Anda di halaman 1dari 11

PELAKSANAAN EKSEKUSI P U T U S A N

Nomor : 48/PAILIT/2007/PN.NIAGA.JKT.PST

DAN KERJASAMA DALAM EKSEKUSI

Anggota kelompok :
1. 2. 3. 4.

Wisnhu Adi Dharma T.L. Awang Asandi Bernad Yoel Masengi Wisnu Ardhi S.P.

(08.20.0013) (08.20.0031) (08.20.0037) (08.20.0053)

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA SEMARANG 2011

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Suatu perkara perdata diajukan oleh pihak yang bersangkutan kepada pengadilan pada dasarnya adalah untuk mendapatkan pemecahan atau penyelesaian. Pemeriksaan perkara di pengadilan memang pada akhirnya akan diakhiri dengan putusan atau pembacaan putusan oleh hakim, akan tetapi, dengan dijatuhkannya putusan saja oleh hakim belumlah selesai persoalannya. Putusan itu harus dapat dilaksanakan atau dijalankan. Suatu putusan pengadilan tidak ada artinya jika tidak dapat dijalankan atau dilaksanakan. Oleh karena itu putusan hakim mempunyai kekuatan eksekutorial, yaitu kekuatan untuk dilaksanakan apa yang ditetapkan dalam putusan itu secara paksa oleh alat alat negara. Adapun yang memberi kekuatan eksekutorial pada putusan hakim ialah pada kepala putusan yang berbunyi Demi Keadilan Bedasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa. Tidak semua putusan hakim dapat dilaksanakan dalam arti yang sebenarnya, yaitu secara paksa oleh pengadilan. Hanya putusan condemnatoir saja yang dapat dilaksanakan, sedangkan putusan declaratoir dan constitutif tidak memerlukan sarana-sarana pemaksa untuk melaksanakannya. Karena dalam putusan declaratoir dan constitutif tidak dimuat adanya suatu prestasi, maka terjadinya akibat hukum tidak tergantung pada bantuan atau kesediaan dari pihak yang dikalahkan, maka oleh karena itu tidak diperlukan saraana pemaksa untuk menjalankannya. Suatu putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht ) yang pasti dapat dilaksanakan secara sukarela oleh yang bersangkutan, yaitu oleh pihak yang dikalahkan. Apabila suatu perkara telah diputus dan telah memperoleh kekautan hukum tetap, maka pihak yang dikalahkan harus secara sukarela melaksanakan putusan tersebut. Dengan demikian maka selesailah perkaranya tanpa mendapat bantuan dasri pengadilan dalam melaksanakan putusan tersebut. Akan tetapi mungkin, bahkan sering terjadi bahwa pihak yang dikalahkan tidak mau melaksanakn putusan hakim

secara sukarela sehingga diperlukan bantuan oleh pengadilan untuk melaksanakan putusan tersebut secara paksa. Pihak yang dimenangkan dalam putusan dapat memohon pelaksanaan putusan (eksekusi) kepada pengadilan yang akan melaksanakannya secara paksa. Pelaksanaan putusan hakim atau eksekusi pada hakikatnya tidak lain ialah realisasi daripada kewajiban pihak yang bersangkutan untuk memenuhi prestasi yang tarcantum dalam putusan tersebut. Pada dasarnya pelaksanaan putusan atau eksekusi merupakan suatu pelaksanaan terhadap suatu putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap yang dilakukan dengan bantuan pengadilan .Suatu putusan hakim yang dapat dieksekusi harus putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) yaitu apabila tidak ada lagi upaya hukum biasa yang dipergunakan yaitu perlawanan, banding dan kasasi. Karena dengan memperoleh kekuatan hukum yang tetap maka putusan itu tidak dapat lagi diubah, sekalipun dengan pengadilan yang lebih tinggi, kecuali dengan upaya hukum yang khusus, yaitu request civil dan perlawanan oleh pihak ketiga. Suatu putusan yang telah berkekuatan hukum tetap telah terkandung wujud hubungan hukum yang tetap dan pasti antara pihak yang berperkara sehingga putusan tesebut harus ditaati dan harus dipenuhi oleh para pihak. Cara menaati dan memenuhi hubungan hukum yang ditetapkan dalam amar putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, yaitu dapat dilakukan atau dijalankan secara sukarela oleh pihak tergugat dan bila enggan menjalankan putusan secara sukarela, hubungan hukum yang ditetapkan dalam putusan harus dilaksanakan dengan paksa dengan jalan bantuan hukum. Tetapi tidak selalu hanya putusan yang telah memperoleh berkekuatan hukum tetap yang dapat dieksekusi, menurut ketentuan pasal 180 HIR/191 RBg, hakim diizinkan untuk menjalankan putusannya terlebih dahulu walaupun belum berkekuatan hukum tetap yang disebut dengan putusan serta merta (uitvoerbaar bij vooraad). Putusan serta merta tersebut dianut dalam UUKPKPU, diatur dalam pasal 8 ayat (7):Putusan atas permohonan pernyataan pailit sebagaimana dimaksud pada ayat (6) yang memuat secara lengkap pertimbangan hukum

yang mendasari putusan tersebut harus diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum dan dapat dilaksanakan terlebih dahulu, meskipun terhadap putusan tersebut diajukan suatu upaya hukum.Adanya putusan serta merta ini disebabkan pembentuk undang-undang menginginkan agar putusan pernyataan pailit dapat secepatnya dilaksanakan. Pelaksanaan putusan secara serta merta ini dapat menimbulkan masalah hukum nantinya apabila terhadap putusan pailit tersebut dimintakan upaya hukum, baik Kasasi ataupun Peninjauan Kembali dan kemudian permintaan tersebut dikabulkan oleh Mahkamah Agung dan putusan Pengadilan Niaga dibatalkan sedangkan Kurator telah melakukan pengurusan dan/atau pemberesan atas harta pailit tersebut. Menyikapi hal tersebut pasal 16 ayat (2) UUKPKPU mengatur bahwa dalam hal putusan pernyataan pailit dibatalkan sebagai akibat adanya Kasasi atau Peninjauan Kembali, segala perbuatan yang telah dilakukan oleh Kurator sebelum atau pada tanggal Kurator menerima pemberitahuan tentang putusan pembatalan, tetap sah dan mengikat Debitor. Namun walaupun undang-undang telah mengatur bahwa perbuatan pengurusan atau pembereresan Kurator tetap sah dan mengikat Debitor walau dilakukan upaya hukum tapi tetap tidak dapat dihindari kemungkinan terjadinya kerugian bagi kelangsungan usaha Debitor setelah pembatalan putusan pernyataan pailit oleh Mahkamah Agung karena bisa saja yang berhasil dijual oleh Kurator tersebut adalah asset yang diperlukan untuk kelangsungan usaha Debitor. Terkadang ada beberapa kasus dimana obyek eksekusi yang berupa barang bergerak sudah dipindah tempatkan oleh debitur pailit ke lain daerah atau tempat dimana bukan termasuk wilayah hukum pengadilan niaga setempat yang memutus perkara kepailitan tersebut. Diperlukan kerjasama antar pengadilan niaga yang memutus perkara kepailitan tersebut dan pengadilan niaga dimana obyek atau barang hasil putusan pailit tersebut berada. Hal kerjasama ini dimungkinkan karena diatur dalam undang-undang kekuasaan kehakiman sebagai kompetensi kewenangan pengadilan negeri.

B. PERMASALAHAN 1. Bagaimana pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan terhadap debitur pailit yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap ? 2. Bagaimana bentuk kerjasama antar pengadilan negeri dalam pengeksekusian barang atau obyek hasil debitur yang sudah berpindah wilayah hukumnya berada ?

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pelaksanaan Eksekusi 1. Asas-asas Eksekusi a. Menjalankan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap Eksekusi atau pelaksanaan putusan ialah tindakan yang dilakukan secara paksa terhadap pihak yang kalah dalam perkara. Biasanya tindakan eksekusi baru merupakan masalah apabila pihak yang kalah ialah pihak yang tergugat. Dan pada tahap eksekusi kedudukan tergugat menjadi Pihak tereksekusi. Kalau pihak yang kalah dalam perkara adalah penggugat pada lazimnya, bahkan menurut hakikat, tidak ada putusan yang perlu dieksekusi. Pada prinsipnya, hanya putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap (in kracht van gewijsde) yang dapat dijalankan. Kalau begitu, pada asasnya putusan yang dapat dieksekusi ialah : 1) Putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap Karena dalam putusan yang telah berkekuatan hukum yang tetap telah terkandung wujud hubungan hukum yang tetap dan pasti antara pihak yang berperkara 2) Disebabkan hubungan hukum antara pihak yang berperkara sudah tetap dan pasti: a) b) Hubungan hukum tersebut mesti ditaati; dan Mesti dipenuhi oleh pihak yang dihukum (pihak tergugat)

3) Cara menaati dan memenuhi hubungan hukum yang ditetapkan dalam amar putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap: a) Dapat dilakukan atau dijalankan secara sukarela oleh pihak tergugat; dan

b)

Bila enggan menjalankan putusan secara sukarela, hubungan hukum yang ditetapkan alam putusan harus dilaksanakan dengan paksa dengan jalan bantuan kekuatan umum. b. Putusan tidak dijalankan secara sukarela Pada prinsipnya eksekusi sebagai tindakan paksamenjalankan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, baru merupakan pilihan hukum apabila pihak yang kalah (tergugat) tidak mau menjalankan atau memnuhi isi putusan secara sukarela. Jika tergugat (pihak yang kalah) bersedia menaati dan memenuhi putusan secara sukarela, tindakan eksekusi harus disingkirkan. Oleh karena itu, harus dibedakan antara menjalankan putusan secara sukarela dengan menjalankan putusna secara eksekusi. c. Putusan yang dapat dieksekusi bersifat kondemnator Putusan yang bersifat kondemnator ialah putusan yang mengandung tindakan penghukuman terhadap diri tergugat. Pada umumnya putusan yang bersifat kondemnator terwujud dalam perkara yang berbentuk contentinosa. Perkara yang disebut berbentuk contentinosa adalah: 1) Berupa sengketa atau perkara yang bersifat partai 2) Ada pihak penggugat yang bertindak mengajukan gugatan terhadap pihak yang tergugat, dan 3) Proses pemeriksaannya berlangsung secara contradictoir (kontradiktor), yakni pihak penggugat dan tergugat mempunyai hak untuk sanggah-menyanggah. d. Eksekusi atas perintah dan di bawah pimpinan Ketua Pengadilan Negeri Eksekusi atas perintah dan di bawah pimpinan Ketua Pengadilan Negeri, yakni Ketua Pengadilan Negeri yang dulu memeriksa, dan memutuskan perkarabitu dalam tingkat pertama. Asas ini diatur dalam pasal 195 ayat 1 HIR atau pasal 26 ayat 1 RBG. Jika ada putusan yang dalam tingkat pertama diperiksa dan diputus oleh satu pengadilan

negeri, maka eksekusi atas putusan tersebut berada di bawah perintah dan pimpinan Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan. 2. Jenis-jenis pelaksanaan eksekusi : a. Eksekusi putusan yang menghukum pihak yang dikalahkan untuk membayar sejumlah uang. Prestasi yang diwajibkan adalah membayar sejumlah uang. Eksekusi ini diatur dalam pasal 196 HI (ps. 208Rbg) b. Eksekusi putusan yang menghukum orang untuk melakukan suatu perbuatan. Hal ini diatur dalam pasal 225 HIR (ps.259 RBg). Orang tidak dapat dipaksakan untuk memenuhi prestasi yang berupa perbuatan. Akan tetapi pihak yang dimenangkan dapat minta kepada hakim agar kepentingan yang akan diperolehnya dinilai dengan uang. c. Eksekusi riil. Eksekusi riil ini merupakan pelaksanaan prestasi yang dibebankan kepada debitur oleh putusna hakim secara langsung. Jadi eksekusi riil itu adalah pelaksanaan putusan yang menuju kepada hasil yang sama seperti apabila dilaksanakan secara suka rela oleh pihak yang bersangkutan. Dengan eksekusi riil maka yang berhaklah yang menerima prestasi. Prestasi yang terutang seperti yang diketahui misalnya : pembayaran sejumlah uang, melakukan suatu perbuatan tertentu, tidak berbuat, menyerahkan benda. Dengan demikian maka eksekusi mengenai ganti dan uang paksa bukan merupakan eksekusi riil. B. Kepailitan 1. Asas-asas dalam kepailitan : a. Asas pembuktian secara sederhana. Dikemukakan dalam pasal 6 ayat (3) UUK, permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan (oleh pengadilan) apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit telah terpenuhi. Yang dimaksud dengan terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana adalah pembuktian secara sumir, selanjutnya dikemukakan bahwa dalam hal permohonan

pernyataan pailit diajukan oleh kreditor, pembuktian mengenai hak kreditor untuk menagih juga dilakukan secara sederhana. b. Asas Keseimbangan Undang-undang kepailitan mengatur beberapa keuntungan yang merupakan perwujudan dari asas keseimbangan, yaitu di satu pihak, terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh debitur yang tidak jujur, di lain pihak, terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh kreditur yang tidak beritikad baik. c. Asas kelangsungan Usaha Dalam undang-undang ini, terdapat ketentuan yang memungkinkan perusahaan debitur yang prospektif tetap dilangsungkan. d. Asas Keadilan Dalam kepailitan asas keadilan mengandung pengertian, bahwa ketetntuan mengenai kepailitan dapat memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yang berkepentingan. Asas keadilan ini untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan pihak penagih yang mengusahakan pembayaran atas tagihan masing-masing terhadap debitur dengan tidak memperdulikan kreditur lainnya. e. Asas Integrasi Asas integrasi dalam undang-undang ini mengandung pengertian bahwa sistem hukum formil dan hukum materiilnya merupakan satu kesatuan yang utuh dari sistem hukum perdata dan hukum acara perdata nasional. 2. Secara umum akibat pernyataan pailit adalah : a. Kekayaan debitur pailit yang masuk harta pailit merupakan sitaan umum atas harta pihak yang dinyatakan pailit. Menurut pasal 19 Fv, harta pailit meliputi seluruh kekayaan debitur pada waktu putusan diucapkan serta segala apa yang diperoleh debitur pailit selama

kepailitan. Barang-barang yang tidak termasuk harta pailit diatur dalam pasal 20 Fv. b. c. Kepailitan semata-mata hanya mengenai harta pailit dan tidak Debitur pailit demi hukum kehilangan hak untuk mengurus dan mengenai diri pribadi debitur pailit. menguasai kekayaannya yang termasuk harta pailit, sejak hari putusan pailit diucapkan (Pasal 22 Fv). d. Segala perikatan debitur yang timbul sesudah putusan pailit diucapkan tidak dapat dibayar dari harta pailit kecuali jika menguntungkan harta pailit (Pasal 23 Fv). e. Harta pailit diurus dan dikuasai kurator untuk kepentingan semua para kreditur dan debitur dan hakim pengawas memimpin dan mengawasi pelaksanaan jalannya kepailitan (Pasal 24 Fv). f. g. Tuntutan dan gugatan mengenai hak dan kewajiban harta pailit Semua tuntutan dan gugatan yang bertujuan mendapatkan harus diajukan oleh atau terhadap kurator (Pasal 24 ayat 1 Fv). pelunasan suatu perikatan dari harta pailit, dan dari harta debitur sendiri selama kepailitan harus diajukan dengan cara melaporkannya untuk dicocokkan (Pasal 25 Fv). h. Dengan memperhatikan kedudukan pasal 56 a, kreditur yang dijamin dengan hak gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan atau hipotek dapat melaksanakan hak agunannya seolah-olah tidak ada kepailitan (Pasal 56 ayat 1 UUK) pihak kreditor yang berhak menahan barang kepunyaan debitur hingga dibayar tagihan kreditur tersebut (hak retensi), tidak kehilangan hak untuk menahan barang tersebut meskipun ada putusan pailit (Pasal 59 Fv). i. Hak eksekutif kreditur yang dijamin sebagaimana disebut dalam pasal 56 ayat 1 UUK, dan pihak ketiga untuk menuntut hartanya yang berada dalam penguasaan debitur pailit atau kurator, ditangguhkan maksimum butuh waktu 90 hari setelah putusan pailit diucapkan (Pasal 56 a ayat 1 UUK).

BAB III PEMBAHASAN 1. Pelaksanaan eksekusi debitur pailit yang telah mempunyai hukum tetap

Anda mungkin juga menyukai