Anda di halaman 1dari 8

KONSEP KETERGANTUNGAN NAPZA

Ketergantungan tidak selalu pada zat illegal. Ketergantungan zat legal seperti teh, kopi, coklat, rokok dipastikan tidak melanggar hukukm. Ketergantungan opioid, kokain, kelompok stimulan atau party drugs di Indonesia masuk dalam kategori melanggar hukum, sampai saat ini , 2006, tidak dibedakan antara pengguna dan pengedar dalam hal berurusan dengan hukum. ADIKSI Adiksi, addiction, merupakan penyakit karakteristik dengan kompulsi, kehilangan kendali dan penggunaan berkelanjutan dengan konsekuensi merugikan. Elemen utama dari adiksi adalah Kompulsi- penggunaannya berulang, dapat teratur atau dapat episodik. Pengguna tak dapat memulai hari nya tanpa menggunakan zat, tak dapat mulai beraktivitas tanpa minum kopi, tanpa merokok, tanpa alkohol, tanpa putauw. Kehilangan kendali- individu seringkali bersumpah tak lagi mengulangi, pada kenyataannya ia tak dapat mengendalikan penggunaan dan bahkan tak dapat menghentikannya. Mungkin ia mengatakan seteguk alkohol tak menjadi masalah untuk membuka mata pagi hari, ternyata di jam-jam berikutnya ia tak mampu mengendalikan minumnya dan sampai mabuk. Mungkin individu dapat menghentikannya sementara waktu, namun kemudian mengulangnya lagi. Terus menggunakan meski dampaknya merugikan menggunakan zat berulangkali, tak mampu menghentikannya atau mengendalikannya akan membuat penurunan kesehatan fisik, mental, emosional dan bahkan sosial dan ekonomi. Ketiga elemen diatas merupakan pokok karakteristik dari penyakit ini. ADIKSI : KRONIS DAN KAMBUHAN Kebanyakan keluarga dan klien menganggap adiksi adalah penyakit seperti halnya batuk pilek biasa yang sekali diobati akan sembuh, dan jika tidak sembuh dikatakan terapi gagal. Adiksi merupakan penyakit kronis pada otak dan kambuh-kambuh, sehingga memerlukan terapi jangka panjang dan dan dipertahankan. Sebagian besar pengguna pada mulanya mengatakan mereka dapat mengatasinya sendiri dan pasang badan dengan menghentikan penggunaan tanpa bantuan terapis. Sebagian berhasil, sebagian besar tidak berhasil. ADIKSI BERJALAN PROGRESIF Perjalanan penyakit yang menahun dan merugikan membawa berbagai dampak buruk, baik karena cara penggunaannya (disuntik, dihirup, ditelan), zat penambahnya (tepung, gula,pengawet, pestisida ), harganya, ketidak mampuan beraktivitas dan bersosialisasi, maupun kerusakan organ tubuh seperti otak , hati , jantung serta infeksi lainnya.Mereka juga tidak menyadari akibat fatal dari pemasukan zat kedalam tubuh atau menyadari namun tak kuasa menghentikan penggunaan. ISTILAH DALAM PENGGUNAAN NAPZA Banyak istilah yang digunakan dalam penggunaan napza. Setidaknya ada 3 konsep kunci Detil lihat pada :WHO website.

Istilah lahir dari dua badan yang mempunyai pengaruh atas klasifikasi napza yakni WHO dengan ICD-10 nya dan Ikatan Psikiatri Amerika dengan DSM-IV. Definisi keduanya hampir sama, dengan sedikit perbedaan. Di Indonesia kita mengacu pada PPDGJ III yang berkaca pada ICD-10, dalam hal tertentu klasifikasi DSM IV juga digunakan. Penggunaan napza dipengaruhi oleh kultur setempat. Intoksikasi merupakan kondisi setelah orang menggunakan napza dan mengakibatkan perubahan tingkat kesadaran, kognisi, persepsi, judgment, afek, atau perilaku , atau fungsi psikososial lainnya serta responnya terhadap lingkungan. Perubahan tersebut disebabkan oleh pengaruh farmakologik akut napza atas diri seseorang , respon pembelajaran diri terhadap napza yang akan membaik dengan berjalannya waktu , namun kerusakan organ atau komplikasi bertambah buruk. Contoh: Istilah yang sering digunakan dalam penggunaan alkohol : dalam bahasa sehari-hari disebut mabuk. Mabuk akan menghilang dengan berjalannya waktu, namun kerusakan organ muncul dan berlangsung terus. Intoksikasi alkohol ditandai dengan tanda gejala tertentu seperti muka semburat merah, bicara cadel, jalan goyah, euphoria, banyak bicara, gelisah, mondar mandir, mudah berkelahi, reaksi lamban, gangguan judgment dan koordinasi motorik, mudah tersinggung, atau pembodohan. Substance Abuse karakteristik dengan perubahan jelas secara klinis sikap dan perilaku sebagai akibat nyata dari penggunaan napza berulang atau berkelanjutan, seperti tak lagi memenuhi kewajiban utama, menggunakan napza secara merusak tubuh, masalah hukum terkait napza, dan tetap menggunakan napza meski mengalami masalah personal dan sosial berulang kali. Istilah ini tak digunakan dalam ICD 10 Contoh : penggunaan berulang heroin , intoksikasi, mengalami kecelakaan lalu lintas, atau berulangkali overdosis Penggunaan zat karakteristik dengan kambuhan dan berulang penggunaan napza disertai tanda klinis jelas untuk masing-masing zat, seperti gagal memenuhi perjanjian, kewajiban, dan tanggung jawab, menggunakan napza meski tahu bahaya atas kesehatan fisik dan mentalnya dan ancaman hukuman , dan terus menerus menggunakan meski mengancam hubungan interpersonal dan sosial. Ini tak ada dalam ICD 10 Misal : penggunaan alkohol berulang dengan intoksikasi membuat kecelakaan lalu lintas, penggunaan heroin sampai overdosis Ketergantungan napza adalah keadaanterganggunya fungsi kognitif , perilaku, dan simtom fisiologik yang menunjukkan seseorang terus menggunakan napza meski secara klinis nyata menimbulkan masalah. Karakteristiknya dengan keinginan kuatuntuk terus menggunakan , sulit mengendalikan, mengabaikan kegiatan lain yang penting dalam hidup seperti pekerjaan, hubungan sosial, rekreasi , karena hampir seluruh waktu tersita kegiatan terkait penggunaan napza, toleransi dimana kadar zat perlu ditingkatkan untuk mendapatkan efek yang sama seperti hari sebelumnya dan simtom putus zat ketyika zat dihentikan. Adalah sangat penting bahwa individu mempunyai tilikan antara masalah dalam hidupnya dan penggunaan napzanya sebagi konsekuensi. Contoh: Pengulangan penggunaan heroin terus dilakukan meski telah ada maslah hukum dan finansial. Penggunaan harus ditingkatkan dosisnya supaya tak ada gejala tak nyaman, dikenal sebagai toleran. Menghindari berelasi dengan keluarga dan pekerjaan.

Adiksi merujuk pada penggunaan berulang zat psikoaktif atau napza, memperluas penggunaan, secara periodeik atau kronik mengalami intoksikasi , terbukti penggunaan zat yang disukai secara kompulsi , sangat sulit untuk berhenti secara sukarela atau memodifikasi penggunaan napza, dan menunjukkan tetap menggunakan dengan jalan apapun. Tanda khusus, toleran adalah sering terjadinya sindroma putus zat ketika suplai napza terputus-putus. Kehidupan pecandu didominasi oleh penggunaan zat sehingga aktivitas lain menurun juga tanggung jawabnya. Istilah adiksi menghantar nuansa penggunaan napza mempunyai efek sosial dan individual ; jika diterapkan pada pengguna alkohol, maka ekuivalen dengan alkoholisme. Adiksi merupakan keadaan yang telah dijalani lama dan zat dapat bermacam-macam. Gangguan yang membuat seseorang terganggu dapat terjadi karena efek farmakologi obat, yang biasanya progresif. Mulai dari tahun 1920an sampai 1960an upaya untuk membedakan bentukbentuk adiksi ; dan "habituation", bentuk adaptasi psikologik berat. Pada tahun 1960an the World Health Organization merekomendasikan kedua istilah untuk menggambarkan dependence, yang dapat eksis dalam berbagai derajat keparahan. Addiction bukan terminologi dalam ICD-10, namun para profesional dan publik tetap menggunakannya. Semua kejadian diatas untuk waktu penggunaan selama 12 bulan ini dan sesuai definisi merujuk pada zat psikoaktif, misal dengan memodifikasi persepsi. SIAPA YANG RENTAN PENGGUNAAN NAPZA Individu rentan, adalah mereka yang termasuk mempunyai predisposisi genetik , korban kekerasan masa kanak, individu dengan psikopatologi, (termasuk depresi dan gangguan kepribadian), mereka yang mempunyai keluarga menggunakan zat dengan ketergantungan didalam rumah dan mereka yang secara sosial terkucilkan. Dengan paparan napza, neurological pathways dalam otak mereka dimodifikasi oleh napza. Meski paparan kecil, namun kimia otak dapat terpengaruh. Lingkungan individu kemudian dimodifikasi oleh faktor lingkungan seperti kemiskinan, perubahan sosial, norma budaya , kebijakan negara dan ketersediaan napza , dan tak kalah pentingnya budaya kelompok sebaya. Dukungan sosial dan integrasi, kendali yang dirasakan atas situasi saat sekarang, dan status ekonomi juga mempengaruhi outcome dari penggunaan napza. Hasilnya adalah kebanyakan individu tidak meneruskan penggunaan napza atau menggunakannya secara tidak tetap dalam hidupnya. Beberapa individu menggunakan sesekali namun berat ketika menggunakannya dan dikenal sebagai substance abuse ketika faktor psikososial gagal membawa mereka kembali ke pola normal. Sejumlah kecil dari individu ini, dengan berbagai alasan, terus menggunakan sampai tercapai fase dependensi, yang biasanya sementara tetapi dapat sepanjang hidup. Kriteria Diagnostik penggunaan Alkohol dan Dependensi Diagnosis adalah proses mengidentifikasi dan memberi label atas kondisi spesifik seperti penggunaan atau dependensi alkohol (1). Kriteria diagnostik penggunaan dan ketergantungan alkohol menggambarkan konsensus para periset gejala pola perilakunya sesuai dengan penggunaan zat masing-masing (1). Kriteria diagnostik memungkinkan para klinisi merencanakan dan memantau perkembangan terapi;

membuat dimungkinkannya komunikasi antara klinisi dan periset; memungkinkan para ahli kesehatan masyarakat merencanakan ketersediaan fasilitas dan terapi; membantu institusi kesehatan menyiapkan program terapi; membantu para asuransi kesehatan menghitung dan membayarkan terapi medik (?) ; dan memungkinkan pasien menjalani terapi dalam skema askes (1-3). Kriteria diagnostik penggunaan dan ketergantungan alkohol kemudian masuk didalamnya dan membuat para periset tetap bekerja memperbaiki diagnosis yang sahih, dan sesuai (4,5). Kriteria diagnostik untuk penggunaan dan dependensi alkohol nampaknya terus disesuaikan sesuai standard terkini dari the American Psychiatric Association's Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fourth Edition (DSM-IV) (6). Sebagai pembanding kriteria pada klasifikasi the World Health Organization's International Classification of Diseases, Tenth Revision (ICD-10) juga ditinjau selintas, meski tidak terlalu sering dipakai di the United States (7). Evolusi Kriteria Diagnostik Kriteria dahulu Setidaknya ada 39 sistem teridentifikasi sebelum 1940 (2). Pada 1941 Jlinek pertama mempublikasikan apa yang dipertimbangkan sebagai teori groundbreaking dari subtipe tersebut, sampai 1980, istilahnya alkoholism (2,8). Jellinek menghubungkan subtipe ini dengan derajat yang berbeda-beda sesuai gangguan fisik, psikologik, sosial dan okupasional impairment (2,9). Formula kriteria diagnostik terus dilanjutkan oleh the American Psychiatric Association's publication of the Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Edisi Pertama (DSM-I), dan Kedua (DSM-II) (10,11). Alkoholisma dikategorikan pada kedua edisi sebagai suatu subset dari gangguan kepribadian, homosexualitas, dan neuroses (2,12). Merespon kekurangan pada DSM-I dan DSM-II, kriteria Feighner dikembangkan pada tahun 1970 an dengan memapankan kriteria diagnostik berbasis riset kriteria diagnostik alkoholism, (5,13). Kriteria ini pertamakali berbasis riset dan bukan keputusan subyektif serta pengalaman klinis saja (5). Desain yang digunakan dalam praktek klinis, dikembangkan untuk menstimulasi riset agar diagnostik dapat bermanfaat (5). Beberapa tahun kemudian, Edwards dan Gross memusatkan hanya pada ketergantungan alkohol (8). Mereka mempertimbangkan elemen essensial dari ketergantungan guna mempersempit pengulangan minum, perilaku mencari minum, toleran, putus minum, minum untuk menghilangkan atau menghindari simtom, kewaspadaan subyektif dari kompulsi untuk minum, dan kembali minum sesudah periode abstinen (8) Kriteria DSM Para periset dan klinisi di USA biasanya percaya pada kriteria DSM. Evolusi kriteria diagnostik untuk gangguan perilaku termasuk menggunakan alkohol sampai pada titik balik pada tahun 1980 dengan publikasi the Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Third Edition (14).Dalam DSM-III, untuk pertamakalinya, istilah "alkoholisme" dibuang dan menjadi dua label yang berbeda yakni "alcohol abuse" and "alcohol dependence" (1,2,12,15). Keduanya masuk dalam golongan "substance use disorders" dan bukan subsets dari personality disorders (1,2,12).

The DSM ini direvisi kembali pada tahun 1987 (DSM-III-R) (16). Dalam DSM-III-R, kategori dependensi diperluas guna mencakup beberapa kriteria dalam DSM-III yang mempertimbangkan simtom abuse. Misal, the DSM-III-R mendeskripsikan dependen dimana termasuk didalamnya simtom fisik seperti toleran, dan putus zat, serta simtom perilaku, seperti gangguan kendali minum (17). Dalam DSM-III-R, abuse menjadi kategori residual untuk mendiagnosis mereka yang tak pernah memenuhi kriteria dependen, tetapi mabuk disamping terkait masalah alkohol secara fisik, sosial, psikologik maupun pekerjaan, atau mereka yang mabuk dalam situasi membahayakan seperti saat mengemudi (17). Mempertimbangkan hal tersebut ,Babor, mengkonsep agar para klinisi mengklasifikasi aspek bermakna dari perilaku pasien meski perilaku itu tak jelas berkait dengan dependen (18). The DSM direvisi lagi pada tahun 1994 dan diterbitkan the Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fourth Edition (DSM-IV) (6). Bagian yang membicarakan Gangguan Terkait Zat direvisi oleh kelompok kerja periset dan klinisi, serta penasehat dari bidang psikiatri, psikologi, dan ahli adiksi (2). Edisi terakhir the DSM menggambarkan isi literatur,;menganalisa sekumpulan data seperti data yang dikumpulkan selama Epidemiologic Catchment Area Study; melakukan uji coba lapangan dengan dua versi DSM-IV; mengkomunikasikan prosesnya; dan mencapai kesepakatan kriteria yang dimasukkan dalam edisi terbaru (2,19). DSM-IV, seperti juga pendahulunya, tak ada tumpang tindih kriteria dependence dan abuse. Meski demikian, berangkat dari edisi sebelumnya, DSM-IV membuat sub tipe dependen berbasis ada tidaknya toleransi dan putus zat (6). Kriteria untuk abuse dalam DSM-IV dikembangkan dengan memasukkan minum disamping problem berulang dari sosial, interpersonal, legal sebagai akibat penggunaan alkohol (2,4). Sebagai tambahan, DSM-IV menegaskan fakta bahwa simtom beberapa gangguan tertentu, seperti anxiety atau depresi, mungkin berkaitan dengan pengguna alkohol atau zat lain individualistik (2). Kriteria ICD Masyarakat psikiatri USA membuat formulanya sendiri untuk kriteria gangguan mental , juga WHO dalam rangka melihat angka kematian dan kesakitan, termasuk yang terkait dengan alcohol abuse atau dependence, di dunia (1,4,20). Kriteria ini diterbitkan sebagai International Classification of Diseases (ICD). Klasifikasi ICD pertama tentang gangguan terkait zat, diterbitkan tahun 1967 dalam ICD-8 (21), klasifikasinya menyebut alcoholism dengan gangguan personaliti dan neuroses, pada DSM-I dan DSM-II. Dalam ICD-8, alcoholism terpisah kategorinya termasuk episodic excessive drinking, habitual excessive drinking, dan alcohol addiction dengan karakteristik minum yang kompulsif dan simtom putus zat ketika minum dihentikan (1). Meski dalam ICD-9 (22,23) terdapat kriteria terpisah untuk alcohol abuse dan dependence, revisi ini menunjukkan bahwa keduanya menyerupai dalam hal tanda dan gejala (1). Menurut Babor, asumsi penting dalam ICD-9 adalah bahwa penggunaan alkohol tanpa ketergantungan "merits a separate category by virtue of its detrimental effects on health" ,(merupakan kategori pemisah kartena dampaknya yang berharga atas kesehatan)(1, p. 87). Kategori ketergantungan alkohol sekarang merupakan fokus perhatian revisi, ICD-10 (1,2,7). Ketergantungan alkohol merupakan suatu cara klasifikasi memberi batasan yang serupa dengan DSM. Diagnosis berfokus pada kluster simtom psikologi yang interelasi,

seperti craving; tanda fisiologi, seperti toleran dan putus zat; dan indikator perilaku , seperti penggunaan alkohol untuk mengurangi perasaan tak nyaman karena putus zat (1). Bagaimanapun dibanding DSM, ICD-10 terlihat memasukkan kategori penggunaan harmful menggantikan kategori "alcohol abuse,".Dengan memasukkan dalam kategori harm, maka para klinisi tak luput memasukkan pengaruh alkohol dan zat lain terhadap kesehatan dalam catatan medik dan melaporkannya (1). Penggunaan Harmful menandakan bahwa penggunaan alkohol dapat menyebabkan gangguan fisik maupun mental meski tak ada ketergantungan (1). Pergeseran pemahaman atas kedua kriteria diagnostik Kriteria diagnostik DSM untuk gangguan psikiatrik adalah kriteria utama yang digunakan di USA. The ICD merupakan sistem klasifikasi dan diagnostik internasional untuk semua penyebab kematian dan kesakitan serta disabilitas, termasuk gangguan psikiatrik (4). Edisi sebelumnya kedua kriteria diagnostik utama ini juga menyebutkan tentang alcohol abuse dan dependence yang dikritik banyak orang terlalu jauh perbedaannya (2). Karena itu DSM-IV dan the ICD-10 direvisi dalam koordinasi para periset di seluruh dunia untuk mengembangkan kriteria diagnosisnya yang sekonsisten mungkin (1,2). Meski masih ada perbedaan antara kedua kriteria diagnosis DSM dan ICD , keduanya telah direvisi dan mencapai kata sepakat mengklasifikasikan alcohol abuse and dependence untuk kepentingan klinis (18). Para klinisi, organisasi kesehatan, periset sekarang lebih baik dalam mengkategorikan orang dengan alcohol dependence, abuse, and harmful use , dengan demikian rencana terapi, pengumpulan data statistik dan komunikasi data hasil penelitian menjadi lebih tepat (18). Kriteria diagnostikSebuah komentar oleh Direktur NIAAA Enoch Gordis, M.D. Komunitas periset telah lama menemukan standar kriteria diagnostik yang dapat digunakan. Beberapa kriteria merupakan persetujuan dari himpunan simtom yang mengindikasikan sindroma dependensi alkohol dan memungkinkan periset seluruh dunia untuk berkomunikasi secara jelas atas gangguan apa yang sedang diteliti. Kriteria diagnosis terstandarisasi cukup penting dan berguna bagi klinisi. Dalam bidang alkohol, banyak cara menuju diagnosis yang dilakukan para klinisi dan petugas kesehatan kadang berbeda diantara para petugas kesehatan dari program yang sama. Meski penggunaan kriteria standar diagnosis kadang membebani , namun selalu ada keuntungan : asesmen dan penempatan yang lebih efisien, lebih konsisten dalam diagnosis antara dan dalam program, meningkatkan ukuran efektivitas program, dan tersedianya layanan bagi yang membutuhkan. Dengan makin majunya pelayanan, maka pihak ketiga seperti asuransi , membutuhkan kriteria diagnosis terstandar dan program terapi untuk dapat membayarkan dana kesehatan peserta asuransi kesehatannya. Kriteria diagnostik standar yang disajikan disini berdasarkan penelitian terakhir dan senantiasa dikaji ulang sesuai perkembangan dan uji coba lapangan. Meski pertimbangan klinis merupakan hal penting dalam mendiagnosis penyakit, kriteria standar dalam program terapi merupakan hal penting juga untuk menseleksi program apa yang tepat dibayar oleh pihak ketiga.

METABOLISME ZAT PSIKOAKTIF Metabolisme zat psikoaktif oleh hati melalui berbagai jalan termasuk sistem oksidasi mitokondrial dan glucoronidasi. Ini membuat zat tidak aktif lagi , meski beberapa metabolit zat psikoaktif akan mengaktifkan psike mereka sendiri. Kemampuan metabolisme individual diprogram secara genetik meski dapat dimodifikasidengan menggunakan zat. Misal jika kita minum alkohol sering maka badan akan meningkatkan kapasitas memetabolisme alkohol, jadi sesudah beberapa hari atau minggu minum baru kita dapat minum lebih banyak sebelum menjadi mabuk. Kemampuan individu untuk memetabolisme akan mempengaruhi jumlah psikoaktif yang dapat digunakan. Misal jenis-jenis enzym yang memproses alkohol (alcohol dehydrogenase) yang lebih sedikit efisien dalam memproses alkohol , dipunyai oleh populasi tertentu di dunia. Varian seperti ini terdapat pada orang Asia lebih banyak daripada Kaukas. Sehingga mereka yang mempunyai varian ini ketika minum alkohol, mukanya menjadi merah, dan mengalami rasa tak nyaman. Orang-orang ini tak akan menggunakan alkohol atau menyalahgunakan. Baik zat psikoaktif yang dimetabolik atau yang tidak dimetabolik, diekskresikan melalui urin. Oleh karena itu , pemeriksaan zat menggunakan sampel urin. Hanya sedikit variasi genetik pada pola ekskresi napza. TOLERAN DAN NEUROADAPTASI Toleran merujuk kepada keadaan perlunya peningkatan dosis atau frekwensi untuk mendapatkan efek yang sama seperti hari sebelumnya. Withdrawal =putus zat , keadaan individu yang merasa fisik tak nyaman dan dysphoria, ketika napza kebutuhannya dikurangi atau dihentikan. Toleransi dan putus zat meningkatkan usaha individu untuk berulang berperilaku mencari napza dan memasukkannya dalam tubuh. Ini merupakan faktor penting yang mempertahankan adiksi. Sensitisasi adalah peningkatan respon atas napza sebagai akibat penggunaan berulang. Sensitisasi biasa terlihat sebagai respon terhadap stimulant. Adaptasi molekular terkait toleransi dan dependensi telah dipelajari secara luas pada binatang Proses neuroadaptasi membuat toleransi neuron reseptor meningkat karena menurunnya densitas reseptor sebab terjadinya internalisasi reseptor neuron. Terdapat bukti bahwa struktur morfologi reseptor berubah sebagai akibat stimulasi yang terus menerus. Neuron Gaba inhibitori sangat menyolok oleh aksi benzodiazepines .Reseptor GABA mempunyai banyak bagian, dan jika distimulasi terus menerus akan berubah struktur proteinnya pada satu atau beberapa komponen reseptor CRAVING Lama sudah dipikirkan craving merupakan komponen kunci adiksi , terdapat beberapa model yang menampilkan pencarian napza terus menerus sebagai pemegang peran tetap bertahannya seseorang menggunakan napza. Keinginan kuat atau kompulsi menggunakan napza merupakan salah satu prasyarat kriteria diagnosis ICD-10 (International Classification of Diseases 10th edition),meski the American Psychiatric

Associations Diagnostic and Statistical Manual of Disease 4th edition (DSM-IV) tidak memasukkan unsur craving sebagai salah satu kriteria. Disamping peran craving yang dikenal dalam penggunaan napza, terdapat perbedaat pendapat apakah craving merupoakan faktor kontributor atas relapse. Perbedaan pendapat mengenai peran craving atas relapse berdasarkan fakta bahwa medikasi menurunkan craving (Lowman Addiction 2000) Karena itu diduga craving mempunyai komponen sadar (simtom putus zat fisik) dan nir sadar (respon terkondisi) Gambaran PET menjelaskan bahwa proses craving diotak terjadi pada amygdala.
Rujukan (1) Babor, T.F. Substance-related problems in the context of international classificatory systems. In: Lader, M.; Edwards, G.; & Drummond, D.C., eds. The Nature of Alcohol and Drug Related Problems. New York: Oxford University Press, 1992. (2) Schuckit, M.A. DSM-IV: Was it worth all the fuss? Alcohol and Alcoholism. (Supp. 2):459-469, 1994. (3) Vaillant, G.E. The Natural History of Alcoholism Revisited. Cambridge: Harvard University Press, 1995. (4) Rounsaville, B.J.; Bryant, K.; Babor, T.; Kranzler, H.; & Kadden, R. Cross system agreement for substance use disorders: DSM-III-R, DSM-IV and ICD-10. Addic tion 88(3):337-348, 1993. (5) Feighner, J.P.; Robins, E.; Guze, S.B.; Woodruff, R.A., Jr.; Winokur, G.; & Munoz, R. Diagnostic criteria for use in psychiatric research. Archives of General Psychiatry 26(1):57-63, 1972. (6) American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fourth Edition. Washington, D.C.: the Association, 1994. (7) World Health Organization. The ICD-10 Classification of Mental and Behavioural Disorders: Clinical Descriptions and Diagnostic Guidelines, Tenth Revision. Geneva: World Health Organization, 1992. (8) Edwards, G., & Gross, M.M. Alcohol dependence: Provisional description of a clinical syndrome. British Medical Journal 1:1058-1061, 1976. (9) Jellinek, E.M. The Disease Concept of Alcoholism. New Brunswick: Hillhouse Press, 1960. (10) American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, First Edition. Washington, D.C.: the Association, 1952. (11) American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Second Edition. Washington, D.C.: the Association, 1968. (12) Nathan, P.E. Substance use disorders in the DSMIV. Journal of Abnormal Psychology 100(3):356-361, 1991. (13) Keller, M., & Doria, J. On defining alcoholism. Alcohol Health & Research World 15(4):253-259, 1991. (14) American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Third Edition. Washington, D.C.: The Association, 1980. (15) Cottler, L.B.; Schuckit, M.A.; Helzer, J.E.; Crowley, T.; Woody, G.; Nathan, P.; & Hughes, J. The DSM-IV field trial for substance use disorders: Major results. Drug and Alcohol Dependence 38:59-69, 1995. (16) American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Third Edition, Revised. Washington, D.C.: the Association, 1987. (17) Hasin, D.S.; Grant, B.; & Endicott, J. The natural history of alcohol abuse: Implications for definitions of alcohol use disorders. American Journal of Psychiatry 147(11):1537-1541, 1990. (18) Babor, T.F. The road to DSM-IV: Confessions of an erstwhile nosologist. Commentary No. 2. Drug and Alcohol Dependence 38:75-79, 1995. (19) Schuckit, M.A. Familial alcoholism. In: Widiger, T.; Frances, A.; Pincus, H.; First, M.; Ross, R.; & Davis, W., eds. DSM-IV Sourcebook. Vol. 1. Washington, D.C.: American Psychiatric Association, 1994. pp. 159-167. (20) Grant, B.F. DSM III-R and ICD 10 classifications of alcohol use disorders and associated disabilities: A structural analysis. International Review of Psychiatry 1:21-39, 1989. (21) World Health Organization. Manual of the International Statistical Classification of Diseases, Injuries, and Causes of Death, Eighth Revision. Geneva: World Health Organization, 1967. (22) World Health Organization. Manual of the International Statistical Classification of Diseases, Injuries, and Causes of Death, Ninth Revision. Vol. 1. Geneva: World Health Organization, 1977. (23) World Health Organization. Manual of the International Statistical Classification of Diseases, Injuries, and Causes of Death, Ninth Revision. Vol. 2. Geneva: World Health Organization, 1978.

Anda mungkin juga menyukai