahir kurang dari 6 (enam) bulan hubungan nasab kepada ibu dan keluarga ibunya saja (pasal 100 KHI). Persoalan pokok, sesungguhnya terletak pada kejujuran seorang perempuan yang sedang mengandung diluar perkawinan itu sendiri, atau setidak-tidaknya dalam keadaan tertentu meski telah bersuami,ia dalam hati kecilnya tahu bagaimana sesungguhnya nasab bayi itu, jika ia melakukan selingkuh dengan

laki-laki lain. Pelaksanaan dari ketentuan pasal ini,besar kemungkinan akan mendatangkan kesulitan bagi pihak-pihak yang terlanjur hamil dahulu,sebelum akad nikah dilaksanakan. Menurut KUH Pidana, perzinaan adalah persetubuhan antara laki-laki dan

perempuan yang telah kawin. Lagi pula dikaterogikan sebagai pidana aduan. Pada hukum adat tidak dijumpai keterangan yang jelas mengenai perzinaan. Menurut hukum adat dibeberapa daerah di Indonesia, yang dianggap melakukan zina itu hanya kaum isteri dan dipandang sebagai melanggar hak suami. Maka tidak heran, jika pada masyarakat tertentu terjadi reaksi negatif yang keras terhadap seorang ibu yang berzina kemudian melahirkan anak tanpa perkawinan yang resmi. Untuk mencegah ibu dan anak tidak tertimpa nasib seperti diatas, maka dilakukan cara antara lain: a. Kawin paksa. b. Kawin darurat. Tampaknya kompilasi juga tidak membicarakan hubungan nasab ini secara tegas, kecuali bayi yang lahir diluar ikatan perkawinan yang sah, kecuali apabila suami mengajukan lian. Dengan demikian, terdapat perbedaan prinsipil antara hukum Islam dan hukum adat dibeberapa lingkungan hukum Indonesia. Mengenai batas maksimal usia bayi dalam kandungan para ulama berbeda pendapat. Perbedaan pendapat diatas adalah sesuatu yang wajar, apalagi pendapat itu didasarkan kepada fakta empiris, meskipun lebih bersifat kasuistik. Dengan demikian, dalam menentukan batas maksimal bayi berada dalam kandungan,dapat ditempuh dengan cara mengambil kelaziman yang terjadi dalam masyarakat. Pada akhirnya perkara asal-usul anak ini diajukan ke pengadilan Agama, hakimlah yang dituntut bijaksana dalam memberikan putusan yang adil. Masalah lian seperti yang diatur dalam pasal 101 dan tenggang waktu untuk mengajukannya ke pengadilan Agama teknisnya ditunjukkan dalam Al-Quran surat An-nur ayat 6-7. Lebih lanjut kompilasi menjelaskan tentang lian dalam pasal 125,126,127,dan 128. Secara metodologis,obsesi undang-undang atau kompilasi yang mengatur bahwa lian harus dilakukan didepan sidang,adalah menggunakan metode istislah atau sering disebut dengan maslahat mursalah. Akan halnya status

sanak lian adalah sama dengan status anak zina, ia hanya dinasabkan kepada ibu dan keluarga ibunya saja. Adapun pembuktian asal-usul anak, Undang-Undang perkawinan mengaturnya dalam pasal 55,dan Kompilasinya menjelaskannya dalam pasal 103 yang isinya sama. Ketentuan hukum perlunya akta kelahiran sebagai bukti otentik asal-usul anak, meski sesungguhnya telah diupayakan sejak lama, secara metodologi ia merupakan inovasi hukum positif terhadap inovasi hukum positif terhadap ketentuan hukum islam. Penentuan perlunya akta kelahiran tersebut, didasarkan atas prinsip maslahat mursalah,yaitu merealisasikan kemaslahatan bagi anak. Selain itu anak juga akan mengetahui secara persis siapa kedua orang tuanya. Dari akta kelahiranran tersebut, yang bersangkutan diberikan kutipannya, demikian juga dalam bentuk surat kenal lahir atau surat kelahiran dari lurah atau desa dimana dilahirkan anak itu. Manfaat dari akta kelahiran tersebut adalah merupakan identitas resmi yang sering digunakan.

2. Hak-Hak Anak dalam Hukum Islam dan Hukum perdata


Hak anak dalam hukum Islam, seperti yang tertulis dalam buku Hukum Islam di Indonesia (A. Rofiq) hak anak yang di dapatkan dari orang tua mereka adalah

1. Ekonomi Anak mempunyai hak untuk pemenuhan dari segi ekonomi, karna tanpa di dukung financial yang cukup anak tersebut akan kehilangan mental dalam artian anak tersebut akan merasa minder terhadap lingkungannya. Hak anak dalam ekonomi merupakan wewenang dari Orang tua atau wali dari anak tersebut. 2. Pendidikan Pendidikan adalah hal yang penting untuk anak ,supaya anak tersebut memiliki kepandaian dan manfaat dari ilmu tersebut. Ilmu itu luas sehingga anak itu di anjurkan untuk tidak berhenti untuk belajar. Karna dalam Islam menganjurkan untuk memiliki ilmu yang banyak dan manfaat. 3. Kebutuhan pokok anak

Yang di maksudkan adalah ketika si anak bertambah usia aka nada kebutuhan-kebutuhan pokok yang tak bisa di hindarkan. Misalnya : Handphone di gunakan untuk komunikasi umumnya di berikan sewaktu si anak smp atau sma . kembali lagi pada kebijakan sang orang tua/ wali. Hak anak dalam Hukum Perdata : Anak berhak dapat pemeliharaan hidup sampai dewasa Berhak mendapat perlindungan hukum dari perlindungan hukum baik di luar maupun di dalam pengadilan 2. Perwalian dalam hukum islam dan hukum nasional Dalam ketentuan ummum pasal 1 kompilasi huruf h dikemukakan, perwalian adalah kewenangan yang diberikan kepada seseorang untuk melakukan sesuatu perbuatan hukum sebagai wakil untuk kepentingan dan atas nama anak yang tidak mempunyai kedua orang tua, atau kedua orang tua yang masih hidup tidak cakap melakukan perbuatan hukum. Kewajiban dan hak-hak wali terhadap anak dan harta yang di bawah perwaliannya. Untuk mengetahui secara rinci, kita temukan penjelasan dari Undang-undang No.1 tahun 1974 dan kompilasi dalam Bab XI pasal 50 sampai dengan pasal 54 diatur tentang perwalian. Memperhatikan bunyi pasal 50 dan 51 tersebut,yang perlu diperhatikan adalah, meskipun penunjukan melalui surat wasiat atau lisan sifatnya pilihan yang tidak bersifat imperatif, hendaknya dilakukan dengan cara-cara yang dapat mempunyai kekuatan hukum atau akta otentik. Dalam pasal 51(2) dianjurkan agar penunjukkan wali diambil dari keluarga anak tersebut, atau orang lain yang berkelakuan baik,didasarkan kepada sabda Rassulullah SAW,riwayat dari al-Barra ibn Azib yang mengutamakan keluarga perempuan. Dalam kompilasi, masalah perwalian diatur dalam pasal 107 sampai dengan pasal 112 yang secara garis besar mempertegas ketentuan yang dimuat dalam UU perkawinan. Mengenai tugas dan kewajiban wali terhadap diri dan harta benda anak yang di bawah perwaliannya, dijelaskan dalam pasal 110 kompilasi. Perwalian seseorang berhasil apabila anak yang dibawah perwaliannya telah mencapai umur 21 tahun atau telah kawin.

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari perbandingan hukum di atas mengenai asal usul anak telah jelas bahwa antara hukum nasional dan hukum Islam memiliki perbedaan yang lebih condong pada peenempatan untuk objek permaslahannya. Jadi, semua itu memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk mensejahterakan rakyat (umat) dan mengatur untuk menuju tujuan bersama.

DAFTAR PUSTAKA
Rafiq,Ahmad.1995.Hukum Islam di Indonesia.Jakarta;Raja Grafindo Persada Subekti,R&R,Tjitrosudibio.2008.Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.Jakarta;Pradnya paramita Undang-Undang Perkawinan, Hukum Perdata ,Drs. Sugito, UNNES copy

Anda mungkin juga menyukai