Anda di halaman 1dari 3

Krisna Purwa Adi. W / 070912102 / Kel.

3 Legalisasi Sistem Moneter Internasional Selama abad kedua puluh, peraturan internasional mengenai sistem moneter telah ter-legalized dalam berbagai perkembangan. (Beth. 2001 : 307). Para sejarawan, khususnya yang menekuni perjalanan perekonomian dunia, memandang tahun 1870 sebagai salah satu tonggak sejarah perekonomian dunia, oleh karena mulai sekitar tahun itulah dalam perekonomian dunia dijumpai adanya jaringan keuangan antar negara yang sedemikan luas cakupannya dan sedemikian efektif bekerjanya. (elearning.gunadarma.ac.id). Periodisasi perkembangan sistem moneter ini, secara garis besar dapat dibagi menjadi 3, yakni masa pra perang dunia, masa interwar, dan masa pasca perang dunia. Pada masa abad ke-19 belum ada legal agreements atas sistem moneter internasional. Sistem moneter internasional yang berlaku saat itu ialah sistem standar emas. ( Beth. 2001 : 309). Standar emas merupakan turunan dari standar uang yang berbasis komoditas. Standar ini muncul sebagai rancangan sistem moneter dari tahun 1880 sampai 1914. Meskipun sistem standar emas mempunyai legalitas dasar dalam sistem moneter saat itu, namun di dalamnya tidak terdapat struktur legal di dalamnya. Pada mulanya Inggris merupakan negara pertama yang mengadopsi standar emas pada tahun 1819 hasil dari Peel Act of 1819 (Beth. 2001 : 309), yang kemudian diikuti negara-negara lain, seperti Jerman pada tahun 1971, Swiss dan Belgia tahun 1878, dan Amerika Serikat pada tahun 1900an. Ekonom neoklasik Marshall (1871) dan Fisher (1911) memandang standar emas sebagai sejenis rancangan institusi yang menentukan jumlah penawaran dari uang. Bagi mereka penawaran uang dalam standar cadangan emas bergantung pada persediaan emas moneter, yang nantinya ditentukan oleh hubungan antara harga riil dari emas dengan produksi emas pada satu sisi, dan harga riil dari emas dengan permintaan moneter dari emas pada sisi yang lain (Ratna. 2008 : 13). Negara yang mempergunakan sistem standar emas menentukan sendiri mata uangnya dalam nilai emas tertentu, dan kemudian Bank sentral diperbolehkan membeli atau menjual emas secara bebas sesuai dengan kurs yang tela ditetapkan. Beberapa di antara sifat-sifat menguntungkan yang melekat pada sistem standar emas yang banyak disebut-sebut dalam literatur ialah : (a) Stabilnya kurs valuta asing, (b) dalam sistem standar emas, defisit atau surplus neraca pembayaran berlangsungnya berkecenderungan tidak berlarut lama melainkan secara otomatis menyusut, untuk kemudian kembali ke keadaan seimbang lagi. Akan tetapi sayang bahwa disamping sifat-sifat positif yang dimilikinya, sistem standar emas dalam praktek mengenal beberapa kelemahan. Beberapa di antaranya adalah : (a) Stabilitas dalam kurs valuta asing biasanya diikuti oleh ketidakstabilan tingkat harga, (b) Mekanisme penyeimbangan kembali neraca

pembayaran dalam praktek sering tidak selancar seperti yang diungkapkan dalam teori. Sekalipun tidak lepas dari adanya kelemahan-kelemahan seperti disebutkan diatas, namun sistem standar emas yang dimulai berperan pada sekitar tahun 1870, kenyataannya dapat bertahan terus. (elearning.gunadarma.ac.id). Sistem moneter internasional yang berupa sistem standar emas ini bertahan sampai masa sebelum pecah perang. Perang Dunia 1 tidak hanya meluluhlantakkan hubungan ekonomi namun juga menghancurkan sendi-sendi politik domestik dan stabilitas sosial yang selama ini menyokong eksistensi standar emas. Dan sebagai konsekuensinya selama masa interwar, sistem standar emas internasional berhenti berfungsi, atau di dalam artikel disebutkan sebagai masa largely unsuccessful groping toward some form of organizational regulation of monetary affairs. ( Beth. 2001 : 310). Dengan kata lain, dalam keadaan perang perekonomian dunia terpecah-pecah menjadi satuan-satuan kecil perekonomian nasional dan tidak lagi memiliki penyesuaian neraca pembayaran di antara sistem-sistem perekonomian tersebut, yang prosesnya berjalan secara otomatis. Pada masa interwar, Soft international legal commitments mulai digunakan, dengan tujuan untuk me-rehabilitasi kepercayaan pasar yang hancur akaibat perang serta meningktkan kemampuan pemerintah dalam mempertahankan komitmen mereka yang telah dibuat secara sepihak pada periode sebelumnya. Denag didorong oleh kebutuhan untuk membatasi eksternalisasi biaya penyesuaian terhadap ekonomi makro, beberapa pemerintah melihat international commitments sebagai cara atau jalan keluar untuk meningkatkan angka kepastian dalam pasar. Walaupun, komitmen tersebut tidak sedikit membatasi perilaku atau mendorong kepercayaan para pelaku ekonomi. Setelah masa paska perang, rezim moneter berubah seturut dengan konstelasi dunia saat itu. Yang dimaksud dengan kurun waktu paska perang dunia di sini ialah kurun waktu dari tahun 1946 sampai dengan sekarang. Dalam kurun waktu ini dijumpai dua macam sistem moneter dunia, yaitu Sistem Bretton Woods yang dipakai dari tahun 1946 sampai dengan tahun 1972 dan Sistem Kurs Mengambang Terkendali yang menggantikan Sistem Bretton Wood dan hingga sekarang masih dalam pemakaian. (elearning.gunadarma.ac.id). Dengan sistem ini dipergunakan US Dollar sebagai mata uang internasional pengganti emas. Setiap anggota IMF (dalam sistem ini) sepakat menentukan kurs mata uang masing-masing dalam US Dollar (atau ekuivalen dengan emas 1/35 ons). Dalam memahami inti sistem Bretton Wood ini kita perlu melihat kinerja IMF secara umum. Dalam IMF, setiap anggotanya memiliki kewajiban hukum mengenai pelaksanaan kebijakan moneter mereka. Dalam pasal VIII Ayat 2 (a) mewajibkan anggotanya untuk menjaga accounts mereka bebas dari pembatasan dan melarang penggunaan sistem nilai tukar ganda. Dengan demikian,telah menjadi keputusan setiap negara untuk

menerima kewajiban konvertibilitas rekening diskriminatif. ( Beth. 2001 : 333). Beranjak dari hal ini kita perlu mencermati lebih dalam mengenai isi Article VII ini. Seperti yang kita ketahui, legalisasi adalah salah satu cara pemerintah berusaha untuk membuat komitmen internasional mereka. Bukti menunjukkan bahwa ternyata pemerintah ragu-ragu dalam membuat komitmen hukum internasional jika terdapat risiko yang signifikan. The hazard models dari Article VIII menunjukkan komitmen berkaitan dengan kondisi yang satu yang memungkinkan kepatuhan terjadi. ( Beth. 2001 : 333). Legal Commitment adalah bagian dari strategi untuk membuat komitmen yang kredibel untuk mempertahankan a liberal foreign exchange regime. Artikel VIII ini kemudian mebawa dua efek rezim memiliki konsekuensi yang jelas untuk kepatuhan. Namun, anehnya efek tersebut saling bertolak belakang, yakni bagi mereka yang melihat demokrasi sebagai perilaku internasional sebagaimana sesuatu yang berkaitan dengan hukum dan kewajiban, semakin demokratis negara yang menanggapi Article VIII, semakin besar kemungkin untuk menempatkan pembatasan pada account berjalan. Di sisi lain, rezim yang didasarkan pada prinsipprinsip yang jelas tentang aturan hukum jauh lebih mungkin untuk mematuhi komitmen. ( Beth. 2001 : 333). Beberapa analis berpendapat bahwa temuan ini dapat dipahami sebagai kendala normatif pada pilihan kebijakan luar negeri. Dan salah satu temuan paling menarik dari penelitian ini ialah telah menjadi bukti bahwa komitmen dan kepatuhan berkaitan dengan pola komitmen dan kepatuhan yang melampaui batas sendiri. Penelitian ini memiliki implikasi yang lebih luas untuk studi legalisasi dan kepatuhan dengan kewajiban hukum internasional. Hal ini menunjukkan bahwa pengesahan komitmen dibatasi oleh kondisi ekonomi dan kekuatan pasar.

Referensi Beth A. Simmons. (2001) The legalization of International Monetary Affairs dalam Lisa L. Martin. London : MIT Press Ratna Sari Pakpahan. (2008). Dinamika Moneter Indonesia dalam

eprints.ui.ac.id/3217/4/117224-T%2024966-dinamika%20moneter-HA.pdf diakses tanggal 17 Mei 2010 pukul 13.00 wib elearning.gunadarma.ac.id/.../bab_4_sistem_keuangan_internasional_dari_masa_ke_masa.pdf diakses tanggal 17 Mei 2010 pukul 13.20 wib

Anda mungkin juga menyukai