Anda di halaman 1dari 7

1.

Imaji diri sendiri bahwa Cina adalah sekaligus kekuatan besar dan negara papa secara kritis sangat penting dalam memahami politik luar negeri Cina kontemporer. Orang-orang Cina memandang negara mereka sebagai negara besar karena warisan sejarah, budaya, daerah yang luas dan populasi yang banyak. Cina memiliki aspirasi untuk menjadi kekuatan besar, namun ia menyadari bahwa saat ini tidak memiliki kekuatan nasional yang komprehensif untuk merealisasikannya. Banyak orang Cina yang percaya bahwa kelemahan relatif Cina membuatnya mudah menjadi bulan-bulanan AS dan secara potensial juga oleh negara-negara kuat lainnya. Oleh karena itu, sebuah Cina yang kuat akan mempunyai posisi yang lebih baik dalam berhadapan dengan AS, khususnya dalam masalah Taiwan. 2. Wu Xinbo mengatakan bahwa Cina belum siap memperoleh posisi sebagai negara besar karena kepentingan-kepentingannya terutama hanya ditujukan ke dalam lingkungan perbatasannya saja, dan pada tingkatan yang sedikit lebih luas, di region Asia Pasifik di mana perkembangan-perkembangan tertentu akan mempengaruhi keamanan Cina. Beijing membuat kebanyakan, kalau tidak semuanya, keputusan luar negerinya dengan didasarkan terutama pada isu-isu dangkal yang hanya penting bagi Cina ketimbang pada pertimbangan-pertimbangan keamanan regional atau global yang lebih luas. Politik luar negeri Cina terlalu sering diformulasikan melalui lensa kepentingan Cina akan Taiwan atau interferensi dalam urusan domestiknya. Keputusan untuk memveto resolusi PBB di tahun 1997 yang mendukung pasukan pemelihara perdamaian di Macedonia hanya karena negara itu mempunyai hubungan diplomatik dengan Taiwan, adalah satu contoh sisi parokial dari pembuatan kebijakan di Cina. Mengikis status internasional Taiwan dan mengalangi aktivitas-aktivitas internasionalnya tetap menjadi tujuan utama politik luar negeri Cina dan seringkali ditindaklanjuti oleh Beijing dengan tanpa memperhitungkan isu lain yang jauh lebih penting. 3. Kadangkala Cina melihat kepentingannya akan sangat berhasil diwujudkan dengan menekankan peranannya sebagai negara besar dan pada saat yang lain dengan menekankan status Cina sebagai negara sedang berkembang. Yang terakhir ini seringkali ditempuh untuk mendapatkan keuntungan-keuntungan di arena internasional. Salah satu contoh adalah sikap keras Beijing akan term-term khusus bagi masuknya Cina ke dalam WTO untuk mengkompensasi ketertinggalannya di banyak industri.

4. Untuk menjadi kekuatan besar, Cina perlu untuk lebih bertanggung jawab terhadap masalah-masalah regional dan global. Ia harus berhenti menjalankan prinsip-prinsip yang kaku dan sebagai gantinya menawarkan usulan-usulan yang nyata yang ditujukan untuk mencari pemecahan masalah-masalah tersebut. Di beberapa tahun terakhir, Cina telah memulai pendekatan ini di konteks regional, sebagai contoh di ASEAN Regional Forum. Beijing telah mengusulkan bahwa perselisihan teritorial di kepulauan Spratly harus diselesaikan dengan mengesampingkan masalah-masalah kedaulatan dan lebih mengedepankan pembangunan ekonomi bersama. Hanya saja, sejauh ini usulan itu masih bersifat retorik ketimbang kebijakan yang sebenarnya. 5. Ketegangan antara keinginan Cina untuk membuka pintu dan mendapatkan manfaat dari sistem internasional di satu sisi, khususnya di bidang ekonomi, dan melindungi kedualatannya di sisi yang lain juga nampak dalam tingkah laku politik luar negeri Cina. Wu Xinbo mencatat bahwa beijing telah memperoleh keuntungan-keuntungan dari globalisasi ekonomi dan salingketergantungan dan telah bersedia untuk mengkompromikan sisi-sisi tertentu dari kedaulatannya demi keuntungan ekonomi. Di bidang keamanan, sebaliknya, para pemimpin Cina tetap melanjutkan pendekatan zero-sum di banyak isu, di mana keuntungan yang didapatkan oleh pihak lain berarti kerugian bagi keamanan Cina. Beijing seringkali menjalankan kebijakan yang ditujukan untuk memperkuat keamanannya sendiri sementara pada saat yang sama menjadikan tetangga-tetangganya merasa tidak aman. Hal ini tampak khususnya pada isu Laut Cina Selatan, di mana banyak negara merasa kawatir akan tindakan-tindakan provokatif dan tujuan-tujuan jangka panjang Cina. Pembangunan infrastruktur di Mischief Reef oleh TPA, dengan alasan untuk membantu para nelayan, tanpa terlebih dahulu dikonsultasikan dengan Manila, adalah salah satu contoh pendekatan zero-sum Cina akan masalah keamanan. 6. Secara umum, Cina tidak mempunyai kemampuan untuk menempatkan dirinya dalam posisi kekuatan lain dan memahami bagaimana kekuatan-kekuatan lain itu memandang tingkah lakunya. Kekawatiran-kekawatiran para tetangga Cina tentang tujuan Cina saat ia mengembangkan kekuatan ekonomi, politik, dan militer yang lebih besar dianggap oleh Beijing sebagai propagasi teori Cina sebagai ancaman, ketimbang dihadapi dengan aturan-aturan jaminan dan pengembangan kepercayaan. Ketika Cina menembakkan beberapa misil ke Taiwan di tahun

1996, misalnya, Jepang sangat kawatir dan hal ini kemudian mempengaruhi debat orang-orang Jepang tentang perlunya bekerja sama dengan AS untuk membangun sistem TMD. Cina tentu saja segera menolak kekawatiran Jepang akan kemungkinan ancaman misil dari Cina. Ketika para perwira TPA ditanya mengapa Cina merasa terancam dengan rencana Jepang membangun sebuah sistem pertahanan yang dapat memberinya perlindungan terhadap serangan misil dari negara lain, mereka gagal menjelaskan mengapa Cina merasa perlu mempertahankan kemampuannya untuk menyerang Jepang. 7. Wu Xinbo melihat bahwa pembuatan kebijakan luar negeri Cina seringkali menolak adanya kontradiksi antara prinsip-prinsip dan pragmatisme dan bahwa pemimpin-pemimpin Cina semaking sering mendasarkan keputusan-keputusan mereka pada kepentingan-kepentingan nasional yang pragmatis. Prinsip Cina bahwa ia harus selalu berada di sisi negara-negara berkembang, misalnya, bukanlah basis utama yang digunakan Cina dalam voting di PBB. Beijing bahkan seringkali dikritik oleh Dunia Ketiga karena berdampingan dengan kekuatan-kekuatan utama dan mengabaikan negara-negara berkembang. Kadangkala, ketika mengusahakan kepentingan nasionalnya, Cina secara langsung melanggar prinsip-prinsipnya sendiri. Prinsip bahwa tidak boleh ada penggunaan kekerasan atau ancaman untuk itu dalam hubungan internasional tidak selalu dipatuhi oleh Cina. Contoh untuk ini adalah penolakan Cina untuk mengesampingkan hak menggunakan kekerasan melawan Taiwan, dengan alasan ini adalah masalah internal, bukan internasional.Hal yang sama terlihat dalam invasi Cina ke Vietnam di tahun 1979. Dengan Cina mengkritik intervensi NATO ke Kosovo merupakan pelanggaran kedaulatan yang tidak bisa begitu saja dibenarkan oleh pembersihan etnis yang dilakukan Serbia, maka invasi 1979 itu mengingatkan kita bahwa saat Vietnam mengusir etnis minoritas Cinanya, Beijing juga beranggapan bahwa kedaulatan suatu negara bukanlah hal yang mutlak. 8. Beberapa prinsip-prinsip yang berjangka lama seringkali konflik dengan kepentingan-kepentingan Cina dan hal ini bisa jadi akan lebih sering terjadi di masa datang. Sebagai contoh, prinsip Cina bahwa negara-negara seharusnya tidak menempatkan pasukan di luar teritori mereka mungkin akan mendukung kepentingan Cina untuk mengenyahkan pasukan Amerika dari kemungkinan intervensi di Selat Taiwan atau dalam konflik besar di Laut Cina Selatan. Tetapi Cina menjadi kian tergantung pada angkatan laut AS untuk menjaga lautan tetap terbuka untuk navigasi kapalkapal saat kebutuhannya akan impor energi meningkat dan

sampai Cina memiliki angkatan laut yang mampu menjamin kebebasan navigasi. Dengan berpatokan pada prinsip ini, Beijing bertindak sebagai penumpang gelap keamanan, sebagaimana ditunjukkannya juga di isu-isu yang lain. 9. Ada sebuah kemungkinan yang bertentangan, yaitu bahwa upaya Cina membangun kekuatan nasional yang lebih besar di dekade-dekade mendatang akan melengkapi beijing dengan alat-alat yang lebih baik untuk memajukan prinsip-prinsipnya secara regional maupun global. Mungkin penerimaan yang reluctant dari Cina akan kehadiran militer AS di Korea Selatan, yang dianggap oleh wu Xinbo sebagai contoh pilihan Beijing akan pragmatisme daripada prinsip, akan lebih ditentang secara aktif oleh Cina saat ia memiliki kemampuan untuk melakukan hal itu. Dengan kata lain, pragmatisme mungkin saja menjadi satusatunya pilihan realistis yang dapat dilakukan oleh para pemimpin Cina mengingat kemampuan mereka yang terbatas untuk mengubah dan membentuk aspek-aspek lingkungan keamanan mereka. Perkembangan kekuatan politik dan militer yang jauh lebih besar di masa datang boleh jadi akan membuat Cina memilih untuk mempertahankan prinsip-prinsipnya ketimbang menerima tuntutan-tuntutan AS dan kekuatankekuatan lainnya, atau bahkan norma-norma internasional. 10. Cina telah mengusahakan baik bilateralisme maupun multilateralisme untuk memajukan kepentingan-kepentingannya. Sebagaimana ditulis oleh Wu Xinbo, Beijing tidak memiliki pengalaman substansial dalam multilateralisme meski hal ini berubah dalam tahun-tahun terakhir dan juga cenderung curiga terhadap for a multilateral dan sebagai gantinya seringkali memilih untuk bertahan dengan bilateralisme. Cina kelihatannya telah menarik banyak pelajaran positif dari pengalamannya bermain dalam multilateralisme. Keikutsertaan Cina dalam dialog keamanan regional melalui ARF, misalnya, telah memberikan Beijing kesempatan untuk membangun rasa percaya diri dan pemahaman bersama dengan banyak tetangganya. Di samping itu, Cina juga menyampaikan kekawatirannya akan kemungkinan dampak destabilisasi atas upaya-upaya memperkuat aliansi bilateral AS di kawasan ini dan rencana AS untuk mengembangkan theater missile defenses. Kerja sama multilateral dengan negara-negara di Asia Tengah sepanjang perbatasan Cina dengan Rusia untuk mengurangi penempatan pasukan dan peralatan militer serta mewujudkan aturan-aturan kepercayaan-diri militer telah terbukti membbagi kepentingankepentingan keamanan Cina.

11. Di tingkat tertentu, Cina melihat fora multilateral di Asia Pasifik sebagai alat yang berguna untuk membuat keseimbangan tandingan dalam hal aliansi-aliansi bilateral. Meski demikian, sebagaimana ditegaskan oleh Wu Xinbo, Cina tetap berhati-hati terhadap fora keamanan multilateral dan potensi mereka untuk menghalangi kebijakan-kebijakan Cina. Beijing dikenal enggan untuk memajukan konsep-konsep kooperatif tentang keamanan dan menentang upaya-upaya untuk bergerak menuju diplomasi preventif di ARF. 12. Pada saat pengalaman Cina di for a multilateral bertambah, Beijing tampaknya akan memilih sarana apapun yang paling dapat diterapkan terhadap keadaan saat ini dan berusaha untuk menggabungkan bilateralisme dengan multilateralisme (sebagaimana negara-negara lain) untuk memajukan kepentingan-kepentingan dan tujuan-tujuan keamanan AS. Hal ini dapat dilihat, misalnya, dalam kebijakan Cina saat ini terhadap semenanjung Korea, di mana Cina adalah peserta yang aktif dalam pembicaraan-pembicaraan empat pihak, tetapi juga berupaya untuk mengendalikan lingkungan keamanan di daerah itu melalui ikatan-ikatan bilateralnya dengan kedua Korea. 13. Kontradiksi lainnya yang menghambat politik luar negeri Cina adalah keinginannya untuk bergabung dengan sistem internasional dan kemudian mendapatkan keuntungan darinya berhadapan dengan kehendaknya untuk memajukan perubahanperubahan dalam sejumlah unsur sistem internasional tersebut. Di sejumlah bidang Cina tampil sebagai kekuatan status quo. Di PBB, misalnya, Beijing pada dasarnya bertindak sebagai system maintainer. Cina tidak berupaya untuk secara radikal mengubah sistem PBB atau memodifikasinya. PBB dapat digunakan oleh Cina sebagai area terbatas guna konfrontasi diplomasi dengan apa yang disebutnya sebagai hegemoni AS, tetapi sampai sejauh ini Cina belum mengarah ke sana. Hal ini terbukti secara jelas dalam beberapa kesempatan kala Cina menggunakan hak vetonya. Sesungguhnya, Cina bukanlah pendukung antusias reformasi PBB yang akan termasuk perluasan keanggotaan tetap Dewan Keamanan PBB karena Cina kawatir bahwa hal itu akan mengurangi pengaruh Cina. 14. Di tahun-tahun terakhir, Cina telah membuat sejumlah usaha terbatas untuk mengubah status quo, misalnya dengan mengajukan usulan di tahun 1997 tentang sebuah Konsep Keamanan Baru yang didasarkan pada persamaan, Lima Prinsip Hidup Berdampingan Secara Damai, penyelesaian perselisihan

melalui sarana-sarana yang damai, dan penghapusan aliansialiansi bilateral. Meski demikian, usulan itu tidak diusahakan dengan keras oleh Beijing, sebagian besar karena usulan itu tidak disambut hangat oleh tetangga-tetangga Cina. Konsep Keamanan Baru melukiskan ketidakpuasan Cina yang terus meningkat akan tata internasional yang berlaku saat ini. Ia juga merupakan contoh yang jarang tentang diplomasi proaktif Cina yang dapat memberikan petunjuk akan kecenderungan partisipasi Cina yang lebih besar dalam urusan-urusan keamanan regional dan internasional yang boleh jadi akan terus membesar seiring dengan bangkitnya Cina sebagai kekuatan besar. Sejauh ini, bagaimanapun juga, konsep Cina akan sebuah hubungan keamanan yang ideal di Asia Pasifik tidak didukung oleh rencana yang nyata untuk impelementasinya; dan oleh karena itu tidak merupakan ancaman bagi status quo. 15. Satu alasan mengapa Cina memilih untuk tidak menentang status quo adalah karena ia tidak memiliki basis material untuk melakukannya. Penjelasan penting lainnya ditemukan dalam keengganan Cina untuk melawan konsensus regional ataupun internasional, yang merupakan sebuah unsur penting dalam politik luar negerinya. Jadi, bila mayoritas negara-negara Asia Pasifik melihat bahwa kehadiran militer AS penting bagi stabilisasi kawasan, Beijing tidak akan melanggar posisi dasarnya dan menentang kehadiran itu serta berusaha keras melemahkan dukungan regional bagi pasukan AS. 16. Keengganan Cina untuk berseberangan dengan arus opini internasional secara jelas ditunjukkan dalam perundinganperundingan untuk mencapai perjanjian yang melarang ujicoba senjata nuklir. Prakondisi atas sebuah CTBT sebagaimana telah dimasukkan oleh Cina dalam proses perundingan itu akhirnya digugurkan setelah isu-isu penting lainnya dipecahkan dan negosiasi mendekati akhir. Prakondisi itu telah meminta untuk (1) perlindungan hak negara-negara pemilik senjata nuklir untuk melakukan ujicoba nuklir yang bersifat damai; (2) dimasukkannya jaminan no first use dan komitmen-komitmen keamanan negatif oleh negara-negara pemilik senjata nuklir; dan (3) penggunaan sebuah sistem pengawasan internasional ketimbang sarana-sarana teknis negara-negara yang terlibat dalam verifikasi kepatuhan terhadap perjanjian. Meski ada prediksi dari sejumlah analis Barat bahwa Cina akan menunda proses perundingan menuju perjanjian yang lengkap, Beijing tampaknya tidak akan terlibat dalam proses itu bila ia tidak punya maksud untuk menjadi salah satu penanda tangan CTBT.

17. Sebagaimana ditunjukkan oleh Wu Xinbo, tingkah laku politik luar negeri Cina adalah dalam tahap evolusioner. Pada saat ia bertambah dewasa dan bertambah kuat, kontradiksi-kontradiksi di atas akan semakin menghilang. Meski demikian, proses ini akan dipengaruhi oleh situasi internal di Cina dan tingkat percaya diri pemimpin bahwa stabilitas domestik dapat dipertahankan. 18. Dengan bertumbuhnya kekuatan nasional komprehensif Cina, orang-orang Cina akan mulai memandang negara mereka tidak lagi sebagai negara miskin, melainkan lebih sebagai kekuatan besar. Sindrom identitas ganda ini seharusnya menghilang arti pentingnya sebagai salah satu faktor yang menghambat tingkah laku politik luar negeri Cina di masa datang. Bibit-bibit kontradikstif di balik politik luar negeri Cina yang berasal dari kehendak untuk memperoleh keuntungan dari pengejaran kebijakan-kebijakan pintu terbuka dan kewajiban untuk melindungi kedaulatan negara kelihatannya akan menjadi kurang penting seiring dengan tumbuhnya kekuatan Cina. Tetapi hal itu akan terjadi hanya jika ada penyelesaian yang dapat diterima dan menguntungkan semua pihak akan masalah Taiwan dan rasa percaya diri Beijing dalam kemampuannya untuk mengamankan integritas teritorialnya bertambah kuat. Sebuah Cina yang lebih kuat, lebih percaya diri juga tampaknya akan lebih aktif terlibat dalam isu-isu regional dan global, dengan didasarkan pada basis-basis pragmatis ketimbang prinsip. Akhirnya, pada saar ikatan-ikatan bilateral tetap menjadi penting bagi Beijing, partisipasinya dalam for a multilateral tidak disangsikan lagi akan meningkat, termasuk dalam lingkup keamanan, seiring dengan semakin berpengalamannnya dan percaya diri Cina dalam interaksi multilateral. Bilateralisme dan multilateralisme mungkin akan berperan dalam rel ganda kereta diplomasi Cina dengan sedikit ketegangan antara mereka.

Anda mungkin juga menyukai