Anda di halaman 1dari 23

PENGEMIS ANAK (Tinjauan Yuridis-Empiris Tentang Perlindungan Hukum Pengemis Anak di Boyolali)

SKRIPSI Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Syarat Guna Mencapai Derajat Sarjana Hukum Dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta

Oleh : HERLIN BALI MURYANTI NIM : C 100 050 174

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2009

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Krisis moneter yang melanda hampir seluruh negara berkembang, khususnya Negara-negara ASEAN, pada tahun 1997 secara tidak langsung diyakini telah membawa pengaruh terhadap munculnya masalah-masalah sosial secara masal. Kekuatan krisis ekonomi itu seakan telah mengguncang dan menggoyahkan kemapanan dari perekonomian negara-negara yang terletak di wilayah Asia Tenggara, negara-negara yang selama ini menjadi barometer kemajuan perekonomian negara-negara di ASEAN seperti Thailand, Malaysia, dan Indonesia ternyata tidak terhindar dari krisis ini. Di Indonesia krisis ekonomi juga diperburuk dengan terjadinya krisis multi dimensional yang melanda negara republik ini, krisis kepercayaan, krisis kepemimpinan, dan krisis moral telah menjadi pelengkap permasalahan, yang seakan-akan menjadikan masalah bangsa ini semakin kompleks. Distribusi kekayaan dan kesejahteraan masyarakat yang menjadi tidak menentu akibat krisis ekonomi telah mengakibatkan peningkatan angka kemiskinan yang cukup signifikan, pendapatan perkapita yang sebelumnya mencapai 1000 dolar AS turun menjadi 400 dolar AS, jumlah rakyat yang berada di bawah garis kemiskinan pada tahun 1996 adalah sekitar 22 juta

orang maka setelah krisis ekonomi ini jumlahnya meningkat tajam hingga menjadi 50 juta orang.1 Dengan kondisi seperti ini, maka rakyat merupakan subyek paling merasakan dampak dari krisis ini, sebenarnnya mengharapkan kehadiran pemeritah yang muncul sebagai pahlawan untuk memberikan solusi guna keluar dari keterpurukan, namun ternyata pemerintah pada saat itu telah dianggap gagal untuk mengatasi permasalahan yang cukup menyengsarakan perekonomian rakyat, khususnya rakyat kelas bawah ini. Kondisi ini semakin menguatkan gerakan oposisi yang memang telah sering mengeluarkan stigma mengenai perlunya reformasi nasional, maka sedikit demi sedikit pun permasalahan ini berhasil menggoyang otoritas kepemimpinan orde baru yang selama 32 tahun berkuasa itu. Gerakan anti pemerintah pun muncul dimana-mana, aksi demonstrasi baik yang dilakukan oleh kelompok masyarakat ataupun gerakan mahasiswa yang menuntut turunnya rezim orde baru menjadi pemandangan umum dalam sejarah perjalanan bangsa ini menjelang lahirnya orde reformasi. Tindakan-tindakan anarkis yang mengakibatkan munculnya kerusuhan terjadi di beberapa kota di Indonesia, penjarahan, perusakan fasilitas umum, pembakaran terjadi dimana-mana, dan tidak hanya itu bahkan beberapa nyawa pun harus rela dikorbankan guna kelahiran reformasi ini. Melihat kondisi yang semakin tidak stabil ini, maka pada tanggal 21 Mei 2007 Presiden Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya sebagai Presiden RI dan ini adalah tonggak awal era refomasi yang

Suara Pembaharuan. 20 Maret 1998

kelahirannya dianggap sebagai keharusan sejarah (historische notwendigkeit) untuk Indonesia yang lebih baik, walaupun dalam perjalanannya hal itu tetap masih menyisakan berbagai permasalahan.2 Dampak krisis yang diperberat oleh terjadinya berbagai bencana yang telah menyebabkan banyak orang tua mengalami keterpurukan ekonomi, tidak sedikit usaha yang dijalankan berakhir dengan pemutusan hubungan kerja dan juga berakibat pada melambungnya harga barang kebutuhan sehingga banyak para orang tua yang tidak dapat memenuhi kebutuhan pangan. Dampak dari pemutusan hubungan kerja tersebut tidak saja menimbulkan pengangguran, bahkan merupakan ancaman meningkatnya kejahatan. Di Indonesia, krisis ekonomi lebih dari sekedar ketidak seimbangan dalam fundamental perekonomian. Setidaknya, krisis ekonomi itu mengungkapkan kelemahan mendasar negara Indonesia. Masyarakat modern yang serba kompleks yaitu sebagai konsekuensi dari perkembangan zaman yang dipengaruhi oleh teknologi mekanisasi, industrialisasi, dan urbanisasi yang ternyata membawa dampak yang bersifat kausalitas dalam perkembangan di berbagai sektor kehidupan masyarakat, baik dari sektor ekonomi, social, politik, bahkan mempengaruhi tatanan nilai budaya sustu bangsa. Secara material, arus perkembangan dan pertumbuhan tersebut berjalan dengan tanpa rintangan dan bahkan menjadi kebanggaan suatu bangsa. Di satu sisi, memang perubahan-perubahan tersebut telah membawa dampak kemajuan bagi kehidupan masyarakat suatu bangsa, namun di sisi

Tim Kahmi Jaya. 1998. Indonesia di Simpang Jalan. Bandung : Mizan Pustaka. Hal. 22

lain dari perubahan tersebut ternyata membawa dampak terjadinya kesenjangan yang signifikan. Di satu pihak, memang telah berdiri tegak bangunan-bangunan mewah yang membanggakan yang menjadi pusat perhatian, tetapi tidak jauh dari area tersebut ternyata tumbuh perkampungan kumuh yang memprihatinkan dengan kompleksitas permasalahan yang di dalamnya perlu segera mendapatkan perhatian khusus, yang sungguh hal ini adalah induk permasalahan yang dapat menghadirkan permasalahan baru yang masuk dan menyebar ke dalam tatanan kehidupan masyarakat suatu bangsa, yang hal itu pada akhirnya akan menjadi sebuah problem sosial yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat secara kompleks. Tingkat kemiskinan yang parah inilah yang kemudian memicu setiap orang untuk melakukan segala cara agar tetap hidup (survive). Kondisi tersebut kemudian memaksa anak untuk terlibat dan ikut serta berusaha keluar dari tingkat kesulitan hidup. Maka tidak jarang lampu merah, perempatan jalan, terminal, pasar, dan tempat keramaian lainnya adalah tempat yang dirasa mudah untuk menghasilkan uang, hanya dengan menengadahkan tangan atau dengan sedikit sederhana dan nyanyian-nyanyian khas pun menggunakan peralatan dilantunkan, sekedar

mengharapkan imbalan uang recehan logam walaupun tidak jarang nyanyian mereka dihargai dengan gratis atau hanya mendapat ucapan terima kasih. Sehingga dapat dilihat dari realita tersebut karena kebutuhan ekonomi orang tuanya atau hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan dan kesenangannya sendiri sebagai anak-anak. Sehingga banyak di antara mereka terpaksa

meninggalkan bangku sekolah, bukan karena mereka enggan menuntut ilmu atau bukan karena IQ mereka tidak mumpuni untuk proses transfer ilmu di sekolah formal, tetapi lebih kepada kondisi ekonomi yang mengharuskan mereka untuk seperti itu. Cukup ironis memang pendidikan yang katanya menjadi hak setiap warga Negara namun dalam hal ini harus terampas karena alasan ekonomi. Sementara itu UUD 1945 Pasal 31 ayat (1) menyatakan : Setiap warga Negara berhak mendapat pendidikan. Apakah mereka tidak dianggap warga Negara lagi, sehingga mereka tidak bisa mendapatkan hak mereka sebagai warga Negara? Dengan redaksi yang tegas pasal 31 ayat (2) yang menyatakan : Setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Apakah struktural kepemimpinan negara ini sudah tidak mau dianggap pemerintah lagi sehingga mereka lupa akan kewajibannya sendiri guna memenuhi hak warga negaranya? Pemerintah-pemerintah kota negara ini dianggap lebih

konsentrasi terhadap pembangunan fasilitas kota, ketertiban, dan kebersihan kota, tapi mengabaikan pemenuhan hak-hak warga negara untuk hidup layak dan mendapatkan pendidikan. Indonesia merupakan salah satu negara yang meratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hak-hak Anak, melalui Keputusan Presiden (Keppres) No. 36/0 tanggal 25 Agustus 1990. Dengan diratifikasinya konvensi tesebut, berarti secara hukum, negara berkewajiban memenuhi hak-hak anak, baik sipil, politik, sosial, budaya, dan ekonomi. Akan tetapi, pada kenyatannya negara masih belum mampu memenuhi

kewajibannya untuk melindungi hak-hak anak. Salah satu indikatornya adalah keberadaan pengemis anak. Bukan hanya berkaitan dengan dilanggarnya hakhak anak, tapi juga membawa dampak buruk bagi anak-anak, baik secara fisik maupun psikis. Lebih jauh, dikhawatirkan akan mengganggu masa depan anak-anak untuk mendapat kehidupan yang lebih baik. Bellamy mengatakan, anak-anak yang bekerja di usia dini, yang biasanya berasal dari keluarga miskin, dengan pendidikan yang terabaikan, sesungguhnya akan melestarikan kemiskinan, karena anak yang bekerja tumbuh menjadi seorang dewasa yang terjebak dalam pekerjaan yang tak terlatih, dan dengan upah yang sangat buruk. 3 Membiarkan anak-anak bekerja sebagai pengganti sekolah dapat membuat lingkaran setan (vicious circle); awalnya, bekerja menimbulkan dampak buruk bagi sekolah, selanjutnya berpendidikan rendah atau tidak berpendidikan sama sekali dapat

mengakibatkan berlanjutnya pekerja anak. 4 Oleh karena itu, pemerintah pusat maupun daerah perlu berusaha keras untuk mengawal implementasi produk-produk hokum guna melindungi kepentingan dan hak-hak anak, dalam hal ini adalah pengemis anak, dalam proses hukum, sehingga dalam penanganan perkara pidana yang dilakukan oleh pengemis anak ini, para petugas hukum bisa bertindak sesuai dengan peraturan yang ada yang pada akhirnya tidak akan ada perlakuan salah yang dilakukan oleh petugas hukum kepada pelaku atau korban dari tindak pidana anak.
3

Carol Bellamy. 1997. Laporan Situasi Anak-anak di Dunia 1997. Unicef. Jakarta. hal 1. Nachrowi Djalal Nachrowi dan Hardius Usman. 2005. Pekerja Anak di Indonesia: Kondisi. Determinan dan Eksploitasi (Kajian Kuantitatif). PT Grasindo. Jakarta. hal 2.
4

Sampai sekarang sudah banyak produk hukum yang bisa dijadikan sebagai acuan dalam membahas tentang anak, khususnya perlindungan anak seperti : 1. Pasal 34 dan Pasal tentang HAM di Pasal 28A UUD 1945. 2. UU No. 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. 3. UU No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. 4. UU No. 20 tahun 1999 tentang Pengesahan ILO Convention No. 138. 5. UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. 6. UU No. 1 tahun 2000 tentang Pengesahan ILO Convention No. 183. 7. UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. 8. UU No. 23 tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Orang tua, keluarga, dan masyarakat bertanggung jawab untuk menjaga dan memelihara hak asasi tersebut sesuai dengan kewajiban yang dibebankan oleh hukum. Demikian pula dalam rangka penyelenggaraan perlindungan anak, negara terutama dalam menjamin pertumbuhan dan perkembangannya secara optimal dan terarah.5 Upaya perlindungan anak perlu dilaksanakan sedini mungkin, yakni sejak dari janin dalam kandungan sampai anak berumur 18 (delapan belas) tahun. Bertitik tolak dari konsepsi perlindungan anak yang utuh, menyeluruh dan komprehensif, undang-undang perlindungan anak meletakkan kewajiban memberikan perlindungan kepada anak berdasarkan asas-asas yaitu :

Penjelasan Umum UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

1. Non diskriminasi; 2. Kepentingan yang terbaik bagi anak; 3. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan 4. Penghargaan terhadap pendapat anak. Perlu kita camkan Deklarasi Hak Anak-anak oleh Majelis Umum PBB, yang disahkan pada tanggal 20 Nopember 1958, bahwa umat manusia berkewajiban memberikan yang terbaik bagi anak-anak. Dijelaskan dalam isi tersebut, bahwa anak-anak tersebut mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan khusus, kesempatan dan fasilitas yang memungkinkan mereka berkembang secara sehat dan wajar dalam keadaan bebas dan bermanfaat yang sama: memiliki nama dan kebangsaan sejak lahir; mendapat jaminan sosial termasuk gizi yang cukup, perumahan, rekreasi dan pelayanan kesehatan, menerima pendidikan, perawatan dan perlakuan khusus jika mereka cacat; tumbuh dan dibesarkan dalam suasana yang penuh kasih sayang dan rasa aman sedapat mungkin di bawah asuhan serta tanggung jawab orang tua mereka sendiri; mendapat pendidikan, dan andaikata terjadi malapetaka mereka termasuk orang pertama yang menerima perlindungan serta pertolongan; memperoleh perlindungan baik atas segala bentuk penyianyiaan, kekejaman dan penindasan maupun segala perbuatan yang mengarah ke dalam bentuk diskriminisasi. 6 Sebenarnya masalah perlindungan anak adalah suatu masalah yang kompleks dan menimbulkan berbagai macam permasalahan yang lebih lanjut tidak mungkin dapat diatasi secara

Shanty Dellyana. Wanita dan Anak di Mata Hukum. Yogyakarta: Liberty. (Februari 2004). hal. 5

perorangan, tetapi dalam penyelesaiannya harus secara bersama-sama, karena dalam hal ini yang menjadi obyek dan subyek pelayanan dalam kegiatan perlindungan anak sama-sama mempunyai hak-hak dan kewajiban. Perlindungan anak merupakan suatu usaha yang mengadakan kondisi dimana setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya. Adapun perlindungan anak ini juga merupakan perwujudan adanya keadilan dalam suatu masyarakat. Dengan demikian perlindungan anak sedapat mungkin harus diusahakan dalam berbagai bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat.7 Boyolali dalam angka tahun 2007 dengan potensi penduduk tercatat berjumlah 947.026 orang ini, dengan jumlah anak di atas usia 5 tahun sampai di bawah usia 19 tahun sebanyak 237.339 anak, terdiri 125.686 anak laki-laki dan 111.653 anak perempuan, Sebanyak 324 anak tercatat sebagai status anak terlantar pada program sosial yaitu jumlah panti asuhan beserta anak asuhnya, sungguh angka yang mengkhawatirkan apabila tidak segera dicari solusinya. 8 Berdasarkan uraian-uraian di atas penulis merasa tertarik untuk mengadakan sebuah penelitian skripsi dengan judul : PENGEMIS ANAK (Tinjauan Yuridis Empiris Tentang Perlindungan Hukum Pengemis Anak di Boyolali).

7 8

Ibid. hal. 6 Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Badan Pusat Statistik Kabupaten Boyolali. Boyolali Dalam Angka Tahun 2007.

B. Rumusan Masalah Perumusan masalah dalam suatu penelitian dimaksudkan untuk mempermudah peneliti dalam membatasi masalah yang akan diteliti sehingga tujuan dan sasaran yang akhirnya dicapai menjadi jelas, terarah dan mendapatkan hasil yang diharapkan. Maka dalam penelitian ini penulis tekankan rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah karakteristik pengemis anak secara yuridis-empiris? 2. Bagaimana perlindungan hukum secara yuridis-empiris terhadap

pengemis anak?

C. Tujuan Penelitian Suatu penelitian harus memiliki tujuan yang jelas. Hal ini diperlukan untuk mengetahui apa yang sebenarnya dicari oleh peneliti sehingga memberikan arah dalam melangkah sesuai dengan maksud penelitian. Selain itu penelitian bertujuan untuk dapat mengetahui metode dan kombinasi metode penelitian manakah yang paling baik dan tepat digunakan dalam masing-masing macam penelitian hukum. 9 Berdasarkan hal tersebut, maka tujuan diadakan penelitian ini adalah : 1. Tujuan Objektif (tujuan yang menyangkut masalah penelitian) yaitu: a) Untuk mengetahui karakteristik pengemis anak secara yuridis-empiris

Sunarjati Hartono. 1994. Metodelogi Penelitian Hukum. UGM Press. Yogyakarta. hal 4.

b) Untuk mengetahui perlindungan hukum secara yuridis-empiris terhadap pengemis anak di Boyolali. 2. Tujuan subjektif (tujuan yang menyangkut kepentingan subjektif peneliti) yaitu: a) Untuk memperluas wawasan, pengetahuan dan kemampuan analistis penulis dalam lapangan hukum pidana, khususnya mengenai perlindungan hukum pengemis anak. b) Untuk mengetahui kesesuaian teori yang diperoleh dan kenyataan yang terjadi dalam praktik kehidupan. c) Untuk memenuhi tugas akhir sebagai syarat memperoleh gelar keSarjanaan Surakarta. di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah

D. Manfaat Penelitian Suatu penelitian tidak hanya bermanfaat bagi peneliti saja, tetapi juga harus berguna bagi semua pihak. Penelitian dalam penulisan hukum ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut : 1. Manfaat Teoritis a) Dapat memberikan jawaban terhadap permasalahan yang sedang diteliti. b) Untuk lebih mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir dinamis, sekaligus untuk mengetahui kemampuan peneliti dalam menerapkan ilmu yang diperoleh.

2. Manfaat Praktis Dapat memberikan data dan informasi mengenai perlindungan hukum terhadap Pengemis Anak yang nantinya dapat berguna bagi peneliti selanjutnya dan bagi masyarakat.

E. Kerangka Pemikiran Arus globalisasi terus melaju, terus masuk bersamaan dengan kemajuan zaman sebagai otoritas tanpa seorang pun yang mampu merintangi. Berbagai dampak pun muncul dari yang positif hingga dampak yang negatif. Kompleksitas permasalahan pun muncul sehingga dengan kompleksitas permasalahan itu manusia dituntut untuk bergerak dengan gesit supaya tidak mengalami ketertindasan oleh laju globalisasi. Oleh kerena itu globalisasi yang makin menggila ini harus dihadapi dengan berbagai realitas resikonya. Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam UndangUndang Dasar 1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang HakHak Anak. Dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak

sipil dan kebebasan.10 Ini berarti sebagai orang dewasa secara personal ataupun secara struktural konstitusional mempunyai kewajiban untuk memberikan perlindungan terhadap anak dalam konteks apapun. Kemiskinan yang dialami orang tua akibat Pemutusan Hubungan Kerja, Pengangguran anak muda akibat persaingan kerja dan putusnya anak dari bangku sekolah akibat tidak ada biaya, adalah dampak ketidaksiapan kita dalam menghadapi era baru ini. Jelas hal ini berdampak pada menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat. Realita ini memunculkan sebuah penilaian tentang bagaimana jaminan pendidikan setiap warga, yang tertuang dalam peraturan dasar negara ini yang berbunyi: Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan (Pasal 31 ayat (1) UUD 1945). Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya (Pasal 31 ayat (2) UUD 1945). Harus disadari, bahwasannya baik warga maupun pemerintah, bahwa pasal tersebut adalah norma absolut yang tidak kunjung terealisasikan. Terbukti sampai saat ini walaupun pernyataan tersebut diungkapkan oleh peraturan yang dianggap sebagai kitab suci yang mengatur alur negara dengan sabda-sabdanya, namun relita menjawab, masih banyak warga yang tidak menadapatkan hak-haknya itu. Maka inti dari permasalahan di atas adalah perubahan zaman yang diiringi globalisasi yang tidak didukung oleh kesiapan dan kemampuan sumber daya manusia yang mumpuni maka akan

10

Penjelasan Umum UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

melahirkan permasalahan sosial seperti pengangguran, kesenjangan yang kemudian akan berakibat pada kemiskinan, tidak hanya itu, ketika kemiskinan sudah mendera maka sering sekali masyarakat akan mengalami krisis ekstensial yang berakibat masyarakat akan melakukan apa saja. Merebaknya fenomena pengemis anak adalah bentuk permasalahan sosial yang harus diatasi, khusus di Kabupaten Boyolali hal itu disebabkan karena permasalahan ekonomi. Berbagai upaya dilakukan pemerintah untuk menanggulangi permasalahan pengemis anak, baik berupa pembinaan ataupun pengentasan anak dari aktifitas di jalanan, namun hal itu belum menunjukan hasil yang memuaskan. Pengemis berasal dari kata emis dan mengemis (meminta-minta sedekah, meminta dengan merendah dan dengan penuh harapan. Emis pengemis (orang yang minta-minta).11 Berarti dengan kriteria mengemis yaitu mempertunjukkan seadaanya tanpa dengan niat yang penting asal-asalan dan mendapatkan uang dari pendengarnya dan tidak memiliki nilai seni. Mengingat ciri khas dan sifat yang khas pada anak yang tidak dapat diperlakukan sebagaimana orang dewasa, lagipula perbuatan anak belum dapat dipertanggung jawabkan dari segi hukum pidana

(toerekeningvatbaarheid), maka terhadap anak wajib diberikan perlakuan dan perlindungan khusus. Perlindungan khusus adalah perlindungan yang diberikan kepada anak dalam:

11

Google. Awan Sudiawan. Pengamen bukan pengemis. 16 Maret 2009: 1:52

1. Untuk situasi darurat. 2. Untuk anak yang berhadapan dengan hukum. 3. untuk anak dari kelompok mini/oritas dan terisolasi. 4. Untuk anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/ atau seksual anak yang diperdagangkan. 5. Untuk anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnnya (napza) 6. Untuk anak korban penculikan, penjualan, perdagangan. 7. Untuk anak korban kekerasan baik fisik, dan/ atau mental. 8. Untuk anak yang menyandang cacat, dan 9. Untuk anak korban perlakuan salah dan penelantaran. 12 Sekalipun Indonesia telah mempunyai perangkat hukum, ternyata masih banyak anak-anak yang diberlakukan secara eksploitasi sebagaimana kriteria yang ditetapkan Unicef di atas. Anak-anak jalanan merupakan pekerjaan yang paling rentan dieksploitasi. Bellamy mengatakan, beberapa di antara mereka mampu mengkombinasikan kejalanan dengan sekolah, namun banyak di antara mereka dieksploitasi dan ditipu orang-orang dewasa dan yang sebaya, serta harus berjam-jam untuk mendapatkan penghasilan.13 Anak-anak jalanan juga rentan terhadap penganiayaan, penyiksaan, sampai pemerkosaan. Eksploitasi seksual merupakan bentuk pekerjaan berbahaya yang terlihat jelas, seperti terjadi di Batam, Jakarta, Surabaya, dan beberapa kota besar di Indonesia. Bisnis ini semarak sejalan dengan meningkatnya
12 13

Fencos weblog. Perlindungan Anak Indonesia. 21 Februaru 2008 Carol Bellamy. Op. cit. hal 5.

kemiskinan, walaupun tidak dapat diabaikan bahwa ada pula anak-anak yang menggeluti pekerjaan tersebut karena gaya hidup konsumeritas. Bekerja untuk keluarga pun berpotensi terjadinya eksploitasi. Tidak jarang orang tua yang memberi pekerjaan berada di luar kemampuan anak-anaknya. Bellamy mengatakan, sebagian besar keluarga di dunia mengharapkan anak-anak mereka dalam melakukan pekerjaan rumah tangga, seperti menyiapkan makanan, mengambil air, atau mengasuh saudara kandung yang lebih muda. Pekerjaan serupa ini terkadang menuntut waktu anak-anak berjam-jam yang menghalangi mereka bersekolah atau belajar, dan mengorbankan

pertumbuhan tubuh mereka. Sesuai dengan Pasal 32, konvensi PBB tentang Hak-hak Anak, maka pemerintahan telah meratifikasinya dengan mewajibkan untuk melindungi anak-anak dari eksploitasi ekonomi dan melakukan pekerjaan apa saja yang kemungkinan membahayakan, menggangu pendidikan anak, berbahaya bagi kesehatan fisik, jiwa, rohani, moral, dan perkembangan sosial anak.14 Eksploitasi terhadap pekerja anak seperti yang telah diungkapkan di atas, tentunya tidak sesuai dengan Pasal 32 tersebut, karena dapat menimbulkan berbagai gangguan pada anak, baik fisik maupun mental. Bequele dan Myers menggambarkan beberapa aspek yang dapat mengancam tumbuh kembang anak, yaitu: 15 1. Pertumbuhan fisik; termasuk kesehatan secara menyeluruh, koordinasi, kekuatan, pengelihatan, dan pendengaran.
14 15

Nachrowi Djalal Nachrowi. dan Hardius Usman. Op. cit. hal 180. Bequele. Assefa. dan Myers. 1993. Child Labour and Minimun Social Standarts: The Challenge for Asia Paper No. 1 Desember 1995. hal 48.

2. Pertumbuhan kognitif; memperoleh pengetahuan yang diperolah untuk kehidupan normal. 3. Pertumbuhan emosional; termasuk harga diri, ikatan keluarga, perasaan dicintai, dan diterima secara memadai. 4. Pertumbuhan sosial dan moral; termasuk rasa identitas kelompok, kemauan untuk bekerja sama dengan orang lain, dan kemampuan untuk membedakan yang benar dan yang salah. Mengingat masa anak-anak merupakan proses pertumbuhan, baik fisik maupun jiwa, maka anak-anak harus menghindari dari berbagai prilaku yang mengangu pertumbuhan tersebut. Oleh karena itu, anak-anak perlu dijamin hak-haknya, akan tetapi keadaan sosial, ekonomi, budaya, politik telah mengakibatkan tidak sedikit anak-anak yang harus kehilangan hak-haknya. Salah satu bentuk hilangnya hak-hak anak adalah memperkerjakan anak-anak bagi sebagian masyarakat merupakan kebutuhan, terutama bagi masyarakat miskin. Oleh karena itu, pekerja anak tidak dapat dihapuskan begitu saja, tetapi harus dikurangi secara bertahap lewat perencanaan yang matang. UU Perlindungan Anak No. 23 tahun 2002 dapat dilihat sebagai salah satu produk hukum sebagai implementsi dari Konvensi Hak-hak Anak yang diharapkan dapat memperbaiki kondisi anak sehubungan dengan upaya pemenuhan Hak Anak sehingga dapat mengurangi pelanggaran Hak Anak baik yang dilakukan oleh orang tua dalam konteks keluarga, masyarakat maupun negara, namun nampaknya pertanyaan besar masih membayangi dalam benak ini, apakah hal itu sudah teraplikasikan?

Fenomena pengemis anak menunjukkan angka yang cukup tinggi yang merupakan bentuk permasalahan sosial yang harus diatas. Di Boyolali, hal tersebut disebabkan karena permasalahan ekonomi. Tidak sedikit kita jumpai pengemis anak pada jam-jam sekolah sedang sibuk mengais uang recehan di tempat-tempat keramaian seperti pasar, perempatan jalan, terminal dan tempat keramaian lainnya.

F. Metode Penelitian Adapun metode penelitian yang yang dipakai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Spesifikasi Penelitian Adapun tipe kajian dalam penelitian ini lebih bersifat deskriptif, dimana dalam skripsi ini penulis akan mendiskripsikankan mengenai peraturan-peraturan yang berkaitan dengan anak dan anak menjadi pengemis, alasan dan faktor anak menjadi pengemis sehingga diharapkan mampu menjawab pertanyaan yang tersaji di dalam rumusan masalah yang telah penulis uraikan di atas. 2. Pendekatan Penelitian Jenis pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan normatif empiris. 16 Pendekatan normatif digunakan karena untuk meneliti atau mendeskripsikan dan menjelaskan kaidah atau norma hukum yang mengulas tentang perlindungan terhadap anak sebagai

16

Jonny Ibrahim 2005. Teori dan Metodologi Hukum. Surabaya. Hal 315

pengemis. Pendekatan empiris dalam penelitian ini, digunakan untuk menjelaskan karakteristik pengemis anak di Boyolali. 3. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di wilayah Boyolali dengan mengambil sample di beberapa titik strategis. Adapun penentuan lokasi ini berdasarkan ketertarikan penulis mengenai merebaknya jumlah pengemis anak di wilayah Boyolali. 4. Sumber Data Data yang disajikan diperoleh dari sumber-sumber data, yang meliputi sumber data primer dan sumber data sekunder. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut : a. Sumber Data Primer Yaitu data yang berasal dari sumber data utama, yang berwujud tindakan-tindakan sosial dan kata-kata dari pihak-pihak yang terlibat dengan obyek yang diteliti. 17 Data primer diperoleh dari informan di Pemkot Boyolali, Kepolisian, masyarakat, dan pengemis anak melalui wawancara dan pengamatan (observasi). b. Sumber Data Sekunder Data sekunder diperoleh dari studi kepustakaan yang meliputi bahan-bahan dokumenter, tulisan ilmiah, buku- buku, dan sumbersumber tertulis lainnya. Soerjono Soekanto berpendapat pula bahwa

17

Lexy J Moeleong. 1989. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. Hal. 112

data sekunder ini antara lain mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku hasil penelitian yang berwujud laporan, buku harian dan seterusnya.18 5. Metode Pengumpulan Data Data yang diperlukan dalam penelitian ini akan dikumpulkan melalui 3 cara yaitu: study kepustakaan, pengamatan (observasi), dan wawancara. Langkah awal akan dilakukan dengan study kepustakaan dengan mencari dan menginventarisasi data-data sekunder yang terkait dengan focus penelitian, yaitu masalah faktor anak menjadi pengemis, dan perlindungan hukumnya, kemudian langkah selanjutnya melakukan observasi dan wawancara untuk menghubungkan dan mengaitkan antara data primer dan data sekunder dalam penelitian ini. Observasi dan wawancara ini dilakukan dengan cara mengamati kondisi-kondisi social yang ada dan mengadakan tanya jawab secara langsung untuk menghubungkan dan mengaitkan antara data primer dan data sekunder dalam penelitian ini. 6. Metode Analisis Data Berdasarkan pendekatan penelitian, jenis penelitian dan jenis data dalam penelitian ini maka dipakai analisis data yuridis normatif yaitu menganalisis data yang diperoleh dari penelitian yang bersifat uraian, teori-teori, serta pendapat dari para sarjana untuk mendapatkan kesimpulan, data perimer yang terkumpul dianalisis sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
18

Soerjono Soekanto. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. UI. Jakarta. hal 12.

Yang dimaksud analisis data kualitatif adalah sebagaimana pendapat dari Soerjono Soekanto, yaitu : Suatu tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analitis yaitu apa yang dinyatakan responden secara tertulis atau lisan, dan juga perilaku yang nyata, yang diteliti dan dipelajari sebagai suatu yang utuh.19

G. Sistematika Penulisan Untuk memberikan gambaran umum isi atau meteri dari skripsi ini, penulis akan sajikan sistematika penulisan skripsi ini dengan terbagi menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu: Bagian muka, yang terdiri dari halaman judul, halaman nota pembimbing, halaman pengesahan, halaman motto, halaman persembahan, kata pengantar dan daftar isi. Bagian kedua adalah isi, yang tersusun dalam beberapa bab, yaitu: BAB I PENDAHULUAN, meliputi: latar belakang masalah, perumusan

masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka pemikiran, metode penelitian dan sistematiaka penulisan. BAB II TINJAUAN PUSTAKA, yang berisi mengenai uraian dasar teori dari penulis yang meliputi: tinjauan umum tentang anak, perlindungan hukum terhadap anak, tinjauan umum tentang pengemis anak, tinjauan umum penegakan hukum pidana.

19

Ibid, hal: 15.

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN, dimana dalam penelitian ini akan membahas meneliti dan menjelaskan mengenai: profil pengemis anak di kabupaten Boyolali, yaitu membahas mengenai

karakteristik pengemis anak, dan perlindungan hukumnya. Kebijakankebijakan pemerintah kabupaten Boyolali yang mengatur mengenai permasalahan pengemis anak BAB IV PENUTUP dimana berisi kesimpulan dari uraian skripsi pada Bab terdahulu, serta saran dari penulis kepada pihak-pihak yang bersangkutan dalam kasus yang diteliti dalam penulisan skripsi ini. Dan di bagian akhir dari skripsi ini akan dicantumkan daftar pustaka.

Anda mungkin juga menyukai