Anda di halaman 1dari 17

Dampak Kolesterol - Defek Septum Ventrikel (Ventricular Septal Defect)

Defek Septum Ventrikel Definisi Defek septum ventrikel atau Ventricular Septal Defect (VSD) adalah gangguan atau lubang pada septum atau sekat di antara rongga ventrikel akibat kegagalan fusi atau penyambungan sekat interventrikel.. VSD terjadi pada 1,5 3,5 dari 1000 kelahiran hidup dan sekitar 2025% dari seluruh angka kejadian kelainan jantung kongenital. Umumnya lubang terjadi pada daerah membranosa (70%) dan muscular (20%) dari septum. Gejala klinis Pasien dengan ASD ringan umumnya tidak menimbulkan keluhan. Sepuluh persen dari bayi baru lahir dengan VSD yang besar akan menimbulkan gejala klinis dini seperti takipnue (napas cepat), tidak kuat menyusu, gagal tumbuh, gagal jantung kongestif, dan infeksi saluran pernapasan berulang.

Defek Septum Ventrikel Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang yang dilakukan diantaranya adalah roentgen dada yang akan memberikan hasil kondisi dan anatomi jantung yang normal (apabila VSD kecil) sampai dengan kardiomegali (pembengkakan jantung) serta peningkatan corakan vascular (pembuluh darah) paru. Pemeriksaan penunjang lainnya adalah elektrokardiografi (EKG) atau alat rekam jantung serta ekokardiografi dengan doppler.

Tatalaksana Pada usia 2 tahun, minimal sebanyak 50% VSD yang berukuran kecil atau sedang akan menutup secara spontan baik sebagian atau seluruhnya sehingga tidak diperlukan tatalaksana bedah. Operasi penutupan sekat pada bayi usia 12-18 bulan direkomendasikan apabila terdapat VSD dengan gagal jantung kongestif atau penyakit pembuluh darah pulmonal. Gangguan atau lubang yang berukuran sedang namun tanpa disertai dengan peningkatan tekanan pembuluh darah pulmonal, penanganannya dapat ditunda. Terapi pengobatan untuk profilaksis atau pencegahan endokarditis (peradangan pada endokardium atau selaput jantung bagian dalam) diberikan untuk semua pasien dengan VSD.

Sumber: www.klikdokter.com (dr. Eva)

Di antara berbagai kelainan bawaan (congenital anomaly) yang ada, penyakit jantung bawaan (PJB) merupakan kelainan yang paling sering ditemukan. Di Amerika Serikat, insidens penyakit jantung bawaan sekitar 8-10 dari 1000 kelahiran hidup, dengan sepertiga di antaranya bermanifestasi sebagai kondisi kritis pada tahun pertama kehidupan dan 50% dari kegawatan pada bulan pertama kehidupan berakhir dengan kematian penderita.1, 2 Di Indonesia, dengan populasi 200 juta penduduk dan angka kelahiran hidup 2%, diperkirakan terdapat sekitar 30.000 penderita PJB. Penyakit jantung bawaan adalah penyakit jantung yang dibawa sejak lahir, di mana kelainan pada struktur jantung atau fungsi sirkulasi jantung terjadi akibat gangguan atau kegagalan perkembangan struktur jantung pada fase awal perkembangan janin.3 Penyebab PJB sendiri sebagian besar tidak diketahui, namun beberapa kelainan genetik seperti sindroma Down dan infeksi Rubella (campak Jerman) pada trimester pertama kehamilan sang ibu berhubungan dengan kejadian PJB tertentu.4 Secara umum terdapat 2 kelompok besar PJB yaitu PJB sianotik (biru) dan PJB non sianotik (tidak biru). PJB sianotik biasanya memiliki kelainan struktur jantung yang lebih kompleks dan hanya dapat ditangani dengan tindakan bedah. Sementara PJB non sianotik umumnya memiliki lesi (kelainan) yang sederhana dan tunggal, namun tetap saja lebih dari 90% di antaranya memerlukan tindakan bedah jantung terbuka untuk pengobatannya. Sepuluh persen lainnya adalah kelainan seperti kebocoran sekat bilik jantung yang masih mungkin untuk menutup sendiri seiring dengan pertambahan usia anak.3, 4 Beberapa masalah yang selama ini timbul adalah bagaimana mendeteksi secara dini adanya PJB dan para orang tua seringkali sangat khawatir bila bayi atau anak mereka harus menjalani operasi bedah jantung terbuka sebagai konsekuensi didiagnosisnya putra-putri mereka sebagai penderita PJB. Tulisan ini akan mencoba menjawab masalah yang kedua, di mana penanganan PJB secara intervensi non bedah kini sudah mulai dikembangkan pada beberapa jenis PJB dengan lesi yang tunggal dan sederhana. Defek Sekat Atrium (Atrial Septal Defect/ASD) Salah satu PJB non sianotik yang sebelumnya harus selalu ditangani dengan tindakan bedah adalah kebocoran sekat serambi jantung (Atrial Septal Defect/ASD). Insidensnya sekitar 6,7% dari seluruh PJB pada bayi yang lahir hidup.5 ASD adalah penyakit jantung bawaan berupa lubang (defek) pada septum interatrial (sekat antar serambi) yang terjadi karena kegagalan fusi septum interatrial semasa janin (Gambar 1).

Gb. 1. Atrial Septal Defect (ASD) 3

Berdasarkan lokasi lubang, diklasifikasikan dalam 3 tipe, yaitu (1) ASD sekundum, bila lubang terletak pada daerah fosa ovalis, (2) ASD primum, bila lubang terletak di daerah ostium primum, yang mana ini termasuk salah satu bentuk Atrio-Ventricular Septal Defect (AVSD), dan (3) Sinus Venosus Defect (SVD) bila lubang terletak di daerah sinus venosus dekat muara vena (pembuluh darah balik) kava superior atau inferior.3, 6 Gejala Klinis 1. Sebagian besar penderita ASD tidak menampakkan gejala (asimptomatik) pada masa kecilnya, kecuali pada ASD besar yang dapat menyebabkan kondisi gagal jantung di tahun pertama kehidupan pada sekitar 5% penderita. Kejadian gagal jantung meningkat pada dekade ke-4 dan ke-5, dengan disertai adanya gangguan aktivitas listrik jantung (aritmia).3, 4 2. Gejala yang muncul pada masa bayi dan kanak-kanak adalah adanya infeksi saluran nafas bagian bawah berulang, yang ditandai dengan keluhan batuk dan panas hilang timbul (tanpa pilek). Selain itu gejala gagal jantung (pada ASD besar) dapat berupa sesak napas, kesulitan menyusu, gagal tumbuh kembang pada bayi atau cepat capai saat aktivitas fisik pada anak yang lebih besar. Selanjutnya dengan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang seperti elektro-kardiografi (EKG), rontgent dada dan echo-cardiografi, diagnosis ASD dapat ditegakkan. 6

Terapi Seluruh penderita dengan ASD harus menjalani tindakan penutupan pada defek tersebut, karena ASD tidak dapat menutup secara spontan, dan bila tidak ditutup akan menimbulkan berbagai penyulit di masa dewasa. Namun kapan terapi dan tindakan perlu dilakukan sangat tergantung pada besar kecilnya aliran darah (pirau) dan ada tidaknya gagal jantung kongestif, peningkatan tekanan pembuluh darah paru (hipertensi pulmonal) serta penyulit lain.4 Sampai 5 tahun yang lalu, semua ASD hanya dapat ditangani dengan operasi bedah jantung terbuka. Operasi penutupan ASD baik dengan jahitan langsung ataupun menggunakan patch sudah dilakukan lebih dari 40 tahun, pertama kali dilakukan tahun 1953 oleh dr. Gibbson di Amerika Serikat, menyusul ditemukannya mesin bantu pompa jantung-paru (cardiopulmonary bypass) setahun sebelumnya.7

Tindakan operasi ini sendiri, bila dilakukan pada saat yang tepat (tidak terlambat) memberikan hasil yang memuaskan, dengan risiko minimal (angka kematian operasi 0-1%, angka kesakitan rendah). Murphy JG, et.al melaporkan survival (ketahanan hidup) paska opearsi mencapai 98% dalam follow up 27 tahun setelah tindakan bedah, pada penderita yang menjalani operasi di usia kurang dari 11 tahun. Semakin tua usia saat dioperasi maka survival akan semakin menurun, berkaitan dengan sudah terjadinya komplikasi seperti peningkatan tekanan pada pembuluh darah paru. 8-11 Namun demikian, tindakan operasi tetap memerlukan masa pemulihan dan perawatan di rumah sakit yang cukup lama, dengan trauma bedah (luka operasi) dan trauma psikis serta relatif kurang nyaman bagi penderita maupun keluarganya. Hal ini memacu para ilmuwan untuk menemukan alternatif baru penutupan ASD dengan tindakan intervensi non bedah (tanpa bedah jantung terbuka), yaitu dengan pemasangan alat Amplatzer Septal Occluder (ASO). Terapi intervensi non bedah ASO adalah alat khusus yang dibuat untuk menutup ASD tipe sekundum secara non bedah yang dipasang melalui kateter secara perkutaneus lewat pembuluh darah di lipat paha (arteri femoralis). Alat ini terdiri dari 2 buah cakram yang dihubungkan dengan pinggang pendek dan terbuat dari anyaman kawat Nitinol yang dapat teregang menyesuaikan diri dengan ukuran ASD. Di dalamnya ada patch dan benang polyester yang dapat merangsang trombosis sehingga lubang/komunikasi antara atrium kiri dan kanan akan tertutup sempurna. 6 (Gambar 2)

Gb. 2. Penutupan ASD dengan pemasangan ASO (Courtessy of dr. Poppy S. Roebiono, SpJP(K))

Alat ini pertama kali diteliti pada hewan coba sejak tahun 1997, kemudian pada manusia melalui berbagai studi multisenter sampai didapatkan kesimpulan bahwa tindakan ini sangat efektif, aman dan menunjukkan hasil yang sangat baik. 12-14 Penutupan ASD secara intervensi non bedah ini menunjukkan hasil yang baik, angka

kesakitan periprosedural yang minimal, dapat mengurangi kejadian aritmia atrium dan dapat digunakan pada ASD berdiameter sampai dengan 34 mm. Keuntungan lain adalah risiko infeksi pasca tindakan yang minimal dan masa pemulihan-perawatan di rumah sakit yang lebih singkat, trauma bedah minimal serta secara subyektif dirasakan lebih nyaman bagi penderita dan keluarga karena tidak memerlukan tindakan bedah jantung terbuka. 14 Adapun indikasi dari intervensi ASO sama dengan indikasi operasi, namun harus memenuhi beberapa kriteria khusus (Tabel 1). 6 Tindakan pemasangan ASO telah mendapat persetujuan dari American Food and Drug Administration (FDA) pada bulan Desember 2001. Di Indonesia, tindakan ASO mulai dilakukan pada tahun 2002. Data di Pusat Jantung Nasional Harapan Kita menunjukkan selama periode September 2002-Mei 2004 telah dilakukan pemasangan ASO pada 46 penderita ASD, terdiri dari 14 pasien laki-laki dan 32 perempuan, usia antara 4-58 tahun (rerata 25,5 tahun), 16 di antaranya pasien anak dan 30 pasien dewasa. Angka kematian dilaporkan nol persen. 15 Tindakan ini juga sudah dilakukan di beberapa rumah sakit rujukan seperti RS dr. Cipto Mangunkusumo (Jakarta), RS dr. Sardjito (Yogyakarta), RS dr. Soetomo (Surabaya) dan RS dr. Karyadi (Semarang). Kendala yang masih muncul adalah besarnya biaya yang diperlukan karena harga alat ASO yang relatif mahal, dan belum adanya jaminan pembiayaan kesehatan yang memadai di negara kita. Vida VL, et.al melaporkan bahwa biaya pemasangan ASO di negara berkembang masih lebih tinggi dibandingkan dengan biaya penutupan ASD dengan tindakan bedah konvesional. 16 Tabel 1. Kriteria penderita ASD yang akan dilakukan pemasangan ASO. 6

1. ASD sekundum

2. Diameter kurang atau sama dengan 34 mm

3. Flow ratio lebih atau sama dengan 1,5 atau terdapat tanda-tanda beban volume pada ventrikel kanan

4. Mempunyai rim minimal 5 mm dari sinus koronarius, katup atrioventrikular, katup aorta dan vena pulmonalis kanan

5. Defek tunggal dan tanpa kelainan jantung lainnya yang memerlukan

intervensi bedah

6. Muara vena pulmonalis normal ke atrium kiri

7. Hipertensi pulmonal dengan resistensi vaskuler paru (Pulmonary Artery Resistance Index = PARi) kurang dari 7 - 8 U.m2

8. Bila ada gagal jantung, fungsi ventrikel (EF) harus lebih dari 30%.

Penutup Sebagai penutup, kemajuan teknologi kedokteran telah memberikan terobosan baru dalam penanganan salah satu bentuk PJB menggunakan tindakan intervensi non bedah dengan dikembangkannya penggunaan alat Amplatzer Septal Occluder (ASO) untuk menutup ASD. Untuk beberapa jenis PJB lain seperti Persistent Ductus Arteriosus (PDA) dan Defek Sekat Ventrikel (VSD) juga telah dikembangkan bentuk penanganan yang serupa, 17 sehingga, kini tidak semua PJB harus berakhir di ujung pisau bedah. Daftar Pustaka 1. Freed MD. The Pathology, pathophisiology, recognition, and treatment of congenital heart disease. Dalam: Fuster V, Alexander RW, O?fRourke RA (eds). Hurst's the Heart vol 2, 10th ed, New York: McGraw-Hill 2001; h. 1837-54. 2. Ho KK, Anderson KM, Kennel WB, Grossman W, Levy D. Survival after the onset of congestive heart failure in framingham heart study subjects. Circulation 1993;88:107 15. 3. Brickner ME, Hillis LD, Lange RA. Congenital heart disease in adults (first of two parts). N Engl J Med 1995;333:469-73 4. Seshadri N, Moore JD. Atrial septal defek and patent foramen ovale. Dalam Griffin BP, Topol EJ (eds). Manual of cardiovascular medicine 2nd ed, Philadelphia: Lippincot Williams & Wilkins 2004; h. 421-6. 5. Warnes CA, Deanfield JE. Congenital heart disease. Dalam: Fuster V, Alexander RW, O?fRourke RA (eds). Hurst?fs the Heart vol 2, 10th ed, New York: McGraw-Hill 2001; h. 1918-9. 6. Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI. Standar pelayanan medik rs jantung dan pembuluh darah harapan kita. Jakarta: Pusat Jantung Nasional Harapan Kita 2003. 7. Swan L, Gatzoulis MA. Closure of atrial septal defects: is the debate over? Eur Heart J 2003;24:130-2.

8. Murphy JG, Gersh BJ, McGoon MD, Mair DD, Porter CJ, Ilstrup DM et al. Longterm outcome after surgical repair of isolated atrial septal defect: follow up at 27-32 years. N Engl J Med 1990;323:1645-50. 9. Konstantinides S, Geibel A, Olschewski M, Gornandt L, Roskamm H, Spillner G et al. A comparison of surgical and medical therapy for atrial septal defect in adults. N Engl J Med 1995;333:469-73. 10. Shah D, Azhar M, Oakley CM, Cleland JG, Nihoyannopoulus P. Natural history of secundum atrial septal defect in adults after medical or surgical treatment: a historical prospective study. Br Heart J 1994;71:224-7. 11. Jemielity M, Dyszkiewicz W, Paluszkiewicz, Perek B, Buczkowski P, Ponizynski A. Do patients over 40 years of age benefit from surgical closure of atrial septal defects? Heart 2001;85:300-3. 12. Sharafuddin MJA, Gu X, Titus JL, Urness M, Cerverra-Ceballos JJ, Amplatz K. Transvenous closure of secundum atrial septal defects. Circulation 1997;95:2162-8. 13. H. Fischer G, Stieh KJ, Harding P, Jung O. Transcatheter closure of secundum atrial septal defects with the new self-centering Amplatzer Septal Occluder. Eur Heart J 1999;20:541-9. 14. Chan KC, Godman MJ, Wilson N, Redington A, Gibbs JL. Transcatheter closure of atrial septal defect and interatrial communications with a new self expanding nitinol double disc device (Amplatzer septal occluder): multicentre UK experience. Heart 1999;82:300-6. 15. Roebiono PS, Harimurti GM, Rahajoe AU. Unpublished data, Divisi Kardiologi Anak, Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI-Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, Jakarta 2004. 16. Vida VL, Barnoya J, O?fConnel M, Leon-Wyss J, Larrazabal LA, Castaneda AR. Surgical versus percutaneous occlusion of ostium secundum atrial septal defects: results and cost-effective considerations in a low-income country. J Am Coll Cardiol 2006;47:326-31 17. Fu YC, Bass J, Amin Z, Radtke W, Cheatam JP, Hellenbrand WE, et.al. Transcatheter closure of perimembranous ventricular septal defects using the new Amplatzer Membranous VSD Occluder: results of the U.S. phase I trial. J Am Coll Cardiol 2006;47:319 Dibaca 756 kali

LAPORAN TUTORIAL BLOK KARDIOVASKULER SKENARIO 2

DEFEK SEPTUM VENTRIKEL

Disusun oleh : FEBRIAN F N G0007071 KELOMPOK 7 TUTOR : dr. Reviono Sp.P

Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret 2009

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam beberapa dasawarsa terakhir ini angka kejadian beberapa penyakit non-infeksi makin menonjol , baik di negara maju maupun negara berkembang. Perbaikan tingkat sosial ekonomi telah membawa perubahan pola penyakit. Penyakit infeksi serta defisiensi gizi makin lama makin menyurut, sedangkan pelbagai penyakit non-infeksi, termasuk penyakit kongenital makin meningkat. Peristiwa tersebut juga terjadi dalam bidang kardiologi. Di Indonesia, walaupun belum ada data PJB yang akurat, namun masalah PJB jelas telah memerlukan perhatian yang sungguh-sungguh baik dari dokter umum maupun spesialis. Data Polildinik Jantung Anak di Bagian Anak FKUIRSCM1 melaporkan peningkatan jumlah pengunjung dari 241 menjadi 512 pada tahun 1970 dan 1973. Jumlah PJB (72%) lebih tinggi dari Penyakit Jantung Didapat (28%), dan jumlah konsultasi berasal dari Dokter umum (47%) tidak jauh berbeda dari dokterspesialis (53%). Oleh karena itu, pengetahuan tentang penyakit jantung bawaan sangat diperlukan bagi mahasiswa kedokteran dalam menunjang standart kompetensi pendidikan dokter. Dalam laporan ini, penulis tidak membahas semua PJB. Namun, penulis hanya membahas PJB yang berhubungan dengan kasus dan yang menjadi standart kompetensi dokter umum. B. Analisis Masalah Laki-laki 10 tahun. Batuk pilek, cepat lelah, nafsu makan terganggu.
Pernah menderita kelainan jantung. Lahir prematur. Tumbuh kembang normal. Pemeriksaan fisik : tekanan darah 120/80 mmHg, denyut nadi 90x/menit. Inspeksi : normal. Palpasi : iktus kordus di SIC V 2 cm lateral linea medioclavicularis. Tidak ada thrill. Perkusi : Batas jantung di SIC V 2cm lateral linea medioklavikularis. Auskultasi : Bising pansistolik punctum maksimum SIC IV-V parasternal kiri. Pemeriksaan hematologi : normal. EKG : aksis ke kiri, LVH, LAH. Foto polos : CTR 0,60, apeks ke lateral bawah. Dari skenario di atas didapatkan masalah-masalah, yaitu : a) Bagaimana patofisiologi, patogenesis, serta mekanisme dari keluhan-keluhan penderita? b) Apa hubungan antara penyakit ayahnya dengan penyakit yang dikeluhkan pasien sekarang? c) Bagaimana hubungan antara faktor resiko dengan keluhannya saat ini? d) Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan pasien? e) Bagaimana penatalaksanaan pada kasus ini ?

C. Tujuan Penulisan a) Mengetahui patofisiologi, patogenesis, serta mekanisme keluhan-keluhan pada PJB. b) Mengetahui hubungan antara faktor resiko dengan gangguan pada PJB. c) Menentukan diagnosis secara sistematis melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang.

d) Mengetahui cara pencegahan, terapi serta prognosis dari gangguan sistem kardiovaskuler pada kasus di atas. D. Manfaat Penulisan Manfaat dari penulisan laporan ini adalah : a. membentuk pola pikir mahasiswa menjadi terarah dan sistematik; b. mahasiswa mampu menyusun tulisan ilmiah yang baik dan benar; c. menambah pengetahuan mahasiswa tentang mekanisme penyakit pada sistem kardiovaskuler; dan d. menambah pengetahuan mahasiswa tentang terapi dan pencegahan penyakit pada sistem kardiovaskuler.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Embriogenesis Jantung Embriogenesis jantung merupakan serangkaian proses yang kompleks. Untuk keperluan pemahaman , proses yang rumit tersebut dapat disederhanakan menjadi empat tahapan, yaitu : 1. Tubing, yaitu tahapan ketika bakal jantung masih merupakan tabung sederhana; 2. Looping, yakni suatu peristiwa kompleks berupa perputaran bagian-bagian bakal jantung dan arteri besar (aorta dan a. Pulmonalis); 3. Septasi, yakni proses pemisahan bagian-bagian jantung serta arteri besar dengan pembentukan berbagai ruang jantung; 4. Migrasi, yakni pergeseran bagian-bagian jantung sebelum mencapai bentuk akhirnya. Perlu diingat bahwa keempat proses tersebut benar-benar merupakan proses yang terpisah, namun merupakan rangkaian proses yang saling tumpang tindih1. Sirkulasi darah pada janin dan bayi terdapat perbedaan, antara lain : 1. Pada janin terdapat pirau intrakardiak (foramen ovale) dan pirau ekstrakardiak(duktus arteriosus Botalli, duktus venosus Arantii) yang efektif. Arah pirau adalah dari kanan ke kiri, yakni dari atrium kanan ke kiri melalui foramen ovale dan dari a.pulmonalis menuju ke aorta melalui duktus arteriosus. Pada sirkulasi pascalahir pirau intra- maupun ekstra kardiak tersebut tidak ada. 2. Pada janin ventrikel kiri dan kanan bekerja serentak, sedang pada keadaan pasca lahir ventrikel kiri berkontraksi sedikit lebih awal dari ventrikel kanan. 3. Pada janin ventrikel kanan memompa darah ke tempat dengan tahanan yang lebih tinggi, yakni tahanan sistemik, sedang ventrikel kiri melawan tahanan yang rendah yakni plasenta. Pada keadaan pasca lahir ventrikel kanan akan melawan tahanan paru, yang lebih rendah daripada tahanan sistemik yang dilawan ventrikel kiri. 4. Pada janin darah yang dipompa oleh ventrikel kanan sebagian besar menuju ke aorta melalui duktus arteriosus, dan hanya sebagian kecil yang menuju ke paru. Pada keadaan pasca lahir darah dari ventrikel kanan seluruhnya ke paru. 5. Pada janin paru memperoleh oksigen dari darah yang mengambilnya dari plasenta; pasca lahir paru memberi oksigen kepada darah. 6. Pada janin plasenta merupakan tempat yang utama untuk pertukaran gas, makanan, dan ekskresi. Pada keadaan pascalahir organ -organ lain mengambil alih berbagai fungsi tersebut.

7.

Pada janin terjamin berjalannya sirkuit bertahanan rendah oleh karena terdapatnya plasenta. Pada keadaan pasca lahir hal ini tidak ada.2,3,5

Definisi Penyakit Jantung Bawaan PJB ialah kelainan susunan jantung, mungkin sudah terdapat sejak lahir. Perkataan susunan berarti menyingkirkan aritmia jantung, sedangkan mungkin sudah terdapat sejak lahir berarti tidak selalu dapat ditemukan selama beberapa minggu/bulan setelah lahir.5 Etiologi Penyakit Jantung Bawaan Sebenarnya sulit sekali menentukan penyebab PJB secara tepat. Berdasarkan data kepustakaanl 1,3 disimpulkan 3 kelompok faktor etiologi PJB berikut : 1. faktor genetik (biasanya merupakan bagian dari sindroma tertentu). 2. faktor lingkungan/faktor eksterna (obat, virus, radiasi) yang terdapat sebelum kehamilan 3 bulan. Hipoksia pada waktu persalinan dapat mengakibatkan tetap terbukanya ductus arteriosus pada bayi. 3. interaksi dari faktor genetik dan faktor lingkungan.1,5

Defek Septum Ventrikel (Ventricular Septal Defect, VSD) VSD merupakan kelainan jantung bawaan (kongenital) berupa terdapatnya lubang pada septum interventrikuler yang menyebabkan adanya hubungan aliran darah antara ventrikel kanan dan kiri. Secara normal lubang tersebut akan menutup selama akhir minggu keempat massa embrio. Lubang tersebut dapat hanya satu atau lebih yang terjadi akibat kegagalan fusi septum interventrikuler semasa janin dalam kandungan. VSD merupakan penyakit kelainan bawaan yang paling sering ditemukan sekitar 30,5 %. Klasifikasi VSD berdasarkan pada lokasi lubang, yaitu: 1) perimembranous (tipe paling sering, 60%) bila lubang terletak di daerah pars membranaceae septum interventricularis, 2) subarterial doubly commited, bial lubang terletak di daerah septum infundibuler dan sebagian dari batas defek dibentuk oleh terusan jaringan ikat katup aorta dan katup pulmonal, 3) muskuler, bial lubang terletak di daerah septum muskularis interventrikularis.1 Adanya lubang pada septum interventrikularis memnungkian terjadinya aliran darah dari ventrikel kiri ke ventrikel kanan oleh karena gradien tekanan sehingga aliran darah ke paru bertambah. Gambaran klinis tergantung dari besarnya defek dan aliran darah ( hunt) s serta besarnya tahanan pembuluh darah paru. Apabila defek kecil atau restriktif tidak tampak adanya gejala (asimptomatik). Pada defek kecil gradien tekanan ventrikel kiri dan kanan sebesar > 64 mmHg, tekanan sistolik ventrikel kanan dan resistensi pulmonal normal. Pada defek moderat dengan restriksi gradien tekanan ventrikel kiri dan kana berkisar 36 mmHg, resistensi pulmonal dan tekanan sistolik ventrikel kanan meningkat namun tidak melebihi tekanan sistemik. Pada keadaan ini, ukuran ventrikel kiri dan atrium kiri dapat membesar akibat bertambahnya beban volume. Defek besar non-restriktif akan ditandai dengan tekanan systole ventrikel kanan dan ventrikel kiri sama sehingga terjadi penurunan aliran darah dari kiri ke kanan, bahkan dapat terjadi aliran darah dari kanan ke kiri. Pada keadaan ini memberikan keluhan seperti sesak napas dan cepat capek serta sering mengalami batuk dan infeksi saluran napas berulang. Hal ini mengakibatkan gangguan pertumbuhan. Dalam perjalanannya, beberapa VSD dapat menutup secara spontan (tipe perimembranous dan muskuler), terjadi hipertensi pulmonal, hipertrofi infundibuler, atau prolaps katup aorta yang dapat disertai regurgitasi (tipe subarterial dan perimembranous).1,2 Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan bising holosistolik (pansistolik) yang terdengar selama fase sistolik, keras, kasar di atas tricuspid di sela iga 3-4 parasternal kiri

menyebar sepanjang parasternal dan apex cordis. Bising ini sudah dapat terdengar selama defek VSD kecil. Bising mid-diastolik dapat didengar di apex cordis akibat aliran berlebihan. Pada VSD sering bersifat non-sianotik kecuali apabila terjadi eisenmengerisasi (terjadi aliran shunt kanan ke kiri). pada penderita VSD dengan aliran shunt yang besar bias any terlihat takipneu, aktivitas ventrikel kiri meningkat dan dapat teraba thrill sistolik. Apabila terjadi aliran shunt dari kanan ke kiri dengan defek besar akan tampak stenosis dengan jari-jari tabuh (clubbing of finger). Pada defek cukup besar dapat terjadi komplikasi berupa stenosis infundibuler, prolaps katup aorta, insufiensi aorta, hipertensi pulmonal dan gagal jantung.4 Pada pemeriksaan foto thorax didapatkan kardiomegali dengan pembesaran ventrikel kiri., vaskularisasi paru meningkat (plethora) dan bila terjadi penyakit vaskuler paru tampak pruned tree (seperti pohon tanpa ada cabang-cabangnya), disertai penonjolan a. pulmonal. Pada elektrokardiogram dapat ditemukan hipertrofi ventrikel kiri dan mungkin hipertrofi atrium kiri. bila terdapat hipertrofi kedua ventrikel dan deviasi sumbu QRS ke kanan maka perlu dipikirkan adanya hipertensi pulmonal atau hipertrofi infundibulum ventrikel kanan. Dengan ekokardiografi M-mode dapat ditemukan dimensi ventrikel kiri, atrium dua dimensi untuk menentukan ukuran dan lokasi defek Doppler dan berwarna, menentukan arah dan besarnya aliran yang melewati defek.4

BAB III PEMBAHASAN Pada skenario ini, pasien sering mengalami batuk pilek, cepat lelah, mempunyai riwayat lahir prematur, bila menangis bibir tidak tampak kebiruan, napsu makan sedikit terganggu, tumbuh kembang masih dalam batas normal dan pada waktu balita pernah didiagnosis mempunyai kelainan jantung. Pada pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang seperti EKG dan foto torak didapatkan adanya kardiomegali terutama pembesaran pada ventrikel dan atrium kiri (axis ke kiri), sedangkan tekanan darah, denyut nadi dan pemeriksaan hematologi rutin pasien normal. Selain didapatkan adanya kardiomegali, pada pemeriksaan fisik juga didapatkan adanya bising pansistolik dengan punctum maksimum di SIC IV-V parasternal kiri dan pada ektremitas tidak didapatkan adanya jari tabuh dan sianosis. Berdasarkan hasil pemeriksaan di atas, penulis mendiagnosis bahwa pasien menderita kelainan jantung bawaan, lebih tepatnya penyakit VSD (Ventricel Septal Defect). Sedangkan Diferensial Diagnosisnya antara lain : ASD Primer (Atrium Septal Defect), Insufisiensi Mitral, Insufisiensi Aorta, Stenosis Aorta, PDA (Persistent Duktus Arteriosus) dan Coarctatio Aorta. Alasan mengapa penulis menyebutkan kelainan-kelainan di atas, adalah karena pasien tidak menunjukkan adanya gejala sianotik dan mengalami hipertrofi ventrikel dan atrium kiri. Menurut dr. Ninik Purwaningtyas. Sp.JP : kelainan jantung bawaan non sianotik yang menunjukkan adanya hipertrofi ventrikel dan atrium kiri adalah VSD, ASD Primer, Insufisiensi Mitral, Insufisiensi Aorta, Stenosis Aorta, PDA dan Coarctatio Aorta. Pada penyakit ASD Primer, sesak napas dan rasa capek sering merupakan keluhan awal, demikian juga pula dengan infeksi napas yang berulang. Hal ini hampir sama seperti keluhan pasien skenario ini, akan tetapi pada penyakit ini pemeriksaan fisik akan didapatkan wide fixed splitting bunyi jantung II (walaupun tidak selalu ada), bising sistolik tipe injeksi pada daerah pulmonal, bising mid diastolik pada daerah trikuspid, pada pemeriksaan EKG menunjukkan axis ke kanan (menunjukkan adanya pembesaran atrium dan ventrikel kanan). Pembesaran ruang jantung kiri (ventrikel dan atrium kiri) akan terjadi apabila derajat penyakit sudah parah.

Kelainan Insufisiensi Mitral (Mitral Regurgitation) mempunyai bising yang khas yang merupakan tanda utama kelainan ini, yaitu bising holosistolik/pansistolik yang meliputi bunyi jantung I sampai bunyi jantung II, murmur ini biasanya bersifat blowing akan tetapi juga bisa bersifat kasar. Punctum maximum bising tersebut terdengar di apeks dan menjalar ke aksila. Hal ini berbeda dengan hasil pemeriksaan fisik di skenario di mana punctum maximum bising pansistolik-nya terletak di SIC IV-V parasternal kiri, sedangkan apeks jantung terletak di SIC IV-V linea midclavicularis kiri. Pada Insufisiensi Aorta (Aorta Regurgitation) terdapat murmur yang khas, yaitu Austin Flint Murmur (akibat adanya aliran darah balik Aorta yang menabrak cuspis anterior katup mitral) atau bising mid/late diastolik. Untuk kelainan karena stenosis aorta, pada pemeriksaan fisik akan ditemukan paradoxical splitting pada bunyi jantung II dan pulsus parvus et tardus. Pada auskultasi akan didapatkan diamond shaped murmur sistolik, pada pasien dewasa muda akan terdengar bunyi ejeksi sistolik (klik) pada apeks dan akan tampak gambaran dilatasi post aortic stenosis pada foto rontgen dada. Pada penyakit PDA akan didapatkan bising yang kontinyu (machinery murmur) pada garis sternal kiri atas menyebar ke belakang. Pada Coarctatio Aorta, pasien akan mengalami hipertensi bagian atas, sehingga pasien mempunyai gejala yang khas seperti sakit kepala, perdarahan hidung, melayang, tinnitus, tungkai dingin, angina abdomen. Pada pemeriksaan fisik juga akan didapatkan bahwa tekanan sistolik pada lengan lebih tinggi daripada tungkai sedangkan tekanan diastoliknya normal. Pada foto rontgen dada, akan didapatkan adanya dilatasi aorta asenden, kinking atau gambaran double contour di daerah aorta desenden sehingga terlihat gambaran seperti angka tiga di bawah aortic knob, serta pelebaran bayangan jaringan lunak dari arteri subklavia kiri. Dari penjelasan kelainan di atas, diketahui bahwa adanya perbedaan antara hasil pemeriksaan pada skenario dengan hasil pemeriksaan kelainan tadi, sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa pasien tidak sedang menderita penyakit tersebut. Kelainan jantung bawaan terakhir yang akan penulis bahas adalah VSD. Penderita VSD dengan aliran pirau yang besar biasanya terlihat takipneu, aktivitas ventrikel yang meningkat dan dapat teraba thrill sistolik, komponen pulmonal bunyi jantung kedua mengeras bila telah terjadi hipertensi pulmonal. Pada pemeriksaan auskultasi akan terdengar bising pansistolik/holosistolik yang terdengar keras (punctum maximum) di SIC III-IV parasternal kiri yang menyebar sepanjang parasternal dan apeks. Pemeriksaan EKG dan foto toraks akan terlihat kardiomegali akibat LVH dan LAH. Adanya kesamaan hasil pemeriksaan fisik yang didapatkan pada kasus di skenario dengan hasil pemeriksaan yang biasa didapatkan pada penderita VSD inilah, yang menjadi alasan mengapa penulis mendiagnosis bahwa anak pada skenario II menderita VSD. Defek kecil pada VSD bersifat benigna, dan dapat menutup spontan tergantung tipenya dan biasanya tidak mengganggu pertumbuhan, sekitar 90% pasien mengalami penutupan spontan pada usia 10 tahun, karena defek septum ini menutup dengan bertambahnya usia kecuali defek sub aortic, sub pulmonik atau defek tipe kanal. Oleh karena itu diperlukan satu lagi pemeriksaan penunjang, yaitu ekokardiografi untuk mengetahui lokasi defek (tipe defek), ukuran defek, arah dan gradien aliran serta kelainan lainnya, sehingga arah penatalaksanaan pada pasien jelas. Batuk pilek pada pasien kemungkinan karena basahnya traktus respiratorius yang basah sebagai akibat transudasi cairan akibat peningkatan tekanan intravaskuler pada kapiler paru, sehingga saluran napas rentan mengalami infeksi. Gejala cepat lelah timbul sering kali akibat curah jantung yang rendah dan perfusi aliran darah perifer yang kurang. Pada ekstremitas tidak terlihat jari tabuh dan sianosis menunjukkan adanya hipoksia pada jaringan perifer tubuh, pada kasus VSD gejala ini muncul apabila sudah terjadi sindrom Eisenmenger di mana terjadi aliran dari kanan ke kiri sehingga tercampurnya darah kaya oksigen de ngan yang miskin oksigen. Sedangkan hubungan antara kelahiran bayi prematur dan kelainan jantung kongenital, terdapat angka prevalensi yang cukup tinggi bahwa bayi yang lahir

prematur lebih sering menderita kelainan jantung bawaan daripada bayi yang lahir tidak prematur. BAB IV KESIMPULAN A. Simpulan 1.Pasien menderita VSD. 2.Bayi prematur memiliki prevalensi yang tinggi untuk menderita penyakit jantung bawaan. B. Saran 1.Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ekokardiografi untuk merencanakan tindakan penatalaksanaan selanjutnya. 2.Untuk ibu yang sedang mengandung, ada baiknya untuk selalu menjaga janin yang dikandungnya dan selalu memeriksa kesehatan janinnya secara rutin, untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan.

BAB V DAFTAR PUSTAKA 1. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 1994. Buku Ajar Kardiologi Anak. Jakarta : Binarupa Aksara. pp: 1- 404. 2. Kusumawidjaja. Patologi. Jakarta: FKUI 1996. pp: 110 16. 3. S. Silbernagl, F. Lang. 2007. Patofisiologi. Jakarta : EGC. pp: 176-249. 4. Rilantono LI. 2003. Defek Septum Ventrikel in Rilantono LI (ed) et al. 2003. Buku Ajar Kardiologi. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 5. Afandi, Maemunah. 1983. Penyakit Jantung Bawaan : Apa yang harus dilakukan. www.kalbe.co.id

Anda mungkin juga menyukai