Anda di halaman 1dari 7

BAB IX METODE TERAPI

A. Tujuan Penatalaksanaan Etiologi sirosis mempengaruhi penanganan sirosis. Kerusakan hati karena sirosis tidak dapat normal kembali. Tetapi berdasarkan penyebab sirosis dan komplikasi, terapi ditujukan mengurangi pregresifitas penyakit, menghindarkan bahan-bahan yang dapat menambah kerusakan hati, pencegahan, dan penanganan komplikasi. Tatalaksana pasien sirosis yang masih kompensata ditujukan untuk mengurangi progresi kerusakan hati.

B. Prinsip Tindakan Medis 1. Penanganan umum Penanganan umum adalah dengan memberikan diet yang benar dengan kalori yang cukup sebanyak 2000 3000 kkal/hari dan protein (75-100 g/hari) atau bilamana tidak ada koma hepatik dapat diberikan diet yang mengandung protein 1 g/kg BB dan jika terdapat retensi cairan dilakukan restriksi sodium. Jika terdapat encephalopathy hepatic, konsumsi protein diturunkan sampai 60-80 g/hari. Disarankan mengkonsumsi suplemen vitamin. Multivitamin yang mengandung thiamine 100 mg dan asam folat 1 mg. Perbaiki defisiensi potasium, magnesium, dan fosfat. Transfusi sel darah merah (packed red cell), plasma juga diperlukan. Diet pada penyakit hati bertujuan memberikan makanan secukupnya guna mempercepat perbaikan faal hati tanpa memberberatkan pekerjaannya. Syarat diet ini adalah kalori tinggi, hidrat arang tinggi, lemak sedang, dan protein disesuaikan dengan tingkat keadaan klinik pasien. Diet diberikan secara berangsur-angsur disesuaikan dengan nfsu makan dan toleransi pasien terhadap protein. Diet ini

harus cukup mineral dan vitamin, rendah garam bila ada retensi garam atau air, cairan dibatasi bila ada asites hebat, serta mudah dicerna dan tidak merangsang. Bahan makanan yang tidak boleh diberikan adalah sumber lemak, yaitu semua makanan dan daging yang banyak mengandung lemak, seperti daging kambing dan babi, serta bahan makanan yang menimbulkan gas, seperti ubi, kacang merah, kol, sawi, lobak, ketimun, durian, dan nangka. 2. Terapi pasien berdasarkan etiologi

Alkohol dan bahan-bahan lain yang toksik dan dapat mencederai hati

dihentikan penggunaannya. Pemberian asetaminofen, kolkisin, dan obat herbal bisa menghambat kolagenik.

Hepatitis autoimun; bisa diberika steroid atau imunosupresif. Hemokromatosis; flebotomi setiap minggu sampai kadar besi menjadi

normal dan diulang sesuai kebutuhan.

Penyakit hati nonalkoholik; menurunkan berat badan akan mencegah

terjadi sirosis.

Hepatitis virus B, interferon alfa dan lamivudin (analog nukleosida)

merupaka terapi utama. Lamivudin sebagai terapi lini pertama diberikan 100 mg secara oral setiap hari selama satu tahun. Namun pemberian lamivudin setelah 9-12 bulan menimbulkan mutasi YMDD sehingga terjadi resistensi obat. Interferon alfa diberikan , namun ternyata juga banyak yang kambuh.

Hepatitis virus C kronik, kombinasi interferon dengan ribavirin

merupakan terapi standar. Interferon diberikan secara suntikan subkutan dengan dosis 5 MIU tiga kali seminggu dan dikombinasi ribavirin 800-1000 mg/hari selama 6 bulan.

Pengobatan fibrosis hati; pengobatan antifibrotik pada saat ini lebih

mengarah kepada peradangan dan tidak terhadap fibrosis. Di masa datang, menempatkan sel stelata sebagai target pengobatan dan mediator fibrogenik akan merupakan terapi utama. Pengobatan untuk mengurangi aktivasi dari sel stelata bisa merupakan salah satu pilihan. Interferon mempunyai aktivitas

antifibrotik yang dihubungkan dengan pengurangan aktivasi sel stelata. Kolkisin memiliki efek anti peradangan dan mencegah anti fibrosis dan sirosis. Metotreksat dan vitamin A juga dicobakan sebagi anti fibrosis. Selain itu, juga obat-obatan herbal juga sedang dalam penelitian.

3. Penanganan sirosis dekompensata Asites dan edema Tirah baring dan diawali diet rendah garam, konsumsi garam sebanyak 5,2 gram atau 90 mmol/hari atau 400-800 mg/hari. Restriksi cairan (800-1000 mL/hari) disarankan pada pasien dengan hiponatremia (serum sodium <125 meq/L). Ada pasien yang mengalami pengurangan asites hanya dengan tidur dan restriksi garam saja. Tetapi ada juga pasien dengan retensi cairan berat atau asites berat, yang sekresi urinnya kurang dari 10 meq/L. Pada pasien asites dan edema dapat diberikan diuretik dan paracentesis. Peritonitis bakterial spontan Peritonitis bakterial spontan dapat ditandai dengan munculnya rasa sakit abdomen, meningkatnya asites, demam, dan ensefalopati progresif pada pasien dengan sirosis hepatis. Tetapi tanda-tandanya dapat ringan. Hasil cairan asites dari paracentesi didapatkan jumlah sel darah putih lebih dari 500 sel/mL dengan PMN lebih dari 250/L dan konsentrasi protein 1 g/dL atau kurang. Hasil kultur cairan asites, 8090% didapatkan E coli dan pneumococci, jarang anaerob. Jika terdapat 250/L atau lebih dapat diberikan antibiotik intravena dengan cefotaxime 2 gram intravena setiap 8-12 jam, minimal dalam waktu 5 hari. Penurunan PMN dapat terjadi setelah pemberian antibiotik selama 48 jam. Angka kematiannya tinggi yaitu dapat mencapai 70% dalam 1 tahun. Terjadinya peritonitis berulang dapat dikurangi dengan menggunakan norfloxacin, 400 mg sehari. Pada pasien dengan sirosis yang beresiko tinggi terjadinya peritonitis bakteri spontan (cairan asites

< 1 g/dL), serangan peritonitis pertama kali dapat dicegah dengan pemeberian norfloxacin atau trimethoprim-sulfamethoxazole (5 kali seminggu). Pada peritonitis bakterial spontan selain diberikan antibiotika seperti sefalosporin intravena, juga dapat diberikan amoksilin, atau aminoglikosida. Sindrom hepatorenal Sindrom hepatorenal ditandai dengan azotemia, oliguria, hiponatremia, penurunan sekresi natrium urin, dan hipotensi pada pasien penyakit hati stadium hati. Sindrom hepatorenal didiagnosa jika tidak ada penyebab gagal ginjal lainnya. Penyebabnya tidak jelas, tetapi patogenesisnya karena vasokonstriksi ginjal, kemungkinan disebabkan gangguan sintesis vasodilator renal seperti prostaglandin E2, keadaan histologi ginjal normal. Terapi yang diberikan kebanyakan tidak efektif. Berdasarkan penelitian terakhir, pemberian vasokonstriksi dengan waktu kerja lama (ornipressin dan albumin, ornipressin dan dopamine, atau somatostatin analog octreotide dan midodrione sebagai obat alpha adrenergik) dan TIPS memberikan perbaikan. Ensefalopati hepatik Ensefalopati hepatik merupakan keadaan gangguan fungsi sistem saraf pusat disebabkan hati gagal untuk mendetoksikasi bahanbahan toksik dari usus karena disfungsi hepatoselular dan portosystemic shunting. Penangganan ensefalopati hepatik dapat berupa : Pembatasan pemberian protein dari makanan, Lactulose, Neomisin sulfat. Anemia Untuk anemia defisiensi besi dapat diberikan sulfa ferrosus, 0,3 g tablet, 1 kali sehari sesudah makan. Pemberian asam folat 1 mg/hari, diindikasikan pada pengobatan anemia makrositik yang berhubungan

dengan alkoholisme. Transfusi sel darah merah beku (packed red cell) dapat diberikan untuk mengganti kehilangan darah. Manifestasi perdarahan Hipoprotombinemia dapat diterapi dengan vitamin K (seperti phytonadione, 5 mg oral atau sub kutan, 1 kali per hari). Terapi ini tidak efektif karena sintesis faktor koagulasi menggalami gangguan pada penyakit hati berat. Koreksi waktu prothrombin (prothrombin time) yang memanjang dilakukan dengan pemberian plasma darah. Pemberian plasma darah hanya diindikasikan pada perdarahan aktif atau sebelum pada prosedur invasif. Pecahnya varises esofagus Untuk mencegah terjadinya perdarahan pertama kali pada varices esofagus dapat diberikan penghambat beta bloker non selektif (nadolol, propanolol). Pada pasien yang tidak tahan terhadap pemberian beta bloker dapat diberikan isosorbide mononitrate. Beta bloker dapat diberikan kepada pasien sirosis hati yang beresiko tinggi terjadinya perdarahan, yaitu varises yang besar dan merah. Profilaksis skleroterapi tidak boleh dilakukan kepada pasien yang belum pernah mengalami perdarahan varises esofagus karena berdasarkan penelitian, skleroterapi dapat meningkatkan angka kematian daripada pengguna beta bloker. Ligasi varises (banding) dapat dilakukan pada pasien dengan varises esofagus yang belum pernah perdarahan. Pemberian beta bloker dan esofagus dapat dilakukan bersama-sama untuk mencegah perdarahan varises esofagus, hanya bila ditinjau dari segi ekonomi. Bila kedua hal itu dilakukan bersama-sama tidak efektif secara ekonomi. Pencegahan perdarahan kembali dapat dilakukan skleroterapi atau ligasi, beta bloker non selektif (propanolol, nadolol) 20 mg sebanyak 2 kali sehari atau 40-80 mg sekali sehari, isosorbide mononitrate dapat diberikan 10 mg sebanyak 2 kali sehari sehari atau 20-40 mg sebanyak

2 kali sehari, Transvenosus Intrahepatic Portosystemic Shunts (TIPS), Surgical Portosystemic Shunts, dan transplantasi hati. Sindrom hepatopulmonal Sindrom hepatopulmonal terjadi karena meningkatnya tahanan alveolar-arterial ketika bernapas, dilatasi vascular intrapulmoner, hubungan arteri-vena yang menyebabkan shunt intrapulmonary kanankiri. Pasien mengalami dyspnea dan deoxygenasi arterial saat berdiri dan menghilang saat berbaring. Terapi mengunakan obat-obatan sudah tidak memberikan hasil, tetapi dapat membaik dengan transplantasi hati. Transplantasi hati tidak boleh dilakukan pada pasien dengan hipertensi pulmonal (tekanan pulmonal > 35 mmHg) 4. Transplantasi hati Transplantasi hati diindikasikan pada kasus irreversibel, penyakit hati kronik progresif, gagal hati berat, dan penyakit metabolik dimana kelainannya terdapat di hati. Kontraindikasi absolut adalah keganasan (kecuali karsinoma hepatoselular kecil pada sirosis hati), penyakit cardio-pulmoner berat (kecuali pada pulmonary-arteriovenous shunting karena hipertensi porta dan sirosis), sepsis, dan infeksi HIV. Kontaindikasi relatif adalah usia lebih dari 70 tahun, trombosis vena porta dan mesenterikus, pengguna alkohol dan obat-obatan terlarang, dan malnutrisi berat. Tidak boleh mengkonsumsi alkohol dalam 6 bulan sebelum transplantasi hati. Transplantasi hati harus dipertimbangkan pada pasien dengan status mentalis yang berkurang, peningkatan bilirubin, pengurangan albumin, perburukan koagulasi, asites refrakter, perdarahan varises berulang, atau ensefalopati hepatik yang memburuk. Transplantasi hati memberikan harapan hidup 5 tahun pada 80% pasien. Carcinoma hepatocelular, hepatitis B dan C, Budd-Chiari syndrome dapat terjadi lagi setelah transplantasi hati. Angka terjadinya kembali hepatitis B dapat dikurangi dengan pemberian lamivudine saat sebelum dan sesudah transplantasi dan saat operasi diberikan imuno globulin hepatitis B. Dapat diberikan imunosupresi seperti cyclosporine atau tacrolimus, kortikosteroid, dan azathioprine yang dapat menyebabkan komplikasi berupa infeksi, gagal ginjal, gangguan neurologik, penolakan organ, oklusi pembuluh darah, atau banyaknya empedu.

Anda mungkin juga menyukai