Anda di halaman 1dari 1

Journal of Pediatric Gastroenterology and Nutrition 41:S62S63 _ September 2005 Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia

Defecation Disorders After Surgery for Hirschsprungs Disease


Paul E. Hyman - University of Kansas Medical Center, Kansas City, USA

Hampir sebagian besar anak anak penderita Penyakit Hirschsprungs mengalami konstipasi kronik, inkontinensia dan atau nyeri perut. Lebih dari setengahnya mengalami inkontinensia (1) dan 20% mengalami konstipasi (2). Penelitian terakhir telah memperjelas penyebab menetapnya gejala gejala tersebut, bahkan setelah suatu operasi yang berhasil. Anak tersebut tidak hanya menjadi malas atau tidak kooperatife, tetapi juga has treatable physiological reasons for symptoms.

Konstipasi yang terjadi setelah pembedahan Hirscprung yang berhasil terjadi melalui tiga mekanisme: konstipasi fungsional (juga disebut retensi fekal fungsional atau konstipasi retentive), proksimal neuropati pada segmen aganglionik, dan hipertensi sphincter ani. Riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik tidak dapat membedakan kondisi kondisi tersebut. Diagnosis dapat ditegakkan hanya dengan permeriksaan manometry kolon dan anorectal. Konstipasi fungsional paling sering terjadi setelah pergerakan usus yang dirasakan nyeri. Anak akan menghindari defeksi, dan setelah beberapa hari, pergerakan usus akan dirasakan bertambah nyeri. Anak anak dengan penyakit hirsprung tampaknya lebih mudah mengalami konstipasi dibandingkan anak anak yang sehat, karena pengaruh banyaknya pengalaman menyakitkan di sekitar lantai panggul/pelvis. Diare yang terjadi menyusul tindakan pembedahan dapat melukai kulit yang sensitive dibawah popok, dan anak akan merasa lebih sakit saat ingin buang air besar.Beberapa anak membutuhkan dilasi anus akibat adanya jaringan parut yang membuat lumen anorectal menyempit. Dilasi tanpa analgesi dan sedasi dapat menimbulkan nyeri, dan diingat sebagai peristiwa menakutkan yang akan menghambat anak untuk melakukan defekasi. Kadang kadang dokter mencurigai bahwa telah terjadi enterocollitis, dan (karena itu) melakukan enema dan wash-out ulang. Prosedur ini, akan menghambat / mencegah anak belajar mengendalikan dasar panggulnya, dan mencetuskan rasa takut serta perilaku menolak (retentive). Kemudian, perut / abdomen anak akan kembali menggembung / distensi karena adanya feses yang tertahan, dan dokter akan merasa semakin khawatir, sehingga siklus rasa takut (dari dokter, orang tua dan anak) serta rasa sakit (pada anak) menjadi berlipat ganda. Penatalaksanaan dimulai dengan edukasi pada anak dan orang tuanya tentang konstipasi fungsional. Konstipasi fungsional bukan lah penyakit yang berbahaya, tetapi merupakan respon maladaptive terhadap defekasi yang nyeri. Kolon tidak akan robek karena hal ini. Toksin tidak akan masuk kembali kedalam tubuh. Laksansia non stimulant aman digunakan pada keadaan ini.

Anda mungkin juga menyukai