Anda di halaman 1dari 19

Penerapan Teori Memetics dalam Pemodelan Masyarakat Buatan:

Kemungkinan Penggunaannya untuk Pemodelan Kondisi Masyarakat di Indonesia

C. Kusdarjito Abstrak Semenjak ditimpa krisis multi dimensi, bangsa Indonesia sampai saat ini belum mampu keluar sepenuhnya dari krisis tersebut. Kondisi masyarakat dipenuhi oleh berbagai macam konflik. Praktik-praktik KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) bahkan cenderung semakin merebak. Tulisan ini mencoba menerangkan berbagai fenomena yang terjadi dalam masyarakat pada saat ini berdasarkan pada teori memetics. Selanjutnya berdasarkan teori tersebut, suatu model masyarakat buatan (artificial society) yang dapat menggambarkan kondisi masayarakat di Indonesia diusulkan untuk dikembangkan dengan mempergunakan teori memetic dan soft computing. Kata Kunci: meme, soft computing, masyarakat buatan

1. Pendahuluan Meskipun reformasi telah berlangsung beberapa tahun ternyata korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) masih terus terjadi bahkan cenderung berlangsung dalam skala yang lebih luas disertai dengan berbagai kerusuhan yang bersifat kronis dan ancaman disintegrasi bangsa. Akibatnya, sampai saat ini Indonesia belum dapat keluar dari krisis multidimensi. Dalam tulisan ini, permasalahan yang dihadapi Bangsa Indonesia dibahas berdasarkan pada teori memetics. Selanjutnya bagaimana cara memodelkan penyebaran meme dilakukan dengan menyusun model masyarakat buatan (artificial society). Tulisan ini merupakan langkah awal penelitian yang akan dilakukan untuk memodelkan berbagai kondisi kemasyarakatan yang ada di Indonesia.

2. Meme dan Memetics Konsep meme pertama kali dikemukakan oleh Dawkins pada tahun 1976 untuk menggambarkan transmisi kultural maupun proses imitasi. Meme dapat dianalogikan dengan gen (gene) dalam biologi. Meme, seperti halnya pada gen, mempunyai kemampuan untuk menggandakan diri dengan mempergunakan manusia yang terinfeksi sebagai inangnya (host). Grant (1990) mengemukakan bahwa meme adalah suatu pola informasi tertentu yang mampu menyebarkan diri dengan cara menginfeksi benak manusia yang terinfeksi sebagai inangnya (host) dan kemudian merubah perilaku inang agar menyebarkan meme tersebut. Heylighen (2001) mengemukakan bahwa meme adalah suatu pola informasi yang berada dalam benak seseorang dan dapat disalin ke dalam benak individu yang lain. Memetics adalah cabang ilmu yang mempelajari secara kuantitatif proses penyebaran meme (Morits, 1990). Grant (1990) mengemukakan bahwa memetics mempelajari dampak sosial meme, sedangkan Edmonds (1998) mengemukakan bahwa memetics adalah suatu model yang menggambarkan transmisi suatu produk kultural (atau informasi) dengan mempergunakan model evolusi. Meme dapat bersifat auto-toxic (meracuni inangnya) karena mendorong terjadinya penghancuran pada diri inang (misalnya meme yang mendorong inangnya untuk bertindak sebagai martir). Selain itu, meme juga dapat bersifat exo-toxic. Meme yang bersifat sangat exo-toxic akan mendorong proses penghancuran (termasuk

pembunuhan) orang lain, khususnya mereka yang dianggap membawa meme lawannya. Membot (meme robot) adalah seorang inang yang mengabdikan seluruh hidupnya untuk penyebaran suatu meme pada setiap kesempatan yang ada (misalnya penganut suatu aliran kepercayaan tertentu). Mememoid atau memoid adalah seseorang yang perilakunya sangat dipengaruhi oleh meme sehingga kelangsungan hidupnyapun tidak menjadi perhatiannya (misalnya kamikaze, bom bunuh diri dan sebagainya). Meskipun demikian, tidak setiap inang atau membot adalah memeoid. Cult terdiri dari mememoids atau membots yang dicirikan oleh adanya proses pengisolasian diri, pencucian otak (brainwashing), penekanan fungsi-fungsi genetis (misalnya pencegahan perkawinan, sterilisasi dan mengecilkan arti pembentukan keluarga) (Grant, 1990). Meme cenderung bersifat selfish (mementingkan diri sendiri) sehingga hanya akan mendorong terjadinya kerjasama pada kelompok yang mempunyai meme yang sama (Hales, 1998). Meskipun demikian, meme juga dapat bersifat toleran. Dalam hal ini, meme tidak mengembangkan reaksi alergi (meme-allergy) pada inangnya meskipun inang tersebut terpapar berkali-kali oleh meme yang merupakan rivalnya. Meme-allergy adalah suatu kondisi dimana seseorang beraksi secara berlebihan pada saat terkena meme-allergen (meme penyebab alergi). Meme yang bersifat toleran merupakan prasyarat bagi terbentuknya masyarakat yang demokratis. Beberapa reaksi alergi yang sering muncul misalnya tindakan sensor (censorship), vandalisme, pengeluaran kata-kata provokatif dan tindakan pengrusakan (Grant, 1990). Meme tidak hanya mempengaruhi perilaku inangnya untuk menyebarkan meme. tetapi kebanyakan meme yang sukses mempunyai efek samping seperti kemampuan membangkitkan emosi atau dengan cara menjadi parasit pada meme lain (Bjarneskans et. al., 2000). Daur hidup (life cycle) meme dapat dibedakan menjadi empat tahap, yaitu tahap asimilasi, tahap retensi, tahap pengekspresian dan tahap penyebaran meme. Terdapat beberapa kriteria yang menentukan apakah suatu meme akan diterima, dipertahankan dan disebarkan oleh inangnya atau bahkan justru ditolak atau dihilangkan. Kriteria-kriteria tersebut adalah kriteria obyektif, kriteria subyektif,

kriteria intersubyektif dan kriteria yang ditentukan oleh aspek internal meme (Heylighen, 1994). Kriteria obyektif adalah proses seleksi berdasarkan pada fenomena yang terjadi dan prosesnya tidak dipengaruhi baik oleh inang ataupun meme. Kriteria obyektif ditentukan oleh kejelasan (distinctiveness), ketidakberagaman (invariance) dan keterkontrolan (controlability) suatu fenomena. Suatu fenomena (lebih tepatnya phenomenon) yang bersifat jelas, kontras, detil dan teratur akan mempunyai peluang untuk diperhatikan dan cenderung lebih mudah dipahami sehingga memudahkan terjadinya proses asimilasi. Ketidakberagaman menunjukkan apabila suatu fenomena eksternal diterima dengan cara berbeda tetap memberikan representasi yang sama. Keterkontrolan menunjukkan suatu fenomena yang bereaksi secara berbeda jika dikenakan tindakan yang berbeda. Semakin nyata reaksi tersebut maka semakin nyata suatu fenomena. Ketidakberagaman dan keterkontrolan pada umumnya berkaitan dengan tahap retensi suatu meme (Heylighen, 1994, 1997). Kriteria subyektif menunjukkan seleksi yang dilakukan oleh individu dalam mengasimilasi suatu meme. Kriteria subyektif ditentukan oleh kesederhanaan (simplicity), kebaruan (novelty), koherensi (coherence) dan nilai kegunaan (utility) suatu meme. Sebagai penjelasan, semakin sederhana suatu meme semakin mudah meme tersebut untuk diasimilasi oleh seseorang. Selanjutnya, sifat kebaruan suatu meme dapat menarik perhatian seseorang untuk segera mengasimilasi meme tersebut. Selain itu, semakin koheren suatu meme dengan memori (ingatan) yang telah ada dalam benak seseorang akan semakin mempercepat terjadinya proses asimilasi dan memperkuat retensi meme dalam benak seseorang. Akhirnya, adanya kepuasan seorang individu terhadap suatu meme karena nilai kegunaanya akan mendorong retensi meme tersebut dalam benak seseorang (Heylighen, 1994, 1997). Kriteria intersubyektif menunjukkan proses seleksi meme yang terjadi melalui interaksi beberapa individu (Heylighen, 1994). Kriteria intersubyektif terdiri dari beberapa aspek, yaitu aspek kepuasan kelompok karena nilai guna suatu meme, fungsi otorasi, formalitas, ekspresivitas, konformitas, dan publistas. Kepuasan kelompok (group) akan menentukan proses asimilasi, retensi, pengekspresian dan transmisi suatu meme oleh inang. Suatu meme yang berguna bagi suatu kelompok tertentu akan bertahan lebih lama karena akan memberikan kepuasan pada kelompok tersebut dan

akhirnya dapat menarik individu dari kelompok lain masuk ke dalam kelompok tersebut. Fungsi otorasi (authority function) cukup berperan dalam proses asimilasi. Meme yang berasal dari pihak yang mempunyai otoritas tertentu, misalnya seseorang yang dihormati ataupun mempunyai reputasi atau keahlian tertentu, akan lebih mudah untuk memperoleh perhatian dan selanjutnya dapat diterima oleh inang baru. Aspek formalitas (yaitu kemampuan meme untuk diekpresikan secara tegas, jelas dan tidak tersamar) akan membantu proses asimilasi suatu meme. Semakin formal suatu meme dapat diekpresikan, semakin besar peluang meme tersebut untuk dapat bertahan dan ditransmisikan (disebarkan) secara berulang kali oleh individu-individu yang berbeda. Sebagai contoh, suatu gagasan (idea) akan lebih mudah dikomunikasikan secara akurat dengan mempergunakan persamaan matematis ataupun bahasa pemrograman komputer dibandingkan jika meme tersebut diekspresikan dengan mempergunakan puisi ataupun lukisan. Meskipun demikian, kesederhanaan tetap memegang peran penting dalam proses penyebaran meme. Kemudahan suatu meme untuk diekspresikan dalam suatu media karena kesederhaannya dikelompokan dalam kriteria ekspresivitas (expressivity). Selanjutnya, jika semua kondisi lainnya sama, tampaknya akan lebih menguntungkan bagi seseorang untuk menerima meme yang dianut oleh mayoritas individu dalam suatu kelompok. Oleh karena itu, suatu meme yang telah populer dalam suatu kelompok cenderung akan semakin populer dan akhirnya akan mendorong homogenitas suatu kelompok. Aspek ini dinamakan sebagai aspek konformitas (conformity). Aspek yang terakhir adalah aspek publisitas. Aspek publisitas (publicity) menunjukkan usaha setiap inang agar orang lain dapat mengenal dan menerima suatu meme. Meskipun demikian, seseorang akan dengan senang hati menyebarkan meme jika meme tersebut bersifat sederhana, berguna dan mempunyai aspek kebaruan (Heylighen, 1994, 1997). Kriteria yang ditentukan oleh aspek internal meme merupakan proses seleksi yang terjadi pada level meme (kondisi internal meme). Meme pada umumnya bersifat selfish (mementingkan dirinya sendiri) dalam arti meme hanya bertujuan untuk menyebarkan dirinya dan menginfeksi sebanyak mungkin inang tanpa memperhatikan dampaknya pada inang. Inang didorong untuk selalu menyebarkan suatu meme agar meme tersebut dapat menginfeksi inang baru (proselytism). Contoh yang lain misalnya meme mengembangkan sikap tidak toleran (intolerance). Meme juga cenderung untuk

selalu melakukan pembenaran diri agar seorang inang menerima suatu meme (self justification). Pembenaran diri terjadi jika komponen-komponen meme saling mendukung. Selain itu, meme selalu berusaha untuk memberikan stimulus kepada inangnya secara berulang-ulang (misalnya perintah untuk menjalankan suatu kewajiban tertentu) dengan tujuan untuk memperkuat keyakinan inang terhadap meme tersebut (self enforcement) (Heylighen, 1994). Tabel 1 Daur Hidup Meme (Heylighen, 1994)
Tahap Kriteria Obyektif Kriteria Inter-Subyektif Fungsi otorasi Kebaruan Aspek Kesederhaan formalitas Koherensi Konformitas Ekspresivitas Publisitas Kriteria Subyektif Kondisi Internal Meme Pembenaran diri

Asimilasi

Kejelasan

Retensi Ekspresi Transmisi

Ketidakberagam Koherensi an Nilai Kegunaan Keterkontrolan

Pemaksaaan diri Ketidaktoleranan Proselytism Proselytism

Vektor adalah segala hal yang dapat dipergunakan untuk menyebarkan meme, seperti misalnya suara, tembok yang ditulisi dengan coretan grafiti, e-mail, ataupun gambar. Manusiapun dapat menjadi vektor suatu meme. Jika seseorang enggan melakukan elaborasi secara lebih mendalam terhadap suatu meme maka orang tersebut disebut sebagai non-reflective carrier. Semakin banyak meme yang dapat digandakan, disalin dan di-encode pada vektor, semakin baik meme tersebut (dalam perspektif proses penyebarannya). Oleh karena itu, meme cenderung akan menyukai vektor dimana meme tersebut dapat melakukan penggandaan secara mudah. Radio dan televisi adalah salah satu contoh vektor yang cukup sesuai bagi proses penggandaan meme. Komunikasi pada radio dan televisi pada umumnya merupakan komunikasi dari satu sumber kepada banyak penerima dan meme dapat menyebar secara luas tanpa terjadi umpan balik. Akibatnya, pada kasus ini keragaman meme nilainya relatif rendah. Kondisi ini bebeda dengan informasi pada internet dimana jumlah sumber dan penerima meme jumlahnya cukup besar yang mengakibatkan nilai keragamannyapun cukup tinggi. Meme yang dapat di-encode dalam media (vektor) yang tahan lama, seperti pada buku ataupun karya seni yang monumental, dapat menyebar dalam jangka waktu ribuan tahun. (Bjarneskans et. al., 2000).

Tindakan penyensoran (censorship) adalah merupakan usaha untuk mencegah penyebaran meme dengan mengeliminasi vektornya. Tindakan ini dapat dianalogikan dengan pencegahan suatu penyakit (misalnya malaria) dengan membunuh vektornya (nyamuk). Meskipun demikian, tindakan penyensoran tidak pernah dapat

mengeliminir meme yang bersifat ofensif bahkan tindakan tersebut justru dapat memperkuat meme yang bersifat ganas (virulen) dan membunuh meme yang bersifat lebih moderat (Grant, 1990). Memetic drift adalah kesalahan penyalinan meme yang berlangsung berkalikali, sehingga terjadi mutasi pada meme. Meme yang bersifat tertulis lebih lambat mengalami mutasi sedangkan meme yang bersifat lisan akan lebih mudah mengalami pergeseran makna. Keterpaparan berkali-kali oleh suatu meme dapat mengurangi kemungkinan terjadinya mutasi (Bjarneskans et. al., 2000). Meme juga dapat melakukan mimikri yang merupakan salah satu strategi dalam menginfeksi inangnya. Dalam hal ini suatu meme mencoba meniru strategi meme yang sukses. Sebagai contoh, beberapa acara talk show di televisi seolah-olah berlangsung secara ilmiah, juga UFO-logy (pemikiran mengenai adanya piring terbang) dan masih banyak contoh yang lainnya (Grant, 1990). Meme dapat direkayasa, misalnya dengan memecah informasi yang dibawa meme (sehingga informasi tidak lengkap) ataupun mencampurbaurkan antara satu meme dengan meme yang lainnya (Grant, 1990).

3. Krisis Multidimensi di Indonesia dalam Perspektif Memetics Krisis ekonomi dan politik yang melanda Indonesia mengakibatkan banyak orang kehilangan pekerjaan, disorientasi, kelelahan fisik dan emosi yang kesemuanya itu mengakibatkan turunnya kekebalan (memetic immunity) seseorang terhadap kemungkinan terinfeksi oleh berbagai meme, khususnya meme yang bersifat auto maupun exo-toxic yang sebelumnya tidak muncul ke permukaan. Tergantung dari sistem kekebalan inang terhadap meme (immuno-meme), reaksi seseorang terhadap meme dapat memunculkan radikalisme (menerima suatu meme baru dan menolak meme yang lainnya), nihilisme (menolak baik meme lama maupun baru), ortodoksi (menolak semua meme baru), dan konservatisme (bertahan dari semua masukan meme baru).

Radikalisme tampak cukup menonjol di Indonesia pada saat ini. Beberapa meme yang mendorong radikalisme tampaknya bersifat auto- dan exo-toxic. Proses infeksi oleh meme yang bersifat exo-toxic akan lebih efektif lagi jika meme tersebut mampu memberi keyakinan kepada inangnya bahwa mereka merupakan korban dari meme lawannya. Selain itu, meme tersebut juga harus mampu memposisikan inangnya selalu dalam perasaan tidak aman dan terancam. Kondisi ini dapat menciptakan mememoid. Mememoid atau memoid adalah seseorang yang perilakunya sangat dipengaruhi oleh meme sehingga kelangsungan hidupnyapun bahkan tidak lagi menjadi pertimbangannya. Seperti telah dibahas sebelumnya, meme bersifat selfish (mementingkan diri sendiri). Karena meme bersifat selfish, sifat altrusitik (tidak mementingkan diri sendiri) hanya akan muncul di antara individu dengan meme yang sama (in-group meme). Oleh karena itu, jumlah partai politik yang demikian besar kemungkinan hanya akan memunculkan banyak meme yang bersifat selfish yang justru akan merangsang timbulnya nihilisme dan praktik KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme). Setiap kebijaksanaan pemerintah (siapapun yang memerintah) akan selalu ditentang habis-habisan sedangkan kelembagaan lama yang sudah terbangun justru dihancurkan dan praktik KKN-pun semakin merebak dari waktu ke waktu. Konservatisme dan ortodoksi tampaknya tidak terlalu berperan besar dalam melanggengkan KKN di Indonesia. Tampaknya terdapat mekanisme lain yang menyebabkan KKN terus berlanjut. Pada masa lalu (dan kini), meme yang sukses adalah meme yang mendorong terjadinya KKN. Aspek konformitas tampaknya cukup berperanan dalam melanggengkan praktik KKN tersebut. Seperti dikemukakan sebelumnya, akan lebih menguntungkan bagi seseorang untuk untuk menerima meme yang dianut mayoritas individu dalam suatu kelompok. Selain itu, semakin koheren suatu meme dengan memori seseorang akan semakin memperkuat retensi meme dalam benak seseorang. Oleh karena itu, Meskipun terdapat introduksi meme baru yang menentang praktek KKN, output sebelumnya (praktek-praktek pada

pemerintahan lama, termasuk KKN) akan selalu dimunculkan kembali. Seorang ilmuwan (termasuk mahasiswa) sangat efektif sebagai inang dalam proses penyebaran meme. Reputasi keilmiahan mereka akan mendorong anggota masyarakat lainnya untuk segera meniru, terutama bagian yang mudah untuk ditiru

(aspek kesederhanaan), dan meme dapat menginvasi keseluruhan sistem dengan cepat meskipun dengan resiko terjadinya meme drift (kesalahan replikasi yang terakumulasi). Jika seorang ilmuwan ternyata hanya menjadi membot (seseorang yang mendedikasikan hidupnya hanya untuk penyebaran suatu meme tertentu) maka dalam waktu singkat bangsa Indonesia akan didominasi oleh membots yang seolah mendasari segala tindakannya dengan berbagai dalih ilmiah (dalam hal ini meme melakukan mimikri untuk kamuflase). Konsekuensinya, jika meme tersebut berasal dari luar maka Bangsa Indonesia akan mudah didikte oleh sumber meme tersebut dengan memanfaatkan membots lokal. Meme yang sukses belum tentu merupakan meme yang terbaik. Selain itu, meme yang baik dan sukses di suatu tempat belum tentu akan sukses jika ditempatkan pada lingkungan yang berbeda. Oleh karena itu, penerapan meme baru yang berkaitan dengan proses demokratisasi di Indonesia harus dilakukan dengan cara seksama. Meskipun demikian, kita tidak perlu mengembangkan reaksi alergi terhadap meme tersebut. Salah satu cara yang mungkin cukup baik adalah mengadopsi sebagian meme baru pada meme lama seperti yang sering dilakukan oleh Bangsa Jepang ataupun dengan melakukan pendekatan ilmiah, yaitu dengan selalu mempertanyakan kebenaran meme baru dan mengujinya secara ilmiah sebelum menerimanya (baik sebagian ataupun seluruhnya).

4. Proses Pemodelan Penyebaran Meme Proses penyebaran meme dapat disimulasikan dengan mengembangkan masyarakat buatan (artificial society) dalam komputer. Artificial Societies (ASoc) atau masyarakat buatan adalah suatu model simulasi komputer berbasis pada agen (MAS) yang ditunjukan untuk mempelajari perilaku, kelembagaan dan strutur sosial suatu sistem kemasyarakatan. Model simulasi berbasis pada agen (dikenal juga sebagai multi-agent modeling atau multi-agent system dan selanjutnya disingkat sebagai MAS) merupakan salah satu cabang ilmu yang mengalami perkembangan yang cukup pesat (Doran, 1998). MAS sangat sesuai dipergunakan untuk memecahkan berbagai persoalan yang bersifat sangat kompleks dan sukar untuk didefinisikan secara eksplisit. MAS secara singkat menggambarkan suatu sistem dimana beberapa agen dengan kemampuan

intelektual saling berinteraksi dan melakukan beberapa kegiatan untuk mencapai suatu tujuan tertentu (Roddy dan Dickson, 2000). Voss (2000b) mengatakan bahwa model simulasi berbasis pada agen (MAS) adalah suatu model yang terdiri dari beberapa agen yang bersifat heterogen (baik yang bersifat tetap ataupun dapat berubah), tinggal di lingkungan dimana agen tersebut berada (lingkungan tersebut dapat dimodifikasi) dan dengan sejumlah aturan (interaction rule) yang mengatur hubungan antar-agen (agen-agen) dan antara agen dengan lingkungannya. Selanjutnya, Davidsson (2002) mengatakan bahwa MAS pada dasarnya merupakan gabungan dari tiga cabang ilmu, yaitu simulasi komputer, ilmu sosial dan komputasi berbasis pada agen (agent-based computing). Pada ASoc peneliti berusaha untuk memunculkan struktur sosial tersebut dari simulasi komputer. Oleh karena itu, secara singkat dapat dikemukakan bahwa tujuan pembuatan ASoc adalah untuk menemukan suatu mekanisme (pada level mikro) yang mampu memunculkan struktur sosial pada level makro berserta perilaku kolektifnya (sebagai contoh adalah terbentuknya suku-suku ataupun distribusi kekayaan) (Epstein dan Axtel, 1996). Model ASoc yang cukup populer adalah Sugarcape (Epstein dan Axtel, 1996). Sugarscape memodelkan perilaku agen (manusia buatan) yang bertempat tinggal di suatu hamparan lahan (landscape) dan hamparan lahan dimodelkan sebagai kumpulan sel (cell) yang membentuk pola grid. Pada Sugarscape, gula merupakan sumber makanan utama bagi agen (Sugarscape menggambarkan keberadaan gula yang tersebar pada landscape yang ada, sehingga dinamakan sebagai Sugarscape). Agen mempunyai kemampuan untuk melihat (vision), kemampuan metabolisme, kecepatan dalam bergerak dan beberapa atribut genetik lainnya. Agen bergerak sepanjang hamparan dengan pergerakan mengarah ke lokasi dengan kandungan bahan makanan tertinggi (sepanjang lokasi tersebut terletak dalam jangkauan penglihatannya). Agen mengkonsumsi gula untuk menggantikan energi yang terpakai dalam proses pergerakan mereka. Gambar 1 menunjukkan bentuk tipikal Sugarscape.

Gambar 1 Representasi Sugarscape

Sugarscape juga dapat dipergunakan untuk mempelajari berbagai fenomena dalam masyarakat seperti terjadinya perdagangan, migrasi, pembentukan kelompok atau suku, peperangan, interaksi agen dengan lingkungan, transmisi budaya, penyebaran penyakit dan dinamika populasi dalam masyarakat. (Epstein dan Axtel, 1996). Gambar 2 menunjukkan proses simulasi pada Sugarscape.

Gambar 2 Contoh Simulasi pada Sugarscape Gambar 2a menunjukkan kondisi awal simulasi dimana agen tersebar secara acak. Pada Gambar 2b terlihat bahwa agen mulai bergerak mengumpul pada sel yang mengandung gula yang terbesar, sedangkan pada Gambar 2c seluruh agen telah berkumpul pada dua daerah dengan kandungan gula terbesar. Penerapan meme pada MAS sebenarnya telah dimulai oleh Epstein dan Axtel (1996) meskipun tidak dinyatakan secara ekplisit. Pemodelan yang dibuatpun relatif

10

masih sederhana yaitu dengan mempergunakan cultural tag atau pelabelan. Setiap agen mempunyai tag yang mungkin berbeda nilainya. Perbedaan tersebut dinyatakan dengan logika Boolean (benar atau salah). Setiap agen yang bertetangga akan menyesuaikan cultural tag mereka. Penyesuaian dilakukan setelah agen melakukan pergerakan. Jika agen yang berdekatan mempunyai tag (label) yang sama maka tidak akan terjadi transformasi kultural, sedangkan apabila tag agen yang berdekatan berbeda maka tag pada agen tersebut harus diubah sesuai dengan tag milik agen yang melakukan pergerakan (Epstein dan Axtel, 1996). Karena kedekatan konsep cultural tag dengan konsep meme, maka Flentge et. al. (2001) menganalogikan tag dengan meme. Apakah seorang agen membawa meme (ataupun tidak) tergantung dari nilai tag yang mereka miliki. Selain itu, transmisi kultural juga dapat terjadi dari orang tua pada generasi penerusnya. Meskipun demikian, tidak seperti halnya pada gen, meme dapat diubah oleh agen lain selama masa hidupnya. Flentge et. al. (2001) menerapkan penggunaan meme pada MAS untuk menerangkan proses munculnya suatu norma sosial dalam masyarakat beserta dampaknya. Meme pada analisa tersebut dipergunakan untuk menerangkan aspek kepemilikan pada setiap agen. Model yang dikembangkan merupakan perluasan Sugarscape dengan mengubah beberapa aturan (rule) pada model. Agen yang dipergunakan pada model Flentge et. al. (2000) juga tidak mempunyai kemampuan penalaran seperti halnya pada Sugarscape. Dalam penelitiannya, beberapa kemungkinan yang mempengaruhi apakah suatu norma akan muncul (atau tidak) menjadi perhatian peneliti (misalnya penerapan sangsi). Agen yang berada pada suatu sel tertentu dapat menandai sel yang telah dikunjungi hanya jika sel tersebut belum ditandai oleh agen yang lain. Selanjutnya, agen yang lain dapat melihat tanda pada sel tersebut tersebut sejauh berada dalam jangkauan penglihatan mereka. Jika agen meninggal maka tanda yang dibuat oleh agen tersebut juga akan hilang dengan sendirinya. Meskipun demikian, adanya penandaan pada sel tidak secara otomatis menjadikan sel tersebut menjadi milik agen pemberi tanda. Jika agen yang lain tidak mengambil gula dari sel yang telah diberi tanda maka sel tersebut dapat dianggap sebagai milik agen pemberi tanda. Meme akan mengatur perilaku agen dalam menyikapi setiap sel yang telah diberi tanda. Jika suatu agen memiliki meme yang berhubungan dengan proses

11

kepemilikan

(meme-kepemilikan),

maka

agen

tersebut

tidak

akan

pernah

mengumpulkan gula dari sel yang diberi tanda. Hanya agen yang mempunyai memekepemilikanlah yang akan memberi tanda pada sel. Oleh karena itu terdapat dua perilaku pada meme-kepemilikan, yaitu memberi tanda pada sel dan tidak mengambil gula pada sel yang diberi tanda. Selain itu terdapat meme yang lain yaitu meme pemberi sangsi yang mengatur pemberian sangsi jika terjadi pelangaran norma. Jika suatu agen memiliki kedua meme (meme-kepemilikan dan meme pemberi sangsi) maka agen tersebut akan menghukum agen yang melakukan pelanggaran (mengambil gula pada sel yang diberi tanda). Hukuman dinyatakan dengan pengurangan jumlah gula yang dimiliki oleh agen pelanggar norma. Meskipun demikian, agen pemberi sangsi juga akan kehilangan sejumlah gula pada waktu menerapkan sangsi. Tidak setiap agen harus memiliki kedua meme tersebut (Flentge et. al., 2001). Penggunaan aturan di atas mengakibatkan antara agen yang satu dengan agen yang lain cenderung untuk saling menjauhi. Oleh karena itu, suatu aturan baru perlu diintroduksi pada model untuk mengatur pergerakan agen. Jika agen tidak berada dalam usia subur maka aturan yang sama pada Sugarscape-lah yang diterapkan. Jika agen berada dalam usia subur maka pencarian pasangan menempati prioritas lebih tinggi daripada mencari sel yang mempunyai persediaan gula terbanyak di dalamnya. Selanjutnya, aturan yang menentukan jalannya proses transmisi kultural juga dilakukan modifikasi. Untuk setiap agen yang bertetangga dipilih secara acak satu agen. Jika agen tersebut mempunyai meme yang sama maka tidak terjadi transfer. Jika hal ini tidak terpenuhi, maka agen dengan jumlah kepemilikan gula yang lebih rendah mengadopsi meme dari agen yang mempunyai simpanan gula lebih besar. Jika kedua agen memiliki jumlah gula yang sama dengan meme yang berbeda maka agen yang terakhir melakukan pergerakan yang diadopsi meme-nya (Flentge et. al., 2001). Lindblad et. al. (2001), seperti halnya pada Flentge et. al. (2001), mempergunakan Sugarscape sebagai dasar pengembangan model. Meme

digambarkan sebagai kumpulan beberapa instruksi yang bersifat sirkuler. Terdapat lima macam instruksi yang tersedia, seperti memanen gula, bergerak ke sel yang mengandung gula, bergerak ke agen tetangga, menjauh dari agen tetangga, dan tidak melakukan tindakan apapun. Meskipun demikian, setiap meme maksimum hanya dapat mempunyai sejumlah instruksi dengan batas atas yang tertentu, sedangkan batas

12

bawahnya setidaknya setiap agen mempunyai satu macam instruksi. Pada simulasi yang dilakukan oleh Linblad et. al. (2001) hanya meme dengan empat instruksi yang dipergunakan. Sebagai contoh, meme-1 dapat didefinisikan sebagai kumpulan instruksi yang terdiri dari: menjauh dari tetangga, memanen gula, bergerak ke sel yang mengandung gula, memanen gula. Satu instruksi pada meme hanya

dipergunakan untuk satu kali tindakan. Jika telah sampai pada instruksi terakhir, maka proses kembali lagi ke instruksi yang pertama. Agen yang mempunyai meme terbaik sesuai dengan kondisi lingkungannya akan berkembang. Selain mempergunakan Sugarscape sebagai dasar pengembangan model, Lindblad et. al. (2001) juga mempergunakan pendekatan dengan mempergunakan cellular automata. Pada model kedua, agen tidak melakukan pergerakan seperti halnya pada Sugarscape. Tindakan yang dapat dilakukan hanyalah memanen gula dan melakukan komunikasi dengan agen lainnya sejauh dalam jangkauan pandangannya. Karena pembatasan tersebut, makna mengenai instruksi yang terdapat pada meme menjadi kurang relevan. Hal yang terpenting dalam percobaan ini adalah mengamati mekanisme bagaimana penyebaran meme terjadi. Hasil simulasi menunjukkan bahwa pada saat awal dan di tengah proses simulasi terjadi pengelompokan meme. Meskipun demikian, pada tahap akhir simulasi meme yang sebelumnya mengelompok menjadi terpecah dan tidak ada lagi meme yang mendominasi. Selain itu, level energi pada agen dan jumlah gula cenderung stabil. Keserakahan yang sebelumnya mendominasi sistem digantikan oleh strategi jangka panjang yang dapat menjaga level energi pada agen dan jumlah gula pada tingkat yang lebih menguntungkan bagi sistem secara keseluruhan. Pendekatan yang hampir sama dengan mempergunakan semacam cellular automata (Swap-Shop) dengan agen yang bersifat stasioner juga telah dilakukan Hales (1998). Hales (1998) mempergunakan Swap-Shop (SS) untuk

memodelkan penyebaran meme. Swap Shop adalah semacam cellular automata meskipun tidak dapat digolongkan sepenuhnya sebagai cellular automata karena mekanisme perhitungannya yang sedikit berbeda (asynchronous). Setiap sel pada Swap-Shop mencerminkan agen yang bersifat stasioner (tidak berpindah tempat). Meme pada simulasi yang dilakukan oleh Hales (1998) terdiri dari tingkat kemiripan, atribut kultural dan tingkat penggunaan sumberdaya secara bersama.

13

Gambar 3 Simulasi Proses Penyebaran Meme (Hales, 1998)

Gambar 3 menunjukkan proses terjadinya penyebaran dan pengelompokan meme. Pada saat awal, setiap meme tersebar secara acak. Dengan berjalannya waktu, terjadi kecenderungan pengelompokan meme yang sama (misalnya Gambar 3d).

5. Aplikasi Soft Computing pada MAS Selama ini pemodelan MAS pada level mikro mempergunakan aturan (rule) yang dinyatakan secara tegas dan pasti (hard-wired dan crisp). Meskipun aturan yang dipergunakan dapat berubah, agen tetap mendasarkan pada aturan-aturan tertentu yang telah dirancang oleh pembuat model. Voss (2000a) mengatakan bahwa spesifikasi mikro sebenarnya lebih tepat jika dinyatakan dalam bentuk yang lebih fleksibel (soft-wired). Melalui pendekatan yang lebih fleksibel dimungkinkan untuk menganalisa perbedaan perilaku agen pada level mikro jika agen yang sama ditempatkan pada lingkungan yang berbeda. Selain itu, pendekatan yang bersifat lebih fleksibel (soft-wired) dapat menghindarkan atau setidaknya mengurangi adanya aspek subyektif pembuat model dalam penentuan spesifikasi-mikro yang akan menentukan karakteristik agen. Soft computing adalah perhitungan komputasi dengan mempergunakan gabungan dari dua atau beberapa metode seperti fuzzy logic (logika tersamar), artificial neural network (model saraf buatan), evolutionary computing (komputasi secara evolutif) dan probabilistic computing sebagai penyusun utamanya. Soft computing bersifat sangat toleran terhadap ketidaktepatan dalam proses pengukuran

14

(imprecision), ketidakpastian (uncertainty) dan ketidaktepatan dalam proses pendefinisian suatu masalah (partial truth) (Bonisonne et. al., 1997).

6. Representasi Data Responden pada Masyarakat Buatan Representasi agen pada masyarakat buatan umumnya cenderung bersifat abstrak. Pada sisi lain, proses penelitian pada ilmu-ilmu sosial umumnya mendasarkan pada fakta. Salah satu kemungkinan yang dapat dipergunakan untuk menjembatani persoalan di atas adalah dengan menerapkan fuzzy cognitive map ke dalam model. Fuzzy cognitive map mempunyai kemampuan merepresentasikan proses penalaran seseorang (dalam dunia nyata). Selanjutnya, simulasi yang dilakukan dengan mempergunakan fuzzy cognitive map akan menghasilkan pola-pola tertentu yang dapat direpresentasikan sebagai meme. Gambar 4 menjelaskan proses tersebut.

INDIVIDU 2 INDIVIDU 1

POLA LINGKUNGAN

Gambar 4 Fuzzy Cognitive Map Individu-1

Pada Gambar 4 lingkaran (nodes, vertices) menunjukkan variabel konsep (misalnya mencari gula, membeli saham). Selanjutnya, variabel konsep dihubungkan dengan garis-garis bertanda panah (edges, arcs) yang dinyatakan secara fuzzy dan nilainya dapat dicari melalui proses pembelajaran (Dickerson dan Kosko, 1997). Gambar 4 menunjukkan representasi fuzzy cognitive map individu-1 (responden-1) dalam mempersepsikan individu lainnya (individu-2) dan

lingkungannya (model tersebut dapat diperluas dengan menambahkan sejumlah

15

individu lainnya ke dalam fuzzy cognitive map). Individu-1 memikirkan dalam benaknya apa yang terjadi pada individu-2 jika dia melakukan suatu tindakan, demikian pula bagaimana pengaruh lingkungan terhadapnya. Inividu-1 juga memikirkan keterkaitan individu-2 dengan lingkungannya. Hal utama yang harus dicatat, fuzzy cognitive map pada Gambar 4 tidak menggambarkan apa yang menjadi pemikiran individu-2. Fuzzy cognitive map tersebut adalah unik milik individu-1. Pemikiran individu-2 dapat direpresentasikan dengan fuzzy cognitive map yang lain khusus untuk individu-2. Dalam aplikasinya, individu-individu tersebut dapat mencerminkan stakeholders, sehingga fuzzy cognitive map dapat dipergunakan untuk menggambarkan apa yang menjadi pemikiran masing-masing stakeholder. Sebagai contoh, dalam suatu proyek pembangunan jalan, fuzzy cognitive map dapat dipergunakan untuk menggambarkan apa yang dipersepsikan oleh penduduk lokal yang terkena proyek terhadap perubahan lingkungan yang akan dihadapi dan bagaimana pandangannya terhadap investor jalan tersebut (Kusdarjito, 2001). Pada waktu proses simulasi dijalankan, akan terbentuk pola tertentu yang menggambarkan berbagai tindakan dan persepsi individu-1. Pola tersebut cenderung tetap sehingga dapat direpresentasikan sebagai meme dan selanjutnya dapat diimplementasikan pada agen. Penjelasan mekanisme tersebut rerlatif sederhana, tetapi dibutuhkan waktu untuk implementasinya di lapangan dan dalam proses pemodelannya. Jika pendekatan ini dapat dilakukan, maka berbagai pendekatan partisipatif dapat disimulasikan dengan mudah.

7.Penutup Berdasarkan uraian di atas, teori memetics dapat dipergunakan untuk menerangkan berbagai fenomena sosial yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini. Selain itu, meme sebagai satuan informasi dapat diterapkan dalam pembuatan model masyarakat buatan. Karena berbagai permasalahan sosial pada umumnya bersifat subyektif dan sukar didefinisikan secara eksak, metode soft computing dapat dipergunakan untuk membantu pemodelan masyarakat buatan. Jika suatu model masyarakat buatan yang dapat menerangkan fenomena sosial yang ada di Indonesia dapat dibuat, berbagai permaslahan yang mungkin terjadi dapat diprediksi lebih dini. Kebijaksanaan yang dilakukanpun dapat menjadi lebih terarah

16

Daftar Pustaka Bjarneskans,H, Grnnevik, B dan Sandberg, A (2000) The Lifecycle of Memes http://www.aleph.se/Trans/Cultural/Memetics/memecycle.html Bonisonne, P P, Chen, Y, Goebel, K dan Khedkar, P S (1999) Hybrid Soft Computing Systems: Industrial and Commercial Applications Niskayuna, NY: GE Corporate Research and Development Davidsson, P (2002) Agent based social simulation: a computer science view Journal of Artificial Societies and Social Simulation vol. 5, no. 1, http://jasss.soc.surrey.ac.uk/5/1/7.html Dickerson, A J, Kosko, B (1997) Virtual world in fuzzy cognitive maps, pp 499-526 of Kosko, B (ed) Fuzzy Engineering New Jersey: Prentice Hall Doran, J (1998) Simulating collective misbelief Journal of Artificial Societies and Social Simulation vol. 1, no. 1, http://www.soc.surrey.ac.uk/JASSS/1/1/3.html Edmonds, B. (1998). On modelling in memetics. Journal of Memetics - Evolutionary Models of Information Transmission, 2, http://jomemit.cfpm.org/1998/vol2/edmonds_b.html Epstein, J and Axtel, R (1996) Growing Artificial Societies: Social Science from the Bottom Up Washington, D.C: Brookings Institution Flentge, F, Polani D dan Uthmann, T (2001) Modelling the emergence of possession norms using memes Journal of Artificial Societies and Social Simulation vol. 4, no. 4, http://www.soc.surrey.ac.uk/JASSS/4/4/3.html Grant, G (1990) Memetic Lexicon http://www.aleph.se/Trans/Cultural/Memetics/meme_lex.html Hales, D (1998) Selfish Memes & Selfless Agents - Altruism in the Swap Shop Colchester, Essex (UK): Department Of Computer Science Heylighen F. (1994) Memetic Selection Criteria Principia Cybernetica Web http://pespmc1.vub.ac.be/MEMSELC.html Heylighen F. (1997): "Objective, subjective and intersubjective selectors of knowledge", Evolution and Cognition 3:1, p. 63-67. Kusdarjito, C (2001) Aplikasi Soft OR dan Fuzzy Logic untuk Analisa Pengambilan Keputusan Yogyakarta: LP-UJB Lindblad, F, Grnerup, O, Bigot, O (2001) Simulation of Memetic Diffusion and Evolution Gteborg: Chalmers University of Technology, Sweden

17

Moritz, E (1990) Memetic Science : I General Introduction Panama City, Florida: The Institute for Memetic Research Roddy, K A and Dickson, M R (2000) Modeling Human and Organizational Behavior using A Relation-Centric Multi-Agent System Design Paradigm (Master Thesis) Monterey, CA : Naval Postgraduate School Voss, J L (2000a) Use of Neural Nets to Capture Complex Person-environment Relationships: A Prelude to Soft-wired Microspecification Modules for Complex Adaptive System Modeling Milwaukee: University of Wisconsin Voss, J L (2000b) Agent Based Modeling: a non-technical definition for Architects and Environment-Behavior Researchers San Luis Obispo, CA: Collaborative Agent Design (CAD) Research Center, California Polytechnic State University

18

Anda mungkin juga menyukai