Anda di halaman 1dari 16

Bab 1 Asas-asas umum pemerintahan yang baik menurut undang-undang dasar 1945 dalam pelaksanaan otonomi daerah

1. Latar Belakang
Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan bahwa Negara wajib melayani setiap warga negara dan penduduk untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Seluruh kepentingan publik harus dilaksanakan oleh pemerintah sebagai penyelenggara negara yaitu dalam berbagai sektor pelayanan, terutama yang menyangkut pemenuhan hak-hak sipil dan kebutuhan dasar masyarakat. Dengan kata lain seluruh kepentingan yang menyangkut hajat hidup orang banyak itu harus atau perlu adanya suatu pelayanan. Pemerintah mengandung arti suatu kelembagaan atau organisasi yang menjalankan kekuasaan pemerintahan, sedangkan pemerintahan adalah proses berlangsungnya kegiatan atau perbuatan pemerintah dalam mengatur kekuasaan suatu negara. Penguasa dalam hal ini pemerintah yang menyelenggarakan pemerintahan, melaksanakan penyelenggaraan kepentingan umum, yang dijalankan oleh penguasa administrasi negara yang harus mempunyai wewenang. Seiring dengan perkembangan, fungsi pemerintahan ikut berkembang, dahulu fungsi pemerintah hanya membuat dan mempertahankan hukum, akan tetapi pemerintah tidak hanya melaksanakan undang-undang tetapi berfungsi juga untuk merealisasikan kehendak negara dan menyelenggarakan kepentingan umum (public sevice). Perubahan paradigma pemerintahan dari penguasa menjadi pelayanan, pada dasarnya pemerintah berkeinginan untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik kepada masyarakat. Penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintah itu masih dihadapkan pada sistem pemerintahan yang belum efektif dan efisien serta kualitas sumber daya manusia aparatur yang belum memadai. Hal ini terlihat dari masih banyaknya keluhan dan pengaduan dari masyarakat baik secara Iangsung maupun melalui media massa. Pelayanan publik perlu dilihat sebagai usaha pemenuhan kebutuhan dan hak-hak dasar masyarakat. Dalam hal ini penyelenggaraan pelayanan publik tidak hanya yang di selenggarakan oleh pemerintah semata tetapi juga oleh penyelenggara swasta. Pada saat ini persoalan yang dihadapi begitu mendesak, masyarakat mulai tidak sabar atau mulai cemas dengan mutu pelayanan aparatur pemerintahan yang pada umumnya semakin merosot atau memburuk. Pelayanan publik oleh pemerintah lebih buruk dibandingkan dengan pelayanan yang diberikan oleh sektor swasta, masyarakat mulai mempertanyakan apakah pemerintah mampu menyelenggarakan pemerintahan dan atau memberikan pelayanan yang bermutu kepada masyarakat.

Sudah sepatutnya pemerintah mereformasi paradigma pelayanan publik tersebut. Reformasi paradigma pelayanan publik ini adalah penggeseran pola penyelenggaraan pelayanan publik dari yang semula berorientasi pemerintah sebagai penyedia menjadi pelayanan yang berorientasi kepada kebutuhan masyarakat sebagai pengguna. Dengan begitu, tak ada pintu masuk alternatif untuk memulai perbaikan pelayanan publik selain sesegera mungkin mendengarkan suara publik itu sendiri. Inilah yang akan menjadi jalan bagi peningkatan partisipasi masyarakat di bidang pelayanan publik. Penyelenggaraan pelayanan publik yang buruk di Indonesia selama ini telah menjadi rahasia umum bagi setiap masyarakat sebagai penerima layanan, ungkapan ini tidaklah berlebihan ketika melihat fakta bahwa hak sipil warga sering dilanggar dalam proses pengurusan identitas penduduk seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP). Pembuatan KTP yang seharusnya mudah, dipersulit dengan banyaknya meja dan rangkaian prosedur yang harus dilalui. Keluhankeluhan seperti inilah yang sering muncul dari masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik terutama dari rendahnya kualitas penyelenggaraan pelayanan publik. Pelayanan publik masih diwarnai oleh pelayanan yang sulit untuk diakses, prosedur yang berbelit-belit ketika harus mengurus suatu perijinan tertentu, biaya yang tidak jelas serta terjadinya praktek pungutan liar (pungli), merupakan indikator rendahnya kualitas pelayanan publik di Indonesia. Di mana hal ini juga sebagai akibat dari berbagai permasalahan pelayanan publik yang belum dirasakan oleh rakyat. Di samping itu, ada kecenderungan adanya ketidakadilan dalam pelayanan publik di mana masyarakat yang tergolong miskin akan sulit mendapatkan pelayanan. Sebaliknya, bagi mereka yang memiliki uang, dengan sangat mudah mendapatkan segala yang diinginkan. Untuk itu, apabila ketidakmerataan dan ketidakadilan ini terus-menerus terjadi, maka pelayanan yang berpihak ini akan memunculkan potensi yang bersifat berbahaya dalam kehidupan berbangsa. Potensi ini antara lain terjadinya disintegrasi bangsa, perbedaan yang lebar antar yang kaya dan miskin dalam konteks pelayanan, peningkatan ekonomi yang lamban, dan pada tahapan tertentu dapat meledak dan merugikan bangsa Indonesia secara keseluruhan. Birokrasi pada pemerintahan sebagai penyelenggara pelayanan publik sering atau selalu dikeluhkan karena ketidak efisien dan efektif, birokrasi sering kali dianggap tidak mampu melakukan hal-hal yang sesuai dan tepat, serta sering birokrasi dalam pelayanan publik itu sangat merugikan masyarakat sebagai konsumennya. Hal ini sangat memerlukan perhatian yang besar, seharusnya birokrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik itu memudahkan masyarakat menerima setiap pelayanan yang diperlukannya, seharusnya pemerintah sebagai penyelenggara pelayanan terhadap masyarakat itu mempermudahkannya, bukan mempersulit. Dalam penyelenggaraan pemerintahan telah terjadi pergeseran paradigma dari rule government menjadi good governance, dalam paradigma dari rule government penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik senantiasa menyandarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sementara prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) tidak hanya terbatas pada penggunaan peraturan perundang-undangan yang berlaku, melainkan dikembangkan dengan menerapkan prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang baik yang tidak hanya melibatkan pemerintah atau negara semata tetapi harus melibatkan intern birokrasi maupun ekstern birokrasi. Citra buruk yang melekat dalam tubuh birokrasi dikarenakan

sistem ini telah dianggap sebagai tujuan bukan lagi sekadar alat untuk mempermudah jalannya penyelenggaraan pemerintahan. Kenyataannya, birokrasi telah lama menjadi bagian penting dalam proses penyelenggaraan pemerintahan negara.

2. Rumusan Masalah
Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemerintah daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi luas kepada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Disamping itu daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia Otonomi daerah sesungguhnya bukanlah hal yang baru di Indonesia. Sampai saat ini Indonesia sudah beberapa kali merubah peraturan perundang undangan tentang pemerintahan daerah yang menandakan bagaimana otonomi daerah di Indonesia berjalan secara dinamis. Semenjak awal kemerdekaan samapi sekarang telah terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kebijakan Otonomi Daerah. UU 1/1945 menganut sistem otonomi daerah rumah tangga formil. UU 22/1948 memberikan hak otonomi dan medebewind yang seluas-luasnya kepada Daerah. Selanjutnya UU 1/1957 menganut sistem otonomi ril yang seluas-luasnya. Kemudian UU 5/1974 menganut prinsip otonomi daerah yang nyata dan bertanggung. UU 22/1999 menganut prinsip otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggungjawab. Sedangkan saat ini di bawah UU 32/2004 dianut prinsip otonomi seluas luasnya, nyata dan bertanggung jawab. Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia pun banyak dikatakan sebagai otonomi daerah setengah hati, masih banyak kekurangan yang mewarnai pelaksanaan otonomi daerah seperti kurangnya koordinasi pusat dan daerah serta masalah masalah lain yang kemudian berdampak terhadap masyarakat itu sendiri. Penyelenggaraan desentralisasi mensyaratkan pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah dengan daerah otonom. Pembagian urusan pemerintahan tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa selalu terdapat berbagai urusan pemerintahan yang sepenuhnya/tetap menjadi kewenangan Pemerintah. Keinginan untuk mewujudkan suatu pemerintahan yang baik melalui otonomi daerah memang bukanlah hal yang mudah, masih banyak hal yang perlu diperhatikan untuk dapat menciptakan otonomi daerah yang maksimal demi menciptakan pemerintahan khususnya pemerintahan daerah yang lebih baik. Inilah yang kemudian menjadi dasar pemikiran penulis

untuk mengidentifikasi permasalahan yang ada mengenai otonomi daerah sehingga nantinya menjadi bahan pemikiran bersama guna mewujudkan suatu pemerintahan yang baik sesuai dengan asas asas umum pemerintahan yang baik. Beberapa masalah yang akan dibahas pada pelaksanaan otonomi daerah,yaitu: 1. Bagaimana dampak negatif yang terjadi dalam pelaksanaan otonomi daerah saat ini?

2. Bagaimana prospek otonomi daerah di masa mendatang dalam upaya mewujudkan pemerintahan yang sesuai AAUPB ?

1.1 Kendala kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan otonomi daerah saat ini. Sebelum membahas mengenai kendala dalam pelaksanaan otonomi daerah, ada baiknya diketahui terlebih dahulu pengertian Otonomi daerah. Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan (Pasal 1 ayat (5) UU Nomor 32 Tahun 2004), sedangkan menurut Menurut kamus Wikipedia yang penulis akses pada tanggal 24 Nopember 2009, Otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pengertian otonom secara bahasa adalah berdiri sendiri atau dengan pemerintahan sendiri. Sedangkan daerah adalah suatu wilayah atau lingkungan pemerintah. Dengan demikian pengertian secara istilah otonomi daerah adalah wewenang/kekuasaan pada suatu wilayah/daerah yang mengatur dan mengelola untuk kepentingan wilayah/daerah masyarakat itu sendiri. Pengertian yang lebih luas lagi adalah wewenang/kekuasaan pada suatu wilayah/daerah yang mengatur dan mengelola untuk kepentingan wilayah/daerah masyarakat itu sendiri mulai dari ekonomi, politik, dan pengaturan perimbangan keuangan termasuk pengaturan sosial, budaya, dan ideologi yang sesuai dengan tradisi adat istiadat daerah lingkungannya. Dasar pemikiran yang melatarbelakangi adanya otonomi daerah adalah keinginan untuk memindahkan pengambilan keputusan untuk lebih dekat dengan mereka yang merasakan langsung pengaruh program dan pelayanan yang dirancang dan dilaksanakan oleh pemerintah. Hal ini akan meningkatkan relevansi antara pelayanan umum dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat lokal, sekaligus tetap mengejar tujuan yang ingin dicapai oleh pemerintah ditingkat daerah dan nasional, dari segi sosial dan ekonomi. Dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tersebut maka dimulailah babak baru pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia. Kebijakan Otonomi Daerah ini memberikan kewenangan otonomi kepada Daerah Kabupaten dan Kota didasarkan kepada desentralisasi saja dalam wujud otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Kewenangan Daerah mencakup kewenangan semua bidang pemerintahan, kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal,

agama, serta kewenangan bidang lainnya yang akan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Namun dalam kenyataannya masih ada berbagai kendala kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan otonomi daerah saat ini khususnya permasalahan terkait pelaksanaan pemerintahan yang baik. Permasalahan tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

Desentralisasi Korupsi Dengan adanya penerapan sistem otonomi daerah, maka terbuka pula peluang yang sebesarbesarnya bagi pejabat daerah terutama oknum pejabat untuk melalukan praktek KKN. Hal tersebut terlihat pada contoh kasus seperti yang dimuat dibawah ini. Setelah Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam, resmi menjadi tersangka korupsi pembelian genset senilai Rp 30 miliar, lalu giliran masih ditambah hujan kasus korupsi yang menyangkut puluhan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di berbagai wilayah di Indonesia, dengan modus mirip: menyelewengkan APBD.

Sehingga ada ketidak jelasan akuntabilitas kepala daerah terhadap masyarakat setempat, yang membuat bentuk-bentuk tanggung jawab kepala daerah ke publik pun menjadi belum jelas. ?Karena posisi masyarakat dalam proses penegakan prinsip akuntabilitas dan transparansi pemerintah daerah, belum jelas, publik tidak pernah tahu bagaimana kinerja birokrasi di daerah,? ujarnya. Untuk itu Andrinof mengusulkan, selain dicantumkan prosedur administrasi dalam pertanggung jawaban anggota Dewan, juga perlu ada prosedur politik yang melibatkan masyarakat dalam mengawasi proyeksi dan pelaksanaan APBD. Misalnya, dengan adanya rapat terbuka atau laporan rutin ke masyarakat melalui media massa. Berikut ini beberapa modus korupsi di daerah: 1. Korupsi Pengadaan Barang Modus : a. Penggelembungan (mark up) nilai barang dan jasa dari harga pasar. b. Kolusi dengan kontraktor dalam proses tender. 2. Penghapusan barang inventaris dan aset negara (tanah) Modus :a. Memboyong inventaris kantor untuk kepentingan pribadi. b. Menjual inventaris kantor untuk kepentingan pribadi. 3. Pungli penerimaan pegawai, pembayaran gaji, keniakan pangkat, pengurusan pensiun dan sebagainya. Modus : Memungut biaya tambahan di luar ketentuan resmi.

4. Pemotongan uang bantuan sosial dan subsidi (sekolah, rumah ibadah, panti asuhan dan jompo) Modus : a. Pemotongan dana bantuan sosial b. Biasanya dilakukan secara bertingkat (setiap meja). 5. Bantuan fiktif dan Penyelewengan dana proyek. Modus : Membuat surat permohonan fiktif seolah-olah ada bantuan dari pemerintah ke pihak luar, Mengambil dana proyek pemerintah di luar ketentuan resmi serta memotong dana proyek tanpa sepengtahuan orang lain. 6. Manipulasi hasil penerimaan penjualan, penerimaan pajak, retribusi dan iuran. Modus :a. Jumlah riil penerimaan penjualan, pajak tidak dilaporkan. b. Penetapan target penerimaan

Potensi Konflik di daerah Pelaksanaan otonomi daerah merupakan suatu upaya untuk mempertahankan kesatuan Negara Indonesia, karena dengan diterapkannya kebijakan ini diharapkan dapat meredam daerah-daerah yang ingin memisahkan diri dengan NKRI, terutama daerah-daerah yang merasa kurang puas dengan sistem atau apa saja yang menyangkut NKRI. Tetapi disatu sisi otonomi daerah berpotensi menyulut konflik antar daerah. Konflik yang dimaksud disini adalah konflik kepentingan serta hal hal yang terkait dengan pemekaran daerah, sumber daya alam termasuk juga mengenai perbatasan. Banyak daerah saat ini menyimpan potensi konflik yang sangat besar. Hubungan sosial antar anggota masyarakat yang tidak harmonis, kesenjangan sosial, serta kebijakan pemerintah yang tidak sensitif terhadap konflik merupakan faktor-faktor yang sangat potensial bagi munculnya konflik di daerah. SDM dalam hal pelayanan publik. Dengan adanya otonomi daerah, maka setiap daerah akan diberi kebebasan dalam menyusun program dan mengajukannya kepada pemerintahan pusat. pemerintah daerah diharapkan untuk dapat membuat perencanaan dan melaksanakan program. Program ini diidentifikasi dan diprioritaskan menurut kebutuhan daerah dengan berkonsultasi pada pemerintah tingkat bawah dan anggota masyarakat. Hal ini menjadi kendala yang serius ketika apabila orang /badan yang menyusun program tersebut kurang memahami atau kurang mengetahui mengenai bagaimana cara menyusun perencanaan yang baik serta analisis dampak yang akan terjadi. Selain itu dalam kaitannya dengan pemekaran daerah, banyak daerah yang merupakan hasil pemekaran belum memiliki kesiapan baik secara infrastruktur maupun sumber daya manusia dalam hal pelayanan publik. 2.1 Otonomi daerah di masa mendatang yang sesuai dengan AAUPB. Di Indonesia sejak tahun 1998 hingga baru-baru ini, pandangan politik yang dianggap tepat dalam wacana publik adalah bahwa desentralisasi atau otonomi daerah merupakan jalan yang meyakinkan, yang akan menguntungkan daerah. Pandangan ini diciptakan oleh pengalaman sejarah selama masa Orde Baru di mana sentralisme membawa banyak akibat merugikan bagi daerah. Sayang, situasi ini mengecilkan kesempatan dikembangkannya suatu diskusi yang sehat

bagaimana sebaiknya desentralisasi dikembangkan di Indonesia. Jiwa otonomi daerah di Indonesia adalah melepaskan diri sebesarnya dari pusat bukan membagi tanggung jawab kesejahteraan daerah. Terkait dengan kendala kendala yang masih dihadapi dalam pelaksanaan otonomi daerah saat ini, maka perlu disadari bahwa masalah utama antara pusat dan otonomi daerah adalah masalah perimbangan. Artinya, peran pemerintah pusat dan pemerintah daerah akan selalu merupakan dua hal yang dibutuhkan. Tak ada rumusan ideal perimbangan. Selain proses politik yang sukar ditentukan, seharusnya ukuran yang paling sah adalah argumen mana yang terbaik bagi masyarakat. Maka dari itu, Birokrasi adalah alat pemerintah pusat untuk melakukan perbaikan daerah. Birokrasi, jika dirancang secara sungguh-sungguh, birokrasi bisa berperan sebagai alat merasionalisasikan masyarakat. Pemerintah pusat, misalnya, membantu pemerintah daerah dalam mendesain pelayanan publik yang akuntabel. Seperti halnya prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang tercantum dalam Pasal 2 UU No.28 Tahun 1999, tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, ada beberapa asas umum penyelenggaraan negara, yang meliputi asas kepastian hukum, asas tertib penyelenggaraan negara, asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas proporsionalitas, asas profesionalitas dan asas akuntabilitas. a) asas kepastian hukum, adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggara negara; b) asas tertib penyelenggaraan negara, adalah asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggaraan negara; c) asas kepentingan umum, adalah yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif dan selektif; d) asas keterbukaan, adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan dan rahasia negara; e) asas proporsionalitas, adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban penyelenggara negara; f) asas profesionalitas, adalah asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;. g) asas akuntabilitas, adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggara negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam upaya mewujudkan otonomi daerah yang sesuai dengan AAUPB, maka dalam perspektif yang lebih luas, konsep pemerintah yang baik meliputi tiga dimensi utama yakni pemerintah pusat, pemerintah daerah dan masyarakat. Dengan demikian, untuk mewujudkan good governance maka harus ada kerjasama yang bersifat sinergis antara negara melalui pemerintah pusat dan daerah dengan masyarakat yang mengacu pada prinsip-prinsip demokrasi dengan elemen-elemennya, seperti legitimasi, akuntabilitas, perlindungan hak asasi manusia, kebebasan, transparansi, pembagian kekuasaan dan kontrol masyarakat. Sehingga pada hakekatnya otonomi Daerah adalah upaya pemberdayaan dan pendemokrasian kehidupan masyarakat yang diharapkan dapat memenuhi aspirasi berbagai pihak dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan negara serta hubungan Pusat dan Daerah.

3.Tujuan
Penyelenggaraan pemerintahan ditujukan kepada terciptanya fungsi pelayanan publik, pemerintahan yang baik cenderung menciptakan terselenggaranya fungsi pelayanan publik dengan baik pula, sebaliknya pemerintahan yang buruk mengakibatkan fungsi pelayanan publik tidak dapat terselenggara dengan baik. Dalam hal ini juga pemerintah diperbolehkan untuk melakukan intervensi dalam kehidupan masyarakat dengan konsep negara kesejahteraan (welvaartstaat) melalui instrumen hukum yang mendukungnya, hal ini boleh dilakukan agar dapat terlaksananya pelayanan publik dengan baik serta terciptanya kesejahteraan bagi masyarakat. Sebagai konsumen dalam pelayanan publik welvaartstaat ini sangat berkaitan dengan kebijakan pemerintah sebagai penyelenggara dalam pelayanan publik. Sebelum lahirnya walvarestaat ada yang disebut atau dikenal dengan nachtwachkerstaat (negara penjaga malam), dalam tipe negara ini, negara tidak dibenarkan untuk campur tangan dalam penyelenggaraan kepentingan rakyat. Dikatakan sebagai nachtwachkerstaat karena negara bertindak hanya sebagai penjaga malam saja, artinya negara hanya menjaga keamanan sematamata, negara baru bertindak apabila keamanan dan ketertiban terganggu. Dalam hal ini negara tidak mencampuri segi-segi kehidupan masyarakat, baik dalam segi ekonomi, sosial, kebudayaan dan sebagainya, sebab dengan turut campurnya negara kedalam segi-segi kehidupan masyarakat dapat mengakibatkan kurangnya kemerdekaan individu. Akan tetapi dikarenakan oleh tuntutan masyarakat menghendaki faham ini tidak dipertahankan lagi, sehingga negara terpaksa turut campur tangan dalam urusan kepentingan rakyat.

4.Manfaat
Sistem kepemerintahan yang baik adalah partisipasi, yang menyatakan semua institusi governance memiliki suara dalam pembuatan keputusan, hal ini merupakan landasan legitimasi dalam sistem demokrasi, good governance memiliki kerangka pemikiran yang sejalan dengan demokrasi dimana pemerintahan dijalankan sepenuhnya untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Pemerintah yang demokratis tentu akan mengutamakan kepentingan rakyat, sehingga dalam pemerintahan yang demokratis tersebut penyediaan kebutuhan dan pelayanan publik merupakan hal yang paling diutamakan dan merupakan ciri utama dari good governance. Salah satu fungsi penyelenggaraan pemerintahan yang dilakukan oleh aparatur pemerintah adalah pelayanan publik. Peraturan perundangan Indonesia telah memberikan landasan untuk penyelenggaraan pelayanan publik yang berdasarkan atas Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB). Pasal 3 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dari Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme menyebutkan asasasas tersebut, yaitu Asas Kepastian Hukum, Transparan, Daya Tanggap, Berkeadilan, Efektif dan Efisien, Tanggung Jawab, Akuntabilitas dan Tidak Menyalahgunakan Kewenangan. Asas ini dijadikan sebagai dasar penilaian dalam peradilan dan upaya administrasi, disamping sebagai norma hukum tidak tertulis bagi tindakan pemerintahan. Meskipun merupakan asas, tidak semuanya merupakan pemikiran yang umum dan abstrak, dan dalam beberapa hal muncul sebagai aturan hukum yang konkret atau tertuang secara tersurat dalam pasal undang-undang serta mempunyai sanksi tertentu.

Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (algemene beginselen van behoorlijk bestuur) ini menjadi landasan dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Asas ini merupakan jembatan antara norma hukum dan norma etika yang merupakan norma tidak tertulis, Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB) merupakan suatu bagian yang pokok bagi pelaksanaan atau realisasi Hukum Tata Pemerintahan atau Administrasi Negara dan merupakan suatu bagian yang penting sekali bagi perwujudan pemerintahan negara dalam arti luas. Asas ini digunakan oleh para aparatur penyelenggaraan kekuasaan negara dalam menentukan perumusan kebijakan publik pada umumnya serta pengambilan keputusan pada khususnya, jadi Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB) ini diterapkan secara tidak langsung sebagai salah satu dasar penilaian. Asas ini merupakan kaidah hukum tidak tertulis sebagai pencerminan norma-norma etis berpemerintahan yang wajib diperhatikan dan dipatuhi, disamping mendasarkan pada kaidahkaidah hukum tertulis. Hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa beberapa asas diantaranya dapat disisipkan dalam berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan dan menjadi tolok ukur bagi hakim dalam hal mengadili perkara gugatan terhadap pemerintah mengenai perbuatan melawan hukum oleh penguasa. Asas ini juga dapat dipahami sebagai asas-asas umum yang dijadikan sebagai dasar dan tata cara dalam penyelenggaraan pemerintahan yang layak, yang dengan cara demikian penyelenggaran pemerintahan itu menjadi lebih baik, sopan, adil, terhormat, bebas dari kezaliman, pelanggaran peraturan, tindakan penyalahgunaan wewenang dan tindakan sewenang-wenang. Pelayanan publik merupakan program nasional untuk memperbaiki fungsi pelayanan publik, pelayanan publik diartikan sebagai kewajiban yang harus dilaksanakan oleh Pemerintah untuk memenuhi hak-hak warga masyarakat. Pelayanan publik dibatasi pada pengertian pelayanan publik merupakan segala bentuk pelayanan sektor publik yang dilaksanakan aparat pemerintah dalam bentuk barang dan atau jasa, yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pelayanan publik merupakan sarana pemenuhan kebutuhan mendasar masyarakat untuk kesejahteraan sosial. Sehingga perlu memperhatikan nilai-nilai, sistem kepercayaan, religi, kearifan lokal serta keterlibatan masyarakat. Perhatian terhadap beberapa aspek ini memberikan jaminan bahwa pelayanan publik yang dilaksanakan merupakan ekspresi kebutuhan sosial masyarakat. Dalam konteks itu, ada jaminan bahwa pelayanan publik yang diberikan akan membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Selain itu, masyarakat akan merasa memiliki pelayanan publik tersebut sehingga pelaksanaannya diterima dan didukung penuh oleh masyarakat. Citra layanan publik di Indonesia, dari dahulu hingga kini, lebih dominan sisi gelapnya ketimbang sisi terangnya, selain mekanisme birokrasi yang bertele-tele ditambah dengan petugas birokrasi yang tidak profesional. Sudah tidak asing kalau layanan publik di Indonesia dicitrakan sebagai salah satu sumber korupsi dan sangat beralasan kalau World Bank, dalam World Development Report 2004, memberikan stigma bahwa layanan publik di Indonesia sulit diakses oleh orang miskin, dan menjadi pemicu ekonomi biaya tinggi (high cost economy) yang pada akhirnya membebani kinerja ekonomi makro, alias membebani publik (masyarakat). Jadi sangat dibutuhkan peningkatkan kualitas dan menjamin penyediaan pelayanan publik serta memberi perlindungan bagi warga negara dari penyalahgunaan wewenang (abuse of power) dalam penyelenggaraan pelayanan publik oleh pemerintah. Secara konstitusional, juga merupakan

kewajiban negara melayani warga negaranya untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dalam rangka pelayanan publik.

Bab 2.Asas-asas umum pemerintahan yang baik

Asas-asas umum pemerintahan adalah asas yang menjunjung tinggi norma kesusilaan, kepatutan dan aturan hukum. Asas-asas ini tertuang pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 . Asas hukum adalah jantungnya aturan hukum, ia menjadi titik tolak untuk berpikir, membentuk dan mengintepretasikan hukum. Peraturan hukum merupakan pedoman tentang perilaku yang seharusnya, berisi apa yang boleh, apa yang diperintahkan, dan apa yang dilarang. Beberapa istilah untuk menyebut asas pemerintahan yang baik ini bermacam-macam, misalnya di Belanda dikenal dengan Algemene Beginselen van Behoorllijke Bestuungr (ABBB), di Inggris dikenal The Principal of Natural Justice , di Perancis diistilahkan Les Principaux Generaux du Darioit Coutumier Publique, di Belgia disebut Aglemene Rechtsbeginselen, di Jerman dinamakan Verfassung Sprinzipien dan di Indonesia dikatakan sebagai Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik.

Pengertian asas-asas umum pemerintahan yang baik menurut Jazim Hamidi, merupakan nilai-nilai etik yang hidup dan berkembang dalam lingkungan HAN. Asas-asas umum pemerintahan yang baik berfungsi sebagai pegangan bagi pejabat administrasi negara dalam menjalankan fungsinya, merupakan alat uji bagi hakim administrasi dalam menilai tindakan administrasi negara (yang berwujud beschikking), dan sebagai dasar pengajuan gugatan bagi penggugat. Sebagian besar asas-asas umum pemerintahan yang baik, masih merupakan asas-asas yang tidak tertulis, abstrak, dan dapat digali dalam praktik kehidupan masyarakat. Sebagian asas yang lain sudah menjadi kaidah Hukum tertulis dan terpencar dalam berbagai peraturan Hukum positif.

Arti penting dan fungsi asas-asas umum pemerintahan yang baik bagi administrasi negara adalah sebagai pedoman dalam penafsirkan dan penerapan terhadap ketentuan perundangundangan yang sumir, samar atau tidak jelas, juga untuk membatasi dan menghindari kemungkinan administrasi negara mempergunakan freies ermessen yang jauh menyimpang dari ketentuan Undang-Undang. Administrasi negara dapat terhindar dari perbuatan onrechtmatige daad, detournement de pouvoir, abus de darioit, dan ultravires. Bagi masyarakat, sebagai pencari keadilan, asas-asas umum pemerintahan yang baik dapat digunakan sebagai dasar gugatan. Bagi hakim Tata Usaha Negara, dapat digunakan segabai alat menguji dan membatalkan keputusan yang dikeluarkan pejabat Tata Usaha Negara. asas-asas umum pemerintahan yang baik berguna bagi badan legislatif dalam merancang Undang-Undang.

Di Belanda, asas-asas umum pemerintahan yang baik dipandang sebagai norma hukum tidak tertulis, namun harus ditaati oleh pemerintah. Ini diatur dalam Wet AROB (Administrasiinistrative Rechtspraak Overheidsbeschikkingen) yaitu Ketetapan-ketetapan pemerintahan dalam hukum administrasi oleh kekuasaan kehakiman Tidak bertentangan dengan apa dalam kesadaran hukum umum merupakan asas-asas yang berlaku (hidup) tentang pemerintahan yang baik. Asas-asas itu sebagai asas-asas yang hidup, digali dan dikembangkan oleh hakim. Sebagai hukum tidak tertulis, arti yang tepat untuk asas-asas umum pemerintahan yang baik bagi tiap keadaan tersendiri, tidak selalu dapat dijabarkan dengan teliti. Paling sedikit ada 7 asas-asas umum pemerintahan yang baik yang sudah memiliki tempat yang jelas di Belanda: Asas persamaan, asas kepercayaan, asas kepastian hukum, asas kecermatan, asas pemberian alasan, larangan detournement de pouvoir, dan larangan bertindak sewenang-wenang.

Penjelasan asas-asas umum pemerintahan yang baik dapat dinilai dari pada asas persamaan yakni hal-hal yang sama harus diperlakukan sama. Asas kepercayaan yaitu legal expectation, harapan-harapan yang ditimbulkan (janji-janji, keterangan-keterangan, aturan-aturan kebijaksanaan dan rencana-rencana) sedapat mungkin harus dipenuhi. Asas kepastian hukum yakni secara materiil menghalangi badan pemerintah untuk menarik kembali suatu ketetapan dan mengubahnya yang menyebabkan kerugian yang berkepentingan (kecuali karena 4 hal yaitu dipaksa oleh keadaan, ketetapan didasarkan pada kekeliruan, ketetapan berdasarkan keterangan yang tidak benar, syarat ketetapan tidak ditaati),

hal ini secara formil ketetapan yang memberatkan dan menguntungkan harus disusun dengan kata-kata yang jelas. Asas kecermatan yaitu suatu ketetapan harus diambil dan disusun dengan cermat (dengan pihak ke tiga, hearing, nasihat). Asas pemberian alasan yakni ketetapan harus memberikan alasan, harus ada dasar fakta yang teguh dan alasannya harus mendukung. Penyalahgunaan wewenang yaitu tidak boleh menggunakan wewenang untuk tujuan yang lain. Willekeur atau wewenang, kurang memperhatikan kepentingan umum, dan secara kongkret merugikan.

Asas-asas umum pemerintahan yang baik di Indonesia menurut Kuntjoro Purbopranoto meliputi Asas kepastian hukum, Asas keseimbangan: penjatuhan hukuman yang wajar terhadap pegawai, Asas kesamaan, Asas bertindak cermat, Asas motivasi, Asas jangan mencampuradukkan kewenangan, Asas permainan yang layak: pemerintah memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mendapatkan informasi yang benar dan adil, Asas keadilan atau kewajaran, Asas menanggapi pengharapan yang wajar, Asas meniadakan suatu akibat keputusan-keputusan yang batal: jika akibat pembatalan keputusan ada kerugian, maka putusan hukum yang dirugikan harus diberi ganti rugi dan rehabilitasi, Asas perlindungan pandangan hidup pribadi: setiap PNS diberi kebebasan dan hak untuk mengatur hidup pribadinya dengan batas Pancasila, Asas kebijaksanaan: Pemerintah berhak untuk membuat kebijaksanaan demi kepentingan umum, dan Asas pelaksanaan kepentingan umum.

Asas kepastian hukum, memiliki dua aspek yaitu aspek hukum material dan aspek hukum formal. Dalam aspek hukum material terkait dengan asas kepercayaan. asas kepastian hukum menghalangi penarikan kembali/perubahan ketetapan. Asas ini menghormati hak yang telah diperoleh seseorang berdasarkan suatu keputusan pemerintah, meskipun keputusan itu salah sedangkan aspek hukum formal, memberikan hak kepada yang berkepentingan untuk mengetahui dng tepat apa yang dikehendaki suatu ketetapan.

Asas Keseimbangan, asas ini menghendaki adanya keseimbangan antara hukuman jabatan dan kelalaian atau kealpaan pegawai dan adanya kriteria yang jelas mengenai jenis-jenis atau kualifikasi pelanggaran atau kealpaan.

Asas Kesamaan dalam Mengambil Keputusan, asas ini menghendaki badan pemerintahan mengambil tindakan yang sama (dalam arti tidak bertentangan) atas kasus-kasus yang faktanya sama. Asas ini memaksa pemerintah untuk menjalankan kebijaksanaan. Aturan kebijaksanaan, memberi arah pada pelaksanaan wewenang bebas.

Asas Bertindak Cermat, asas ini menghendaki pemerintah bertindak cermat dalam melakukan aktivitas penyelenggaraan tugas pemerintahan sehingga tidak menimbulkan kerugian

bagi warga negara. Dalam menerbitkan ketetapan, pemerintah harus mempertimbangkan secara cermat dan teliti semua faktor yang terkait dengan materi ketetapan, mendengar dan mempertimbangkan alasan-alasan yang diajukan oleh pihak yang berkepentingan, mempertimbangkan akibat hukum yang timbul dari ketetapan.

Asas Motiasi untuk Keputusan, asas ini menghendaki setiap ketetapan harus mempunyai motivasi/alasan yang cukup sebagai dasar dalam menerbitkan ketetapan. Alasan harus jelas, terang, benar, obyektif, dan adil. Alasan sedapat mungkin tercantum dalam ketetapan sehingga yang tidak puas dapat mengajukan banding dengan menggunakan alasan tersebut. Alasan digunakan hakim administrasi untuk menilai ketetapan yang disengketakan.

Asas tidak Mencampuradukkan Kewenangan, di mana pejabat Tata Usaha Negara memiliki wewenang yang sudah ditentukan dalam perat perundang-undangan (baik dari segi materi, wilayah, waktu) untuk melakukan tindakan hukum dalam rangka melayani/mengatur warga negara. Asas ini menghendaki agar pejabat Tata Usaha Negara tidak menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain selain yang telah ditentukan dalam peraturan yang berlaku atau menggunakan wewenang yang melampaui batas.

Dua jenis penyimpangan penggunaan wewenang menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, yakni penyalahgunaan wewenang (detournrment de pouvoir), yaitu badan/pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan keputusan telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud diberikannya wewenang tersebut. Sewenang-wenang (willekuer), yaitu badan/pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan atau tidak mengeluarkan keputusan setelah mempertimbangkan semua kepentingan yang tersangkut dengan keputusan itu seharusnya tidak sampai pada pengambilan atau tidak pengambilan keputusan tersebut.

Asas Permainan yang Layak (Fair Play), asas ini menghendaki agar warga negara diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk mencari kebenaran dan keadilan serta diberi kesempatan untuk membela diri dengan memberikan argumentasi-argumentasi sebelum dijatuhkannya putusan administrasi. Asas ini menekankan pentingnya kejujuran dan keterbukaan dalam proses penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara.

Asas Keadilan dan Kewajaran, asas keadilan menuntut tindakan secara proposional, sesuai, seimbang, selaras dengan hak setiap orang. Asas kewajaran menekankan agar setiap aktivitas pemerintah memperhatikan nilai-nilai yang berlaku di tengah masyarakat, baik itu berkaitan dengan moral, adat istiadat.

Asas Kepercayaan dan Menanggapi Penghargaan yang Wajar, asas ini menghendaki agar setiap tindakan yang dilakukan pemerintah harus menimbulkan harapan-harapan bagi warga negara. Jika suatu harapan sudah terlanjur diberikan kepada warga negara tidak boleh ditarik

kembali meskipun tidak menguntungkan bagi pemerintah.

Asas Perlindungan atas Pandangan atau Cara Hidup Pribadi, asas ini menghendaki pemerintah melindungi hak atas kehidupan pribadi setiap pegawai negeri dan warga negara. Penerapan asas ini dikaitkan dengan sistem keyakinan, kesusilaan, dan norma-norma yang dijunjung tinggi masyarakat. Pandangan hidup seseorang tidak dapat digunakan ketika bertentangan dengan norma-norma suatu bangsa.

Asas Kebijaksanaan, asas ini menghendaki pemerintah dalam melaksanakan tugas dan pekerjaannya diberi kebebasan dan keleluasaan untuk menerapkan kebijaksanaan tanpa harus terpaku pada perat perundang-undangan formal. Penyelenggaraan Kepentingan Umum, asas ini menghendaki agar pemerintah dalam melaksanakan tugasnya selalu mengutamakan kepentingan umum, yakni kepentingan yang mencakup semua aspek kehidupan orang banyak. Mengingat kelemahan asas legalitas, pemerintah dapat bertindak atas dasar kebijaksanaan untuk menyelenggarakan kepentingan umum.

Asas-Asas Umum Penyelenggaraan Negara yang Baik menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 menyatakan Asas Kepastian Hukum, yaitu asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatuhan dan keadilan dalam setiap kebijakan Penyelenggara Negara; Asas Tertib Penyelenggara-An Negara, yaitu asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggaraan negara; Asas Kepentingan Umum, yaitu asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara aspiratif, akomodatif, dan selektif; Asas Keterbukaan, yaitu membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara; Asas Proporsionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban Penyelenggara Negara; Asas Profesionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku; Asas Akuntabilitas yaitu asas yang menentukan setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan Penyelenggara Negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Bab 3. KESIMPULAN
1) Beberapa kendala yang masih dihadapi dalam pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia saat ini adalah timbulnya peluang desentralisasi korupsi, potensi konflik di daerah serta belum siapnya sumber daya manusia yang terkait dengan pelayanan publik.

2) Untuk mewujudkan otonomi daerah yang berlandaskan pemerintahan yang baik di masa mendatang, maka harus ada kerjasama yang bersifat sinergis antara negara melalui pemerintah pusat dan daerah dengan masyarakat yang mengacu pada prinsip-prinsip demokrasi dengan elemen-elemennya, seperti legitimasi, akuntabilitas, perlindungan hak asasi manusia, kebebasan, transparansi, pembagian kekuasaan dan kontrol masyarakat.

Daftar Pustaka
Kompas,Kamis, 2 Juni 2005 Tempo,Kamis,4 November 2004 Desentralisasi Korupsi Melalui Otonomi Daerah

Anda mungkin juga menyukai