Anda di halaman 1dari 8

Riba Dalam Islam

Istilah dan persepsi mengenai riba begitu hidupnya di dunia Islam. Oleh karenanya, terkesan seolah-olah doktrin riba adalah khas Islam. Orang sering lupa bahwa hukum larangan riba, sebagaimana dikatakan oleh seorang Muslim Amerika, Cyril Glasse, dalam buku ensiklopedinya, tidak diberlakukan di negeri Islam modern manapun. Sementara itu, kebanyakan orang tidak mengetahui bahwa di dunia Kristenpun, selama satu milenium, riba adalab barang terlarang dalam pandangan theolog, cendekiawan maupun menurut undangundang yang ada. Di sisi lain, kita dihadapkan pada suatu kenyataan bahwa praktek riba yang merambah ke berbagai negara ini sulit diberantas, sehingga berbagai penguasa terpaksa dilakukan pengaturan dan pembatasan terhadap bisnis pembungaan uang. Perdebatan panjang di kalangan ahli fikih tentang riba belum menemukan titik temu. Sebab mereka masingmasing memiliki alasan yang kuat. Akhirnya timbul berbagai pendapat yang bermacammacam tentang bunga dan riba. Pengertian Riba Kata Ar-Riba adalah isim maqshur, berasal dari rabaa yarbuu, yaitu akhir kata ini ditulis dengan alif. Asal arti kata riba adalah ziyadah tambahan; adakalanya tambahan itu berasal dari dirinya sendiri, seperti firman Allah swt: (ihtazzat wa rabat) maka hiduplah bumi itu dan suburlah. (QS Al-Hajj: 5). Dan, adakalanya lagi tambahan itu berasal dari luar berupa imbalan, seperti satu dirham ditukar dengan dua dirham. Hukum Riba, hukumnya Riba Islam:

berdasar

Kitabullah,

sunnah

Rasul-Nya

dan

ijma

umat

Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka permaklumkanlah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kami tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. (QS Al-Baqarah: 278-279). Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri, melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. (QS AlBaqarah: 275). Allah memusnahkan riba dan menyuburkan shadaqah. (QS Al-Baqarah: 276).

Dari Abu Hurairah ra bahwa Nabi saw bersabda, Jauhilah tujuh hal yang membinasakan. Para sahabat bertanya, Apa itu, ya Rasulullah? Jawab Beliau, (Pertama) melakukan

kemusyrikan kepada Allah, (kedua) sihir, (ketiga) membunuh jiwa yang telah haramkan kecuali dengan cara yang haq, (keempat) makan riba, (kelima) makan harta anak yatim, (keenam) melarikan diri pada hari pertemuan dua pasukan, dan (ketujuh) menuduh berzina perempuan baik-baik yang tidak tahu menahu tentang urusan ini dan beriman kepada Allah. (Muttafaqun alaih: Fathul Bari V: 393 no: 2766, Muslim I: 92 no: 89, Aunul Mabud VIII: 77 no: 2857 dan Nasai VI: 257). Dari Jabir ra, ia berkata. Rasulullah saw melaknat pemakan riba, pemberi makan riba, dua saksinya dan penulisnya. Dan Beliau bersabda, Mereka semua sama. (Shahih: Mukhtasar Muslim no: 955, Shahihul Jamius Shaghir no: 5090 dan Muslim III: 1219 no: 1598). Dari Ibnu Masud ra bahwa Nabi saw bersabda, Riba itu mempunyai tujuh puluh tiga pintu, yang paling ringan (dosanya) seperti seorang anak menyetubuhi ibunya. (Shahih: Shahihul Jamius Shaghir no: 3539 dan Mustadrak Hakim II: 37). Dari Abdullah bin Hanzhalah ra dari Nabi saw bersabda, Satu Dirham yang riba dimakan seseorang padahal ia tahu, adalah lebih berat daripada tiga puluh enam pelacur. (Shahih: Shahihul Jamius Shaghir no: 3375 dan al-Fathur Rabbani XV: 69 no: 230). Dari Ibnu Masud ra dari Nabi saw, Beliau bersabda, Tak seorang pun memperbanyak (harta kekayaannya) dari hasil riba, melainkan pasti akibat akhirnya ia jatuh miskin. (Shahih: Shahihul Jamius Shaghir no: 5518 dan Ibnu Majah II: 765 no: 2279). Klasifikasi Riba Riba ada dua macam yaitu riba nasiah dan riba fadhl. Adapun yang dimaksud riba nasiah ialah tambahan yang sudah ditentukan di awal transaksi, yang diambil oleh si pemberi pinjaman dari orang yang menerima pinjaman sebagai imbalan dari pelunasan bertempo. Riba model ini diharamkan oleh Kitabullah, sunnah Rasul-Nya, dan ijma umat Islam. Sedangkan yang dimaksud riba fadhl adalah tukar menukar barang yang sejenis dengan ada tambahan, misalnya tukar menukar uang dengan uang, menu makanan dengan makanan yang disertai dengan adanya tambahan. Riba model kedua ini diharamkan juga oleh sunnah Nabi saw dan ijma kaum Muslimin, karena ia merupakan pintu menuju riba nasiah. Beberapa Barang yang padanya Diharamkan Melakukan Riba Riba tidak berlaku, kecuali pada enam jenis barang yang sudah ditegaskan nash-nash syari berikut: Dari Ubaidah bin Shamir ra bahwa Rasulullah saw bersabda, (Boleh menjual emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, syair (sejenis gandum) dengan

syair, kurma dengan kurma, garam dengan garam, sebanding, sama dan tunai, tetapi jika berbeda jenis, maka juallah sesukamu, apabila tunai dengan tunai. (Shahih: Mukhtashar Muslim no: 949, dan Muslim III: 1211 no: 81 dan 1587). Dengan demikian, apabila terjadi barter barang yang sejenis dari empat jenis barang ini, yaitu emas ditukar dengan emas, tamar dengan tamar, maka haram tambahannya baik secara riba fadhl maupun secara riba nasiah, harus sama baik dalam hal timbangan maupun takarannya, tanpa memperhatikan kualitasnya bermutu atau jelek, dan harus diserahterimakan dalam majlis. Dari Abi Said al-Khudri ra bahwa Rasulullah saw bersabda, Janganlah kamu menjual emas kecuali sama, janganlah kamu tambah sebagiannya atas sebagian yang lain, janganlah kamu menjual perak dengan perak kecuali sama, janganlah kamu tambah sebagiannya atas sebagian yang lain, dan janganlah kamu menjual emas dan perak yang barang-barangnya belum ada dengan kontan. (Muttafaqun alaih: Fathul Bari IV: 379 no: 2177, Muslim III: 1208 no: 1584, Nasai VII: 278 dan Tirmidzi II: 355 no: 1259 semana). Dari Umar bin Khattab ra bahwa Rasulullah saw bersabda. Emas dengan emas adalah riba kecuali begini dengan begini (satu pihak mengambil barang, sedang yang lain menyerahkan) bur dengan bur (juga) riba kecuali begini dengan begini, syair dengan syair riba kecuali begini dengan begini, dan tamar dengan tamar adalah riba kecuali begini dengan begini. (Muttafaqunalaih: Fathul Bahri IV: 347 no: 2134, dan lafadz ini bagi Imam Bukhari, Muslim III: 1209 no: 1586, Tirmidzi II: 357 no: 1261, Nasai VII: 273 dan bagi mereka lafadz pertama memakai adz-dzahabu bil wariq (emas dengan perak) dan Aunul Mabud IX: 197 no: 3332 dengan dua model lafadz). Dari Abu Said ra, ia bertutur: Kami pada masa Rasulullah saw pernah mendapat rizki berupa tamar jama, yaitu satu jenis tamar, kemudian kami menukar dua sha tamar dengan satu sha tamar. Lalu kasus ini sampai kepada Rasulullah saw maka Beliau bersabda, Tidak sah (pertukaran) dua sha tamar dengan satu sha tamar, tidak sah (pula) dua sha biji gandum dengan satu sha biji gandum, dan tidak sah (juga) satu Dirham dengan dua Dirham. (Muttafaqun alaih: Muslim III: 1216 no: 1595 dan lafadz ini baginya, Fathul Bari IV: 311 no: 2080 secara ringkas dan Nasai VII: 272). Manakala terjadi barter di antara enam jenis barang ini dengan lain jenis, seperti emas ditukar dengan perak, bur dengan syair, maka boleh ada kelebihan dengan syarat harus diserahterimakan di majlis: Berdasar hadits Ubadah tadi: tetapi jika berlainan jenis maka juallah sesukamu, apabila tunai dengan tunai. Dalam riwayat Imam Abu Daud dan lainnya dari Ubadah ra Nabi saw bersabda: Tidak mengapa menjual emas dengan perak dan peraknya lebih besar jumlahnya daripada emasnya secara kontan, dan adapun secara kredit, maka tidak boleh; dan tidak mengapa

menjual bur dengan syair dan syairnya lebih banyak daripada burnya secara kontan dan adapun secara kredit, maka tidak boleh. (Shahih: Irwa-ul Ghalil V: 195 dan Aunul Mabud IX: 198 no: 3333). Apabila salah satu jenis di antara enam jenis ini ditukar dengan barang yang berlain jenis dan illah sebab, seperti emas ditukar dengan bur, atau perak dengan garam, maka boleh ada kelebihan atau secara bertempo, kredit: Dari Aisyah ra bahwa Nabi saw pernah membeli makanan dari seorang Yahudi secara bertempo, sedangkan Nabi saw menggadaikan sebuah baju besinya kepada Yahudi itu. (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 1393 dan Fathul Bari IV: 399 no: 2200). Dalam kitab Subulus Salam III: 38, al-Amir ash-Shaani menyatakan. Ketahuilah bahwa para ulama telah sepakat atas bolehnya barang ribawi (barang yang bisa ditakar atau ditimbang, edt) ditukar dengan barang ribawi yang berlainan jenis, baik secara bertempo meskipun ada kelebihan jumlah atau berbeda beratnya, misalnya emas ditukar dengan hinthah (gandum), perak dengan gandum, dan lain sebagainya yang termasuk barang yang bisa ditakar. Namun, tidak boleh menjual ruthab (kurma basah) dengan kurma kering, kecuali para pemilik ariyah, karena mereka adalah orang-orang yang faqir yang tidak mempunyai pohon kurma, yaitu mereka boleh membeli kurma basah dari petani kurma, kemudian mereka makan dalam keadaan masih berada di pohonnya, yang mereka taksir, mereka menukarnya dengan kurma kering. Dari Abdullah bin Umar ra, bahwa Rasulullah saw melarang muzabanah. Muzabanah ialah menjual buah-buahan dengan tamar secara takaran, dan menjual anggur dengan kismis secara takaran. (Muttafaqun alaih: Fathul Bari IV: 384 no: 2185, Muslim III: 1171 no: 1542 dan Nasai VII: 266) Dari Zaid bin Tsabit ra bahwa Rasulullah saw memberi kelonggaran kepada pemilik ariyyah agar menjualnya dengan tamar secara taksiran. (Muttafaqunalaih: Muslim III: 1169 no: 60 dan 1539 dan lafadz ini baginya dan semana dalam Fathul Bari IV: 390 no: 2192, Aunul Mabud IX: 216 no: 3346, Nasai VII: 267, Tirmidzi II: 383 no: 1218 dan Ibnu Majah II: 762 no: 2269). Sesungguhnya Nabi saw melarang menjual kurma basah dengan tamar hanyalah karena kurma basah kalau kering pasti menyusut. Dari Saad bin Abi Waqqash ra bahwa Nabi saw pernah ditanya perihal menjual kurma basah dengan tamar. Maka Beliau (balik) bertanya, Apakah kurma basah itu menyusut apabila telah kering? Jawab para sahabat, Ya, menyusut. Maka Beliaupun melarangnya. (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 1352, Aunul Mabud IX: 211 no: 3343, Ibnu Majah II: 761 no: 2264, Nasai VII: 269 dan Tirmidzi II: 348 no: 1243).

Dan, tidak sah jual beli barang ribawi dengan yang sejenisnya sementara keduanya atau salah satunya mengandung unsur lain. Riwayat Fadhalah bin Ubaid yang menjadi landasan kesimpulan ini dimuat juga dalam Mukhtashar Nailul Authar hadits no: 2904. Imam Asy-Syaukani, memberi komentar sebagai berikut, Hadits ini menunjukkan bahwa tidak boleh menjual emas yang mengandung unsur lainnya dengan emas murni hingga unsur lain itu dipisahkan agar diketahui ukuran emasnya, demikian juga perak dan semua jenis barang ribawi lainnya, karena ada kesamaan illat, yaitu haram menjual satu jenis barang dengan sejenisnya secara berlebih. Dari Fadhalah bin Ubaid ia berkata: Pada waktu perang Khaibar aku pernah membeli sebuah kalung seharga dua belas Dinar sedang dalam perhiasan itu ada emas dan permata, kemudian aku pisahkan, lalu kudapatkan padanya lebih dari dua belas Dinar, kemudian hal itu kusampaikan kepada Nabi saw, Maka Beliau bersabda, Kalung itu tidak boleh dijual hingga dipisahkan. (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 1356, Muslim III: 1213 no: 90 dan 1591, Tirmidzi II: 363 no: 1273, Aunul Mabud IX: 202 no: 3336 dan Nasai VII: 279). Islam bersikap sangat keras dalam persoalan riba semata-mata demi melindungi kemaslahatan manusia, baik dari segi akhlak, masyarakat maupun perekonomiannya.Kiranya cukup untuk mengetahui hikmahnya seperti apa yang dikemukakan oleh Imam ar-Razi dalam tafsir Qurannya sebagai berikut: 1. Riba adalah suatu perbuatan mengambil harta kawannya tanpa ganti. Sebab orang yang meminjamkan uang 1 dirham dengan 2 dirham, misalnya, maka dia dapat tambahan satu dirham tanpa imbalan ganti. Sedang harta orang lain itu merupakan standard hidup dan mempunyai kehormatan yang sangat besar, seperti apa yang disebut dalam hadis Nabi Muhammad SAW: 2. "Bahwa kehormatan harta manusia, sama dengan kehormatan darahnya."Oleh karena itu mengambil harta kawannya tanpa ganti, sudah pasti haramnya. 3. Bergantung kepada riba dapat menghalangi manusia dari kesibukan bekerja. Sebab kalau si pemilik uang yakin, bahwa dengan melalui riba dia akan beroleh tambahan uang, baik kontan ataupun berjangka, maka dia akan memudahkan persoalan mencari penghidupan, sehingga hampir-hampir dia tidak mau menanggung beratnya usaha, dagang dan pekerjaan-pekerjaan yang berat. Sedang hal semacam itu akan berakibat terputusnya bahan keperluan masyarakat. Satu hal yang tidak dapat disangkal lagi bahwa kemaslahatan dunia seratus persen ditentukan oleh jalannya perdagangan, pekerjaan, perusahaan dan pembangunan.(Tidak diragukan lagi, bahwa hikmah ini pasti dapat diterima, dipandang dari segi perekonomian). 4. Riba akan menyebabkan terputusnya sikap yang baik (ma'ruf) antara sesama manusia dalam bidang pinjam-meminjam. Sebab kalau riba itu diharamkan, maka seseorang akan

merasa senang meminjamkan uang satu dirham dan kembalinya satu dirham juga. Tetapi kalau riba itu dihalalkan, maka sudah pasti kebutuhan orang akan menganggap berat dengan diambilnya uang satu dirham dengan diharuskannya mengembalikan dua dirham. Justru itu, maka terputuslah perasaan belas-kasih dan kebaikan. (Ini suatu alasan yang dapat diterima, dipandang dari segi etika). 5. Pada umumnya pemberi piutang adalah orang yang kaya, sedang peminjam adalah orang yang tidak mampu. Maka pendapat yang membolehkan riba, berarti memberikan jalan kepada orang kaya untuk mengambil harta orang miskin yang lemah sebagai tambahan. Sedang tidak layak berbuat demikian sebagai orang yang memperoleh rahmat Allah. (Ini ditinjau dari segi sosial). Ini semua dapat diartikan, bahwa dalam riba terdapat unsur pemerasan terhadap orang yang lemah demi kepentingan orang kuat (exploitasion de l'home par l'hom) dengan suatu kesimpulan: yang kaya bertambah kaya, sedang yang miskin tetap miskin. Hal mana akan mengarah kepada membesarkan satu kelas masyarakat atas pembiayaan kelas lain, yang memungkinkan akan menimbulkan golongan sakit hati dan pendengki; dan akan berakibat berkobarnya api pertentangan di antara anggota masyarakat serta membawa kepada pemberontakan oleh golongan ekstrimis dan kaum subversi.

Syarat-Syarat Jual Beli Dan Hukumnya


Posted Juni 27, 2007 Filed under: Arsip Al Fiqh, Artikel Fikih, Artikel Fiqh, el Hadits, Fikih, Fikih Islam,Fikih Muslim, Fiqh, Fiqh Articles, Fiqh Islam, Fiqh Muslim, Fiqih, Ibadah, Ibadah Islam, Iman, Islam, Islamic Fiqh, Istimewa, Jendela Hati, Metode Ibadah, Moslem,Muslim, Religius, Taman Hati, Taman Taqwa, Tutunan Ibadah, Wisata Hati | MediaMuslim.Info Persyaratan dalam transaksi jual-beli sering kali ditemukan. Terkadang orang-orang yang berjual beli atau salah satu dari keduanya membutuhkan adanya satu pensyaratan atau lebih, maka hal ini menunjukan pentingnya membahas tentang syarat-syarat tersebut dan menjelaskan apa yang sah dan tidak sah serta yang wajib dalam syarat jual beli. Para Fuqaha rahimahumullah mereka mendefinisikan syarat dalam jual beli yaitu salah satu dari yang berjual beli mewajibkan kepada yang lainnya dengan sebab akad yang mengandung manfaat. Menurut mereka syarat dalam jual beli tidaklah teranggap untuk dilakukan kecuali jika disyaratkan pada saat akad. Maka tidak sah syarat sebelum atau setelah akad. Syarat Jual Beli Syarat dalam jual beli terbagai ke dalam dua : 1. Syarat yang sah 2. Syarat yang rusak (tidak sah)

Pertama: Syarat yang sah adalah syarat yang tidak bertentangan dengan konsekuensi akad Syarat semacam ini harus dilaksanakan karena sabda Rasululloh shallahllahu alaihi wasallam, yang artinya: Orang-orang muslim itu berada di atas syarat-syaratmereka. (Hadits Hasan Sahih dalam Sahih Abu Dawud No. 2062) Dan karena pada asalnya syarat-syarat itu sah kecuali jika dibatalkan dan dilarang oleh Syariat Islam. Syarat jual-beli yang sahih mempunyai dua macam: 1. Syarat untuk kemaslahatan akad. Yaitu syarat yang akan menguatkan akad dan akan memberikan maslahat bagi orang yang memberikan syarat, seperti disyaratkannya adanya dokumen dalam pegadaian atau disyaratkannya jaminan, hal seperti ini akan menenangkan penjual. Dan juga seperti disyaratkannya menunda harga atau sebagian harga sampai waktu tertentu, maka ini akan berfaedah bagi si pembeli. Apabila masing-masing pihak menjalankan syarat ini maka jual beli itu harus dilakukan, demikian pula kalau seorang pembeli mensyaratkan barang dengan suatu sifat tertentu seperti keadaanya harus dari jenis yang baik, atau dari produk si A, karena selera berbeda-beda mengikuti keadaan dari barang tersebut. Apabila syarat barang yang dijual telah terpenuhi maka wajiblah menjualnya. Akan tetapi jika syarat tersebut tidak sesuai dengan yang dikehendaki, maka bagi pembeli berhak untuk membatalkan atau mengambilnya dengan meminta ganti rugi dari syarat yang hilang (yaitu dengan menuntut harga yang lebih murah, pent), dan juga pembeli bersedia membayar adanya perbedaan dua harga jika si penjual memintanya (dengan harga yang lebih tinggi jika barangnya melebihihi syarat yang diminta, pent) 2. Syarat yang sah dalam jual beli. Yaitu seorang yang berakad mensyaratkan terhadap yang lainnya untuk saling memberikan manfaat yang mubah dalam jual beli, seperti penjual mensyaratkan menempati tempat penjualan selama waktu tertentu, atau dibawa oleh kendaraan atau hewan jualannya sampai ke suatu tempat tertentu. Sebagaimana riwayat Jabir radhiyallahu anhu bahwa, yang artinya: Nabi shalallahu alaihi wasallam menjual seekor unta dan mesyaratkan menungganginya sampai ke Madinah(Mutafaq alaihi). Hadits ini menunjukan bolehnya menjual hewan tunggangan dengan pengecualian (syarat) mengendarainya sampai ke suatu tempat tertentu, maka diqiyaskanlah perkara yang lainnya kepadanya. Demikian pula kalau seandainya pembeli mensyaratkan kepada penjual agar penjual melakukan pekerjaan tertentu atas penjualannya seperti membeli kayu bakar dan mensyaratkan kepada penjualnya untuk membawanya ke tempat tertenu, atau membeli darinya pakaian dengan syarat dia menjahitkannya. Kedua: Syarat yang rusak (tidak sah) Jenis ini juga terdiri dari beberapa macam : 1. Syarat yang rusak dan membatalkan pokok akad itu sendri Misalnya salah seorang dari keduanya (penjual dan pembeli) mensyaratkan dengan syarat yang lain terhadap yang lainnya, seperti mengatakan Aku jual barang ini dengan syarat engkau memberiku ganjaran berupa rumahmu atau mengatakan Aku jual barang ini kepadamu dengan syarat engkau mengikutsertakan aku dalam pekerjaamu atau di rumahmu. Atau juga mengatkaan Aku jual barang ini

seharga ini, dengan syarat engkau meminjamiku sejumlah uang, maka syarat ini rusak (tidak sah), dan membatalkan pokok akad itu sendiri, karena larangan Nabi Shalallahu alaihi Wasallam terhadap dua jualan diatas penjualan (disahihkan oleh Al Albany dalam Misykatul Mashabih, N0. 2798), sedang Imam Ahmad rahimahullah menafsirkan hadits tersebut dengan apa yang kami sebutkan. 2. Syarat yang rusak dalam jual beli Yaitu yang membatalkan akad itu sendiri akan tetapi tidak membatalkan jual beli. seperti pembeli mensyaratkan terhadap penjual jika dia rugi terhadap barang dagangannya, dia akan mengembalikannya kepadanya. Atau penjual mensyaratkan kepada pembeli untuk tidak menjual barang dan yang sejenisnya. Maka syarat ini rusak karena menyelisihi konsekuensi akad yaitu pembeli mempunyai hak mutlak terhadap penggunaan barang. Disamping itu karena sabda Nabi shalallahu alaihi wasallam, yang artinya: barangsiapa mensyaratkan suatu syarat yang tidak terdapat dalam Kitab Allah maka syarat itu bathil, meskipun ada seratus syarat (Mutafaq alaihi). Adapun yang dimaksud dengan Kitab Alloh di sini adalah hukumnya, maka termasuk padanya adalah Sunnah Rasulullohshalallahu alaihi wasallam. Jual beli tidaklah menjadi batal dengan batalnya syarat ini, karena Nabishallallahu alaihi wasallam dalam kisah Barirah (Maula Aisyah Radhiyallahu anha) ketika penjualnya mensyaratkan loyalitas dari Barirah harus kepadanya (penjual) jika dia dibebaskan, maka Nabi Shallallahu alaihi wasallammembatalkan syarat ini, akan tetapi tidak membatalkan dari akad (jual belinya), dan beliau bersabda, yang artinya: Sesungguhnya perwalian (loyalitas) itu bagi yang membebaskannya (Shahih Al Jami : 2226) Maka semestinya bagi seorang muslim yang sibuk dengan urusan jual beli untuk mempelajari hukumhukum jual beli menyangkut sah tidaknya syarat-syarat jual beli, sehingga dia berada di atas bashirah (ilmu) dalam muamalahnya, sehingga akan terputuslah jalan pertentangan dan perselisihan diantara muslimin. Karena kebanyakan pertentangan dan perselisihan tumbuh dari kebodohan penjual dan pembeli atau salah satu dari keduanya terhadap hukum jual beli, serta mereka membuat syarat-syarat yang rusak (tidak sah) (Sumber Rujukan: Syarat-Syarat Jual Beli Dan Hukumnya, Oleh Syaikh Shaleh bin Fauzan Abdullah Alu Fauzan)

Anda mungkin juga menyukai