Anda di halaman 1dari 17

KARYA TULIS MAHASISWA

MANFAAT DAN KERUGIAN PENGGUNAAN TEKNOLOGI NUKLIR DALAM KEHIDUPAN MANUSIA

OLEH : TOEBAGUS GALANG WINDI PRATAMA ( B2A008226 )

FAKULTAS HUKUM UNIVERSUTAS DIPONEGORO SEMARANG

KATA PE

ANTAR

Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan pemilik semesta alam dan sumber segala pengetahuan atas bimbingan dan penyeraan-Nya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan karya tulis yang berjudul MANFAAT DAN KERUGIAN PENGGUNAAN TEKNOLOGI NUKLIR DALAM KEHIDUPAN MANUSIA. Penyusunan karya tulis ini dimaksudkan untuk mengembangkan pola pemikiran baru agar masyarakat tidak hanya mengerti dampak buruk dari penggunaaan nuklir. Sehingga mereka tidak salah sangka karena hanya memandang dari salah satu bagian baik ataupun buruk. Bagian buruk yang saya maksudkan diatas contohnya seperti kasus rusaknya pembangkit listrik tenaga nuklir di fukushima, jepang akibat diterjang tsunami yang terjadi baru baru ini. Masyarakat langsung memandang negatif tentang energi nuklir padahal tidak semuanya buruk. Karena bisa digunakan sebagai energi yang sangat bermanfaat bagi umat manusia. Kemudian, penulis sangat menyadari karya tulis ini masih jauh dari kesempuranaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat penulis harapkan untuk kesempurnaan dari kekurangan-kekurangan yang ada, sehingga karya tulis ini bisa bermanfaat. Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah banyak membantu dalam penyusunan karya tulis ilmiah ini, Semoga Allah SWT senantiasa memberikan balasan yang setimpal atas bantuan dan pengorbanan mereka kepada penulis dan melimpahkan rahmat dan karunia Nya kepada kita semua. Amin ya Rabbal Al Amin.

Semarang, 20 Maret 2011

Penulis

DAFTAR ISI

Halaman Halaman Judul ............................................................................................ Kata Pengantar ............................................................................................ Daftar Isi .................................................................................................... BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ................................................................................... 1.2. Rumusan masalah ........................................................................ ..... 1.3. Pemecahan Masalah .................................................................... ..... 1 2 2 i ii iii

BAB II. PEMBAHASAN 1.1 Pembahasan ................................................................................... 3

BAB III. SIMPULAN 1.1 Simpulan ............................................................. .............................. DAFTAR PUSTAKA 13

BAB I Pendahuluan
1. Latar Belakang Pada dasarnya memang wajar bila nuklir ditakuti karena Masyarakat baru pertama kali mengenal tenaga nuklir dalam bentuk bom atom yang dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki dalam Perang Dunia II tahun 1945. Sedemikian dahsyatnya akibat yang ditimbulkan oleh bom tersebut sehingga pengaruhnya masih dapat dirasakan sampai sekarang. Di samping sebagai senjata pamungkas yang dahsyat, sudah sejak lama orang telah memikirkan bagaimana cara memanfaatkan tenaga nuklir untuk kesejahteraan umat manusia. Sampai saat ini tenaga nuklir, khususnya zat radioaktif telah dipergunakan secara luas dalam berbagai bidang selain bidang militer seperti untuk keperluan perang yang saya jelaskan di atas, antara lain bidang industri, kesehatan, pertanian, peternakan, sterilisasi produk farmasi dan alat kedokteran, pengawetan bahan makanan, bidang hidrologi, yang merupakan aplikasi teknik nuklir untuk non energi. Salah satu pemanfaatan teknik nuklir dalam bidang energi saat ini sudah berkembang dan dimanfaatkan secara besar-besaran dalam bentuk Pembangkit Listrik Tenaga nuklir (PLTN), dimana tenaga nuklir digunakan untuk membangkitkan tenaga listrik yang relatif murah, aman dan tidak mencemari lingkungan. Pemanfaatan tenaga nuklir dalam bentuk PLTN mulai dikembangkan secara komersial sejak tahun 1954. Pada waktu itu di Rusia (USSR), dibangun dan dioperasikan satu unit PLTN air ringan bertekanan tinggi (VVER = PWR) yang setahun kemudian mencapai daya 5 Mwe. Pada tahun 1956 di Inggris dikembangkan PLTN jenis Gas Cooled Reactor (GCR + Reaktor berpendingin gas) dengan daya 100 Mwe. Pada tahun 1997 di seluruh dunia baik di negara maju maupun negara sedang berkembang telah dioperasikan sebanyak 443 unit PLTN yang tersebar di 31 negara dengan kontribusi sekitar 18 % dari pasokan tenaga listrik dunia dengan total pembangkitan dayanya mencapai 351.000 Mwe dan 36 unit PLTN sedang dalam tahap kontruksi di 18 negara. Di indonesia sendiri, nuklir sudah mulai dimanfaatkan. Yakni digunakan ebagai pembangkit listrik . yang dikelola oleh Badan Tenaga Nuklir Indonesia (BATAN). Pembangunan pembangkit listrik ini banyak mendapat penolakan kar ena masyarakat sendiri takut akan terjadi hal yang sama dengan yang terjadi di jepang tepatnya di fukushima dimana terjadi kerusakan PLTN yang disebabkan oleh tsunami. Oleh karena itu perlu penjelasan yang jelas mengenai pentingnya PLTN ini bagi kehidupan manusia.

2. Rumusan masalah Berkaitan dengan masalah baik atau tidaknya penggunaan nuklir maka penulis mencoba merumuskan pokok permasalahan tersebut ke dalam beberapa pertanyaan, yakni seperti yang tercantum di bawah ini y Apa itu nuklir, dan bagaimana cara kerjanya ? y Bagaimana sejarah nuklir ? y Apa sisi buruk dari nuklir ? y Apa sisi baik dari penggunaan nuklir ? y Bagaimana dengan penggunaan nuklir di indonesia ? y Bagaimana penggunaan nuklir bila diliihat dari segi hukum ? y Dapatkah ditarik kesimpulan mengenai apakah nuklir itu bermanfaat atau tidak bagi kehidupan manusia ? 3. Pemecahan masalah kemudian berdasarkan rumusan pokok permasalahan yang diberikan di atas maka penulis dapat menarik pemecahan masalah terhadap pertanyaan tersebut, yakni dengan memberikan : y Definisi dan cara kerja nuklir y Perkembangan nuklir y Sisi baik dan buruk dari penggunaan nuklir y Penggunaan nuklir di indonesia y Pandangan hukum tentang penggunaan nuklir y Kesimpulan mengenai baik atau tidak penggunaan nuklir Pemecahan masalah terrsebut seperti dapat kita lihat pada bagian pembahasan,

BAB II PE BAHASAN
1. Definisi dan cara kerja nuklir Masalah energi merupakan salah satu isu penting yang sedang hangat dibicarakan. Semakin berkurangnya sumber energi, penemuan sumber energi baru, pengembangan energi-energi alternatif, dan dampak penggunaan energi minyak bumi terhadap lingkungan hidup menjadi tema-tema yang menarik dan banyak didiskusikan. Pemanasan global yang diyakini sedang terjadi dan akan memasuki tahap yang mengkhawatirkan disebut-sebut juga merupakan dampak penggunaan energi minyak bumi yang merupakan sumber energi utama saat ini.

Dampak lingkungan dan semakin berkurangnya sumber energi minyak bumi memaksa kita untuk mencari dan mengembangkan sumber energi baru. Salah satu alternatif sumber energi baru yang potensial datang dari energi nuklir. Meski dampak dan bahaya yang ditimbulkan amat besar, tidak dapat dipungkiri bahwa energi nuklir adalah salah satu alternatif sumber energi yang layak diperhitungkan. Isu energi nuklir yang berkembang saat ini memang berkisar tentang penggunaan energi nuklir dalam bentuk bom nuklir dan bayangan buruk tentang musibah hancurnya reaktor nuklir di Chernobyl. Isu-isu ini telah membentuk bayangan buruk dan menakutkan tentang nuklir dan pengembangannya. Padahal, pemanfaatan yang bijaksana, bertanggung jawab, dan terkendali atas energi nuklir dapat meningkatkan taraf hidup sekaligus memberikan solusi atas masalah kelangkaan energi. 2. Manfaat dan kerugian penggunaan nuklir bagi kehidupan manusia Perbedaan Pembangkit Listrik Konvensional (PLK) dengan PLTN Dalam pembangkit listrik konvensional, air diuapkan di dalam suatu ketel melalui pembakaran bahan fosil (minyak, batubara dan gas). Uang yang dihasilkan dialirkan ke turbin uap yang akan bergerak apabila ada tekanan uap. Perputaran turbin selanjutnya digunakan untuk menggerakkan generator, sehingga akan dihasilkan tenaga listrik. Pembangkit listrik dengan bahan bakar batubara, minyak dan g as mempunyai potensi yang dapat menimbulkan dampak lingkungan dan masalah transportasi bahanbakar dari tambang menuju lokasi pembangkitan. Dampak lingkungan akibat pembakaran bahan fosil tersebut dapat berupa CO2 (karbon dioksida), SO2 (sulfur dioksida) dan NOx (nitrogen oksida), serta debu yang mengandung logam berat. Kekhawatiran terbesar dalam pembangkit listrik dengan bahan bakar fosil adalah dapat menimbulkan hujan asam dan peningkatan pemanasan global. PLTN berperasi dengan prinsip yang sama seperti PLK, hanya panas yang digunakan untuk menghasilkan uap tidak dihasilkan dari pembakaran bahan fosil, tetapi dihasilkan dari reaksi pembelahan inti bahan fisil (uranium) dalam suatu reaktor nuklir. tenaga panas tersebut digunakan untuk membangkitkan uap di dalam sistem pembangkit uap ( Steam Generator) dan selanjutnya sama seperti pada PLK, uap digunakan untuk menggerakkan turbingenerator sebagai pembangkit tenaga listrik. Sebagai pemindah panas biasa digunakan air yang disirkulasikan secara terus menerus selama PLTN beroperasi. Proses pembangkitan listrik ini tidak membebaskan asap atau debu yang mengandung logam berat yang dibuang ke lingkungan atau melepaskan partikel yang berbahaya seperti CO2, SO2, NOx ke lingkungan, sehingga PLTN ini merupakan pembangkit listrik yang ramah lingkungan. Limbah radioaktif yang dihasilkan dari pengoperasian PLTN adalah berupa elemen bakar bekas dalam bentuk padat. Elemen bakar bekas ini untuk sementara bisa disimpan di lokasi PLTN sebelum dilakukan penyimpanan secara lestari. Limbah Radioaktif adalah jenis limbah yang mengandung atau terkontaminasi radionuklida pada konsentrasi atau aktivitas yang melebihi batas yang diijinkan (Clearance level) yang ditetapkan oleh Badan Pengawas Tenaga Nuklir. Definisi tersebut digunakan di dalam peraturan perundangundangan. Pengertian limbah radioaktif yang lain mendefinisikan sebagai zat radioaktif yang sudah tidak dapat digunakan lagi, dan/atau bahan serta peralatan yang terkena zat

radioaktif atau menjadi radioaktif dan sudah tidak dapat difungsikan/dimanfaatkan. Bahan atau peralatan tersebut terkena atau menjadi radioaktif kemungkinan karena pengoperasian instalasi nuklir atau instalasi yang memanfaatkan radiasi pengion. Jenis limbah radioaktif y Dari segi besarnya aktivitas dibagi dalam limbah aktivitas tinggi, aktivitas sedang dan aktivitas rendah. y Dari umurnya di bagi menjadi limbah umur paruh panjang, dan limbah umur paruh pendek. y Dari bentuk fisiknya dibagi menjadi limbah padat, cair dan gas. Sumber-sumber limbah radioaktif Limbah radioaktif umumnya berasal dari setiap pemanfaatan tenaga nuklir, baik pemanfaatan untuk pembangkitan daya listrik menggunakan reaktor nuklir, maupun pemanfaatan nuklir untuk keperluan industri dan rumah sakit. Selama operasi PLTN, pencemaran yang disebabkan oleh zat radioaktif terhadap linkungan dapat dikatakan tidak ada. Air laut atau sungai yang dipergunakan untuk membawa panas dari kondesnsor sama sekali tidak mengandung zat radioaktif, karena tidak bercampur dengan air pendingin yang bersirkulasi di dalam reaktor. Gas radioaktif yang dapat keluar dari sistem reaktor tetap terkungkung di dalam sistem pengungkung PLTN dan sudah melalui sistem ventilasi dengan filter yang berlapis -lapis. Gas yang dilepas melalui cerobong aktivitasnya sangat kecil (sekitar 2 milicurie/tahun), sehingga tidak menimbulkan dampak terhadap lingkungan. Pada PLTN sebagian besar limbah yang dihasilkan adalah limbah aktivitas rendah (70 80 %). Sedangkan limbah aktivitas tinggi dihasilkan pada proses daur ulang elemen bakar nuklir bekas, sehingga apabila elemen bakar bekasnya tidak didaur ulang, limbah aktivitas tinggi ini jumlahnya sangat sedikit. Penangan limbah radioaktif aktivitas rendah, sedang maupun aktivitas tinggi pada umumnya mengikuti tiga prinsip, yaitu : - Memperkecil volumenya dengan cara evaporasi, insenerasi, kompaksi/ditekan. - Mengolah menjadi bentuk stabil (baik fisik maupun kimia) untuk memudahkan dalam transportasi dan penyimpanan. - menyimpan limbah yang telah diolah, di tempat yang terisolasi. Pengolahan limbah cair dengan cara evaporasi/pemanasan untuk memperkecil volume, kemudian dipadatkan dengan semen (sementasi) atau dengan gelas masif (vitrifikasi) di dalam wadah yang kedap air, tahan banting, misalnya terbuat dari beton bertulang atau dari baja tahan karat. Pengolahan limbah padat adalah dengan cara diperkecil volumenya melalui proses insenerasi/pembakaran, selanjutnya abunya disementasi. Sedangkan limbah yang tidak dapat dibakar diperkecil volumenya dengan kompaksi/penekanan dan dipadatkan di dalam drum/beton dengan semen. Sedangn limbah padat yang tidak dapat dibakar atau tidak dapat dikompaksi, harus dipotong-potong dan dimasukkan dalam beton kemudian dipadatkan dengan semen atau gelas masif. Selanjutnya limbah radioaktif yang telah diolah disimpan secara sementara (10-50 tahun) di

gudang penyimpanan limbah yang kedap air sebelum disimpan secara lestari. Tempat penyimpanan lembah lestari dipilih di tempat/lokasi khusus, dengan kondisi geologi yang stabil dan secara ekonomi tidak bermanfaat. Senjata nuklir Senjata nuklir adalah senjata yang mendapat tenaga dari reaksi nuklir dan mempunyai daya pemusnah yang dahsyat - sebuah bom nuklir mampu memusnahkan sebuah kota. Senjata nuklir telah digunakan hanya dua kali dalam pertempuran - semasa Perang Dunia II oleh Amerika Serikat terhadap kota-kota Jepang, Hiroshima dan Nagasaki.Pada masa itu daya ledak bom nuklir yg dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki sebesar 20 kilo(ribuan) ton TNT. Sedangkan bom nuklir sekarang ini berdaya ledak lebih dari 70 mega(jutaan) ton TNT Negara pemilik senjata nuklir yang dikonfirmasi adalah Amerika Serikat, Rusia, Britania Raya (Inggris), Perancis, Republik Rakyat Cina, India, Korea Utara dan Pakistan. Selain itu, negara Israel dipercayai mempunyai senjata nuklir, walaupun tidak diuji dan Israel enggan mengkonfirmasi apakah memiliki senjata nuklir ataupun tidak. Lihat daftar negara dengan senjata nuklir lebih lanjut. Senjata nuklir kini dapat dilancarkan melalui berbagai cara, seperti melalui pesawat pengebom, peluru kendali, peluru kendali balistik, dan Peluru kendali balistik jarak benua. Dua tipe desain dasar Senjata nuklir mempunyai dua tipe dasar. Tipe pertama menghasilkan energi ledakannya hanya dari process reaksi fisi. Senjata tipe ini secara umum dinamai bom atom (atomic bomb, A-bombs). Energinya hanya diproduksi dari inti atom. Pada senjata tipe fisi, masa fissile material (uranium yang diperkaya atau plutonium) dirancang mencapai supercritical mass - jumlah massa yang diperlukan untuk membentuk reaksi rantai- dengan menabrakkan sebutir bahan sub-critical terhadap butiran lainnya (the "gun" method), atau dengan memampatkan bulatan bahan sub-critical menggunakan bahan peledak kimia sehingga mencapai tingkat kepadatan beberapa kali lipat dari nilai semula. (the "implosion" method). Metoda yang kedua dianggap lebih canggih dibandingkan yang pertama. Dan juga penggunaan plutonium sebagai bahan fisil hanya bisa di metoda kedua. Tantangan utama di semua desain senjata nuklir adalah untuk memastikan sebanyak mungkin bahan bakar fisi terkonsumsi sebelum senjata itu hancur. Jumlah energi yang dilepaskan oleh pembelahan bom dapat berkisar dari sekitar satu ton TNT ke sekitar 500.000 ton (500 kilotons) dari TNT. Tipe kedua memproduksi sebagian besar energinya melalui reaksi fusi nuklir. Senjata jenis ini disebut senjata termonuklir atau bom hidrogen (disingkat sebagai bom-H), karena tipe ini didasari proses fusi nuklir yang menggabungkan isotop-isotop hidrogen (deuterium dan tritium). Meski, semua senjata tipe ini mendapatkan kebanyakan energinya dari proses fisi (termasuk fisi yang dihasilkan karena induksi neutron dari hasil reaksi fusi.) Tidak seperti tipe senjata fisi, senjata fusi tidak memiliki batasan besarnya energy yang dapat dihasilkan dari sebuah sejata termonuklir. 3. Penggunaan nuklir di indonesia Sampai saat ini Indonesia belum berhasil membangun Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN), sehingga belum ada sebuahpun PLTN yang dapat dioperasikan untuk mengurangi beban kebutuhan energi listrik yang saat ini semakin meningkat di Indonesia. Padahal energi nuklir saat ini di dunia sudah cukup berkembang den gan menguasai pangsa sekitar 16%

listrik dunia. Hal ini menunjukkan bahwa energi nuklir adalah sumber energi potensial, berteknologi tinggi, berkeselamatan handal, ekonomis, dan berwawasan lingkungan, serta merupakan sumber energi alternatif yang layak untuk dipertimbangkan dalam Perencanaan Energi Jangka Panjang bagi Indonesia guna mendukung pembangunan yang berkelanjutan. Berdasarkan statistik PLTN dunia tahun 2002 terdapat 439 PLTN yang beroperasi di seluruh dunia dengan kapasitas total sekitar 360.064 GWe, 35 PLTN dengan kapasitas 28.087 MWe sedang dalam tahap pembangunan. PLTN yang direncanakan untuk dibangun ada 25 dengan kapasitas 29.385 MWe. Kebanyakan PLTN baru dan yang akan dibangun berada di beberapa negara Asia dan Eropa Timur. Memang di negara maju tidak ada PLTN yang baru, tetapi ini tidak berarti proporsi listrik dari PLTN akan berkurang. Di Amerika beberapa PLTN telah mendapatkan lisensi perpanjangan untuk dapat beroperasi hingga 60 tahun, atau 20 tahun lebih lama daripada lisensi awalnya. Di Indonesia, ide pertama untuk pembangunan dan pengoperasian PLTN sudah dimulai pada tahun 1956 dalam bentuk pernyataan dalam seminar-seminar yang diselenggarakan di beberapa universitas di Bandung dan Yogyakarta. Meskipun demikian ide yang sudah mengkristal baru muncul pada tahun 1972 bersamaan dengan dibentuknya Komisi Persiapan Pembangunan PLTN (KP2PLTN) oleh Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN) dan Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik (Departemen PUTL). Kemudian berlanjut dengan diselenggarakannya sebuah seminar di Karangkates, Jawa Timur pada tahun 1975 oleh BATAN dan Departemen PUTL, dimana salah satu hasilnya suatu keputusan bahwa PLTN akan dikembangkan di Indonesia. Pada saat itu juga sudah diusulkan 14 tempat yang memungkinkan di Pulau Jawa untuk digunakan sebagai lokasi PLTN, dan kemudian hanya 5 tempat yang dinyatakan sebagai lokasi yang potensial untuk pembangunan PLTN. Pada perkembangan selanjutnya setelah dilakukan beberapa studi tentang beberapa lokasi PLTN, maka diambil suatu keputusan bahwa Semenanjung Muria adalah lokasi yang paling ideal dan diusulkan agar digunakan sebagai lokasi pembangunan PLTN yang pertama di Indonesia. Disusul kemudian dengan pelaksanaan studi kelayakan tentang introduksi PLTN yang pertama pada tahun 1978 dengan bantuan Pemerinatah Itali, meskipun demikian, rencana pembangunan PLTN selanjutnya terpaksa ditunda, untuk menunggu penyelesaian pembangunan dan pengoperasian reaktor riset serbaguna yang saat ini bernana GA Siwabesy berdaya 30 MWth di Puspiptek Serpong. Pada tahun 1985 pekerjaan dimulai dengan melakukan reevaluasi dan pembaharuan studi yang sudah dilakukan dengan bantuan International Atomic Energy Agency (IAEA), Pemerintah Amerika Serikat melalui perusahaan Bechtel International, Perusahaan Perancis melalui perusahaan SOFRATOME, dan Pemerintah Itali melalui perusahaan CESEN. Dokumen yang dihasilkan dan kemampuan analitis yang dikembangkan dengan program bantuan kerjasama tersebut sampai saat ini masih menjadi dasar pemikiran bagi perencanaan dan pengembangan energi nuklir di Indonesia khususnya di Semenanjung Muria. Pada tahun 1989, Pemerintah Indonesia melalui Badan Koordinasi Energi Nasional (BAKOREN) memutuskan untuk melakukan studi kelayakan yang komprehensif termasuk investigasi secara mendalam tentang calon tapak PLTN di Semenanjung Muria JawaTengah. Pelaksanaan studi itu sendiri dilaksanakan di bawah koordinasi BATAN, dengan

arahan dari Panitia Teknis Energi (PTE), Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, dan dilakukan bersama-sama oleh beberapa instansi lain di Indonesia. Pada bulan Agustus tahun 1991, sebuah perjanjian kerja tentang studi kelayakan telah ditandatangani oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia dengan Perusahaan Konsultan NEWJEC Inc. Perjanjian kerja ini berjangka waktu 4,5 tahun dan meliputi pelaksanaan pekerjaan tentang pemilihan dan evaluasi tapak PLTN, serta suatu studi kelayakan yang komprehensif tentang kemungkinan pembangunan berbagai jenis PLTN dengan daya total yang dapat mencapai 7000 MWe. Sebagian besar kontrak kerja ini digunakan untuk melakukan pekerjaan teknis tentang penelitian pemilihan dan evaluasi tapak PLTN di lokasi tapak di Semenanjung Muria. Pada 2 tahapan pekerjaan yang pertama (Step 1-2) sudah dilakukan dengan baik pada tahun 1992 dan 1993. Pada fase ini 3 buah calon tapak yang spesifik sudah berhasil dilakukan dengan studi perbandingan dan ditentukan rangkingnya. Sebagai kesimpulan didapatkan bahwa calon tapak terbaik adalah tapak PLTN Ujung Lemahabang. Kemudian tahapan kegiatan investigasi akhir (Step-3) dilakukan dengan mengevaluasi calon tapak terbaik tersebut untuk melakukan konfirmasi apakah calon tapak tersebut betul dapat diterima dan memenuhi standar internasional. Studi tapak PLTN ini akhirnya dapat diselesaikan pada tahun 1995. Secara keseluruhan, studi tapak PLTN di Semanjung Muria dapat diselesaikan pada bulai Mei tahun 1996. Selain konfirmasi kelayakan calon tapak di Semanjung Muria, hasil lain yang penting adalah bahwa PLTN jenis air ringan dengan kapasitas antara 600 s/d 900 MWe dapat dibangun di Semenanjung Muria dan kemudian dioperasikan sekitar tahun 2004 sebagai solusi optimal untuk mendukung sistem kelistrikan Jawa -Bali. Pada tahun-tahun selanjutnya masih dilakukan lagi beberapa studi tambahan yang mendukung studi kelayakan yang sudah dlakukan, antara lain studi penyiapan Bid Invitation Specification (BIS), studi pengembangan dan evaluasi tapak PLTN, studi perencanaan energi dan kelistrikan nasional dan studi pendanaan pembangunan PLTN. Selain itu juga dilakukan beberapa kegiatan yang mendukung aktivitas desain dan pengoperasian PLTN dengan mengembangkan penelitian di beberapa fasilitas penelitian BATAN, antara lain penelitian teknologi dan keselamatan PLTN, proteksi radiasi, bahan bakar nuklir dan limbah radioaktif serta menyelenggarakan kerjasama internasional dalam bentuk partisipasi desain PLTN. Akibat krisis multidimensi yang terjadi pada tahun 1998, maka dipandang layak dan perlu untuk melakukan evaluasi kembali tentang kebutuhan (demand) dan penyediaan (supply) energi khususnya kelistrikan di Indonesia. Untuk itu suatu studi perancanaan energi dan kelistrikan nasional jangka panjang Comprehensive Assessment of Different Energy Resources for Electricity Generation in Indonesia (CADES) yang dilakukan dan diselesaikan pada tahun 2002 oleh sebuah Tim Nasional di bawah koor dinasi BATAN dan BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) dengan dukungan IAEA. Hasil studi ini menunjukkan bahwa kebutuhan energi di Indonesia diproyeksikan meningkat di masa yang akan datang. Kebutuhan energi final (akhir) akan meningkat dengan pertumbuhan 3,4% per tahun dan mencapai jumlah sekitar 8146 Peta Joules (PJ) pada tahun 2025. Jumlah ini adalah sekitar 2 kali lipat dibandingkan dengan kebutuhan energi final di awal studi tahun 2000. Pertumbuhan jenis energi yang paling besar adalah pertum buhan kapasitas pembangkitan energi listrik yang mencapai lebih dari 3 kali lipat dari kondisi semula, yaitu dari 29 GWe di tahun 2000 menjadi sekitar 100 GWe di tahun 2025. Jumlah kapasitas pembangkitan ini, sekitar 75% akan dibutuhkan di jaringan listrik Jawa-Madura-

Bali (Jamali). Dari berbagai jenis energi yang tersedia untuk pembangkitan listrik dan dilihat dari sisi ketersediaan dan keekonomiannya, maka energi gas akan mendominasi penyediaan energi guna pembangkitan energi listrik, sekitar 40% untuk wi layah Jamali. Energi batubara akan muncul sebagai pensuplai kedua setelah gas, yaitu sekitar 30% untuk wilayah Jamali. Sisanya sekitar 30% untuk akan disuplai oleh jenis energi yang lain, yaitu hidro, mikrohidro, geothermal dan energi baru dan terbarukan lainnya. Diharapkan energi nuklir dapat menyumbang sekitar 5-6% pada tahun 2025. Mengingat situasi penyediaan energi konvensional termasuk listrik nasional di masa mendatang semakin tidak seimbang dengan kebutuhannya, maka opsi nuklir dalam perencanaan sistem energi nasional jangka panjang merupakan suatu solusi yang diharapkan dapat mengurangi tekanan dalam masalah penyediaan energi khususnya listrik di Indonesia. Berdasarkan kajian yang sudah dilakukan tersebut di atas maka diharapkan pernyataan dari semua pihak yang terkait dengan pembangunan energi nasional bahwa penggunaan energi nuklir di Indonesia sudah diperlukan, dan untuk itu perlu dimulai pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) sekitar tahun 2010, sehingga sudah dapat dioperasikan secar a komersial pada sekitar tahun 2016. BATAN sebagai Lembaga Pemerintah, berdasarkan Undang-undang No. 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran, telah dan akan terus bekerjasama dengan Lembaga Pemerintah terkait, Lembaga Swadaya Masyarakat, Lembaga dan Masyarakat Internasional, dalam mempersiapkan pengembangan energi nuklir di Indonesia, khususnya dalam rangka mempersiapkan pengembangan energi nuklir tersebut adalah studi dan kajian aspek energi, teknologi, keselamatan, ekonomi, lingkungan hidup, sosial -budaya, dan manajemen yang tertuang dalam bentuk rencana stratejik 2006-2010 tentang persiapan pengembangan energi nuklir di Indonesia. 4. Pandangan hukum dan sejarah mengenai nuklir Pengontrolan Nuklir Pada 15 November 1945, Presiden AS H. Truman, PM Inggris Atlee, PM Kanada Mackenzie King, bertemu di Washington dan menghasilkan suatu persetujuan Three Nation Agreed Declaration on Atomic Energy yang mengindikasikan kerelaan mereka memberikan informasi nuklir untuk tujuan damai kepada pihak lain dengan syarat menerima safeguard terhadap penggunaan bukan untuk tujuan damai. Mereka menyarankan kepada PBB yang baru saja lahir untuk menangani masalah nuklir. Segera setelah itu, pada 27 Desember 1945, pada pertemuan Dewan Menlu di Moskow, AS dan Inggris mengusulkan dan Uni Soviet menyetujuinya, bahwa suatu Komisi Tenaga Atom PBB (UNAEC) harus dibentuk untuk menangani masalah-masalah yang timbul dari penemuan tenaga atom dan masalah yang terkait dengannya. Soviet menekankan bahwa kerja UNAEC harus atas dasar arahan Dewan Keamanan, AS dan Inggris menerima syarat itu. Pada 1945 hanya satu negara yang memiliki infrastruktur industri yang masif, kekayaan, bahan dan konsentrasi keahlian ilmiah dari Eropa dan AS yang diperlukan untuk membuat senjata nuklir. Namun keunggulan ini akan tergerus waktu dan negara lain juga bergerak memasuki era nuklir. Pada September 1949, Soviet melakukan uji coba ledakan nuklir yang pertama, sesuatu

yang mengejutkan pejabat AS termasuk Jenderal Leslie R. Groves, penggerak utama Proyek Manhattan. Mereka sebelumnya mengira perlu 20 tahun bagi Soviet untuk menjadi negara bersenjata nuklir kedua di dunia. Inggris menjadi yang ketiga pada Oktober 1952. Sekali terobosan ilmiah dan teknis pada senjata nuklir dicapai dan menjadi milik publik, replikasi peranti tersebut sebagian besar hanya masalah rekayasa belaka. Dan negara-negara lain berlumba mengembangkan teknologi tersebut, yang lebih banyak karena pertimbangan politik, ketimbang teknis semata. Akhir monopoli nuklir AS, jalan buntu di PBB dan pening katan ketegangan Perang Dingin akhirnya memupuskan harapan adanya dunia yang bebas dari senjata nuklir. Namun, Eisenhower ditakdirkan untuk menawarkan jalan keluar dari situasi tanpa harapan tersebut. Pada Januari 1953, Eisenhower menggantikan Truman dan pada 5 Maret 1953 Stalin wafat. Saat itu monopoli AS terhadap penggunaan teknologi nuklir untuk tujuan sipil dan militer mulai tersaingi dan perusahaan-perusahaan AS khawatir kehilangan pasar kepada Inggris dan Kanada. Para pembuat kebijakan di AS dan sekutunya juga menyimpulkan perlunya melanjutkan pembicaraan perlucutan senjata nuklir. Kekhawatiran memuncak ketika 12 Agustus 1953 Soviet meledakkan apa yang diyakini AS sebagai bom hidrogen. Kekhawatiran ini mengubah kebijakan nuklir AS, selain dorongan privatisasi nuklir di kalangan internal AS sendiri. Itu terjadi pada September 1953 ketika Eisenhower sampai pada gagasan yang menjadi inti dari pidato Atoms for Peace-nya di depan MU PBB pada 8 Desember tahun itu, bahwa bahan-bahan fisil negara-negara bersenjata nuklir hendaknya dikumpulkan dalam suatu lumbung bersama yang akan digunakan oleh semua bangsa untuk tujuan damai. Gagasan lumbung (atau bank) bersama tersebut dipandang sebagai pendekatan baru dan evolusioner terhadap perlucutan senjata, sebagai alat pembangun kepercayaan antara blok Timur dan Barat, dan sebagai jalan menuju adanya suatu badan internasional yang akan mempromosikan pemanfaatan nuklir tujuan damai (sipil). Pada permulaan Desember 1953, Eisenhower bertemu Churchill di Bermuda dan memperlihatkan draf pidato tersebut kepadanya, yang disambut hangat Churchill. Dan saat disampaikan dihadapan Majelis, pidato tersebut disambut secara antusias. Setahun kemudian, pada 4 Desember 1954, disahkanlah secara bulat pendirian badan baru. Setelah melalui serangkaian perundingan baik bilateral maupun multilateral proses perumusan, berlangsung selama 1954 sampai 1956, Statuta (sebanyak 23 pasal) akhirnya dapat difinalisasi dan ditandatangani oleh 81 negara, termasuk Indonesia, pada Oktober 1956 di New York. Setahun kemudian pada Juli 1957, Statuta tersebut dinyatakan mulai berlaku efektif, setelah proses ratifikasi beberapa negara dan dinyatakan sebagai hari lahirnya IAEA. Indonesia meratifikasinya dengan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1957. Selama bertahun-tahun, Indonesia telah menjadi mitra suportif dan penerima bantuan IAEA. Tujuan IAEA sebagaimana dinyatakan dalam Statutanya adalah mempercepat dan memperbesar sumbangan tenaga atom pada perdamaian, kesehatan dan kemakmuran di seluruh dunia. Sejauh disanggupi, perlu dijamin bahwa bantuan yang diberikan atau dimintakan atau di bawah pengawasan atau kontrolnya tersebut tidak digunakan untuk tujuan militer.

Secara ringkas, Statuta IAEA menggariskan tiga pilar: Safeguards & Verification, Safety & Security dan Kerja sama Internasional Tranfer Teknologi. 4. HIKMAH PERISTIWA CHERNOBYL Sejak promosi nuklir tujuan damai, pengembangan nuklir berpacu dalam laju yang cepat, banyak negara mulai meluncurkan program litbang nuklirnya untuk kepentingan pembangunan nasional masing-masing, termasuk Indonesia, yang sedari awal telah berpartisipasi dan mengikutinya dengan membentuk badan serupa pada level nasional, Lembaga Tenaga Atom (kelak pada 1965 menjadi Badan Tenaga Atom Nasional [BATAN]) pada 1958. Antusiasme begitu tinggi terhadap nuklir hingga akhir 1980-an dan perkembangan tampaknya memasuki masa-masa keemasan. Namun peristiwa Three Mile Island 1979 dan Chernobyl 1986, telah membawa keadaan stagnan di Barat, laju pembangunan pembangkit listrik mengalami pelambatan, kecuali di Asia.

KEAMANAN NUKLIR Konvensi Proteksi Fisik Tujuan untuk mencapai tingkat keselamatan nuklir yang tinggi di seluruh dunia harus digandakan dengan tujuan mencapai tingkat keamanan nuklir yang tinggi seluruh dunia. Keamanan nuklir akan diperkuat oleh pengembangan dan penerapan langkah-langkah yang memadai proteksi fisik terhadap pencurian atau penyimpangan bahan nuklir dan terhadap sabotase fasilitas nuklir. Proteksi fisik merupakan hal yang menjadi perhatian nasional dan internasional sejak lama, dan kepatuhan yang menyeluruh pada Convention on the Physical Protection of Nuclear Material (Konvensi Perlindungan Fisik Bahan Nuklir) memberi bukti kesungguhan negara-negara menerima kewajiban internasional di bidang ini. Penguatan terhadap keamanan nuklir menjadi fokus setelah keruntuhan Uni Soviet, ketika terjadi sejumlah kasus penyeludupan bahan nuklir dan munculnya kegiatan terorisme internasional, seperti peristiwa 11 September 2001. Ini mendesakkan perlunya penguatan rezim internasional keamanan nuklir, dengan membangun budaya keamanan sebagai aspek utama. Konvensi ditandatangani di Wina dan New York pada 3 Maret 1980, mewajibkan Negaranegara Pihak untuk menjamin selama transportasi nuklir internasional memberikan perlindungan bahan nuklir di dalam wilayah teritorial mereka atau di atas kapal-kapal mereka atau pesawat-pesawat udara mereka. Konferensi Peninjauan Ulang pertama diselenggarakan di Wina dari 29 September hingga 1 Oktober 1992 dan dihadiri oleh 35 Negara Pihak, dengan suara bulat menyatakan dukungan penuhnya terhadap Konvensi dan mendesak semua Negara untuk mengambil tindakan guna menjadi negara pihak pada Konvensi. Negara-negara Pihak memandang, teristimewa, bahwa Konvensi tersebut memberikan suatu kerangka kerja yang sangat sesuai bagi kerja sama internasional dalam perlindungan (proteksi), pemulihan dan pengembalian bahan nuklir yang hilang/tercuri dan dalam penerapan sanksi-sanksi kriminal terhadap orang-orang yang melakukan tindakan-tindakan kriminal yang melibatkan bahan nuklir. Konvensi ini diadopsi tanggal 26 Oktober 1979 di Wina, Austria, dan mulai berlaku efektif pada 8 Februari 1987. Indonesia menandatangani Konvensi ini pada tanggal 3 Juli 1986 dan

meratifikasinya pada 5 November 1986. Pada 8 Juli 2005 Konvensi diamendemen, namun hi ngga saat ini Amandemen tersebut belum berlaku efektif seperti disebutkan di depan. PERTANGGUNGAN KERUGIAN NUKLIR Pada saat peristiwa Chernobyl, Vienna Convention on Civil Liability for Nuclear Damage 1963 (Konvensi Wina tentang Pertanggungan Perdata Kerugian Nuklir) telah berlaku sejak 1977 dan Paris Convention 1960/1964/1982 berlaku sejak 1968 dan 1985. Namun kedua rezim pertanggungan tersebut tidak dapat digunakan untuk memberi kompesasi pada para korban. Uni Soviet bukan negara pihak pada salah satu konvensi, dan belum mempunyai legislasi pertanggungan nuklir nasionalnya. Hikmah yang didapat dari peristiwa itu adalah bahwa menetapkan rezim hukum pertanggungan nuklir tidaklah cukup. Perlu usaha-usaha politis tambahan untuk meyakinkan negara-negara untuk mengadopsinya. Hingga saat ini masih tampak bahwa negara-negara belum sepenuhnya memahami pelajaran ini karena rezim pertanggungan nuklir global belumlah tercapai secara penuh. Peristiwa kecelakaan dapat tidak hanya berdampak di negara bersangkutan, tapi dapat juga pada negara tetangga bahkan yang lebih jauh, sehingga memicu pembicaraan seluruh dunia tentang kepantasan skema pertanggungan nuklir yang ada. Dalam periode dari 1988 hingga 2004, perundingan -perundingan berlangsung untuk mempertimbangkan pengalaman Chernobyl dan untuk memperkuat hukum pertanggungan nuklir internasional. Dimulai dengan perumusan dan pengadopsian the Joint Protocol Relating in the Application of the Vienna Convention and the Paris Convention, dilanjutkan dengan perumusan dan pengadopsian Revision Protocol to the Vienna Convention dan Convention on Supplementary Compensation dari 1989 hingga 1997 di Wina, serta perumusan dan pengadopsian Revision Protocols to the Paris Convention dan Brussels Supplementary Convention dari 1998 hingga 2004 di Paris. Dalam bulan September 1997, pemerintah mengambil langkah maju yang sangat berarti dalam penyempurnaan rezim pertanggungan kerugian nuklir. Pada Konferensi Diplomatik di Markas Besar IAEA, Wina, 8-12 September 1997, delegasi dari lebih 80 neg ara mengadopsi Protocol to Amend the 1963 Vienna Convention on Civil Liability for Nuclear Damage (Protokol untuk Amandemen Konvensi Wina 1963 tentang Pertanggungan Perdata Kerugian Nuklir) dan juga mengadopsi Convention on Supplementary Compensation for Nuclear Damage (Konvensi tentang Kompensasi Pelengkap untuk Kerugian Nuklir). Protokol menetapkan batas ganti rugi yang mungkin oleh operator tidak kurang dari 300 juta SDR (Special Drawing Right) (kurang lebih setara dengan 400 juta dollar Amerika). Sementara Konvensi tentang Kompensasi Pelengkap untuk Kerugian Nuklir menetapkan jumlah tambahan yang harus disediakan melalui kontribusi Negara-negara Pihak yang didasarkan pada kapasitas nuklir terpasang dan nilai kajian PBB. Konvensi merupakan suatu instrumen terhadap mana semua negara harus mematuhinya tanpa memandang apakah mereka merupakan negara pihak pada konvensi pertanggungan nuklir yang ada atau mempunyai instalasi nuklir di dalam wilayah kedaulatan mereka atau tidak. Protokol mengandung antara lain su atu definisi yang lebih baik tentang kerugian nuklir (kini juga mencakup konsep kerusakan lingkungan dan langkah -langkah pencegahan), memperluas cakupan geografis Konvensi Wina, dan memperpanjang periode selama mana klaim dapat dilakukan atas kehilangan jiwa dan cacat yang diderita. Konvensi juga melengkapi yurisdiksi negara-negara pantai terhadap tindakan-tindakan yang

mendatangkan kerugian nuklir selama transportasi. Dilakukan secara bersama, kedua instrumen tersebut secara substansial hendaknya memperkuat kerangka kerja global terhadap kompensasi lebih baik dari yang diperkirakan oleh Konvensi-konvensi sebelumnya. Sebelum aksi September 1997, rezim pertanggungan internasional diatur terutama dalam dua instrumen, yaitu: Konvensi Wina 1963 dan Konvensi Pari s 1960 yang disatukan oleh Protokol Gabungan (the Joint Protocol) yang diadopsi pada 1988. Konvensi Paris kelak diperkuat dengan Konvensi Brussels 1963 tentang Pelengkap (the 1963 Brussels Supplementary Convention). Konvensi-konvensi ini didasarkan pada konsep hukum perdata dan menganut prinsip-prinsip utama berikut, antara lain: a. Pertanggungan secara ekslusif disalurkan ke operator instalasi nuklir. b. Pertanggungan operator adalah mutlak, yaitu operator harus memikul pertanggungan tanpa memandang kesalahan. c. Pertanggungan adalah terbatas dalam jumlah. d. Pertanggungan adalah terbatas dalam waktu. e. Operator harus menjaminkan suatu asuransi. f. Yurisdiksi atas tindakan secara eksklusif berada pada pengadilan Negara Pihak yang mempunyai wilayah di mana kecelakaan nuklir terjadi. g. Non-diskriminasi korban atas dasar kebangsaan, domisili, dan tempat tinggal. Menyusul kecelakaan Chernobyl, IAEA memprakarsai pekerjaan pada semua aspek pertanggungan nuklir dengan suatu pandangan untuk menyempurnakan Konvensi -konvensi dasar dan menetapkan suatu rezim pertanggungan yang komprehensif. Pada 1988, sebagai hasil usaha bersama IAEA dan OECD/NEA, sebuah Protokol Gabungan yang Menghubungkan Aplikasi Konvensi Wina dan Konvensi Paris (the Joint Protocol Relating to the Application of the Vienna Convention and the Paris Convention) berhasil diadopsi. Protokol Gabungan menetapkan suatu hubungan (link) antara Konvensi-konvensi tersebut yang menggabungkan mereka kedalam satu rezim pertanggungan yang diperluas. Pihak pada Protokol Gabungan diperlakukan seakan-akan mereka adalah Pihak pada kedua Konvensi dan pilihan aturan hukum disediakan untuk menentukan yang mana dari dua Konvensi tersebut yang harus berlaku dengan mengenyampingkan yang lain dalam hal kecelakaan yang sama. Konvensi Wina tentang Pertanggungan Perdata Kerugian Nuklir diadopsi tanggal 21 Mei 1963 di Wina, Austria, dan mulai berlaku efektif pada 12 November 1977. Indonesia pada tanggal 6 Oktober 1997 telah menandatangani Protokol dan Konvensi yang terkait dengan Konvensi Wina ini, yaitu: Protocol to Amend the 1963 Vienna Convention on Civil Liability for Nuclear Damage dan Convention on Supplementary Compensation for Nuclear Damage (Konvensi tentang Kompensasi Pelengkap untuk Kerugian Nuklir) setelah keduanya terbuka ditandatangani pada 29 September 1997, namun belum meratifikasi keduanya. BAB III KESIMPULAN Peristiwa yang terjadi di fukushima, jepang merupakan pukulan pada promosi pembangkitan listrik dengan nuklir. Namun, peristiwa itu juga membawa perubahan-

perubahan besar dalam pendekatan terhadap keselamatan nuklir, termasuk pengembangan apa yang dinamakan dengan budaya keselamatan nuklir internasional yang didasarkan pada review dan perbaikan secara konstan, analisis ketat pengalaman pengoperasian, dan saling membagi praktek terbaik secara konsisten. Budaya keselamatan ini telah ditunjukkan keefektifannya selama dua dasawarsa terakhir. Sebagaimana halnya dengan teknologi penerbangan, rekayasa genetika atau teknologi maju lainnya, teknologi nuklir tidak hadir dengan jaminan keselamatan mutlak. Apa yang terpenting adalah pemahaman secara jelas terhadap risiko dan manfaatnya. Peristiwa tersebut membangunkan masyarakat nuklir internasional dan membawa pada era baru kerja sama nuklir internasional. Masyarakat internasioanal dalam usahanya menyembuhkan kekhawatiran umum dan dunia politik terhadap penggunaan atom sebagai sumber energi yang layak, berupaya membangun kembali kepercayaan dalam keselamatan energi nuklir, terutama melalui IAEA, dengan mengkaji kelemahan-kelemahan yang ada di dalam kerangka legal internasional yang ada. Isu paling kritis adalah dukungan masyarakat, yang merupakan kunci bagi masa depan nuklir. Pemahaman masyarakat atas kontribusi Iptek Nuklir bagi kemanusiaan telah terbukti sebagai faktor krusial bagi nasib baik tenaga nuklir. Namun masih banyak kekurangpahaman masyarakat dan kurangnya pengetahuan tentang radiasi dan iptek nuklir. Hal ini tidaklah mengherankan, karena iptek nuklir merupakan subyek yang kompleks. Meskipun demikian, kompleksitas tersebut hendaknya tidak berakibat adanya salah persepsi yang berkelanjutan. Pemahaman masyarakat merupakan syarat bagi penerimaannya. Dan penerimaan masyarakat merupakan kunci yang akan memungkinkan nuklir mewujudkan apa yang oleh pengamat yang telah terdidik melihatnya sebagai potensialnya yang luar biasa. Kunci terhadap proses ini adalah budaya baru tentang keterbukaan, transparasi dan obyektivitas. UU No. 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran bahwa pemanfaatan tenaga nuklir terkait erat dengan kemaslahatan kehidupan dan keselamatan manusia yang ditujukan sepenuhnya untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang dilaksanakan secara tepat dan hati-hati serta untuk tujuan damai. Sifat damai dan mulia dari pemanfaatan tenaga nuklir juga tertuang secara jelas dalam Anggaran Dasar Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) dan dijabarkan dalam berbagai perjanjian internasional berupa Traktat, Konvensi, Protokol dan Perjanjian Internasional lainnya sebagai instrumen/dasar hukum bagi setiap kegiatan dan tindakan yang berkaitan dengan penggunaan tenaga nuklir untuk tujuan damai. Keberadaan instrumen Internasional tersebut telah mendorong percepatan dan promosi penggunaan tenaga nuklir dalam berbagai bidang aplikasi dewasa ini untuk perdamaian dan kesejahteraan umat manusia. Pemahaman yang utuh pada promosi nuklir tujuan damai hendaknya meliputi semua aspeknya berupa aspek teknis, aspek legal, aspek geostrategi (geopolitik & geoekonomi), aspek filosofi kesejarahan, dimana pemahaman ini selanjutnya dapat dikomunikasikan kepada semua pemangku kepentingan agar promosi pemanfaatan nuklir tujuan damai mencapai sasaran sesuai harapan. Untuk itu hendaknya Iptek nuklir dapat dikomunikasikan dan disosialisasikan sesuai paradigma tersebut dengan semua aspeknya termasuk di dalamnya aspek perjanjian Internasional yang mengaturnya.

DAFTAR PUSTAKA

y http://sainsindonesia.wordpress.com/2010/10/06/perjanjian-internasionalketenaganukliran-pada-penggunaan-nuklir-tujuan-damai/ y http://www.batan.go.id/ppen/tu/Sejarah%20PLTN.htm y http://id.wikipedia.org/wiki/Limbah_radioaktif y http://id.wikipedia.org/wiki/Senjata_nuklir y http://netsains.com/2009/04/energi-nuklir-pengertian-dan-pemanfaatannya/ y Kenapa PLTN ditakuti, Retno Listyarti, Mohammad Anung, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia ,Yayasan Gugus Analisis dengan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, 1994 y Rencana pembangunan PLTN di Indonesia: sebuah perbincangan, Paschalis Maria Laksono,
Aris Arif Mundayat, Yustinus Tri Subagya, Yayasan Obor Indonesia, 1995

Anda mungkin juga menyukai