Anda di halaman 1dari 164

Kidung Pertama

Manusia berbohong untuk menutupi aibnya, Tanpa ia tahu, sebenarnya ia sedang membuka aibnya itu.

01

Hidupku dimulai pada usia enam tahun, tepatnya ketika aku mulai masuk sekolah dasar. Adapun sebelum itu, aku tidak begitu ingat apa pun. Bahkan saat Egi pertama kali tersenyum, atau ketika ayah mulai sering memeriksakan gigiku ke dokter, atau juga ketika ayah mulai mengizinkanku untuk tidur lebih dari pukul delapan malam. Tapi beberapa hal sering membuatku merasa aneh, dan bertanyatanya; aku masih ingat ketika Egi sedang berlari di tangga kemudian terjatuh, tapi Egi bilang saat itu aku masih bayi. Entahlah ..., kurasa saat itu aku setengah hidup atau sedang bermimpi. Berbicara mengenai mimpi, aku pernah mengalami sebuah mimpi yang tidak bisa kulupakan sampai hari ini. Waktu itu aku kelas tiga es-de, berarti setahun yang lalu. Ketika siangnya aku bermain kejar-kejaran dengan Andi dan Budi, malamnya aku benar-benar tidur nyenyak hingga lupa ke masjid untuk mengaji. Kemudian, tentu saja, aku bermimpi. Seorang lelaki dengan pakaian serba putih dan selendang yang berkibar kibar muncul di angkasa. Kupikir dia Superman berganti jubah, tapi malah lebih mirip Pangeran Diponegoro atau Imam Bonjol yang gambarnya sering kulihat di dinding kelas, atau semacamnya. Aku tidak begitu ingat rupa wajahnya, tetapi aku masih ingat suasana itu, pakaian itu, dan semuanya. Lelaki itu, siapapun dia, tersenyum padaku. Sebuah senyum yang selalu membuatku ingin merasa seperti sedang duduk di dekat jendela sambil memandangi rintik hujan. Aku tidak mengatakan mimpi ini pada siapapun, karena kupikir ini mimpi paling aneh yang pernah kumiliki. Lupakan itu. Tetanggaku banyak, walaupun hanya sedikit yang kutahu nama mereka. Tapi aku kenal baik dengan mereka. Mereka juga kenal baik denganku. Dalam beberapa hal dan kesempatan, mereka sering memberiku kue dan beberapa buah dari pohon yang tumbuh di halaman atau kebun belakang rumah mereka. Biasanya aku akan sangat senang sekali dan tak sanggup menolak jika pun buah itu tidak begitu kusuka. Karena dengan cara begitu, kata ayah, aku akan

mengetahui bahwa mereka menyukaiku. Walaupun hal itu tidak selalu mampu menjadi alasan yang paling manjur yang bisa kuterima. Karena pada kenyataannya, ada juga yang pelit, misalnya Om Firman. Sehingga, karena terlalu pelitnya, beberapa anak seusiaku tidak menyukai beliau, malah cenderung menghindari beliau. Tapi untunglah ada Budi yang begitu baik, ia sering mengambilkan buah jambu milik ayahnya untukku. Karena terlalu baiknya, ia bahkan nampak lugu. Aku bersyukur sekali mempunyai teman seperti Budi; ketika aku sedang sedih, melihat perutnya yang bundar membuatku kembali senang bukan main. Kupikir dia itu mirip beruang kutub yang baik hati. Ya ..., mungkin saja demikian, aku tidak pernah bertemu beruang kutub. Sungguh ini sangat aneh. Om Firman yang pelitnya minta ampun bisa mempunyai anak yang baik dan lucunya minta ampun. Hal ini membuatku malas memikirkannya lebih jauh. Lagipula aku kan, tidak akan bermain dan berteman dengan Om Firman, aku hanya akan bermain dan berteman dengan Budi, anaknya. Eum ..., bagi beberapa anak, sudah sewajarnya mereka mendapatkan sepedanya saat berusia lebih dari delapan tahun, bahkan mungkin sebelum itu. Tetapi tidak begitu halnya dengan diriku. Aku tidak begitu suka bersepeda. Aku lebih suka diam di kamar; memainkan mobil-mobilan kemudian menabrakkannya ke dinding, mewarnai koran edisi kemarin yang telah ayah baca, atau menghabiskan buku sketsa yang selalu ayah beli satu lusin tiap pekan khusus untukkusemua ini ayah lakukan karena melihatku sering menggambar di halaman belakang buku catatan sekolahku, mungkin ini semacam isyarat agar aku tidak mencorat-coret dinding dan atau buku catatanku lagi. Kakakku, Egi, tidak pernah mau peduli dengan apa yang kumainkan. Ia lebih senang bergaul dengan anak-anak seusianya. Kupikir ini wajar. Kadang mereka keluar malam dan pulang entah pukul berapa. Yang pasti, aku sudah terlelap. Yang terakhir ini rasanya tidak wajar. Tapi kemudian Egi tidak terlalu sering bergaul dengan mereka, apalagi keluar malam-malam, karena menurut ayah itu tidak baik. Lagipula, ayah juga

bilang, ia masih SMA, masih banyak hal yang bisa ia kerjakan ketimbang keluar malam tanpa tujuan yang bermanfaat. Semenjak itu, aku tidak pernah lagi melihat Egi keluar malam-malam. Memang sih, ia terkadang keluar malam dan membawa teman-temannya, tapi kali ini teman-teman Egi lebih ramah dan rapih. Aku sih, sangat senang jika ayah memarahinya, tapi aku jarang sekali melihat hal itu. Selain karena Egi memang cukup penurut, hal lain selanjutnya adalah ayah selalu bersembunyi jika akan memarahi anak-anaknya. Padaku, atau pun Egi. Kata ayah, ini semacam rahasia berdua saja. Sehingga aku tahu betul apa yang dinamakan rahasia. Rahasia itu tidak lebih dari dua orang saja yang tahu. Lebih dari itu namanya bukan rahasia lagi. Ketika kutanya pada Egi, Lantas itu disebut apa? Egi hanya diam sambil be rlalu. Dia memang orang hampir dewasa yang aneh dan sangat menyebalkan. Aku tidak mau main denganmu. Tidak akan mau. Kamu terlalu cengeng. Laki-laki tidak boleh cengeng!! Egi selalu bilang seperti itu padaku ketika usiaku delapan tahun, berarti tepat setahun yang lalu. Habis mau bagaimana lagi. Anak seusiaku memang begitu, kan? Aku tidak suka jika ia sudah mulai mempermasalahkan hal itu. Aku benar-benar tergangggu. Walaupun masih kecil, aku tetap seorang lelaki. Tetapi karena sering menangis, Egi bilang gelar lelaki itu akan tercabut dariku. Aku semakin banyak menangis, aku tidak mau menjadi perempuan. Apapun alasannya. Aku tidak suka! Dan Egi terlihat semakin senang. Ia menang lagi, bukan? Kurasa ini akan membuatku semakin dan semakin banyak menangis. Kurasa aku membencinya. Sejujurnya saja, ia memang bukan kakak yang paling kuinginkan untuk menjadi kakakku dari seluruh orang di jagat raya ini. Kadang aku memilih-milih beberapa orang seusia Egi yang kutemui di jalan atau di rumah temanku, atau juga di mall, pasar, dan sebagainya. Mereka yang terlihat ramah dan baik, dan juga yang wajahnya tidak pernah sesangar wajah yang dimiliki Egi ketika melihatku. Yang segera tersenyum ketika mataku menyapa matanyawalau kami baru pertama kali bertemu. Sebaiknya mereka saja yang menjadi kakakku. Bahkan aku sering berpikir jangan-jangan Egi adalah kakak tiriku, seperti halnya dalam sinetron di tivi-tivi itu; seorang kakak tiri selalu bersikap sangat jahat pada adik

tirinya. Tapi di sisi lain, aku sering takut jika Egi tidak lagi menjadi kakakku. Maksudku, dalam beberapa hal, Egi juga tidak begitu jahat, dia sering menjagaku ketika ayah tidak ada. Bahkan membuatkan susu untuk sarapan ketika aku tidak sempat karena bangun kesiangan saat Bi Nuni belum datang. Sering pula kuketahui, Egi memberikan selimut ketika aku sudah terlanjur mengantuk dan segera menghempaskan diriku di atas kasur tanpa peduli apa-apa lagi; kemudian memasakkan telur, nasi goreng, atau roti lapis, ketika Bi Nuni sok sibuktelur mata sapi buatan Egi jauh lebih enak dari pada buatan Bi Nuni. Pada saat itu aku benar-benar yakin bahwa Egi memang kakak kandungku. Ah, entahlah. Kadang hal ini memang begitu membingungkan! Yang pasti, pada akhirnya aku mengadukan perkataan Egi pada ayah bahwa Egi melarangku menangispadahal; sepertinya Egi tidak pernah berkata demikian, ia hanya tidak suka jika aku sering menangis. Aku mencoba sebisa mungkin agar air mataku tidak tumpah. Ternyata, usahaku berhasil. Ayah mengangkat tubuhku ke pangkuannya, kemudian membacakan isi koran pagi tadi yang belum sempat beliau simakkebiasaan ayah sebelum tidur. Aku kembali tenang dan melupakan berbagai pertanyaan yang belum sempat terjawab hingga akhirnya terlelap. Namun, kemudian aku tahu bahwa ayah selalu menunggu kepulangan Egi dan berbicara banyak hal dengan si Bandel itu. Walaupun aku tidak benar-benar yakin dengan isi pembicaraan mereka, tapi rasanyadalam hal iniaku mendapatkan pembelaan. Dadaku akan segera melapang kembali karena hal ini. Ayahku seorang dosen, setiap hari jarang di rumah. Tempat ayah bekerja cukup jauh. Tentu saja, tempat tinggal kami, bisa dikatakan adalah sebuah desa kecil yang cukup terpojok. Walaupun memang kami dengan mudah menikmati fasilitas pendidikan, belanja, atau sekedar jalan-jalan ke mall, tapi letaknya jauh. Mungkin SD dan SMP masih dekat, masih bisa ditempuh dengan berjalan kaki (di tempat kami masih jarang angkutan umum, karena jalannya kecil, hanya untuk pejalan kaki dan mobil pribadi). Tapi SMA sudah agak jauh, Egi saja harus menempuh puluhan menit dengan sepeda untuk sampai ke sekolahnya.

Aku menyukai desa ini seperti aku menyayangi Budi, Andi, Jamal, dan Avian. Tapi ketika aku agak besar, mungkin lima tahun ke depan, sepertinya aku akan mulai bertanya, mengapa ayah memilih tinggal di sini? Karena saat ini, tidak ada jawaban memuaskan yang bisa kudengar. Baik dari ayah sendiri, atau dari Egi. Maka kututup rapat-rapat pertanyaan itu sampai menguap dan berasap, kemudian hilang dari kepalaku dengan sendirinya. Karena pekerjaannya itu, ayah jarang sekali berada di rumah. Kadang aku merasa rindu dan ingin duduk dipangkuannya, namun beliau tidak selalu ada. Mungkin karena memang tempat kerja ayah dan rumah kami yang berjauhan. Bahkan pada hari minggu dan hari libur lainnya. Beliau sering pergi keluar kota. Katanya mengisi seminar atau kunjungan kerja. Aku tidak begitu mengerti apa maksudnya. Tapi aku sempat bertanya pada ayah, Dosen itu pekerjaannya apa, sih? maksudku, seperti apa atau apa saja yang dilakukannya setiap hari. Kemudian ayah bilang dengan sebelumnya berpikir agak lama, mirip dengan guru es-de, tetapi untuk orang-orang dewasa, sambil mencoba tersenyum dan menyimak wajahku. Hal ini membuatku tercenung cukup lama. Kukira orang dewasa tidak perlu sekolah, mereka sudah bisa bicara banyak dan terlihat sangat mengagumkan. Tetapi ... ah, entahlah. Kurasa aku akan jenuh jika harus sekolah sampai kakek kakek. Kendati, rasanya aku belum pernah melihat sekolah untuk kakek-kakek. Ini benar-benar membuatku keheranan; membayangkan orang-orang dewasa bersekolah, memakai seragam, jajan di warung Bi Uci, saling mengejar di koridor, dan sebagainya. Bukankah mereka seharusnya bekerja, menikah, dan mempunyai anak. Seperti ayahku misalnya; membaca koran pagi dan malam, menonton berita, berlama-lama di depan laptopnya, bercerita padaku menjelang tidur, dan bekerjamengajar. Oh ..., aku mengerti. Mereka memang harus belajar lagi. Karena kalau mereka tidak sekolah lagi, ayah tidak akan bekerja dan tidak dapat uang, artinya aku tidak akan bisa sekolah, bermain dengan teman-teman, membeli pakaian baru, dan segalanya. Mungkin yang sekolah lagi itu hanya orang-orang bodohnya saja, sehingga mereka harus terus mengulang pelajaran, seperti beberapa temanku yang tinggal

kelas. Tapi ..., rasanya teman-teman yang sering ayah sebut muridnya itu tidak terlihat bodoh atau dungu. Mereka bahkan seperti orang pintar, kepalanya saja banyak yang botak separuhmenurut Egi, botak semacam itu merupakan salah satu tanda bahwa mereka orang-orang pintar, untung aku tidak terlalu pintar sehingga tidak akan botak ketika besar nanti. Ugh, aku benar-benar pusing memikirkan hal ini! Karena itu, ayah sering kedatangan tamu orang-orang dewasa. Salah satu yang paling sering adalah Om Sugi, tertawanya seperti dibuat-buat. Yang lain tidak terlalu sering. Pernah juga seorang polisi datang ke rumah kami, aku benarbenar takut. Saat itu Egi berhasil membuatku menangis lagi, ia bilang aku akan ditangkap dan dijebloskan ke penjara karena selalu berbuat nakal dan mengganggunya. Sebenarnya aku sangat ingin tahu apa yang dibicarakan oleh orang -orang dewasa. Bukankah suatu saat nanti aku akan dewasa dan aku membutuhkan katakata itu agar aku tidak kewalahanatau apapun namanya. Maksudku, kata-kata yang sering dikeluarkan oleh orang-orang dewasa itu, mendengar kata-kata itu seperti sebuah mantra yang membuat mereka terlihat keren dan berada beribu-ribu tingkat diatas awan. Kurasa aku harus mampu memiliki kata-kata semacam itu agar aku bisa menjadi orang dewasa yang normal seperti mereka. Walaupun seringnya aku dibuat bingung dengan apa yang mereka katakan, kadang mereka tertawa untuk sesuatu yang tidak lucu. Egi termasuk narasumberku. Kendati, kebalikan dari itu, ia paling tidak suka jika pembicaraan rahasianya diketahui oleh adiknya. Dia selalu berkata bahwa, Setiap orang punya rahasia ...., Ari juga punya, kan? Jadi, pergilah. Dan aku tidak bisa berkata apapun, apalagi jika Egi sudah menutup pintu kamarnya rapatrapat. Ayah sudah sering memberitahuku mengenai makna rahasia ini. Lagipula aku juga paling tidak suka jika ada yang mengacak -acak kamarku, dan tiba-tiba saja mainanku hilang. Kurasa keamanan kamar juga bagian dari rahasia. Kukira ayah juga senang merahasiakan sesuatu dari kami; aku dan Egi. Misalnya ketika ayah merasa bahwa kadang beliau kehilangan uang yang

disimpan di dompet atau lemari pakaian. Hal ini sering sekali terjadi, terutama ketika aku mulai naik kelas tiga. Ayah tidak pernah mempertanyakan siapa di antara kami yang mungkin saja mengambil uangnya. Karena ayah yakin bukan kami pelakunya. Aku juga yakin, walaupun Egi bandel dan kebencianku padanya sampai ke ubun-ubun, bukan dia pelakunya. Lagipula ayah selalu mengajarkan kami untuk jujur. Selanjutnya, ayah membeli sebuah brangkas yang kodenya hanya diketahui oleh ayah saja. Kukira ini juga bagian dari rahasia. Aku juga ingin punya brangkas seperti itu agar mainanku juga aman. Ayahku itu memang sangat hebat! Pantas saja Egi selalu berkata, Lelaki tidak boleh menangis, karena pada kenyataannya aku tidak pernah melihat ayahku menangis. Juga Egi. Kukira, mereka berdua memang mirip. Benar-benar mirip. Bukan hanya secara fisik, tetapi juga sifat dan sikapkecuali sikap menyebalkan Egi. Rasanya Egi terlalu banyak meniru ayah dibandingkan aku. Dan ia selalu saja berhasil. Aku sering cemburu mengetahui hal itu. Aku sendiri pun bingung, mengapa aku tak mampu meniru ayah sebaik Egi. Suatu ketika aku sempat memergoki Egi membanting pintu kamarnya hingga berdebam dan kembali terpental, tentu saja membuat pintu itu malah tidak tertutup. Aku mencoba mengintip dengan sangat hati-hati. Tak pernah kulihat wajah Egi semerah itu, tapi ia tidak menangis. Ia hanya ..., merah ... : tidak mengeluarkan airmata. Kadang, jika kulihat merah seperti itu tertempel lagi diwajahnya, ia akan memukuli dinding dengan ujung kepalan tangannya. Setelah itu, ia akan mengalihkan dirinya pada bantal atau tumpukan buku tebal yang sebagian besar berbahasa inggris. Aku sangat ingin tahu bagaimana rasanya meninju dinding dengan ujung kepalan tanganku, ternyata sakitnya bukan main. Ayah menegurku untuk tidak mengulangi hal itu lagi. Beliau memergokiku tak lama setelah aku memergoki Egi melakukannya. Tadinya aku ingin berkata bahwa Egi juga melakukannya, tetapi urung karena pada saat itu Egi tengah ada di depanku. Aku takut Egi tahu bahwa aku masih sering mengintip perilakunya. Jika ia sampai tahu, ia akan membuatku menangis lagi.

Tapi akhirnya aku bertanya, Orang lain sering melakukan itu, kan, yah? Ketika ayah malah tersenyum oleh sebab yang tak tentu atau sesuatu yang tidak kumengerti sama-sekali, mataku mengerling pada Egi yang tampak terkejut menatapku. Sebelum ia berkata lebih banyak atau melotot lebih lebar, aku segera mengalihkan pandanganku pada ayah. Ayah mengacak-acak rambutku, Ada-ada saja. Tidak ada alasan bagi seseorang untuk melakukan itu, kecuali jika ia petinju. Mungkin, ... yaa, ... entahlah. Ayah kira petinju juga tidak melakukan itu pada dinding karena pasti sangat sakit! Dan ..., ayah tidak pernah melakukan itu. Apakah maksud dari kalimat Ayah tidak pernah melakukan itu karena : Ayah bukan petinju, atau Ayah tetap seorang lelaki, dan seorang lelaki tidak perlu melakukan hal itu? namun, belum sempat aku menerjemahkan kalimat itu, kemudian ayah malah balik bertanya, Dari mana Ari tahu bahwa orang lain sering melakukan itu? Seharusnya aku yang terhenyak dengan pertanyaan barusan karena kupikir pertanyaan itu untukku, tetapi malah Egi yang tersedak. Kupikir ayah sudah tahu jawabannya. Beliau memijat-mijat punggung Egi dengan lembut sementara Egi terus terbatuk. Sedangkan aku tidak berkata apapun. Tidak berkata apapun. Maksudku, benar-benar tidak berkata apapun! Karena kemudian aku tahu bahwa dibalik rambut yang menutupi matanya itu, Egi sedang menatapku penuh dendam. Satu lagi kesalahan kubuat dihadapan Egi, dan aku yakin betul Egi akan semakin membenciku. ***

Dibandingkan aku, Egi mengenal ibu lebih baik. Aku tidak pernah tahu wajah asli ibu seperti apa kecuali dalam foto. Maksudku, berapa tahi-lalat yang ibu punya selain di bawah matanya, atau baju apa yang sering ibu pakai selain yang ada dalam foto, atau apakah ibu sering bernyanyi keras-keras ketika sedang mandi seperti kebiasaan Egi yang mulai sering kutiru?

Mungkin inilah penyebab utama mengapa Egi sangat membenciku. Ia bilang, ibu pergi karena melahirkanku. Sebenarnya aku sedih betul mengetahui kenyataannya seperti itu. Ibu memang meninggal karena melahirkanku. Tapi mau bagaimana lagi? Aku tidak tahu jika ibu kehabisan darah karena aku. Mungkin jika aku tahu, aku akan bilang terlebih dahulu pada ayah agar ibu mau menyisakan darah untuk dirinya sendiri, aku hanya butuh sedikit karena waktu itu aku masih kecil: aku masih bayi kupikir bayi tidak membutuhkan darah terlalu banyak karena tubuhnya sangat kecil. Tapi ayah diam saja. Setelah aku tidur, ayah pergi ke kamar Egi. Aku tidak tahu apa yang ayah lakukan pada Egi, tetapi Egi tidak pernah mempersalahkanku lagi atau menghubung-hubungkan kematian ibu dengan kelahiranku. Semenjak itu, tidak ada seorang perempuan pun hadir di rumah kami. Kecuali Nenek Fatma, nenek dari pihak ibu. Kalau nenek dari pihak ayah, sudah meninggal. Nenek Fatma adalah satu-satunya orang tua dari orang tua kami yang masih hidup. Ketika orang lain memiliki dua kakek dan dua nenek, kami hanya memiliki Nenek Fatma. Nenek Fatma pun sangat jarang berkunjung ke rumah kami, mungkin hanya sebulan atau dua bulan sekali. Bahkan beberapa tahun ini jarang sekali. Kukira karena sekarang nenek fatma sudah sangat tua. Keriput di wajahnya sudah tidak terhitung jumlahnya. Kami bisa menemuinya jika kami yang berkunjung ke rumah Nenek Fatma. Oh, aku melupakan Bi Nuni. Dia seorang wanita, kan? Dia yang sering membantu kami memasakketika ayah harus bekerja pada senin sampai jumat, mencuci pakaian, beres-beres rumah, dan segalanya itu. Tetapi Bi Nuni hanya muncul dua jam dalam sehari, artinya hanya sebatas itu saja ia menghabiskan waktunya di rumah kami; dia datang pada pukul tujuh pagi, dan pergi lagi setelah pekerjaannya selesai, biasanya ia membawa seluruh cucian ke rumahnya, dan kembali pukul tujuh hari berikutnya dengan pakaian kami yang sudah bersih dan licin.

10

Sebenarnya Bi Nuni baik dan perhatian, tetapi lebih sering bawel dan menjengkelkan. Egi bilang begitulah perempuan. Apa sih, maksudnya? Aku juga punya anak di rumah. Aku tidak mau anak-anakku nakal seperti kalian!! Katanya suatu ketika. Padahal siapa yang nakal?! Aku tidak pernah memecahkan kaca jendela atau mengambil buah-buahan di halaman rumah orang, aku hanya sering menggambar di dinding, itu pun sudah tidak pernah lagi kulakukan setelah masuk Taman Kanak-kanak. Jadi, katakan padaku, nakal di bagian mana? Tadinya kupikir ucapan Bi Nuni itu untuk Egi, aku senang jika mendengar Egi dimarahi karena nakal. Tapi pada kenyataannya, Egi malah sepakat bahwa aku-lah yang nakal. Dia berkata demikian sambil tersenyum bahagia. Mungkin Egi dan Bi Nuni sedang bersekongkol. Jadi, kurasa aku harus mulai berpikir bahwa aku memang nakal. Ya ..., terserah mereka saja-lah. Kurasa lain waktu aku akan memanjat pagar, merusak taman bunga Bibi Desi, mengambil buah jambu Om Firman tanpa izin, menjahili Budi yang gendut lucu, dan memecahkan kaca jendela siapapun dengan bola kasti, dari pada menggambar di dalam kamarku. Karena aku adalah anak nakal. Ari mau hadiah apa tahun ini? Tanya ayah, di tangannya sebuah koran siap dibaca. Aku sempat berpikir ingin mainan atau jalan-jalan ke mall atau tempat lain yang seru-seru. Mungkin Dufan, Water Boom, atau mungkin restauran cepat saji seperti yang sering muncul di tivi-tivi. Tapi kemudian aku sadar bahwa Egi sedang menunggu jawabanku juga. Ari ingin ..., ingin foto ibu saja. Satu saja. Yang besar, pakai figura supaya bisa Ari pasang di dalam kamar. Ayah diam. Entahlah, aku berusaha menangkap ekspresi itu dengan sebuah pertanyaan yang membuat dahiku mengernyit. Kemudian aku meneruskan kalimatku. Egi punya banyak di kamarnya. Ari tidak punya satupun. Ayah menatap wajahku. Kami terdiam agak lama. Sempat kulihat Egi mengerling padaku. Pertama, panggil kakakmu dengan sebutan yang lebih manis. Misalnya; kakak atau ...., abangAyah kan, sudah sering meminta hal itu.

11

Itu terdengar lebih baik. Kedua, ayah janji akan memberi foto ibu yang paling besar di kamar Ari besok sore. Aku tersenyum lebar. Kemudian secara tidak sadar menggumamkan kata kakak, kurasa cukup jelas, ayah bahkan tersenyum. Segera saja ku alihkan pandanganku pada Egi, dia menjulurkan lidahnya tanpa sepengetahuan ayah. Aku lebih suka memanggil nama Egi saja. Lagipula, kami jauh sekali dari kata bersaudara. Memanggilnya kakak adalah suatu hal yang sangat aneh sepanjang perjalanan hidupku. Ini membutuhkan pengorbanan yang sangat besar. Lebih besar dari banjir bandang Nabi Nuh yang diceritakan ayah tempo hari! Kurasa, begitupun dengan Egi, dia harus menahan telinganya untuk tidak gatal dengan kata itu. Lagipula apakah Egi mau kupanggil kakak? Kupikir inilah alasan utama mengapa aku, sampai hari ini, tidak pernah memanggilnya kakak. Kami memang terlahir dari rahim yang sama, tapi aliran darah kami berpacu secara terbalik. Jika darahku mengalir ke kanan, maka aku yakin darah Egi akan bertolak ke kiri. ***

Ketika hari ulang-tahunku tiba, aku pulang dari sekolah lebih cepat. Aku berlari. Untunglah, tidak ada seorang teman sekolah-ku pun yang tahu bahwa hari ini aku berulang tahun. Termasuk Budi, Jamal, Andi, atau bahkan si pintar Avian. Aku tidak menyukai pesta-pesta di sekolah. Apalagi tingkah beberapa teman yang saling kejar atau bahkan main siram-siraman ketika mengetahui salah seorang temannya berulang-tahun. Yang lebih parah lagi mereka menganggap kepala orang yang berulang tahun itu semacam loyang, sehingga diberi tepung dan telur mentah! Itu sangat menjijikan, bukan!? Mereka kira kepalaku martabak?! Walaupun sebenarnya aku tidak punya alasan mengapa harus lari? karena toh, tidak akan ada yang berani berbuat hal menjijikan itu padaku. Aku hanya ingin menghindarinya saja. Egi masih belum pulang ketika aku sampai di rumah. Sekolah Egi jauh, tentu saja.

12

Kami (aku, ayah, dan Egi) masing-masing mempunyai kunci rumah. Bi Nuni juga. Jadi aku bisa masuk rumah tanpa harus menunggu Egi atau bahkan ayah pulang sementara Bi Nuni sudah pulang ke rumahnya beberapa jam yang lalu. Makanan sudah agak dingin tersaji di meja makan. Tapi nafsu mak anku tidak begitu memintaku untuk segera mengisi perut yang sebenarnya sangat keroncongan mirip cacing yang cacingan. Aku segera berlari menuju kamarku dan membuka pintu dengan tergesa. Biasanya aku akan menemukan tiga buah kado terbungkus rapi di atas tempat tidurku. Tapi kemudian mataku terbeliak lebar. Heran. Ternyata ada empat. Kado pertama bentuknya besar pipih. Tebakkanku bahwa ini pasti hadiah yang sudah dijanjikan ayah. Ternyata benar. Dan isinya, sudah tentu foto ibu beserta figuranya yang berwarna hitam pekat. Ibu terlihat manis walaupun gambar ini hanya berwarna hitam putih dengan kualitas gambar yang tidak begitu tajam. Mataku mulai menyapu seluruh bagian dinding yang kosong untuk gambar ibuku. Aku senang mengisi dindingku dengan gambar-gambar buatan ayah, Egi, dan tanganku. Mungkin nanti aku akan melakukan perubahan besar-besaran agar gambar ibu bisa terpajang sempurna. Selanjutnya adalah kado yang berwarna pink. Aku sudah tahu bahwa ini pasti dari Nenek. Entah kapan Nenek membawa hadiah ini ke sini. Ya ..., ampuun, isinya sweater lagi?! Tidakkah Nenek tahu bahwa Indonesia memiliki dua musim!? Hanya dua musim. Artinya selain hujan, hanya ada musim panas! Tidak ada musim dingin bersalju atau musim bunga berguguran dan semacamnya. Tapi ..., aku tidak bisa menolak kenyataan bahwa sweater ini hasil rajutan Nenek selama satu tahun, dan itu adalah perjuangan yang sangat menakjubkan. Egi juga selalu mendapatkan benda yang sama. Berarti, di dalam lemarinya ada enam-belas sweater menggantung. Dan sebentar lagi ia juga akan dapat yang ke tujuh-belas. Yang ketiga membuatku kaget. Ini dari Egi. Dia tidak pernah memberiku hadiah sepanjang sembilan tahun usiaku. Ini benar-benar membuatku berhenti bernapas seandainya saja aku tak segera berhasrat untuk tahu apa isinya.

13

Sebuah T-Shi t polos berwarna hijau, warna kesukaaan Egi Sebaiknya aku mulai memberi tanda pada hari ulang -tahunnya. Yang keempat berarti dari Bi Nuni. Kali ini ia tidak memberi kue lagi, karena terakhir kali ia memberi hadiah padaku adalah kue yang terbungkus rapi, secara tidak sengaja aku mendudukinya. Aku kan, tidak tahu bahwa isi bungkusan itu adalah benda lunak! Kali ini Bi Nuni membelikan sekotak cat poster lima warna: hitam, putih, kuning, biru, dan merah; serta tiga macam kuas berbeda ukuran. Aku segera mengambil buku sketsa kemudian menggambar apapun di atasnya.

02

Tiba-tiba telepon berdering. Kediaman keluarga Farhan. Ada yang bisa kami bantu? Ini adalah kalimat yang ayah ajarkan padaku. Beberapa orang memujiku dalam hal ini, tapi aku tidak

14

tahu siapa mereka. Aku hanya mengetahuinya dari ayah dandengan terpaksa Egi. Ri, ini ayah. Eum ..., jawabku, benar-benar tidak jelas. Aku juga tidak tahu harus menjawab apa. Sepertinya kalimat itu belum selesai. Ayah tidak akan pulang malam ini. Besok juga. Ari jaga rumah baik-baik, ya. Jaga Kak Egi juga, katakan pada Kak Egi agar jangan terlalu sering begadang. Ayah pulang lusa. Baik-baik, ya .... Iya. Kemudian ayah menutup sambungan. Aku mulai bertanya-tanya apakah ayah juga mengatakan hal yang sama jika Egi yang mengangkat telepon? Kadang aku menjawab tidak, karena aku yakin bahwa ayah selalu memperlakukan kami dengan cara yang berbeda. Tapi jawaban iya juga muncul, soalnya begitulah cara ayah mengatakan bahwa beliau sangat menyayangi kami. Pintu kamar Egi tidak tertutup rapat. Aku mengintip dengan sangat hati-hati. Egi sedang menghadap cermin dengan bertelanjang dada. Ia mengangkat tangannya seperti seorang binaragawan. Ini sangat lucu. Aku tidak tahan lagi. Aku memberanikan diri untuk mengetuk pintu. Tok tok tok! Ia agak tertegun, kemudian segera meraih kaosnya. Mau apa? Tanyanya, terdengar kasar seperti biasanya. Memangnya setiap orang melakukan hal itu? Hal apa? Ia mulai menyelidik. Kamu ngintip? A-aku tak sengaja. Salah siapa tidak menutup pintu lebih rapat. Tentu saja aku tidak mau disalahkan seratus persen. Kan, memang Egi yang ceroboh! Kamu ngintip!! Tidak sengaja! Kan tadi sudah kubilang! Egi menarik napas dalam-dalam, mencoba untuk tidak peduli atas apa yang baru saja ia lakukan. Ya-sudah .., pergi sana. Aku mau belajar! Jawab dulu ....

15

Egi nampak banyak berpikir, hal itu bisa kulihat dari tatapan matanya. Kurasa iya. Begitulah. Tunggu saja sampai kamu besar. Sudah?! Sekarang pergi. Maksudnya apa? Ari tidak pernah melihat ayah melakukannya? Jika itu adalah perbuatan setiap orang? Jadi Ari juga sering mengintip ayah? Tidak! Jawabku spontan. Apa sih, yang salah dari intip-mengintip sehingga Egi begitu menginvestigasiku atas kasus ini? Tapi kurasa mengintip memang bukan perbuatan yang baik. Hehehe ..., kendati aku malu mengakui kesalahanku ini. Soalnya Egi itu sangat galak dan akan semakin menyalahkanku. Jika kamu banyak bergaul dengan teman-temanmu, kamu akan dapat lebih banyak dari pada mengintip aku atau ayah! Jadi benar? Tanyaku lagi. Apa? Setiap orang melakukan itu? Egi hanya mengedikkan bahunya. Kurasa jawabannya lebih pada begitulah ..., tapi aku tidak berani memastikan. Apalagi kupikir itu adalah perilaku yang sangat menjijikan. Anomali. Aku tidak mau melakukannya. Apakah ayah juga melakukannya ketika sedang di dalam kamar sendirian. Ya ..., selama ini aku tidak pernah melihat ayah melakukan hal itu, bukan berarti ayah tidak pernah melakukan hal itu. Aku mencoba sebisa mungkin untuk dapat melupakan kejadian sore ini. Kurasa aku memang harus menjaga Egi, ia banyak melakukan hal hal aneh yang ia sebut pekerjaan orang banyak. Malamnya, telepon kembali berdering. Kediaman keluarga Farhan. Ada yang bisa kami bantu? Egi-nya ada? Tanya sebuah suara halus. Ini suara seorang cewek. Ada. Dari siapa, ya? Dengan agak ragu, suara itu menjawab, Temannya ....

16

Dan aku sangat benci jika seseorang di dalam telepon hanya menjawab temannya. Drakula juga bisa menyamar menjadi temanku! Tapi mana mau aku menerima telepon dari drakula?! Sebentar, ya ..., jawabku kemudian. Aku masih bisa berkata halus walaupun sudah dibuat kesal, karena aku punya pemikiran bahwa cewek itu bisa jadi adalah pacar Egi, dan aku tidak mau jika Egi sampai memarahiku karena telah memarahi pacarnya. Tok tok tok. Pintu kamar Egi terkunci rapat. Ini tidak aneh. Sepanjang usiaku, aku sangat memaklumi kebiasaannya mengunci pintu kamarnya dan harus selalu mengetuk pintu jika ingin menyampaikan sesuatu. Jika tidak, ia akan berteriak seperti serigala yang akan memakan kepalaku sampai putus. Kadang, akupun menirunya. Maksudku, bukan pada bagian aturan mengetuk dan berteriak menjengkelkan seperti serigala, tetapi mengunci pintu jika sedang tak mau diganggu. Apalagi!? Busyet, aku benar-benar kaget, barusan Egi nyaris berteriak. Padahal aku sudah mengetuk, tapi ia tetap saja seperti serigala. Ada telepon, tuh! Sahutku. Dari siapa? Tanya Egi, suaranya melunak. Seorang ... Cewek. Terdengar suara kunci yang dibuka, diikuti oleh ayunan pintu dan muncullah wajah Egi yang penuh minyak, mirip wajan bekas dipakai menggoreng. Mungkin aku harus mulai berpikir untuk tidak memakan gorengan apapun yang dimasak Egi, karena bisa jadi ketika stok minyak goreng kami habis, ia memeras wajahnya untuk mendapatkan minyak. Membayangkannya saja membuatku mual. Kemudian Egi melewatiku begitu saja. Ia menghampiri telepon. Aku masih sempat melihat gayanya berbicara. Ia tersenyum-senyum sendiri, padahal tidak ada orang lain disana. Ia berbicara seolah-olah ada Omas atau Mpok Nori di depannya. Atau mungkin cewek tadi adalah Fitri Tropika. Kupikir aku akan senang jika mendapat telepon dari Fitri Tropika, aku akan menceritakannnya pada semua teman-temanku.

17

Aku kembali ke kamar, melanjutkan gambarku. Sekira dua puluh menit kemudian, kudengar suara kaki Egi kembali ke kamarnya. Kurasa kupingnya sudah panas dan mengepul. Lalu, entah beberapa menit setelah pintu kamar Egi tertutup, telepon kembali berdering. Kuharap Egi kembali membuka pintu lalu keluar dari kamarnya dan mengangkat telepon. Tapi kuhitung sampai lima belas, ia belum juga muncul. Telepon kembali berdering dan kali ini tidak kubiarkan lebih lam. Ternyata dari ayah. Ari sedang apa? Menggambar. Eh ..., melukis. Kudengar tawa kecil dari arah berlawanan. Ayah tertawa rupanya. Mungkin di sana ada hal yang lucu. Kak Egi sudah tidur? Tanya ayah lagi. Belum ..., barusan ia mendapat telepon dari pacarnya. Pacar? Ya, seperti pacarnyasi Fitri Tropika itu. Cewek itu menelepon sangat lama. Pantas ayah tidak bisa menghubungi dari tadi, rupanya ..., sela ayah. Dan terdengar beliau sedang berbicara dengan orang lain. Ayah ... ? Ya ..., sahut ayah kemudian. Tapi kemudian aku urung. Sebaiknya ketika ayah sudah pulang saja. Ada apa, nak? Tanya ayah lagi, hal ini membuatku berpikir ulang jika harus menunggu ayah pulang, waktunya terlalu lama. Egi bertingkah aneh di depan cermin. Ayah tertawa ringan. Kurasa dahiku merengut. Apakah setiap anak lelaki akan melakukan itu? Tanyaku lagi. Ayah kembali tertawa. Aku mulai menebak-nebak bahwa jawaban atas pertanyaanku adalah iya, dan aku tidak bisa menerima hal itu. Aku belum siap. Aku lebih senang tumbuh dewasa tanpa bertingkah aneh. Lagipula, hal itu sangat memalukan.

18

Ayah belum sempat menjawab ketika kudengar samar-samar seseorang bertanya, dan kemudian ayah menjawabnya. Aku masih menunggu. Lalu pada akhirnya ayah menjawab, Tidak, tidak semuanya begitu. Mungkin Kak Egi hanya sebagian kecil saja .... Tadinya aku akan membantah dengan mengatakan bahwa teman-teman Egi sering melakukan hal itu juga. Tapi lebih baik tidak, aku tidak mau ayah tahu bahwa aku sudah banyak menanyai Egi mengenai hal ini. Ayah tahu bahwa Egi tidak suka aku banyak bertanya, dan itu artinya aku banyak ikut campur urusan orang lain. Terutama dalam hal intip-mengintp. Aku tidak mau ayah tahu bahwa aku telah, dengan tidak sengaja, mengintip kelakuan buruk dan terlaknat yang dilakukan Egi di depan cermin. Aku takut jika ayah tidak suka, dan sebenarnya aku sudah tahu bahwa ayah pasti tidak suka. Eum ..., sepertinya sekarang Ari harus tidur. Sudah malam. Jangan lupa kunci pintu dan matikan lampu ruang tamu dan dapur. Baik-baik, ya. Iya ..., jawabku polos. Kemudian sambungan tertutup. Aku mulai memeriksa ruang tamu yang terhubung langsung dengan pintu depan. Begitu mendekati pintu, aku yakin pintu itu sudah terkunci, ternyata benar. Berarti Egi sudah melakukannya lebih dulu. Begitu pun dengan pintu belakang. Bahkan lampunya juga sudah mati. Kurasa Egi memang lebih berpengalaman daripada aku. Bahkan mungkin dia juga sudah siap dengan palu bogem dibawah kasurnya jika ada maling yang masuk ke rumah kami seperti beberapa tahun yang lalu. Malam ini, seperti malam-malam sebelumnya tanpa ayah, aku bisa mengandalkan Egi dan palu bogemnya itu. Sebelum naik ke kamarku, sempat ku tempelkan telingaku ke pintu kamar Egi. Ini bukan mengintip, berarti bukan masalah besar, walaupun aku masih berpendapat bahwa Egi tidak akan menyukai hal ini. Terdengar suara-suara gemerisik diselingi nyanyian sengau, aku segera tahu bahwa itu pasti suara Egi. Wajahnya memang tidak jelek, tapi suaranya ampuuun, deh! Lebih baik aku mendengar kodok berkicau atau kambing berkokokmana ada, kan?

19

Selanjutnya, tanpa kusadari sepenuhnya, pandanganku sudah berada di depan pintu kamarku. Setelah mencuci kaki dan sikat gigi, aku segera menuju tempat tidur. Tapi rupanya ini malam yang berbeda. Aku tidak bisa cepat tidur. Aku sudah berusaha menutup mataku sekeras mungkin, bahkan tidak sedikitpun cahaya masuk karena lampu juga sudah kumatikan. Kurasa Egi begadang lagi. ***

Egi bangun lebih pagi, ia membuat sarapan walau hanya beberapa potong roti tawar dengan taburan meses diatas lapisan mentega ditambah segelas susu. Dia bahkan sudah mengenakan seragam sekolahnya dengan rapi. Ketika aku baru saja akan duduk di kursi makan, ia sudah siap menuju pintu. Kami memang tidak pernah lagi berangkat sekolah bersama. Lagipula, kata Egi, sekolah kami jelas berbeda, aku masih SD dan Egi sudah SMA. Namun sebenarnya aku tahu bahwa ini adalah masalah kehormatan. Egi akan merasa kehormatannya runtuh jika terdapati dirinya bersama anak SD berdasi yang seharusnya ia panggil adik. Bi Nuni muncul setelah aku berhasil meninggalkan halaman rumah. Kemudian beliau berteriak agak kencang, Sudah sarapan belum!? Sudah!! Jawabku, tak kalah kencang sambil terus berlari. Andi dan Budi sudah berangkat mendahuluiku, tapi begitu kupercepat langkahku, ujung kepala mereka masih terlihat. Sehingga segera kukejar sambil berteriak memanggil-manggil nama mereka. Mereka menoleh, karena mereka tak asing denganku, mereka kembali berjalan, tetapi melambat. Budi berjalan agak aneh, ia mirip bebek. Yang mana? Aku belum menangkap pertanyaan Andi, lagipula itu bukan ditujukan padaku. Jadi aku diam saja sambil berusaha mengisi paru-paruku dengan lebih banyak oksigen. Aku yakin Budi tidak akan mengambil jatah oksigenku, karena dia sudah terlalu kembung.

20

Yang bisa berubah bentuk. Aku suka yang merah ..., jawab Budi. Aku masih belum bisa tahu lebih jelas. Tapi aku yakin, yang mereka bicarakan pasti tokoh jagoan bertopeng kesukaan mereka. Sebenarnya aku juga suka dengan jagoan-jagoan itu, tetapi aku tidak sempat menontonnya kemarin, jadi aku memilih diam. Ri, nanti sore main bola kasti, yuk. Ajak Andi. Pada akhirnya mereka memang harus menyadari bahwa aku sedari tadi berjalan bersama mereka. Kemudian aku mengangguk. Semenjak Pak Santoso, guru olahraga kami, mengajarkan permainan bola kasti, olahraga jenis ini menjadi sangat populer di kalangan anak-anak kelas empat. Kami memainkannya hampir setiap sore. Tapi aku sebenarnya tidak begitu suka. Aku hanya senang ketika teman-teman menyoraki pukulanku yang selalu tepat sasaran dan jauh. Itu keuntungan besar bagiku yang tidak bisa berlari cepat. Dan aku yakin satu hal, Andi dan Budi akan melakukan apapun untuk satu kelompok denganku. Begitu sampai di sekolah, kami tidak segera duduk manis di kelas. Lagipula, masih banyak waktu sebelum bel berdering memanggil kami untuk belajar. Dan masuk kelas pada saat bel belum berbunyi adalah pekerjaan anak-anak cewek. Anak-anak cowok lebih senang nongkrong di dekat tukang mainan atau berkumpul di koridor dengan tertawa keras-keras. Entahlah, kami hanya senang melakukan itu tanpa sebab yang jelas. Mungkin ini memang dunia cowok, seperti yang selalu Egi katakan. Lama-lama aku mulai terpengaruhi pemikiran Egi yang sesat. Aku tidak mau jika sampai harus mengikuti tingkahnya berlagak aneh di depan cermin. Banyak hal yang kami kerjakan di koridor itu; mulai dari memamerkan kelereng kami yang berragamaku punya satu yang tidak akan kutunjukkan pada seorang anak pun; berbagi permen; membicarakan keburukan si Lela dan geng nya yang bawel-bawel; hingga kebiasaan aneh para guru, walaupun kami masih segan pada beliau-beliau itu. Hepisebenarnya happy, nama yang anehmelewati kami dengan seribu gaya, dia itu anak cewek dari kelas 4-B yang pindah ke kelas kami. Kupikir dia itu

21

tidak normal, lagipula kelas B memang dikenal bodoh-bodoh. Dia pernah mengirim surat cinta pada Avian. Yang benar saja! Avian kaget bukan main. Sebagai seorang anak SD, Avian memang berbeda. Dia tidak pernah terlihat dekil walaupun sedang berkeringat, bicaranya selalu sopan (ibunya seorang guru bahasa indonesia di SMA Negeri di kecamatan kami), dan pakaiannnya selalu rapih. Aku pernah berprasangka bahwa ia memiliki tujuh seragam, sehingga bisa ganti setiap harinya. Tapi ia masih seorang anak sepertiku yang sangat membenci cewek genit macam Hepi. Dia kira dirinya cantik?! Ketika melihatnya saja kami segera berlari sejauh mungkin! Tapi kemudian kami tahu bahwa cowok yang pernah dikirimi surat cinta oleh Hepi bukan hanya Avian; Andi, Budi, dan Jamal juga pernah. Aku juga pernah dapat, tapi tidak kusampaikan pada siapapun. Aku tidak bisa tidur karena takut teman-temanku tahu. Selain itu, aku tidak tahu lagi. Jangan-jangan dia sudah mengirimi surat cinta untuk semua cowok di sekolah ini, termasuk Pak Santoso! Kadang aku berpikir, entah apa isi kepala si Hepi itu. Dia kan, masih kecil! Dia bahkan lebih kecil dari Jamal. Bel berdering lebih kencang dari biasanya. Kami berhamburan menuju kelas masing-masing. Kelas kami adalah kelas yang cukup nyaman dan sederhana. Kami memiliki cermin kesayangan yang selalu kami lewati dengan gaya. Bagi kami, cermin itu seperti karpet merah dalam meraih Piala Oscar! Bu Yanti pernah berkata bahwa cermin itu telah ada sejak lama, tidak ada kelas lain yang memiliki cermin seperti ini di dalam kelasnya. Jadi, bisa dikatakan bahwa cermin ini adalah kebanggaan kelas ini secara turun temurun. Kupikir, kadang hal ini terlalu berlebihan. Tapi memiliki sesuatu yang bisa dibanggakan dan tidak dimilik oleh orang lain adalah satu hal khusus yang kami nikmati. Kadang aku berpikir bahwa perilaku ini adalah cikal bakal dari sifat sombong. Tapi, ya , kami tetap membiarkannya tumbuh begitu saja. Karena, toh, tahun depan pun kami tak akan memilikinya lagi.

22

Selanjutnya ada bunga-bunga yang menggantung di dekat jendela dalam jambangan dari plastik, bunganya juga bunga plastik, sehingga kami tidak perlu repot-repot menyirami bunga-bunga itu. Kemudian papan tulis kami yang selalu bersih, Avian yang paling rajin menghapus papan itu. Ia bahkan menunjukkan kepada kami bagaimana cara menghapus papan tulis dengan benar, agar debunya tidak menyebar ke manamana. Dodi yang malang karena harus menggunakan kacamata (dan ia tampak risih dengan hal itu), duduk di sampingku. Kami berteman semenjak kelas dua. Tetapi ia masih saja begitu, tidak pernah bicara banyak. Sepengetahuanku, ia hanya mampu mengangguk atau menggeleng. Dia itu seperti bantal guling dengan kaca mata bertengger di hidungnya. Dan, tentu saja memiliki rambut dan menggunakan seragam sekolah dasar. Kadang, ketika aku sedang sendirian di rumah, aku akan memakaikan seragam sekolah kepada bantal gulingku, dan tak lupa kaca mata hitam di bagian atasnya, selanjutnya aku akan memanggilnya dodi dan mengajaknya bermain mobil-mobilan atau menggambar di dalam kamar. Kupikir, tak ada bedanya. Aku tetap merasa bahwa bantal guling itu adalah dodi, dan juga dodi saat ini adalah bantal guling. Di depanku, Mimi dan Nia duduk berdampingan. Kurasa hanya mereka-lah cewek yang normal di kelas ini. Mereka itu baik, sering meminjamkan pensil, penghapus, rautan, dan bahkan memberi makanan yang kadang mereka bawa dari rumah. Mereka juga tidak bawel dan genit seperti kebanyakan anak-anak cewek di kelas. Mungkin karena mereka memang pintar, sehingga otak mereka tidak mudah terpengaruhi hal-hal buruk. Anehnya, walapun mereka selalu bersaing dalam hal nilai, mereka selalu akur-akur saja. Paling-paling kalau sedang ujian baru akan terlihat aneh, mereka seperti dua anak yang sedang marahan. Bu Yanti masuk dengan senyum merekah. Beliau selalu membawa sapu tangan ke dalam kelas. Aku tahu mengapa beliau selalu membawa sapu-tangan, karena suatu hari aku pernah mendengarnya mengeluhkan tangannya yang menjadi lengket setelah bersalaman dengan seorang anak. Dan aku juga tahu apa

23

yang beliau maksud lengket, anak itu ingusan. Kasihan Bu Yanti. Tapi beliau begitu penyabar. Itu yang membuat kami menyukainya. Berbeda sekali dengan Bu Butet yang galak. Beliau mengajar di kelas B. Beliau pernah melempar penghapus papan tulis tepat ke mulut seorang anak yang sedang menguap saat pelajaran berlangsung, sehingga wajahnya langsung putih oleh kotoran kapur dan tentu saja anak itu kaget bukan main dan kemudian terbatuk-batuk. Aku tahu betul siapa anak itu, namanya Subki, dia pernah satu kelas denganku waktu kelas satu. Subki yang kukenal, sangat baik. Dia bukan anak yang nakal apalagi senang ribut di dalam kelas. Aneh juga mengetahui dia dilempar penghapus oleh Bu Butet. Aku juga tidak mengerti mengapa ada guru semacam Bu Butet itu. Aku tidak mau dekat-dekat dengan orang semacam itu Egi saja sudah cukup aneh. Aku tidak mau mengorbankan masa depanku bersama orang-orang aneh. Untunglah kami mendapat wali kelas yang baik. ***

Rumahku masih sepi ketika aku pergi ke tanah lapang untuk bermain kasti dengan teman-teman. Egi belum pulang. Aku jadi khawatir juga. Semenjak ia masuk SMA, ia sering pulang agak larut. Bagusnya, ia lebih sering merawat dirinya. Ia nampak lebih rapih dan bersih. Bahkan aku pernah melihat produkproduk kosmetik di meja belajarnya; mulai dari deodoran sampai pencuci wajah. Kupikir yang seperti itu hanya untuk perempuan, karena bintang iklan di tivi-tivi lebih sering menampilkan wajah perempuan. Mungkin Egi memang sedang berusaha tampil cantik. Tapi tetap saja ia kasar bukan main. Kuharap benda-benda itu mampu membuat Egi lebih manis dan baik lagi. Amin. Tapi , kupikir-pikir, aku tidak mau memiliki kakak laki-laki yang cantik dan manis. Aku ingin dia seperti itu saja. Asal dia mampu membuat sarapan lebih enak dan tidak memelototiku lagi. Amin. Sampai di lapangan, teman-temanku sudah berkumpul, bahkan ada ceweknya juga. Mau apa mereka? Ikut main? Tanyaku, heran, mengulangi permintaan mereka.

24

Iya ..., kami bisa, kok! Sahut Mia, dia teman Hepi si Genit. Setelah kuselidiki, Hepi juga ikut. Kalau tahu begitu, aku tidak mau ikut saja. Lebih baik aku diam di rumah dan membuang kosmetik Egi. Akhirnya kami, para cowok, mengalah. Ada sekitar enam orang anak cewek dan sepuluh cowok. Entah mengapa, aku yang mengatur mereka menjadi dua tim dan membagi rata jumlah cewek dan cowok. Tidak ada yang protes. Aku tidak yakin jika Budi yang melakukan hal itu. Apakah ini semacam berkah? Ya, kurasa ini semacam berkah. Mia dan Hepi masuk tim lawan yang dipimpin oleh Eko. Kasihan Eko, Mia dan Hepi selalu teriak-teriak. Ada yang aneh dengan Budi. Walaupun ia gemuk, tapi ia tidak pernah selambat itu. Bud, kok, lelet amat? Tanya Andi. Ya, aku tahu bahwa Andi memang mampu lari sangat cepat. Ia yang tercepat di kelas kami. Budi menatapku, semacam meminta persetujuan. Tapi aku hanya diam, dalam hati aku juga ingin tahu. Bisa saja Budi sedang sakit. Kamu ambeyen, ya? Tanya Jamal. Wajah Budi memerah, untungnya tidak ada yang mendengar. Kukira jika beberapa anak yang hadir di sini mendengarnya, mereka akan tertawa. Tapi kami kan, bersahabat. Jadi Budi tidak perlu malu untuk mengaku. Aku tidak akan mengejeknya. Tapi kemudian Budi menjawab, Enggak, kok. Cuma capek saja. Andi mengangguk-anggukkan kepalanya. Aku tersenyum tipis. Pukul lima lebih beberapa menit, kami mengakhiri permainan. Tentu saja kelompokku yang menang walaupun Budi dua kali kena bola. Hal ini membuat si Bawel Mia dan si Genit Hepi nyerocos tak karuan. Mereka itu monster! Ya, mereka itu monster!

25

Eko jengkel karena merasa dirugikan dengan masuknya Mia dan Hepi. Ya ..., aku cukup memahami hal itu. Andi tersenyum puas. Budi juga memaksakan senyumnya. Mereka, kan, masuk kelompokku! Kelompok Eko segera pulang. Mia dan Hepi masih terus mengomel. Kasihan Eko. Kami; aku, Jamal, Avian, Budi, dan Andi, masih berusaha mengambil banyak oksigen di bawah pohon beringin. Kami duduk bersandar, tapi kemudian aku sadar bahwa Budi berjongkok. Rasanya, aku mulai berpikir bahwa ia memang ambeyen. Mungkin ia malu mengakuinya. Tapi, sebenarnya aku belum yakin ambeyen itu apa. Rasanya mendengar namanya saja sudah cukup memalukan. Tapi ..., mungkin juga tidak. Mungkin Budi memang sedang ingin begitu. Maksudku, bisa saja ia sedang sakit, tapi bukan ambeyen. Sesuatu yang membuatku kaget saat akan bertanya lebih lanjut pada Budi, tepat di bawah pohon beringin besar tempat kami istirahat dan berteduh, ternyata Egi tengah duduk menyandar di balik pohon ini juga dengan sepeda tergeletak di sampingnya. Rupanya ia sudah lama menungguku. Sudah mainnya? Katanya. Walaupun tanpa senyum atau muka ramah lainnya, intonasinya cukup lembut. Nyatanya, kosmetik itu tidak memberikan pengaruhnya. Syukurlah. Aku mengangguk. Teman-temanku berpamitan. Egi bangkit dan meraih sepedanya. Kemudian memberi aba-aba dengan mengangkat dagunya agar aku naik ke jok belakang. Kami pulang tanpa berkata apapun. Tubuhku penuh keringat, tapi angin yang menghembus menelusup ke sela-sela bajuku terasa begitu segar. Egi segera meletakkan sepedanya di garasi sedangkan aku berlari menuju kamar mandi. Kemudian Egi berseru, Jangan dulu mandi. Dinginkan dulu tubuhmu ... ! O-iya, aku baru ingat. Pak Santoso juga pernah berkata agar kami tidak menyegerakan mandi sehabis berolahraga. Biarkan tubuh kami dingin dahulu, baru boleh mandi.

26

Kurang lebih tiga puluh menit setelah itu, aku sudah mandi. Egi baru saja selesai menghangatkan makanan dengan memasukkannya ke dalammi

w v .

Dan ayah muncul sambil mengembangkan senyumnya. Beliau nampak kelelahan. Aku menyerbunya. Biasanya ayah selalu membawa barang-barang aneh selepas bepergian. Termasuk saat ini. Pasti di dalam tasnya itu ada benda -benda asing. Ternyata nihil, aku tidak menemukan apapun. Ayah melepas lelah di kamarnya. Tapi aku yakin, beberapa menit lagi beliau akan keluar untuk membaca koran, itu sudah kebiasaan ayah. Aku lebih senang menyebutnya mamah-biak, karena sebenarnya ayah sudah membaca koran itu tadi pagi. Beliau hanya mengulanginya saja. Mirip dengan mamah-biak, kan?

03

Kemarin sore, kami tidak lagi bermain kasti. Bukan karena bosan atau adegan marah yang selalu terjadi di akhir pertandingan. Melainkan hujan yang terus turun sepanjang siang. Hujannya tidak deras, tapi rintik -rintik yang membuat kami benar-benar malas untuk keluar rumah. Benar-benar malas, bahkan bangun dari tempat tidur pun aku sangat malas. Begitupun Egi, yang biasanya selalu jarang di rumah, kini lebih senang tidur-tiduran menghabiskan hari sabtu-nya. Menjelang malam, hujan mulai menderas. Petir-petir seperti sedang berlomba lari di angkasa. Membuat pemandangan malam semakin menyeramkan. Aku sempat berseru ketika mendengar gelegar petir, kurasa ada satu atau beberapa pohon yang tersambar, entah di mana. Selang beberapa menit, aliran listrik padam. Ini membuatku semakin malas.

27

Terdengar bunyi benda berkelotak dari ruang tengah. Kurasa Egi atau ayah sedang mencari benda penerang semacam lilin atau sejenisnya. Pagi ini kami mendapat kabar yang kurang mengenakkan. Aku bahkan tidak tahu harus bagaimana. Orang-orang di rumah Om Firman menangis, ada juga yang hanya terisak. Pastinya, seluruh orang di rumah itu mengeluarkan air-mata yang menganaksungai. Ayah, aku, dan Egi muncul dengan ekspresi yang berbeda. Ayah sudah banyak pengalaman, beliau segera menuju gerombolan bapak yang duduk-duduk sambil mengobrol di ruang tamu. Egi memegang tanganku. Dalam keadaan seperti ini, ia benar-benar membutuhkan-ku, tentu saja bukan dalam arti sebenarnya, ia hanya tidak mau tampil culun dengan berjalan atau berdiri atau bengong sendirian di tengah-tengah keramaian ini. Anak seusia Egi memang mulai memilih-milih teman yang benar-benar cocok untuk sekedar berkata hai. Kukira demikian, karena aku cukup sering melihat Egi bersembunyi dari orangorang yang ia kenal. Aku, karena memang tidak bisa lepas dari cengkeraman Egi, hanya bisa melihat pemandangan sekeliling yang mengelabu. Tidak ada tawa sama sekali di sini. Om Firman meninggal. Bunuh diri. Kami benar-benar tidak bisa menebak atau mempunyai ide mengenai hal itu. Om Firman yang ku kenal sangat jauh dari apapun yang berbau kematian. Ia sangat sehat, gagah, dan enerjik, juga satu hal yang tidak mau kuingat saat ini : pelitwalapun yang terakhir itu sama sekali tidak mengindikasikan kematian. Kita duduk di sana, ujar Egi, akhirnya ia berkata juga, tapi itu lebih mirip perintah untuk berperang dari pada permintaan. Padahal sebelumnya aku berpikir untuk mencari Budi, anak Om Firman yang gendut lucu itu. Aku ingin tahu keadaannya. Apakah ia juga menangis sampai menganak-sungai, atau lebih parah dari itu: seperti samudera! Aku mengekori Egi dari belakang. Kami berjalan mendekati sebuah kursi kayu di belakang rumah Om Firman yang cukup jauh dari keramaian. Kami duduk di sana.

28

Kenapa Om Firman bunuh diri? Tanyaku kemudian. Aku benar-benar tidak habis pikir dengan semua ini, dan sangat ingin tahu. Tak tahu. Memangnya aku engkong-(kakek)-nya! Busyet, Egi kumat lagi! Kamu kan, sudah besar. Sudah SMA. Mata Egi melebar. Itu sebuah pertanda agar aku diam. Oke ..., aku akan bertanya pada ayah ..., Diam dan duduk disini! Egi meraih tanganku lagi. Pada akhirnya aku memilih untuk diam dan duduk di sampingnya. Aku bertambah bingung saja. Jika Egi benci padaku, mengapa ia menyuruhku duduk di sampingnya?! Pertanyaan ini tak perlu dijawab! Karena akan semakin membuatku pusing tujuh keliling. Wajah ayah muncul di ambang pintu dan terlihat lega ketika menemukan kami. Kemudian berjalan menghampiri kami dan berkata, Sebaiknya kita mandi, sebentar lagi jenazah Om Firman akan dishalatkan. Maksudnya apa? Aku sudah mandi tadi pagi ..., jawabku. Ayah tersenyum. Lagipula Om Firman kan, sudah meninggal, memangnya masih bisa (bangun untuk) shalat? Egi pun tersentak, sepertinya ia ingin tertawa jika saja bukan dalam lingkungan mendung seperti ini. Dia paling senang menertawaiku. Kita yang akan menyalatkannya (bodoh!), jawab Egi, padahal sumpah mati aku tidak bertanya padanya. Sambil terus berjalan menuju rumah, pikiranku terus berputar seperti gangsing. Bukan karena memikirkan Egi dan kata-katanya yang setajam silet atau sekasar sikat wc. Aku sudah cukup bisa menerima Egi apa-adanya. Tapi bayangan Budi dan Om Firman yang terus berkelebat. Mungkin apa yang ada dalam pikiranku adalah sebuah kebingungan atau kebodohan. Rasanya aku ingin mengetahui semua ini. Atau, jika ini tidak bisa terjawab, aku ingin mengeluarkan isi otakku dan memilah-milah ingatan mana yang sebaiknya masih layak kusimpan di dalam pikiranku. Namun, pada akhirnya, tidak ada yang bisa

29

kulakukan, bahkan mulutku bungkam dan tidak mampu mengucapkan apapun. Walaupun ingin rasanya berteriak pada ayah atau siapapun. Kemudian isi kepalaku menggelegak, memanas, dan memacu bibirku untuk bertanya. Semuanya tak terbendung lagi. Ayah ..., eum ..., mengapa Om Firman bunuh diri? Mata Egi kembali mendelik padaku, aku tidak memedulikannya, bahkan aku berlagak tidak mengetahui hal itu. Padahal aku tahu betul bahwa Egi akan melakukan hal itu. Ayah diam cukup lama. Sepertinya ia sedang berpikir keras. Aneh. Kadang aku sering merasa heran dengan ayah. Jika Egi yang bertanya, ayah tidak pernah nampak kesulitan seperti itu. Juga pada orang dewasa lainnya. Apakah pertanyaanku memang sangat sulit untuk dijawab? Lebih sulit dari pada matematika? Om Firman ..., sedang banyak masalah ..., jawab ayah sambil menyembunyikan wajahnya dariku. Tidak begitu juga sih, beliau hanya sedang melihat ke depan agar tidak tersandung dan jatuh ke dalam selokan. Pikiranku menerawang. Kulihat wajah ayah dan Egi secara bergantian. Aku tidak mengerti gurat yang muncul di wajah mereka. Ada apa sih, ini? Egi juga ... (aduh!! Maksudku) ... Kak Egi juga sedang banyak masalah. Siapa bilang?! Egi menggeram, tapi nada suaranya tidak terlalu tinggi, kurasa karena masih ada ayah, sehingga ia lebih segan. Bukankah sering mengurung diri di dalam kamar adalah tanda-tanda orang yang banyak masalah? Kukira ide ini brilian, tapi kemudian aku tahu bahwa ini salah. Hal yang paling mudah kumengerti bahwa seseorang itu bermasalah adalah mereka memiliki ciri-ciri sering mengunci diri dalam kamar. Entah kudapat dari mana ide ini? Dan ide itu, disadari atau tidak, telah menyentuh perasaan Egi. Kakiku sudah menapaki teras rumah. Ayah membuka kunci pintu dan memutar pegangannya. Kami masuk tanpa membahas hal itu lagi. Mungkin bagi mereka pertanyaanku sudah selesai dan aku puas dengan jawaban itu. Padahal mereka salah besar. Rasanya isi kepalaku berputar sangat kencang.

30

Ayah menuju kamarnya, sepertinya beliau memang akan mandi. Egi juga begitu. Padahal aku yakin bahwa mereka sudah mandi pagi tadi. Aku tidak cukup kotor dan gerah untuk mandi, jadi hanya berganti pakaian saja. Aku menunggu sambil duduk di depan tivi yang ku tonton iklannya saja, karena film-nya tidak ada yang menarik. Film kartunnya membosankan dengan jagoan berrambut aneh! Kemudian Egi muncul, wajah preman-nya hilang dengan pakaian seperti itu, ia nampak alim, mirip Ustadz Jefri Al-Bukhari! Hehehe. Ketika aku terus menatapnya dengan tawa dalam hati, kukira Egi mengetahui hal itu. Dan aku yakin betul dalam beberapa detik lagi ia akan mengeluarkan semacam jampi-jampi agar aku diam. Kamu tak usah ikut. Masih kecil. Nanti malah merepotkan saja. Nah, itu jampi-jampinya keluar. Sangat ampuh, bukan?! Tapi kan, tadi ayah juga mengajakku. Egi tersenyum mengejek. Memangnya kamu bisa bacaan shalatnya seperti apa? Aku diam, berpikir. Memangnya beda dengan shalat biasa, ya? Tuh, kan. Kamu bahkan tidak tahu! Dia mulai melecehkanku lagi. Dan ini jampi-jampinya yang paling mujarab. Tapi kan, aku bisa waswiswus-waswiswus saja dan mengikuti gerakannya .... Gerakannya juga beda tahu! Sungut Egi lagi. Sepertinya dia benar-benar memanfaatkan kebodohanku. Aku diam saja. Kurasa ini sikap paling baik yang bisa kulakukan. Sementara itu, Egi masih saja tersenyum mengejek. Jampi-jampinya manjur dan aku kalah telak. Ooo ..., kurasa belum. Aku akan menunggu ayah keluar dari kamarnya dan bertanya. Begitu ayah muncul, aku segera memberondongnya dengan pertanyaan, Ayah, aku boleh ikut? Boleh ..., tapi lihat dulu, ya. Kalau ada anak-anak, Ari boleh ikut, tapi kalau tidak ada, sebaiknya lihat dulu saja.

31

Egi tersenyum bahagia. Padahal aku sudah memakai gaun spesial. ***

Ayah menyebutnya shalat jenazah atau mayat. Ternyata ada ya, shalat seperti itu? Mereka hanya berdiri di belakang jenazah Om Firman, kemudian mengangkat tangan berkali-kali dan salam. Shalatnya sebentar sekali. Dan hanya lelaki saja yang ikut, sedangkan wanitanya hanya menonton di belakang. Ayah, memangnya perempuan tidak boleh ikut, ya? Boleh ..., jawab ayah. Terus kenapa mereka tidak ikut? Mungkin mereka sedang sibuk mengurusi yang lain. Aku mengangguk perlahan. Ya, mereka memang sangat sibuk. Sibuk memerhatikan para cowok yang sedang shalat. Sibuk bersenda gurau di samping rumah Om Firman. Kupikir, apakah mereka tidak tahu bahwa saat ini, Budi dan keluarganya yang ditinggalkan Om Firman sedang sedih minta ampun. Selain itu, aku benar-benar tidak bisa berhenti memikirkan keadaan Om Firman (bukan karena aku bisa berdalih bahwa kini aku bisa mengambil buah jambu Om Firman dari pohonnya, aku tidak berani memikirkan hal itu). Mengapa itu bisa terjadi? Jika aku mengesampingkan betapa pelitnya Om Firman. Beliau itu sebenarnya orang yang baik. Aku tidak pernah melihatnya berwajah sangar atau galak. Beliau juga belum pernah marah-marah atau mencak-mencak dengan kenakalan kami. Ketika pun beliau tahu bahwa Budi sering mengambilkan buah jambunya untukku, beliau tidak pernah memarahi Budi dan kemudian melarangnya. Apalagi sampai melarang Budi bermain denganku. Om Firman termasuk tetanggaku yang ramah dan paling sering tersenyum padaku. Kurasa, aku juga mulai merasa kehilangan. Aku mulai merindukan senyumnya.

32

Kulihat tubuh Om Firman sudah dibalut kain serba putih. Ia mirip pocong. Suasana ini membuatku agak merinding. Kukira Om Firman cukup baik untuk menjadi pocong. Kuharap, walaupun Om Firman menjadi pocong, ia tidak akan menjadi pocong yang jahat. Namun kemudian Egi berkata ketika kami sudah sampai rumah. Mana ada pocong!? Sergah Egi. Ada. Di tivi-tivi juga ada! Aku mendengus kesal. Seharusnya aku tidak mendengus kesal, ini akan semakin membuat Egi bahagia. Tapi anehnya aku selalu terpancing! Itu kan, cuma di tivi. Kalau kenyataannya, tidak ada. Ari belum pernah lihat pocong beneran, kan? Kurasa Egi benar seratus persen. Aku belum pernah melihat pocong, juga mendengar ada orang melihat pocong di sekitar rumahku. Berarti, mungkin pocong memang hanya dongeng. Tapi ..., sepertinya aneh. Bagiku, dan imajinasiku yang terus berputar di awang-awang, pocong itu ada dan siap menerkamku di tempat-tempat sunyi dan menyeramkan. Ah, entahlah. Aku jadi memikirkan keadaan Budi yang gendut lucu. Kira-kira dia sedang apa sekarang? Aku memikirkan keadaannya setelah ditinggalkan Om Firman. Ia sangat dekat dengan ayahnya. Bahkan Budi sering sekali diajak jalan-jalan oleh ayahnya itu. Kadang aku sering memendam perasaan aneh yang membuatku sesak ketika melihat Budi diajak jalan-jalan oleh Om Firman. Bukan karena aku ingin ikut. Tetapi karena ayah jarang mengajakku jalan-jalan seperti itu. Bahkan mungkin selama satu tahun ini, kami belum pernah melakukannya. Ayah terlalu sibuk. Aku memahami sepenuhnya kesibukan ayah. Kurasa ayah juga tidak sengaja melakukan hal itu. Mungkin suatu saat ia juga akan mengajakku dan Egi jalan-jalan. Entah kapan .... Tapi kemudian aku mulai berpikir, Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan jika apa yang saat ini menimpa Budi terjadi padaku. Ayah bunuh diri. Kurasa aku akan menangis sangat keras. Aku tidak peduli lagi dengan omelan Egi (atau bahkan Egi menangis lebih parah lagi?).

33

Hentikan! Aku tidak mau memikirkan hal itu! Jika keadaan kami sama, tetap saja Budi lebih memungkinkan untuk menangis daripada aku. Oh ... Budi. Kasihan sekali. Apalagi jika tubuhnya sampai kurus, dia tidak akan lucu lagi. Dan besok, apakah ia akan tetap sekolah dan berlaku seperti harihari biasa? Jika apa yang ayah katakan benar bahwa Om Firman sedang dalam masalah, pasti itu masalah yang sangat besar sehingga beliau sampai melakukan perbuatan itu. Memangnya permasalahan orang dewasa itu seperti apa, sih? Apakah mereka harus mengerjakan soal-soal yang sulit di kantornya? Atau bertemu orang yang paling menyebalkan dan bawel yang menjadi bos mereka? Ketika aku mengintip ke rumah Om Firman melalui jendela kamarku, lampu-lampu di dalam rumah itu masih belum redup. Entah apa yang sedang mereka lakukan. Menangis (lagi)? Kutarik selimutku hingga menutupi ujung rambut. Tapi bayangan Budi yang terus menangis sepanjang malam, berputar terus di pelupuk mataku. ***

Celanaku sudah terlalu pendek. Dan aku malu sekali memakai celana ini. Aku minta dibelikan yang baru pada ayah ketika sarapan. Beliau mengiyakan, tetapi tidak hari ini. Jadi untuk sementara, aku harus memakai celana ini sampai punya yang baru. Budi sekolah seperti biasa, tapi perilakunya tidak biasa. Kulihat matanya membengkak. Aku sudah memperhitungkan hal ini sebelumnya. Tanpa sadar, kuhirup napas dalam-dalam. Seolah ikut membantu Budi untuk bisa melegakan paru-parunya yang mungkin saat ini terasa sesak. Karena informasi menyebar secepat kilat, rasanya seisi kelas sudah mengetahui bahwa ayah Budi, Om Firman, meninggal karena bunuh diri kemarin. Jadi kami cukup memaklumi perubahan perilaku pada diri Budi. Andi bersikap sebiasa mungkin dan mengajak Budi bermain kucing-tikus di koridor. Tapi itu bukan tawaran paling bijaklagipula di luar becek, kemarin

34

hujan terus-menerus. Budi menolak dengan membenamkan kepala ke dalam tangannya yang menelungkup. Akhirnya kami memilih mendiamkannya. Tapi menurutku itu juga buruk, karena Budi akan semakin merasa tersisihkan. Pada saat istirahat tiba, aku menghampiri dan duduk di sampingnya. Aku sudah dengar tentang ayah Budi. Aku datang, tapi Budi tidak ada. Budi menoleh, langkah awal yang baik. Tapi ternyata tidak lama. Ia kembali membenamkan kepalanya. Budi banyak menangis, ya? Aku sempat mendengar desah napas Budi yang tersendat-sendat. Jadi, kurasa aku telah berhasil membuatnya menangis (lagi!). Aku merangkul pundaknya, hal yang sering ayah lakukan jika sedang berbicara pada Egi ketika sedang bersedih. Tapi selanjutnya aku tidak tahu harus berkata apa. Tuh, kan, aku butuh banyak kata-kata yang kuhapal untuk keadaan seperti ini. Memangnya Om Firman kenapa? Budi hanya menggeleng. Mungkin kami memang masih terlalu kecil untuk mengetahui persoalan seperti itu. Pantas ayah berpikir keras untuk menjawab pertanyaanku. Tidak ada lagi yang bisa kukatakan. Lagipula, aku tidak yakin Budi akan menjawab segala pertanyaanku. Jadi, kami berdiam-diaman sampai bel kembali berdering dan kami melanjutkan pelajaran. ***

Sorenya, Egi membawa beberapa temannya ke rumah. Tidak ada satupun yang mirip bintang sinetron di televisi. Mereka bahkan terkesan aneh dan bau keringat. Ada yang banyak tingkah, tapi masih kalah banyak oleh jerawat yang tumbuh di wajahnya. Ada juga yang nampak pendiam, mungkin ia belum sikat gigi sejak kemarin. Yang lain masih beberapa level di bawah Egi. Perilaku Egi berkata padaku agar aku tidak mengganggunya, maka aku lebih baik duduk manis di dalam kamar dan tidak mengeluarkan suara apapun yang

35

mencurigakanbagi Egi. Tidak banyak yang bisa kukerjakan agar semua itu tercapai, hanya melukis di atas T-shirt poloskuhadiah dari Egi. Entah sudah berapa jam aku di dalam kamar tanpa tahu keadaan Egi, tibatiba saja Egi berteriak di depan pintu kamarku. Ri, ada Budi di bawah! Aku sedikit bingung dengan situasi yang telah diciptakan Egi. Pertama, bukan hanya karena Egi yang memanggilku dengan tiba-tiba di tengah-tengah tamu agungnya, tetapi juga karena kehadiran Budi yang selama ini masih kuanggap sakit dan tak mau bermain saat ini. Namun aku tak sempat lagi memikirkan hal itu atau pun yang lainnya. Dengan setengah berlari, aku segera menyongsong Budi. Bahkan Egi sempat kuserempet, tapi aku tidak sempat tahu bagaimana reaksinya. Kurasa ia akan berteriak dan mengomel. Namun aku tidak mendengar sepatah kata pun meluncur dari mulutnya. Mungkin saja tak terdengar atau ia memang malas

mengacuhkanku. Budi duduk di teras depan dengan satu dus berisi robot-robotan dan mobilmobilan di tangannya. Budi mau main mobil-mobilan? Budi diam saja. Anak itu memang sering begitu. Punyaku sudah rusak semua. Mereka menabrak dinding, sambungku. Memang pada kenyataannya, aku sudah tidak punya mobil-mobilan yang utuh. Yang terbaru ban-nya hilang entah kemana. Pohon jambuku ... berbuah banyak, katanya kemudian. Mungkin maksudnya menawariku. Ya ..., Budi memang begitu, tidak pernah menawari secara langsung. Aku berpikir keras. Kemudian berkata, Kemarin aku lihat ada pohon jambu di dekat kebun kosong, buahnya besar-besar. Kita kesana, yuk! Ajakku antusias. Budi memandang wajahku. Kemudian ia mengangguk. Ternyata wajahnya masih bulat lucu. Namun aku masih tidak sanggup menertawai wajah lucunya itu. Oh, Tuhan ... aku benar-benar merasa kasihan padanya. Aku ingin memeluknya saja. Atau memintanya untuk membagi kesedihannya. Tapi kita ajak Andi juga!

36

Budi mengangguk lagi. Budi orang yang pendiam. Dan sebenarnya, sebelum Om Firman meninggal pun Budi memang begitu, bedanya, kini Budi jarang tersenyum. Walaupun pendiam, tapi ia murah senyum. Kami menjemput Andi yang sedang membantu kakak perempuannya menanam bunga di halaman. Kak Ica memang sangat suka menanam bunga, ia rajin sekali menyiraminya. Dia juga pintar membuat kue kering. Aku senang sekali melewati rumah andi dan melihat bunga warna-warni bermekaran. Sepertinya bunga-bunga itu menambah cerah suasana rumah Andi. Mungkin ini juga sangat memengaruhi kepribadian Andi yang jujur, terbuka, dan ceria. Ia jarang menyembunyikan kesedihannya. Jika aku bertanya sesuatu padanya, ia akan dengan lugas mengungkapkannya. Ia begitu mudah dan simpel. Berbeda dengan Budi. Sepertinya, ia memang tipe orang yang sangat sulit menemukan kata-kata untuk menggambarkan perasaannya. Itu semua membuatku sadar, bahwa, di dunia ini, ada juga tipe orang seperti Budi. Bahkan mungkin jumlahnya banyak, tak terhitung. Ke mana? Tanya Andi, rupanya ia sudah tahu bahwa kami akan mengajaknya pergi. Tangannya masih belepotan dengan tanah basah berwarna cokelat. Ke kebun kosong, jawabku, sambil mengerling pada Budi. Andi merasa agak heran. Mungkin ia masih mengira Budi dalam keadaan tertekan. Karena ketika sekolah tadi, Budi hanya diam dan mengubur wajahnya dalam-dalam ke dalam lipatan lengannya. Beberapa siswa bahkan menyangka ia sedang tertidur. Kurasa Budi memang masih tertekan. Tapi kami kan, anak -anak! Bermain adalah kebutuhan pokok. Budi menitipkan mainannya kepada Andi. Andi berlari masuk ke kamarnya. Setelah Andi kembali, kami memulai petualangan. Melewati jalan setapak dan berbelok di sebuah tikungan tanpa aspal. Maka kami sudah sampai di sebuah kebun kosong. Maksudku bukan kebunnya yang kosong, tapi sampai hari ini, kami tidak tahu siapa pemiliknya. Bahkan Egi juga tidak tahu ketika kutanyakan. Atau dia tidak mau aku mengetahuinya?

37

Sudahlah .... Andi tersenyum lebar begitu melihat apa yang juga kulihat. Buah jambu biji yang besar dan menguning. Sepertinya sangat ranum. Ini terlihat lebih menggiurkan daripada buah jambu milik Om Firman. Kami segera memanjat. Budi begitu kesulitan dengan tubuhnya. Aku yakin, jika tubuhnya sekurus tubuhku, ia pasti lebih cekatan. Tapi tidak biasanya. Walaupun ia gemuk, Budi cukup lincah. Hatiku semakin melengos. Sepertinya Budi benar-benar berubah.

Kesedihannya memuncak. Mungkin aku bahkan tidak akan pernah bisa mencapainya. Karena tidak membawa kantung plastik atau apapun untuk membawa jambu-jambu ini, maka kami memilih untuk memakannya di atas pohon. Budi sempat membuat kami kaget. Ketika ia akan duduk di batang pohon, ia menjerit agak keras. Kami memandangnya penuh tanya, lalu ia segera bilang, ada semut .... Kami tertawa pelan. Untunglah bukan sesuatu yang menakutkan atau apapun yang bisa mengganggu kesenangan kami saat ini. Andi menyantap jambunya dengan lahap. Tapi kan, belum dicuci. Tidak ada yang memedulikanku. Rupanya mereka memang tidak peduli. Baru kemudian Budi berkata, Kemarin dan kemarinnya lagi hujan. Jadi pasti sudah bersih. Aku mengangguk. Bukan karena setuju, karena aku berpendapat bahwa air hujan tidak akan membersihkan jambu-jambu ini. Tetapi pada sebuah pertanda: Budi sudah mulai baikan. Kami menghabiskan banyak jambu. Kurasa aku telah memakan lima. Dan Andi berani bertaruh bahwa ia makan sekurang-kurangnya tujuh buah. Sekira pukul lima petang, kami memilih untuk pulang. Tubuh kami agak gatal-gatal. Ketika di atas pohon, ada beberapa semut kecil hitam yang menggigiti tubuh kami.

38

Aku sempat memasukan dua buah jambu ke dalam kantong celanaku untuk di rumah. Jambu ini benar-benar enak. Sebenarnya Andi juga ingin, tapi orangtuanya seperti polisi yang banyak bertanya. Jadi ia memilih untuk tidak berbekal. Budi juga sama. Ia tidak begitu bernafsu. Kurasa karena ia sudah punya banyak di rumahnya. Begitu langkah kami agak jauh dari pohon itu. Kudengar suara gemeresak di semak-semak dan erangan tidak jelas. Kupikir hantu tidak akan berani muncul seterang ini. Sehingga aku memilih diam. Lalu beralih agar bisa melupakan suarasuara itu dengan bertanya pada salah satu dari mereka, entah yang mana. Kalian tahu. Ulang tahun kemarin aku mendapat cat poster dari Bi Nuni. Kupikir lagi, apa pentingnya kuberitahukan hal ini pada mereka. Mereka tidak begitu suka menggambar seperti gambarku. Tapi, kadang Andi menggambar juga, bahkan lebih mahir. Namun kemudian Andi menyuruhku untuk diam dengan menaruh telunjuknya di depan bibir. Terdengar? Tanyanya. Aku khawatir. Apa? Tanyaku. Kuharap bukan suara-suara itu. Kak Ica memanggilku. Andi tersenyum. Aku juga tersenyum. Untunglah. Pasti Kak Ica menyuruhnya pulang untuk mandi sore. Biasanya Andi sudah mandi sore pada pukul empat. Keluarga Andi memang disiplin. Ketika aku pernah menelepon Andi pada pukul sembilan malam, ia sudah tidur. Begitu sampai di jalan beraspal, kami berlari. Andi lebih dahulu karena Kak Ica melambaikan tangannya di depan rumah. Ri .... Aku menoleh, langkah kami mulai melambat. Tadi Ari dengar sesuatu? Tanya Budi tiba-tiba. Aku diam, kuharap Budi tidak mengatakan yang aneh-aneh. Di kebun kosong. Ari dengar sesuatu? Seperti suara nenek-nenek tertawa ... Tak sengaja mataku melebar. Budi juga mendengarnya. Aku berbohong dengan menggeleng.

39

Mungkin salah dengar, jawabku, berusaha sebiasa mungkin. Kurasa itu berhasil karena kulihat Budi mengangguk-angguk. ***

Om Johan berkunjung malam ini. Pasha, anaknya yang masih di taman kanak-kanak juga ikut. Dia sangat nakal, berlari-lari di tengah ruangan. Berkalikali Om Johan menegurnya tapi anak itu masih saja nakal. Biar saja. Dia masih kecil, kata ayah dengan senyum khas-nya. Tidak bisa begitu. Itu akan memengaruhi tingkahnya ketika dewasa, jawab Om Johan. Dalam sudut pandangku, Om Johan memang sangat berbeda dengan ayah. Mungkin hanya wajahnya saja yang mirip karena ia adik ayah. Sebenarnya Om Johan baik, ia sering memberiku uang jajan atau mainan. Mungkin karena aku tidak pernah berlari-lari di dalam rumah. Dan aku kembali mencoba menjadi sepupu yang baik dengan mengajak Pasha bermain mobilmobilan punyaku. Tapi ia malah melempar mobil-mobilan itu. Aku tidak marah karena ia melempar mobil-mobilan itu. Toh, aku juga sering menabrakkannya hingga rusak. Tetapi hal itu membuat gaduh karena ia melakukannya sambil berteriak. Prang!!! Lemparan Pasha berhasil mengenai cermin yang menggantung di dekat tangga. Awalnya kami semua hanya diam, mungkin karena kaget. Tapi kemudian Om Johan bertindak. Ia menghampiri anaknya. Pasha kini diam. Ia menunduk, tidak berani menatap wajah ayahnya yang memerah di depannya. Jangan dijewer, ayah. Jangan. Sakit ..., kata Pasha, suaranya berubah menjadi isakan lirih. Ketika ayahku baru saja akan berkata, Om Johan segera menjewer kuping Pasha hingga anak itu menjerit. Diam. Diam!!

40

Aku tidak tega melihat itu. Ayah menghampiriku, merangkul kepalaku ke dalam pelukannya. Kukira ayah akan bertindak sesuatu, tapi sampai tangisan Pasha meledak pun ayah masih diam memelukku. Diam! Atau ayah jewer lagi!! Rupanya anak itu mengerti. Ia mencoba sekuat tenaga menahan isakan, tapi malah memperburuk keadaannya karena ia mirip orang tersedak. Wajahnya sangat merah, ini membuatku sangat kasihan. Mengapa Om Johan seperti itu? Anak laki-laki kok, cengeng!! Bentak Om Johan lagi. Ayah melepaskan rangkulannya. Kemudian menuju Pasha dan membelai rambut anak itu. Pasha main sama Kak Ari, ya ... ? Tawar ayah, tapi Pasha malah diam saja. Ia masih terisak. Ayah mengerling padaku. Aku menghampirinya dan mengajak Pasha ke kamarku. Sempat kulihat ayah menghampiri Om Johan dan berkata, Bukan begitu caranya .... Setelah itu aku tidak tahu lagi karena Egi memelototiku. Aku segera menutup pintu. Kukira banyak sekali yang ayah bicarakan dengan Om Johan. Di dalam kamarku, Pasha masih diam. Tapi matanya mulai tertarik dengan gambar-gambar yang kutempel di dinding. Pasha suka menggambar? Tanyaku, dibalas dengan anggukan antusias. Kami mulai menggambar sampai pukul sembilan malam. Sebenarnya aku belum mengantuk. Tapi, seperti halnya Andidan kukira anak-anak lain, ini sudah masuk waktu tidur. Pasha melepaskan pensil warnanya dan tertidur pulas dengan cepat di atas lantai. Kurasa sebaiknya aku memanggil ayah untuk memindahkannya ke kasur. Tapi kemudian Om Johan muncul. Ia tersenyum padaku. Rupanya mereka akan pulang. Om Johan menggendong tubuh Pasha dan membawanya masuk ke mobil. Dalam keadaan seperti ini, aku benar-benar lupa bahwa Om Johan, sebelumnya, jahat! Beliau kini mirip seorang ayah.

41

Aku ikut menyongsong kepergian Om Johan dan Pasha sampai teras. Ayah dan Egi juga. Ayah membelai rambutku, lembut. Kami termangu, memandangi laju kendaraan Om Johan yang kian menjauh. Yah ... ? Ayah menjawab dengan Euh ... kecil. Kurasa Egi ingin juga tahu bahwa aku akan bertanya suatu hal yang menurutnya selalu aneh. Tapi anehnya, ketika aku selalu ingin bertanya suatu hal aneh pada ayah, mengapa ia seperti selalu ingin tahu? Bahkan ia masih belum beranjak dari sini. Kukira, kali ini pun ia ingin tahu. Apakah karena ia takut aku bertanya yang macam-macam pada ayah mengenai dirinya? Dan jika iya, apakah ia akan memukulku? Sepertinya tidak. Walaupun Egi agak galak dan terkadang kasar, selama ini Egi tidak pernah memukulku. Anak laki-laki tidak boleh menangis, ya? Egi menatapku seolah berkata, Aku kan, sudah memberitahumu!!! Ya ..., laki-laki tidak boleh menangis, sahut ayah, tapi sepertinya belum selesai. Maka aku diam untuk menunggu kalimat selanjutnya. Tapi kalau perlu menangis untuk bisa menghilangkan sakit, menangis saja sampai sakitnya hilang. Ayah melanjutkan sambil membimbingku masuk ke dalam. Egi mengekori kami di belakang. Ayah pernah menangis? Tanyaku lagi. Waktu kecil .... Sering. Ketika bertengkar dengan Om Johan, ayah dan Om Johan menangis dan tidak ada yang menang. Kalau sekarang? Ayah memangku-ku di kursi baca-korannya. Rupanya Egi masih ingin tahu, ia duduk di atas sofa, di dekat kami. Pernah ..., kemudian terhenti. Kulihat mata ayah menerawang, berputar, dan terhenti di figura besar yang di dalamnya berisi gambar ayah, Egi kecil, dan ibu yang sedang mengandungku, itu foto terakhir kami bersama ibu. Aku segera tahu jawaban itu pasti menjurus pada kematian ibu, jadi aku hanya diam. Egi melihatku, aku menunduk.

42

Sekarang sudah malam ..., Ari tidur, ya. Aku turun dari pangkuan ayah dan beranjak menuju kamarku. Egi masih menemani ayah dengan menonton ti i. Ia sudah mendapatkan i in dari ayah untuk boleh tidur di atas pukul sembilan. Sebenar ya ayah juga n tidak pernah melarangku tidur lebih malam dari pukul sembilan. Tapi ayah bilang aku masih butuh banyak tidur karena sedang dalam masa pertumbuhan, jadi aku menurut. Karena aku takut jika aku menjadi orang cebol karena kurang tiduratau terlalu sering bergadang. Tiba-tiba handl pintu kamarku berputar. Seseorang masuk. Aku segera menutup seluruh tubuhku dengan selimut. Ketika pintu benar-benar terbuka, aku mengintip melalui celah selimut dan tahu bahwa Egi tengah berada di dalam kamarku. Ia menghampiri foto ibu dalam figura besar pemberian ayah yang kupasang di dinding kamarku. Agak lama juga ia berdiri menghadap foto ibu. Kemudian duduk di tempat tidurku, dekat dengan ujung kakiku dengan masih tetap memerhatikan gambar , wajah ibu. Kemudian ia mendengus panjang. Aku membiarkannya dan berusaha , sebisa mungkin untuk tidak banyak mengeluarkan suara -suara mencurigakan. Ketika aku terbangun pada pukul satu malam untuk buang air kecil, kulihat Egi tertidur di sebelahku. Setelah aku kembali, Egi sudah pergi.

43

04

Guru olahraga kami benar-benar orang yang sangat kuat. Badannya juga besar dan tinggi. Ia mirip atlet di tivi-tivi. Kata Avian, beliau berjasa besar pada lingkungan sekitar kompleks tempat kami tinggal. Nama guru olahraga kami Pak Santoso. Beliau pernah menangkap pencuri dan maling hingga babak belur. Juga membuat takut para preman yang sering mabuk-mabukan dan memalak orangorang sekitar kompleks. Makanya, kompleks kami aman dari kegiatan -kegiatan kriminal semacam itu. Istri Pak Santoso juga baik. Sikapnya sangat lemah lembut. Ia sangat penyayang pada kucing-kucing. Kukira mereka mempunyai sepuluh atau dua puluh ekor kucing di rumahnya.

44

Aku juga pernah melihat Pak Santoso sedang berlatih silat, seru Jamal, tak ingin kalah oleh yang lain. Bukan silat. Tae kwon do, Avian meralat. Kupikir, Avian lebih dapat dipercaya, dalam beberapa hal mengenai Pak Santosodan yang lainnya sepertinya Avian lebih banyak tahu. Karena Lela datang, kami segera pergi berhamburan tidak jelas. Aku mengajak Dodi ke warung Bu Uci untuk membeli es jeruk. Anak-anak kelas enam yang sombong menguasai warung Bu Uci. Mereka itu sering menggoda Hepi. Pantas saja Hepi senang sekali ke warung Bu Uci. Dodi tidak jajan, dan dia tidak berkata apapun seperti biasanya. Kenapa sih, anak-anak kelas enam itu sering nongkrong di warung Bu Uci? Tanyaku pada Dodi, tapi karena aku tahu Dodi tidak akan memberikan jawaban yang memuaskan, jadi pertanyaan itu kutujukan untuk diriku sendiri. Ternyata benar, Dodi hanya menggeleng. Dod, Ari main ke rumah kamu, ya? Pintaku. Semenjak aku mengenal Dodi, tidak pernah sekali pun aku berkunjung ke rumahnya. Dodi diam saja. Mana bisa aku tahu ia menjawab apa. Mengizinkan atau tidak? Ya, Dod? Pintaku sekali lagi. Dan ..., Dodi diselamatkan oleh bel yang berdering nyaring. Dia tidak perlu menjawab pertanyaanku. Kurasa Dodi lebih senang berhadapan dengan Bu Butet daripada dengan pertanyaanku. Aku sempat berpikir lebih baik berbicara pada kucing daripada dengan Dodi. Setidaknya kucing bisa mengeong. Bu Yanti meneruskan pelajaran yang kemarin, merangkai kalimat. Aku tidak begitu suka dengan Pelajaran Bahasa Indonesia. Banyak sekali kata-kata yang justru membuatku sulit untuk berkata. Tapi karena gurunya Bu Yanti yang sabar, aku belajar banyak mengenai kata-kata itu. Pelajaran berakhir lebih cepat. Rupanya ada rapat guru. Dan kami pulang sebelum waktunya. Tiba-tiba aku mempunyai ide untuk mengikuti Dodi ke rumahnya, tentu saja tanpa sepengetahuan Dodi.

45

Aku berusaha sebisa mungkin menolak ajakan Jamal melihat play stasion barunya. Juga beralasan pada Budi dan Andi agar mereka pulang duluan. Ketika aku telah berhasil mengelak dari semua itu, ternyata Dodi sudah jauh meninggalkanku. Aku harus berlari. Tapi kemudian aku sadar bahwa jika aku terus berlari, Dodi akan mendengar langkahku. Jadi, ketika punggung Dodi sudah terlihat, sebisa mungkin aku berjalan berjingkat-jingkat atau agak jauh darinya. Sudah lebih dari lima belas menit berjalan, Dodi belum juga masuk ke salah satu rumah. Bahkan kini kami mulai memasuki taman tak terurus yang sedikit sekali rumah disini. Aku sangat yakin bahwa aku jarang melewati daerah ini, atau bahkan belum sama sekali. Lagipula daerah ini seram juga. Selang beberapa menit, kami mulai memasuki daerah yang banyak rumah. Dan kulihat Dodi memasuki sebuah gang yang cukup lebar. Gang ini cukup penuh, walaupun masih bisa menyisakan lahan untuk halaman dan taman. Dodi membuka sebuah pintu pagar rumah yang terbuat dari kayu. Rumahnya besar, tetapi lantainya seperti jarang dipel. Sekarang aku tahu rumah Dodi. Kukira, baiknya aku pulang saja. Di depan gang, tubuhku bertubrukan dengan seorang perempuan berdandanan aneh. Wajahnya benar-benar menyeramkan, penuh dengan make-up tebal. Aduuh, kalau jalan lihat-lihat, dong! Maaf ..., kataku sambil terus menatap aneh padanya. Suaranya juga aneh. Nadanya dibuat-buat. Itu semua membuatku tahu bahwa dia bukan perempuan. Dia hanya tersenyum menjawab permohonan maafku. Kemudian berdiri dan pergi. Dodi sayang, kamu sudah pulang? Bolos, ya? Aku menoleh. perempuan itu merangkul pundak Dodi dan membawanya masuk ke rumah. Aku hanya bisa diam. ***

46

Egi pulang ketika aku sedang makan siang. Setelah berganti pakaian, dia juga ikut makan bersamaku. Egi pernah lihat .... Ayah menyuruhmu memanggilku kakak, kan?! Aku diam sejenak, ia baru saja menyela kalimatku. Kakak, pernah lihat bencong? Egi menatapku heran. Memangnya kenapa? Ari dikejar-kejar bencong? Aku menggeleng. Egi kembali melihatku, heran. Pernah, jawabnya pendek. ***

Siapa? Tanyaku penasaran. Jamal masih menggeleng. Katanya dari kota. Kami terdiam. Satu hal, yang kami tak tahu apa sebab utama mengapa hal itu bisa terjadi dan menjadi sebuah kesepakatan: orang kota itu pasti sombong. Kekhawatiran kami terjadi. Begitu si anak baru itu muncul di depan kelas, dengan angkuhnya ia memperkenalkan diri. Namaku Diki, pake C. D-I-C-K-Y. Tubuhnya tinggi besar. Matanya agak sipit dengan kulit kuning tak terurus dan rambut lurus kemerahan, sepertinya ia senang berpanas-panasan. Kami menatapnya sinis. Tapi aku segera tahu bahwa Hepi telah menemukan mangsa baru. Yang lebih menyebalkan lagi, Bu Yanti menyuruhnya duduk di sampingku untuk sementara. Soalnya Dodi tidak masuk sekolah hari ini. Oh, aku sampai melupakan temanku itu! Orang kampung! Maksudnya siapa? Aku? Aku sudah mengenakan celana yang lebih besar dan baru. Dia bahkan memiliki bercak-bercak hitam di pipinya. Sok sekali si Diki ini! Dengan gayanya yang nampak semakin menyebalkan, ia memerhatikan seluruh anak-anak di kelas. Termasuk mencabut sehelai rambut Mimi. Tentu saja

47

Mimi sempat teriak walaupun pelan. Diki malah tersenyum jahil sambil menendang sepatuku. Pada jam pelajaran kedua, aku memilih untuk pindah dan membawa kursiku ke meja Budi dan Andi. Walaupun sesak, disini aman. Begitu pun Mimi dan Ani. Yang memindahkan tempat duduk mereka lebih jauh dari sebelumnya. Bu Yanti keheranan dan bertanya. Lalu aku menjawab, Diki jahil, Bu! Bu Yanti menatap menyelidik ke arah Diki. Disisi lain, aku yakin Bu Yanti tahu bahwa aku bukan anak yang suka berbohong, apalagi Ani dan Mimi juga mendukungku. Jahil bagaimana? Tanya Bu Yanti, menatap padaku, Ani, dan Mimi bergantian. Ia mencabut rambut saya, bu, jelas Mimi. Bu Yanti beralih memandang Diki dengan ekspresi penuh tanya. Diki malah tersenyum tak bersalah. Semacam berkata, Apa salahku? Diki, ini hari pertamamu di kelas. Saat ini ibu tidak akan memberi hukuman. Tapi jika terjadi lagi ...., ibu tidak akan segan-segan. Wah, ternyata Bu Yanti bisa galak juga! Ketika jam istirahat tiba, anak-anak cowok segera berhamburan menuju koridor, beberapa ada yang menuju warung Bu Uci. Aku sempat melihat Diki pergi ke wc sekolah. Sebisa mungkin kami menghindari anak itu. Berbeda dengan Hepi. Seperti yang kuduga, cewek genit itu malah mendekati Diki. Ketika bel kembali berdering, sempat kudengar berita dari beberapa anak cewek bahwa Diki baru saja melawan dan mengalahkan anak kelas enam di belakang wc sekolah. Anak-anak yang mengadu akan ia pukul. Hal ini membuat kami malas mendekati apalagi menyapanya. Rupanya ia semakin menyukai hal ini. Terbukti dengan sikapnya yang bertambah sombong. Dia semakin menyebalkan saja. Tapi Diki tidak tahu seperti apa anak-anak di sekolah ini. Sebelum pelajaran dimulai, Pak Santoso memanggilnya ke ruang guru. Aku yakin, ada anak yang melapor. Kuharap Diki tidak mengetahui siapa anak itu.

48

***

Dalam perjalanan pulang sekolah, aku dan Andi sempat membahas kenakalan Diki. Budi hanya diam saja. Kukira ini sudah keterlaluan. Maksudku si Budi itu. Dia benar-benar menjadi lebih banyak diam. Tapi jika kuperhatikan, sepertinya beberapa bulan sebelum ayahnya meninggal pun Budi memang agak pendiam. Apakah ia bisa meramalkan kematian ayahnya? Atau ..., ah, aku tidak berani berpikir bahwa Budi menjadi penyebab masalah memusingkan yang menimpa Om Firman. Sebaiknya kita keroyok saja orang macam itu! Andi berapi-api. Rupanya ia benar-benar kesal sampai-sampai dahinya basah oleh keringat. Terus terang, aku tidak bisa sependapat dengan Andi. Walaupun aku juga sangat ingin menghajar Diki, tapi cara itu sepertinya tidak baik. Lebih baik kita melapor pada polisi saja agar dia dipenjara. Rumah Andi sudah di depan mata, ia berlari sambil berkata, Sore ini aku main ke rumahmu, Ri! Aku mengiyakan dengan tersenyum lebar. Selanjutnya hanya ada aku dan Budi. Aku melambatkan jalanku agar sejajar dengan langkahnya. Biasanya, walaupun Budi gemuk, jalannya cukup cepat. Kali ini ia benar-benar lambat. Kamu sakit, Bud? Tanyaku. Budi menggeleng. Hal itu sempat mengingatkanku pada Dodi. Apakah Dodi sakit? Tidak biasanya Dodi sakit. Dia tidak pernah bolos sekolah satu hari pun! Setelah kuperhatikan lebih seksama, Budi masih berjalan mirip bebek. Budi juga main ke rumah Ari sore ini, ya .... Budi mengangguk pelan dan menggumam tak jelas. Tapi kurasa ia berkata ya. Kami berpisah di depan rumah masing-masing. Aku berlari menuju pintu, sedangkan Budi malah semakin lambat. Kurasa Budi memang sedang sakit.

49

Sambil menghabiskan waktu, aku menggambar di dalam kamar. Sekitar pukul tiga sore, kudengar pintu depan terbuka. Mungkin Egi. Tak lama kemudian kudengar suaranya sedang mengaji. Aku sempat melongok ke kamarnya, ternyata ia memang benar-benar sedang mengaji, al-Quran di tangannya. Kukira jika aku sudah seusia Egi, aku tidak perlu lagi mengaji. Andi juga sudah mulai malas-malasan mengaji. Budi juga. Akhir-akhir ini kami memang jarang ke masjid untuk mengaji. Ayah tidak pernah menegurku. Lagipula aku sudah cukup lancar membaca al-Quran. Suara Egi yang parau membuatku ingin kembali menggambar di kamar. Setelah mandi dan lainnya, aku menunggu Andi dan Budi di teras. Kulihat kepala Budi teronggok di jendela kamarnya, tapi dia tidak melihatku. Nampaknya Budi sedang duduk dan melamun. Tiba-tiba seorang lelaki seusia Egi muncul dan mengucapkan salam. Egi ada? Aku mengangguk dan segera memanggil Egi. Setelah itu Egi muncul dan mengajak temannya itu ke dalam. Kali ini teman Egi berbeda, tidak sekucel yang dulu-dulu. Kemudian Andi datang dengan berlari. Sepertinya dia juga baru selesai mandi, rambutnya masih sangat basah. Kita ke rumah Budi dulu, yuk! Ajakku. Memangnya Budi tidak akan kesini? Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Akhirnya kami pergi ke rumah Budi. Ada Bi Ratna, ibu Budi, yang sedang membersihkan halaman depan. Juga kakak Budi yang perempuan, aku lupa namanya, soalnya dia sudah tidak tinggal disini lagi. Budi punya dua kakak. Kakak-kakak Budi memang sudah besar. Kakak yang termuda sudah kuliah. Budi satu-satunya anak laki-laki, makanya Om Firman begitu memanjakan Budi. Oh ..., jangan-jangan karena itu Budi menjadi sangat pendiam. Budi benar-benar kehilangan ayahnya. Ini membuatku merinding.

50

Budi segera muncul di ambang pintu begitu mendengar suara kami memanggil. Tapi kemudian ia bilang bahwa ia kurang sehat. Ketika tangannya kusentuh, ternyata memang panas. ***

Bel berdering. Dodi sudah kembali ke sekolah. Tapi kali ini Diki yang tidak bersekolah. Anak bandel itu sudah berani membolos, padahal baru sekali masuk. Dodi kemarin sakit? Kucoba membuka sebuah pertanyaan begitu duduk di sampingnya. Ternyata Dodi menggeleng. Dan memang dia tidak terlihat sakit. Kenapa kemarin bolos? Tanyaku lagi. Dodi diam sambil menatapku. Ari sudah tahu rumah Dodi .... Aku tidak bisa menangkap kalimat Dodi itu pertanyaan atau apapun. Tapi sepertinya dia tahu bahwa aku mengikutinya kemarin dulu. Lalu aku mengangguk. Dodi menatapku aneh. Aku menangkap rona tidak suka di wajahnya. Dan ini baru kulihat pertama kali. Tapi selanjutnya Dodi bersikap seperti biasa lagi. Aku benar-benar merasa tidak nyaman. Tadi pagi aku tidak berangkat bersama Budi karena kesiangan. Kukira Budi sudah berangkat dengan Andi. Nyatanya Andi pun tidak tahu. Budi tidak sekolah. Bu Yanti baru saja akan masuk dan terhambat ketika Diki tiba -tiba saja muncul di depan kelas dengan berlari. Oh, mengapa dia sekolah? Matanya segera tertuju pada tempat duduknya yang kemarin. Dan ia melihat Dodi dengan pandangan aneh kemudian tersenyum nakal. Aku tidak suka dengan pandangannya itu. Diki, kamu duduk di depan saja. Coba yang lain bantu Diki memindahkan meja dan kursi di belakang itu. Avian dan Jamal berdiri untuk membantu memindahkan kursi dan meja tak berpenghuni di belakang ke depan kelas.

51

Sepanjang pelajaran mata Diki selalu tertuju pada Dodi. Ini membuat Dodi berubah, kali ini ia mampu berekspresi ... terganggu. Kurasa ini hal yang sangat serius. Dodi tidak pernah gusar seperti ini sebelumnya. Apakah ini disebabkan oleh aku yang mengetahui rumahnya. Tapi ..., kukira tidak, karena pandangan gusar itu ditimbulkan oleh Diki yang selalu menatap jahil ke arahnya. Pada akhirnya, ketika bel istirahat berdering nyaring, Diki pun berteriak tak kalah nyaringnya. Si anak bencong ada di sini!!! Hahaha ...! Kami semua kaget. Diki menunjuk-nunjuk batang hidung Dodi sambil terus tertawa. Membuat pandangan seisi kelas tertuju pada apa yang ditunjuk oleh Diki tanpa komentar. Sejenak aku tercenung. Tapi kemudian lintasan peristiwa menyambar ingatanku. Ini mengingatkanku pada perempuan aneh yang kutemui di depan rumah Dodi. Dodi nampak tegang. Sepertinya ia marah. Aku baru pertama kali melihatnya. Diki berlari keluar kelas sambil terus berteriak Si anak bencong ...! Si anak bencong!! Berulang-ulang. Mungkin aku masih bisa menebak-nebak. Tapi teman-temanku yang lain diam saja. Sementara Dodi, dahinya mulai mengeluarkan keringat besar-besar. ***

Yah .... Ayah menurunkan korannya, kemudian beralih memandangku. Apa, nak? Sepertinya ini sulit untuk kukatakan, apalagi dengan keberadaan Egi di depan kami, tapi aku benar-benar ingin tahu. Bencong itu lelaki kan, Yah? Egi memandangku heran. Mungkin karena beberapa hari yang lalu aku pernah bertanya kepadanya juga mengenai bencong.

52

Ya ..., mereka itu ... Lelaki, sahut ayah. Kini ayah melipat korannya dan memandangku dengan serius. Memangnya ada apa? Rupanya ayah benar-benar serius dan ingin tahu. Aku mampu melihat pancaran itu dari matanya. Berarti bencong tidak bisa punya anak? Tanyaku lagi. Ayah mengerutkan dahinya. Ketika ayah baru saja akan membuka mulut, tanpa sengaja Egi menyela. Tentu saja tidak. Mereka tidak punya rahim .... Rahim? Aku bergumam tak jelas, dan aku yakin tidak ada yang mendengarku. Anak cowok di kelas lima B ada yang bernama Rahim. Dia anak yang baik , kukira. Dia tidak pernah terlihat nakal bahkan jarang bermain. Namun perhatianku segera kualihkan kembali pada pertanyaanku. Ya .., mereka tidak bisa melahirkan seorang anak karena mereka lelaki. Tandas ayah. Aku mulai berpikir dan mendapati sebuah kesimpulan bahwa memang seorang lelaki tidak bisa melahirkan. Aku sudah tahu itu. Tapi bisa saja mereka punya anak. Misalnya mengangkat seorang anak atau mengasuh seorang anak ..., sambung ayah, ingin memastikan bahwa aku mengerti. Benar-benar mengerti seluruhnya. Tapi aku diam saja. Tangan ayah merengkuh bahuku dan menariknya hingga kini tubuh kami beradu. Memangnya ada apa? Sementara itu, Egi juga duduk di samping kami, tepatnya di sampingku. Kurasa dia juga sedang memandangiku. Diki bilang, Dodi anak bencong ..., sahutku, kulihat wajah ayah, ia menyimpan senyum yang tersembunyi. Dering telepon mengagetkan kami bertiga. Ayah berdiri, mengangkat telepon. Egi mendengus tak jelas. Aku memandanginya, ia sedang melap hidungnya dengan sapu-tangan. Apa? Tanyanya begitu sadar bahwa aku memerhatikannya sedari tadi. Egi sakit? Kakak ...!

53

Kutarik napas agak lama. Kakak sakit? Aku masih belum terbiasa dengan ini semua. Egi mengangguk. Siang tadi hujannya sangat lebat. Karena tak bawa payung, terpaksa aku hujan-hujanan. Jadi masuk angin, nih! Aku mengangguk-angguk. Ayah dan Egi sering melakukannnya jika mereka mengerti akan suatu hal. Kurasa aku sudah cukup mengerti penyebab Egi sakit. Dodi yang .... Dia belum pernah main kesini. Dia itu pemalu sekali. Tapi kemudian aku berpikir ulang. Tidak, sepertinya Dodi tidak pemalu. Dia itu orang yang sangat susah bicara banyak. Pendiam? Potong Egi, sambil kembali melap hidungnya. Ya ...! Kudengar ayah berbicara sangat serius di telepon. Ia sedang merencanakan tanggal, hari, tempat, dan segalanya. Rasanya ia akan pergi lagi dalam waktu dekat. Waktu itu Ari pernah ke rumah Dodi, Ari mengikutinya di belakang. Dodi tidak tahu. Ari menguntit? Aku baru mengenal kata ini. Sehingga mataku menyipit dan dahiku mengerut. Kurasa Egi mengerti sinyal yang kuberikan, karena pada akhirnya ia berkata, Menguntit itu artinya mengikuti tanpa sepengetahuan orang yang kita ikuti. Ya, Ari menguntit Dodi. Kukira Egi akan marah karena aku menguntit seseorang. Menurutku menguntit itu semacam perbuatan tidak terpuji. Tapi Egi diam saja. Lalu ketika Ari sampai di rumah Dodi, Ari bertabrakan dengan seorang bencong. Setelah Diki berkata Dodi anak bencong, Ari mulai berpikir bahwa bencong yang Ari lihat itu mungkin orang-tua Dodi. ***

Budi tidak masuk sekolah lagi. Sudah kucoba berkunjung ke rumahnya tapi ia selalu tidak nampak.

54

Akhirnya ..., Diki tidak masuk sekolah hari ini. Begitupun Dodi. Berita mengenai orang-tua Dodi seorang bencong sudah menyebar ke seluruh sekolah. Bahkan Bu Yanti juga tahu. Kupikir wajar saja jika Dodi tidak sekola hari ini. h Kurasa ia malu, malu sekali. Memikirkan itu membuat kepalaku pusing tujuh keliling. Sehingga ketika pulang sekolah, teman-temanku; Andi, Avian, dan Jamal, mengajakku bermain di belakang sekolah, aku menurut. Kupikir dalam satu bulan ini aku jar ng sekali a berkumpul dengan mereka. Di belakang sekolah, kudapati Bu Santoso sedang berjalan pulang. Sementara itu, dua orang wanita yang hanya kukenal wajah mereka saja, nampak tertawa. Kami bisa mendengar dengan jelas apa yang sedang mereka bicarakan. Susah juga, ya. Saya pikir cuma suaminya aja yang mandul, ternyata isterinya juga sama aja! Dilanjutkan dengan desis tawa. Wanita yang satunya tidak tinggal diam, ia juga ikut tertawa berdesis. Dan, sepertinya kami tahu siapa yang mereka tertawakan. Bu Sa ntoso. Berarti yang mereka sebut suaminya itu adalah Pak Santoso, guru olah -raga kami. Dua wanita ini mirip dua ular yang terus berdesis. Mandul itu apa, sih? Tanya Andi. Tidak bisa punya anak! Sahut Jamal, sangat antusias karena ia mengetahui banyak hal, termasuk masalah mandul. Sejurus kemudian, kami sudah melupakan kata mandul karena terlalu asyik mencari buah jambu di kebun kosong. Ketika agak hening, suara itu muncul lagi samar-samar.

55

05

Seminggu sejak suara-suara aneh itu terdengar samar-samar di kebun kosong. Aku benar-benar tidak bisa melupakannya. Semuanya seperti

berdengung-dengung di telingaku. Mengenai kata mandul, aku bisa melupakan itu dengan mudah jika bukan karena Jamal yang terus menerus mengingatkan kami mengenai kejadian tempo hari. Ri, Dodi berkelahi di belakang sekolah! Langkahku tercekat. Baru saja aku dan Andi akan pulang (Budi sudah tidak sekolah selama satu minggu ini, aku benar-benar menyerah untuk bertemu dengannya. Walaupun aku sangat mengkhawatirkannya). Napas Jamal masih dapat kudengar jelas. Ia asma, jadi tidak kuat berlari barang-sebentar sekalipun.

56

Kami segera berlari menuju gedung belakang sekolah. Andi berlari di depanku, sedangkan Jamal di belakang. Andi memang mampu berlari lebih cepat dariku. Sejak jam pelajaran pertama dimulai, aku sudah yakin bahwa Dodi akan menghajar Diki. Tingkah Diki semakin kurang-ajar saja. Ketika istirahat Diki bahkan mengatai Dodi juga bencong karena diasuh oleh bencong. Untungnya tidak ada yang menonton, kukira karena semua anak sudah pulang ke rumah mereka masing-masing. Ini memungkinkan para guru untuk tidak datang. Memang, dalam beberapa hal, aku cukup senang melapor pada para guru saja. Tetapi dalam hal ini, aku tidak mau Dodi dipanggil ke kantor guru, walaupun Dodi bisa saja tidak bersalah. Tapi Dodi mana bisa berkata, Bukan saya yang salah, pak!! Tubuh Dodi tersungkur ke tanah. Kacamatanya terlepas entah kemana. Jelas saja, Dodi kalah besar dibanding Diki. Anak seusia Diki seharusnya sudah es-empe. Kami; aku, Andi, dan Jamal, diam saja. Sebenarnya aku sangat ingin membantu Dodi, tapi aku juga takut. Kulihat Jamal sampai memegang lengan pakaian Andi dengan erat. Ketika akhirnya Dodi kembali tersungkur karena mendapat tendangan di perutnya, aku segera berlari mendekatinya. Membantunya berdiri. Dod, sudah. Jangan diladeni. Tubuh Dodi benar-benar panas, juga basah oleh keringat. Diki terkekeh. Tentu saja Dodi semakin berang. Ia berusaha bangkit dan kembali menghajar Diki. Tapi tubuhnya sudah kepayahan. Udah-lah, bencong!!! Diki berjalan dengan sangat santai meninggalkan kami berdua. Setelah itu kudengar langkah Andi dan Jamal mendekat. Walau terlihat tidak mau diantar pulang, tapi kami tidak bisa membiarkan Dodi pulang dalam keadaan seperti itu. Aku melingkarkan tangannya di bahuku. Begitupun Andi. Jamal berjalan di depan. Kami tidak berkata apapun. Sesekali Jamal berkata, tapi aku enggan menjawab. Andi hanya ber-euh saja. Kurasa itu sudah cukup membuat Jamal

57

diam. Tapi kemudian Jamal berkata lagi, lebih kepada dirinya sendiri, Rumah Dodi jauh sekali, ya. Perjalanan semakin panjang karena kami harus membawa tubuh Dodi yang cukup berat untuk ukuranku. Tapi tak terasa kami sudah sampai di depan rumahnya. Pintu depan terbuka lebar, terdengar suara-suara bising dari dalam. Begitu kami sampai di muka pintu, suara itu menjadi teriakan histeris memanggil nama Dodi berulang-ulang. Mereka sangat banyak. Yang kulihat dulu hanya satu dari (kurasa) dua puluh orang yang segera menyerbu kami. Jamal berjengit. Sekarang kami tahu, orang-tua Dodi sangat banyak dan semuanya seperti itu. Mereka bukan perempuan, dan bukan lelaki sepenuhnya. Tapi mereka baik. Banyak bertanya mengapa Dodi seperti itu dan menawari kami makan. Jika bukan karena melihat Jamal yang merinding dan Andi yang nampak risih, aku mungkin menerima tawaran itu. Perutku keroncongan. Dalam perjalanan pulang, Jamal berkata, Yang mana ibunya dan yang mana bapaknya? Kurasa Andi dan aku juga ikut mencari tahu dengan berpikir keras. Tapi sulit. Sebenarnya aku sangat menginginkan ucapan Diki itu salah. Maksudku, aku ingin Dodi hidup normal seperti kami. Seperti Andi dan Jamal yang mempunyai orang-tua lengkapaku tidak punya ibu lagi. Dan pikiranku masih belum bisa menerima bahwa mereka itu orang-tua Dodi. Ini aneh sekali, kan? Ini benar-benar aneh. ***

Om Sugi berkunjung ke rumah. Beliau bilang sudah janji dengan ayah. Dan tepat pada pukul tiga sore, ayah datang. Kurasa, Om Sugi itu teman karib ayah. Mereka seperti aku dan Andi, atau aku dan ....., aku dan Budi. Om pinjam ayahmu dulu, ya. Besok Om kembalikan, ujar Om Sugi sambil tertawa lugas. Memangnya orang bisa dipinjam?

58

Ari baik-baik di rumah, ya. Ayah kembali besok. Jangan lupa, kunci pintu dan matikan lampu sebelum tidur ..., timpal ayah sambil mengelus-elus rambutku. Egi masih belum pulang. Aku tidak terlalu khawatir, Egi sering pulang telat atau bahkan larut. Tapi sendirian di dalam rumah membuatku merinding sendiri. Entahlah, tiba-tiba saja suara-suara aneh itu kembali terngiang-ngiang di telingaku. Pada pukul lima sore, kuputuskan untuk bermain ke rumah Budi dan mengunci semua pintu. Bi Ratna yang biasanya bilang Budi sedang tidur atau Budi sedang istirahat, kini malah berkata, Budi di kamarnya, masuk saja! Aku segera menuju kamar Budi di lantai dua. Pintu kamarnya tertutup. Buu-di ....! Aku mengetuk pintu tiga kali. Kudengar suara gemeresak dari dalam kamar, dan tak lama setelah itu pintu kamar terbuka. Aku cukup tersentak, wajah Budi mengecil. Walaupun tidak sekurus pipiku, tapi tulang pipi Budi terlihat lebih menonjol dari sebelumnya. Aku masuk ke dalam kamarnya, kemudian duduk di atas tempat tidurnya. Bud, kok, tak pernah masuk sekolah? Sakit? Budi mengangguk. Kok, tidak memberi kabar? Budi diam saja. Aku benar-benar merasa bersalah, selama ini orang yang dekat dengan Budi adalah aku. Tapi aku malah tidak tahu bahwa Budi, dalam beberapa hari ini, sedang sakit. Bahkan rumah kami berdekatan. Bi Ratna muncul dengan membawa sepiring kue basah dan teh hangat di atas baki, kemudian menyuruhku menikmati semuanya. Tentu saja tidak dengan bakinya. Bud, di rumahku sepi. Ayah pergi sama Om Sugi, terus Egi juga belum pulang. Aku menginap di sini, ya? Budi mengangguk. Sebenarnya aku sangat tidak enak hati. Sepertinya kedatanganku ke sini malah mengganggu. Tapi daripada di rumah sendirian, lebih baik disini.

59

Kurang lebih pukul enam, a an magrib terdengar. Aku mengajak Budi ke masjid, tapi dia menggeleng. Akhirnya kuajak dia shalat di kamarnya saja, tapi dia masih juga menggeleng. Setelah itu ia naik ke tempat tidurnya. Aku benar-benar malas melihatnya begitu. Aku jadi terbawa malas. Kulihat rumahku di jendela. Kuharap Egi pulang agar aku punya alasan untuk pulang. Tidak biasanya Budi begitu menyedihkan seperti ini. Dia sakit apa, sih? Sebaiknya kutanyakan. Ri ...., ujarnya pelan, memotong apa yang baru saja akan kutanyakan. Aku mendongak, memandang Budi yang telungkup di atas kasur. Ayah meninggal gara-gara Budi ...., sambungnya. Aku diam, aku masih tidak mengerti. Yang aku tahu Om Firman meninggal bukan oleh orang lain. Lho?! Om Firman, kan, bunuh-diri ...? Tanyaku raguragu, aku benar-benar takut ia tersinggung. Iya.., tapi gara-gara Budi ...., tandasnya. Kurapatkan tubuhku lebih dekat pada Budi. Suaranya begitu pelan. Waktu itu ibu marah-marah sama ayah sambil lempar-lempar barang dan minta cerai. Budi cuma bisa nangis. Ibu juga nunjuk-nunjuk muka Budi. Aku semakin bingung, sehingga lebih baik diam. Kini semakin aneh. Tadi Budi bilang karena Budi, tapi kemudian Bi Ratna yang marah-marah? Setelah itu ayah diam saja. Dan malamnya, ayah bilang Ayah pergi dulu,ya. Maafkan ayah .... Terus ketika Budi mengikuti ayah sampai ke gudang, ayah mengambil tambang itu. Itu bukan salah Budi ...., kilahku. Aku lebih sepakat jika itu salah Bi Ratna yang sudah memarahi Om Firman. Kini jelas bagiku, masalah besar yang dihadapi Om Firman adalah Bi Ratna yang bawel. Padahal sepengetahuanku, Bi Ratna orang yang sangat baik. Itu salah Budi, Ri ..., sergah Budi lagi. Lemas. Kan, Bi Ratna yang marah-marah dan bikin ayah Budi sedih dan ... Bukan begitu ..., ibu marah-marah karena Budi! Kalimat barusan bernada lebih tinggi. Aku hanya bisa menunggu Budi berkata lagi agar lebih jelas.

60

Mataku sempat mengerling ketika kudapati rumahku mulai terang, seseorang menyalakan lampu. Pasti itu Egi. Tapi aku tidak bisa meninggalkan Budi di sini. Kurasa ia sedang ingin bercerita banyak hal. Terus ...? Tanyaku, agar cerita ini lebih cepat berakhir dan aku bisa pulang. Ibu marah-marah karena melihat ayah ..., kalimatnya seperti terhenti namun mulutnya terus berucap, tanpa suara. Hah? Apaan, Bud? Tanyaku penasaran, padahal tanpa suara pun, aku bisa membaca kalimat itu dengan sangat jelas dari gerakan mulutnya. Budi nampak malas mengulanginya, hingga ia hanya mendengus pendek. Kini Budi agak menekan kalimatnya, rasanya aku seperti orang budek. Pernah. Tiga kali. Tapi ibu cuma tahu sekali. Dan itu bukan jawaban dari pertanyaanku walaupun merupakan pernyataan yang menegaskan jawaban atas pertanyaanku. Aku tidak tahu-menahu mengenai hal-hal semacam ini. Walaupun aku sempat menebak bahwa perbuatan itu bernama sodomi, sebuah kosakata yang kudapat dari televisi yang akhir-akhir ini sering muncul di berita. Hanya saja yang seperti ini masih membuatku pusing. Kupikir yang seperti itu hanya terjadi di tivitivi saja. Aku diam. Entah apa yang ada dalam kepalaku. Pulang karena Egi sudah ada di rumah, atau kesakitan yang Budi rasakan selama ini. Juga Om Firman yang tiba-tiba saja muncul berupa bayangan di hadapanku. Aku benar-benar bingung. Aku bingung mengapa Om Firman melakukan itu, aku bingung mengapa Budi diperlakukan seperti itu, aku bingung mengapa Bi Ratna marah-marah, aku bingung mengapa Om Firman bunuh-diri, aku bingung mengapa Budi sakit dan tidak bisa sekolah?! Tiba-tiba tanganku menyentuh bagian dalam pantatku dan menekannya di luar celanaku, rasanya mual dan sakit. Kudengar suara telepon berdering. Kami diam saja. Selang beberapa menit, Bi Ratna muncul dan berkata bahwa Egi barusan telepon, dan berkata akan menjemputku di sini.

61

Lalu aku berkata pada Budi, Bud, Ari tidak jadi menginap. Soalnya ada Egi. Hehe .... Budi tidak berkata apa-apa, ia hanya mengubah posisi tidurnya, membelakangiku. Sempat kulihat dari jendela, Egi sedang menuju ke rumah Budi. Begitu sampai di halaman, sosoknya tertutupi atap rumah. Tapi suara Egi yang sekarang kadang besar kadang kecil, terdengar sedang menyapa Bi Ratna. Aku pamit pada Budi dan bertanya apakah ia akan sekolah besok, ia bilang ia tidak tahu dengan tidak mengubah posisi tubuhnya. Tapi terus kukatakan, Kemarin Dodi berkelahi. Budi tak berkata apa-apa. Bahkan ketika aku menoleh kemudian menutup pintu kamarnya, aku tak mendengar suaranya berkata atau memanggilku. Begitu turun tangga, Egi sudah berdiri di depanku, kurasa ia baru saja akan menaiki tangga ini. Yuk, pulang! Ia merangkul bahuku, ini jarang sekali ia lakukan. Sepertinya kali ini kami bertingkah seperti kakak-beradik. Setelah pamit pada Bi Ratna, kami pulang. Di halaman rumah Budi, sambil berjalan pulang, Egi bertanya, Ayah kemana? Tadi sore pergi dengan Om Sugi. Kemudian Egi diam. Sepertinya sedang berpikir. Ayah bilang pulangnya besok. Sambungku. Egi tak berkata apapun. ***

Kupikir-pikir, Egi dan ayah sudah seperti teman main saja. Mereka semakin sering berbicara banyak. Dan pembicaraan itu adalah pembicaraan-pembicaraan orang-orang dewasa. Mungkin ini juga karena suara Egi sudah benar-benar berubah. Semakin sering kulihat dari celah pintu kamar, Egi sering sekali berkaca. Semalam sempat kudengar, Egi meminta sepeda motor pada ayah. Ayah memenuhinya dengan beberapa syarat yang tidak kuketahui, selanjutnya aku yakin bahwa dalam beberapa hari ini Egi akan memiliki sepada motor. Dan aku,

62

sampai saat ini masih belum ada keinginan mempunyai sepeda untuk sekedar bermain dengan Budi atau berangkat ke sekolah. Pohon rambutan di belakang rumah Budi mulai berbuah lebat dan matang. Budi yang sudah sembuh, sering mengajakku memetik dan mengambilnya. Bi Ratna sering mengawasi kami. Aku merasa tidak enak hati, seperti penjahat yang akan mencuri kue terenak sedunia. Walaupun aku tidak terlalu sering meng-iyakan ajakan Budi untuk mengambil rambutannya, jika Bi Ratna terus bertingkah seperti itu, aku tidak mau lagi. Aneh, rasanya dulu Bi Ratna tidak begitu. Apakah Om Firman mewariskan pelitnya pada Bi Ratna? Kadang dunia memang memperlihatkan sesuatu yang benar-benar tak mampu kupahami dengan kepalaku. Termasuk perilaku aneh keluarga Budi saat ini. Maksudku, bukan hanya Tante Ratna yang bertingkah aneh sepeninggal Om Firman, tetapi kakak dan bahkan Budi sendiri pun demikian. Aku sempat menebak-nebak bahwa bisa jadi kepergian Om Firman adalah sesuatu yang benar-benar berat untuk dilupakan begitu saja. Namun bayangan mengenai cerita-cerita Budi malam itu, membuat kepalaku, pada akhirnya, berhenti berpikir dan membeku seperti es di dalam kulkas. Aku tak mampu bertanya apapun kepada Egi atau ayah. Ada rasa enggan yang sangat besar untuk menceritakan hal ini kepada mereka. Ataukah karena aku, sebenarnya, mengetahui bahwa apa yang diceritakan Budi bukan untuk diketahui orang lain? Padahal, kurasa ruang di dalam otakku tidak cukup besar untuk mampu menampung itu semua. Hingga pada akhirnya aku memilih untuk benar-benar mengosongkan semua hal mengenai cerita Budi tempo hari. Walau kadang sisa-sisanya masih terselip di antara urat-urat leherku. Beberapa kali ingin kumuntahkan, namun berhasil tertelan kembali. Dodi sudah tidak masuk sekolah selama dua minggu. Akhir-akhir ini memang sering hujan, mungkin ia malas karena hujan selalu lebat dan ia tidak memiliki payung.

63

Ini pun di luar kebiasaan. Dulu, Dodi sering hujan-hujanan untuk sampai ke sekolah. Padahal ia memiliki payung di dalam tasnya. Jamal masih suka memperbincangkan masalah Pak Santoso. Lalu akhirnya aku berencana untuk menanyakan hal itu pada ayah. Begitu suara deru mesin mobil ayah terdengar memasuki halaman, aku segera bangkit menuju teras. Ternyata ayah tidak sendiri, ia bersama Om Sugi lagi. Sudah beberapa hari ini Om Sugi sering menyertai ayah pergi. Sebenarnya aku yakin Egi mengetahui keperluan ayah dan Om Sugi, tapi ia tidak pernah mau memberitahuku. Kupikir ia masih berusaha membuatku yakin bahwa ia membenciku. Kemudian aku duduk di atas tangga menuju kamarku. Pintu depan terbuka, itu pasti ayah dan Om Sugi, mereka masuk tanpa tahu aku di sini, di atas tangga ini. Kurasa karena dinding di depanku menghalangi mata mereka untuk dapat melihatku. Kau sudah yakin? Itu suara Om Sugi. Entahlah, tapi anak-anak harus tahu. Om Sugi berdehem, lalu berkata lagi. Bukankah Egi sudah tahu .... Ternyata benar tebakanku, Egi sudah tahu. Ia selalu tahu lebih awal dari pada aku. Selalu begitu. Aku tidak tahu apa yang sedang mereka lakukan, aku juga tidak begitu bisa melihat apa yang mereka lakukan. Tapi kupikir ayah sedang berpikir dengan posisi seperti biasanya. Kemudian tidak ada suara-suara terdengar, mereka terdiam agak lama. Sedang apa di situ? Suara Egi mengagetkanku. Kurasa Om Sugi dan ayah juga, karena setelah itu mereka menghampiri kami. Aku sedang melamun ..., jawabku sekenanya, sambil berusaha untuk tidak melihat wajah-wajah di depanku. Toh, pada kenyataannya aku memang sedang melamun sambil mendengarkan pembicaraan orang dewasa, secara tidak sengaja dan tanpa kuinginkan sebelumnya. Yang terakhir itu perlu dicatat agar aku tidak dicap sebagai penguping.

64

Nih, Om belikan jeruk buat Ari, tiba-tiba Om Sugi menyodorkan seplastik jeruk padaku. Mungkin ayah sudah sering memberitahunya bahwa aku sangat suka jeruk. Dalam hal ini Egi sependapat denganku, maka ia mengambil satu dari kantong plastik yang masih kupegang. Tapi selanjutnya aku tahu bahwa jeruk itu bukan pemberian om sugi, tapi ayah yang membelinya. Namun aku tak mau banyak bertanya atau merasa harus mengetahui hal itu dari mulut ayah. Sebaiknya aku pulang. Khawatir .... Ayah segera tersenyum. Om pulang dulu, ya ...., Tante Diana sudah menunggu Om, nih! Om Sugi mengacak-acak rambutku sambil meraba handphonenya yang bergetar. Mengapa sih, orang dewasa senang mengacak-acak rambut anak lelaki? Seharusnya mereka tahu bahwa aku begitu kesulitan mengatur rambutku yang sering jatuh menghalangi jidat dan mataku! Ayah memandangiku, karena merasa tidak ada yang aneh, aku

membiarkannya dengan mengupas satu buah jeruk dan menyimpan yang lainnya di kulkas. Ayah pergi ke kamarnya. Aku berani bertaruh bahwa ayah akan mandi air hangat dan kembali mengenakan piyamanya untuk membaca koran siang tadi. Kemari ...! Egi mengajakku ke kamarnya. Selama ini aku baru bisa mengintip kamar Egi tanpa tahu keadaan sebenarnya di dalam sana seperti apa. Aku selalu mengkhayalkan kamar Egi mirip markas batman atau goa yang dihuni si buta, gelap dan banyak binatang buas menggantung di langit-langitnya, setidaknya beberapa kelelawar siap menyantap leherku jika aku masuk kamar Egi tanpa izin darinya terlebih dahulu. Dan mendapatkan izin dari Egi untuk memasuki kamarnya sama dengan mengharapkan petir jatuh tepat di jidatku. Aku akan gosong dan matang terlebih dahulu sebelum mampu mencapai pintunya. Namun, kini aku berhasil menapakkan kakiku di dalamnya. Agak pengap, mungkin karena jendelanya selalu tertutup. Dan tidak ada satupun kelelawar menggantung di langit-langit kamarnya. Hanya sebuah lampu menggantung dan

65

cat yang sudah agak mengelupas. Selebihnya, kamar ini tidak begitu berbeda dengan kamarku. Eum , kurasa buku-buku yang tergeletak di atas bantal dan meja belajarnya itu yang berbeda. Aku tidak memiliki itu. Juga beberapa kosmetik teronggok tak rapih di atas meja belajarnya. Aku juga tidak memiliki itu. Aku ingin melihat lebih banyak apa saja isi kamar Egi, termasuk bendabenda keramat apa yang ia sembunyikan di bawah tempat tidurnya. Namun keinginan itu segera kutepis dan tak kan pernah kuperjuangkan seumur hidupku. Egi merebahkan tubuhnya di atas kasur, lalu menyuruhku duduk di sampingnya. Sekarang Ari sudah tahu ...? Katanya tiba-tiba. Tahu apa? Kupandangi wajahnya, kini aku tahu bahwa ia memiliki bintik kecil kemerahan di pipinya. Mungkin itu yang dinamakan jerawat. Kukira jerawat lebih buruk dari itu, ternyata biasa saja! Mirip tahi lalat, hanya saja berwarna merah dan menonjol seperti bisul. Tapi ..., mungkin rasanya sakit. Kukira aku akan keren kalau memiliki satu di ujung hidungku. Tadi dengar sendiri, kan? Yang ayah dan Om Sugi bicarakan!? Aku mengangkat bahuku. Aku benar-benar tidak mengerti. Apa? Tanyaku lagi, sungguh-sungguh. Egi mendengus pelan dan mengambil napas panjang. Aku teringat Jamal ketika asmanya kambuh. Om Sugi mengenalkan ayah pada seorang wanita ...! Egi berusaha berkata sebiasa mungkin, padahal itu semakin membuatnya nampak dramatis. Lalu? Egi menggunakan kata wanita, sementara aku lebih suka perempuan atau cewek. Kupikir kata wanita itu hanya untuk perempuan-perempuan dewasa saja. Artinya, Om Sugi mengenalkan ayah pada seorang perempuan dewasa. Lalu, apa salahnya? Kurasa ayah juga lelaki dewasa. Dan memang sudah sepatutnya ayah mengenal orang seusianya. Aku juga demikian, aku bermain dengan orang seumuranku. Bagamana jika ayah menikah lagi?

66

Aku diam. Aku tidak tahu harus menjawab apa. Ini tidak pernah t rpikir e olehku sedikitpun. Hei, jawab ...! Egi memaksaku seperti biasa. Dia itu memang seorang jenderal yang selalu memerintah; Jendral Sudirman! Aku tidak tahu ..., jawabku pelan. Egi memelototiku. Aku takut, tapi tidak sepenuhnya takut. Dia masih kakakku, aku yakin dia tidak akan membunuhku atau apapun itu. Kamu mau punya ibu tiri?! Aku terhenyak. Aku langsung menggeleng. Harusnya Egi berkata sejak awal bahwa aku akan memiliki ibu tiri. Sebenarnya aku tidak yakin benar dengan ibu tiri. Aku tidak tahu siapa dia. Tapi sesuatu semacam ibu tiri membuat rambut di seluruh tubuhku berdiri. Aku takut. Kini aku benar-benar takut. Jadi ..., jika ayah menikah lagi ..., aku akan punya ibu tiri? Sebenarnya aku tahu bahwa jika ayah menikah lagi, artinya akukamiakan mempunyai ibu tiri. Mungkin karena berada di dekat Egi membuatku tidak bisa berpikir secara normal. Egi mengangguk. Ia bangkit dari tidurnya dan duduk di sampingku. Ia meremas pundakku dengan lembut. Tiba-tiba saja Egi tersenyum. Ini membuatku semakin bingung. Ibu tiri ..., ia menggumam. Gi .... Egi menoleh tanpa meralat kalimatku. Walaupun setelah itu ia sadar bahwa aku harus segera memanggilnya kakak lagi. Memangnya ayah .... Egi mengangkat bahunya. Aku juga tidak tahu. Tapi kupikir, kita juga memerlukan seorang ibu ..., tandasnya, ia begitu berbeda dengan Egi yang kukenal. Ia nampak sangat penyayang. Ia membuatku nyaman karena membelai pundakku dengan lembut. Ibu tiri itu ..., galak tidak, ya?

67

Egi merapatkan rangkulannya. Ayah tidak akan memberi kita ibu tiri seperti itu. Kalau ibu tiri kita galak, kita suruh saja ayah menceraikannya. Aku mengangguk. Aku percaya pada Egi. Dan aku juga percaya pada ayah. Siapa ibu tiri kita? Tanyaku lagi, sambil menengadah pada wajah Egi, ia sedang menerawang. Ayah bilang kita akan segera tahu ..., tunggu saja. Foto ibu masih menempel hampir di seluruh dinding kamar Egi, bahkan di meja belajarnya. Tiba-tiba aku merinding. Apakah ini sesuatu yang salah? Maksudku, apakah kami sudah melakukan sebuah pengkhianatan pada ibu kami. Kupandangi salah satu foto ibu yang terbesar, ia sedang tersenyum padaku. Matanya memandangi mataku. Ia tersenyum, dan masih terus tersenyum. Aku tidak mengerti .... Aku masih belum mengenal ibu. Egi kembali menuntunku ke ruang tengah. Ayah sedang membaca koran, seperti tebakanku. ***

Menjelang ujian akhir semester, Bu Yanti memberitahu kami bahwa kami akan camping ke alam terbuka pada saat pembagian buku laporan. Kami pernah melakukan itu sebelumnya, saat itu kami mengikuti perkemahan jumat-sabtu-minggu bersama kakak Pramuka. Pada awalnya, aku tidak menyukainya karena harus tidur di atas rumput dan kedinginan. Aku juga masih ingat, pada saat itu asma Jamal kambuh sangat parah, ia dibawa ke ruang kesehatan atau P3K dan boleh tidur disana. Aku berharap aku juga punya asma atau penyakit lain yang bisa kambuh malam itu. Ternyata sampai pagi hari, aku masih dalam keadaan sehat dan bisa berlari, dan bahkan bermain halang -rintang bersama yang lainnya. Ternyata seru juga! Andi mengacungkan jempolnya kemudian mengedipkan sebelah matanya padaku. Dia pasti mempunyai rencana yang sempurna! Tentu saja ini membuatku memiliki firasat yang baik mengenai rencana kemping kami.

68

Sementara itu, Hepi berusaha mendekati Diki agar mau satu kelompok dengannya. Tapi Bu Yanti bilang anak perempuan tidak boleh satu kelompok dengan anak lelaki. Rasakan! Walaupun kemudian aku agak kasihan juga dengannya. Tapi rasa kasihanku tidak sebesar rasa takutku ketika harus satu kelompok dengannya. Dodi masih belum masuk juga. Ini sudah pekan ketiga. Anehnya pihak sekolah seperti tidak pernah ada yang menanyakan kepergian Dodi. maksudku, bukankah kami yang paling tahu tentang Dodi, tapi sampai saat ini, aku tidak pernah tahu ada beberapa orang diantara kami yang ditanyai perihal hilangnya Dodi selama ini. Jujur saja, hal itu semakin membuatku bingung dan khawatir. Kukira kita harus ke rumah Dodi! Budi dan Jamal diam saja. Sementara Andi nampak bersemangat. Tapi, aku , agak takut bertemu orang-tuanya ..., sambung Andi kemudian. Yah ..., sebenarnya aku juga begitu. Melihat dandanan mereka saja membuatku ngeri. Aku heran ..., Dodi bisa tahan dengan itu semua. Tapi kemudian aku yakin ..., mereka mungkin saja tidak seseram yang kami kira. Maksudku, bisa saja lebih parah! Ah, aku tidak mau memikirkan hal-hal semacam itu. Kasihan Dodi .... Memangnya orang-tua Dodi benar-benar seperti itu? Avian tidak berani mengucapkan kata bencong atau waria (kata penghalus yang beberapa kali kudengar di televisi), ia memperhalus ucapannya dengan berkata seperti itu. Kurasa Avian memang memiliki alergi terhadap beberapa kata yang kurang enak didengar. Mungkin ia akan segera bersin-bersin atau muntah-muntah, bahkan bisa juga gatal-gatal sampai harus dirawat di Rumah Sakit jika ia mengucapkan katakata semacam itu. Tapi kami mengerti maksudnya. Selama ini kami selalu mengerti maksudnya. Seperti saat ini. Kecuali Budi kurasa, karena ia masih diam saja. Akhirnya, kami berangkat ke rumah Dodi begitu bel pulang berdering. Diki yang sempat mengetahui rencana kami, berteriak sangat keras. Ia benar-benar

69

membuat kami geram karena terus menghina Dodi walaupun ia tahu bahwa saat ini Dodi tidak bersama kami. Tapi kemudian Andi melemparinya dengan batu hingga betisnya terluka, ia menjerit dan mengumpat-umpat. Kami berlari sekuatnya sambil tertawa lebar. Kecuali Budi, ia hanya berlari saja.

06

Aku segera berlari menuju teras rumah. Untunglah hari ini ayah pulang cepat. Ia sedang membaca sebuah buku tebal yang aku tidak ingin tahu apa isinya. Napasku masih terengah-engah ketika sampai di hadapan ayah. Ayah memberiku segelas air segar, dan aku meminumnya sekaligus walaupun sempat kudengar ayah berkata, Pelan-pelan.

70

Namun aku tak sempat menghiraukan hal itu. Rasa haus di perutku seakan menyedot air di dalam gelas tanpa berkoordinasi terlebih dahulu dengan telinga dan otakku. Yah, bencong itu kenapa, sih? Ayah menaikkan kacamata dengan jari telunjuknya. Kenapa apanya? Ayah malah balik bertanya. Aku juga bingung. Kenapa mereka itu ... Eum ..., jadi bencong? Aku tidak menemukan kalimat yang lebih tepat untuk menanyakan pertanyaan yang sangat ingin kuketahui selain itu. Memangnya Ari melihat apa? Ayah selalu begini, jika aku menanyakan sesuatu, ia pasti bertanya lagi. Kata Egi, ayah memang selalu ingin tahu apa yang melatar-belakangi pertanyaanku agar ayah bisa memberi jawaban yang tepat untukku. Ya, selama itu tidak membuat masalahku bertambah pusing, aku akan menurut. Orang-tua Dodi, semuanya bencong. Oh-ya? Aku mengangguk. Semuanya? Ibu dan ayahnya? Ayah mendekatkan wajahnya padaku. Sehingga aku hanya perlu mengangguk untuk menjawab pertanyaannya. Tapi aku bingung, orang-tuanya sangat banyak. Mungkin dua puluh orang. Dan semuanya bencong. Tidak tepat dua puluh, kukira. Karena aku bahkan belum pernah menghitungnya. Kata ini hanya sebagai padanan, agar terkesan banyak. Mungkin mereka bukan orang tua Dodi ..., mungkin mereka hanya mengangkat Dodi menjadi anak mereka .... Aku mengangguk pelan. Tapi kemudian teringat kembali pada

pertanyaanku. Lalu ..., mengapa mereka menjadi bencong. Mereka itu dulunya laki-laki kan, yah? Sebenarnya aku sudah tahu bahwa bencong pun dulunya lakilaki. Apalagi Jamal selalu mempertegas hal ini. Hanya saja aku ingin m elihat anggukan kepala ayah.

71

Kini ayah yang mengangguk. Ayah juga tidak tahu ..., mungkin mereka banyak masalah dengan menjadi lelaki. Aku diam dan terus berpikir sampai kepalaku ini terasa panas. Lalu, apa setiap lelaki yang banyak masalah akan menjadi bencong? Maksudku, mengapa Om Firman lebih memilih bunuh diri ketimbang menjadi bencong? Toh, masalah Om Firman juga cukup rumit dan tidak bisa kumengerti! Ayah tertegun, sepertinya ayah telah tersadar bahwa beliau baru saja memberikan jawaban yang tidak tepat padaku. Itu ... dalam masalah yang berbeda. Jadi ..., jika Ari punya masalah segini, ayah memainkan tangannya, menggambarkan seberapa banyak masalahku, Maka mereka punya masalah segini dan mereka yakin penyelesaiannya hanya dengan jalan seperti itu. Aku diam lagi. Kepalaku bertambah pusing. Aku benar-benar tidak mengerti. Jadi ..., tidak setiap orang yang bermasalah menjadi bencong, ya? Ya ..., karena masih banyak masalah yang bisa diselesaikan tanpa harus mengambil langkah itu. Dan satu hal lagi. Terkadang, seseorang mengambil pemecahan masalah dengan menambah masalah. O ..., begitu. Tapi rasanya otaku belum bisa menerima penjelasan ayah. Ayah juga? Tanyaku. Ya ..., kadang-kadang ayah juga begitu. Maksud ayah, tidak menjadi bencong, tetapi mencari pemecahan yang kadang tidak tepat untuk menyelesaikan masalah itu. Akhirnya malah bertambah parah masalahnya. Lalu ..., aku masih sangat pusing. Aku benar-benar bingung. Kurasa kalimat yang ayah lontarkan sangat memusingkan. Aku benar -benar tidak bisa mengerti. Mungkin seharusnya kalimat itu untuk orang dewasa atau orang hampir dewasa seperti Egi. Kita harus bisa menyelesaikan setiap masalah dengan baik. Bukan dengan akal kita saja. Ayah meraih tanganku, mengajakku duduk di sampingnya. Sepertinya ayah tahu bahwa masalah ini benar-benar membuat kepalaku pusing dan ingin kubenturkan ke dinding.

72

Lihat ini! Ayah menyodorkan sebuah buku tebal yang sebelumnya ia baca. Aku melihat buku itu, tulisannya kecil dan rapat. Kemudian ayah memperlihatkan sampulnya. Tafsir al-Quran. Karena kita sudah punya pemecahan pada setiap masalah. Dan ayah mencari pemecahan itu dengan membaca ini. Kemudian ayah kembali membuka halaman yang sedang ia baca. Akal kita tidak akan cukup kuat untuk memecahkan semua masalah yang ada. Makanya, Ari sering pusing, kan? Aku mengangguk. Kini aku yakin bahwa buku itu juga bisa membuatku tahu banyak hal. Seandainya aku bisa memberikan buku itu pada Dodi ketika Dodi masih ada, mungkin Dodi tidak akan pergi. Kasihan Dodi. Setelah kemarin kami berkunjung ke rumah Dodi, salah-satu orang-tua Dodi mengatakan bahwa Dodi sekarang tinggal dengan nenek salah satu orangtuanya di daerah selatan. Entah memang kebetulan atau memang seharusnya begitu, Dodi pindah sekolah dan kami tidak tahu apa-apa. Aku kalah dua kali. Setelah ketidak-tahuanku mengenai sakitnya Budi, kini aku juga tidak tahu teman sebangkuku yang telah pindah sekolah. Ketika kutanyakan pada Bu Yanti, beliau bilang Dodi memang sudah pindah dua pekan yang lalu. Tapi ia tidak mau memberitahukan pada temanteman sekelasnya, bahkan padaku. Artinya, aku memang bukan siapa-siapa baginya. Pasti Dodi sangat malu. Seharusnya aku tidak tahu rumahnya. ***

Kami: ayah, aku, dan Egi, berdandan sangat rapi. Kami akan pergi ke rumah calon ibu kami. Ayah bilang rumahnya tidak jauh dari sini. Aku sangat penasaran seperti apa wajah calon ibu kami. Apakah ia secantik Desi Ratnasari atau seseram Mpok Nori. Aku tidak dapat membayangkan jika aku

73

mempunyai ibu semacam Mpok Nori, mungkin aku akan terpingkal-pingkal terus seharian dan tidak bisa sekolah karena sakit perut. Ayah mengemudi di depan. Aku dan Egi tidak mau duduk di belakang, jadi kami berdua duduk di kursi depan, berhimpitan. Kadang aku merasa Egi masih seusia denganku. Tapi melihat tinggi badannya, aku tidak berani berpikir begitu lagi. Kami mulai meninggalkan kompleks perumahan kami dengan memasuki sebuah jalanan besar yang ramai. Tidak sepekan sekali aku melewati jalan ini. Berbeda dengan Egi, karena sekolahnya jauh, ia cukup sering melewati jalan ini. Kurasa menjadi dewasa seru juga. Mempunyai banyak pengalaman baru seperti Egi. Juga teman-teman baru yang aneh-aneh. Mungkin suatu saat nanti Budi juga akan terlihat aneh. Ia akan berlagak seperti binaragawan di depan cermin, seperti yang biasa dilakukan Egi. Begitu pun Jamal dan Andi. Aku tidak begitu yakin dengan Avian, anak itu cukup berbeda. Tapi aku juga tidak tahu pasti. Yang pasti, kurasa menyenangkan, karena tidak ada yang berani memarahiku lagi. Kami berbelok ke kanan ketika sampai di sebuah perempatan dekat mall pusat kota. Kami sudah melewati desa kami terlalu jauh. Kupandangi tingkat tertinggi bangunan mall itu sampai leherku ikut sakit karena harus menengadah dan berputar. Deretan ruko yang berlalu begitu cepat, sepertinya bukan mobil ayah yang bergerak maju, melainkan ruko-ruko itu yang terus mundur. Mataku berhasil menangkap salah satu orang-tua Dodi yang tempo hari menabrakku di depan rumahnya. Ia sedang berjalan sambil mengibaskan rambutnya. Pikiranku melukiskan wajah Dodi dari samping. Aku memang sangat sering melihat Dodi dari samping karena ia duduk di sampingku dan jarang menoleh. Rambutnya yang lurus dan kulitnya yang agak putih kekuningan. Ia teman yang baik, tidak pernah jahil padaku. Egi mulai membicarakan sesuatu yang sama sekali tidak menarik bersama ayah. Mereka menyebut-nyebut seseorang yang sering kudengar di tivi. Terakhir

74

kudengar ayah akan membelikan sepeda motor untuknya beberapa hari ke depan, mungkin lusa atau besok. Kami mulai memasuki sebuah jalan kecil. Lingkungan di sini sangat berbeda. Rumahnya berdempetan dengan halaman yang sangat kecil. Mobil kami berhenti tepat di depan sebuah rumah berwarna hijau muda dengan cahaya lampu yang sangat terang. Ayah membantuku turun. Seseorang bergaun menutupi hampir seluruh tubuhnya keluar dari rumah hijau muda itu. Ia sangat tua, mungkin lebih tepat kupanggil nenek. Tidak mungkin wanita itu calon isteri ayah. Ayah menyalaminya. Aku mengecup tangannya. Ayah selalu mengajarkan ini padaku. Tapi Egi tidak begitu. Mungkin karena ia sudah besar, jadi ia mengikuti ayah. Nenek itu tersenyum pada kami, lalu berkata, Mari masuk .... Aku mulai mengekori ayah, masuk ke dalam rumah ini. Lantainya sangat dingin. Aku duduk bersebelahan dengan Egi. Kemudian Egi berbisik, Jangan bertingkah yang aneh-aneh .... Aku mengernyitkan dahiku padanya. Dia menatap tajam padaku, artinya aku baru saja bertindak aneh di depannya. Ayah menepuk paha Egi. Mungkin itu juga sebuah sinyal agar Egi juga tidak melakukan hal aneh semacam berbisik-bisik di rumah orang. Nenek itu duduk berhadapan dengan kami. Ia masih tersenyum. Sepertinya ia bahagia sekali. Aku khawatir, jangan-jangan benar bahwa nenek itu yang akan menjadi ibuku. Ah, tidak mungkin! Seorang wanita yang lebih muda muncul dengan membawa tiga gelas air berwarna putih, kurasa itu susu, dua toples berisi biskuit dan makanan kering, dan sepiring kue kukus yang sepertinya enak. Aku menyenggol tangan Egi, Egi kembali memandangku dengan tatapan kau-melakukan-hal-aneh-lagi! Nanti saja ...!! Bisik Egi dengan penekanan khusus. Mungkin dia mengira aku menginginkan kue enak itu. Sebenarnya bukan itu! Aku hanya memberikan sinyal padanya apakah-wanita-itu-yang-akan-menjadi-ibu-kita?

75

Ini pasti Ari ..., ujar wanita yang lebih muda sambil tersenyum padaku. Dan ..., Egi, sambungnya, menatap pada Egi. Egi tersenyum ramah. Aku mengikutinya. Ayah nyaris tertawa, tapi kemudian hanya tersenyum lebar. Aku melihat binar di wajahnya. Ini Tante Ai, lanjut ayah. Aku mengangguk-angguk laiknya orang dewasa. ***

Tidak biasanya aku tidur selarut ini. Aku benar-benar mengantuk tapi masih kutahan. Ayah memarkirkan mobilnya ke dalam garasi. Aku bernapas dengan lega. Tapi ketika akan turun, hampir saja aku terjatuh karena sempoyongan. Kurasa aku benar-benar mengantuk. Egi menuntun tanganku agar aku tidak jatuh lagi, kami menuju teras sementara ayah masih mengunci pintu garasi dari luar. Kurasa Tante Ai baik. Dia akan menjadi ibu yang baik untuk kita. Aku tidak sanggup menjawab apapun. Biarlah Egi berkata apapun, aku tidak peduli. Kami berpisah di pintu kamar Egi. Dan aku berjalan menuju kamarku sendiri. Sambil menatap foto ibu, aku mengganti pakaianku. Ibu masih tersenyum. Tapi aku bingung. Ada perasaan takut. Tapi ada juga perasaan aneh yang membuat tubuhku sering bergetar tak menentu. Aku akan mempunyai ibu baru. Ah ..., aku kan, belum pernah merasakan punya ibu. Aku tidak begitu yakin dengan segalanya ini. Isi kepalaku mulai berputar tak menentu. Permasalahan dengan orang dewasa memang rumit. Ternyata ayah sedang berdiri di ambang pintu. Aku tidak tahu sejak kapan ayah di sana. Tapi kurasa ayah tahu bahwa aku sedang memerhatikan wajah ibu. Ayah tidak akan melupakan ibu ..., ayah berkata pelan sambil berjalan menghampiriku, kemudian duduk di atas kasur bersamaku. Kami m emandangi wajah ibu. Ari suka Tante Ai?

76

Aku diam saja. Aku sangat mengantuk. Ayah membelai rambutku, dan membenamkan kepalaku dalam pelukannya. Ia menciumi dahiku. Ari tidak mengerti, yah ..., kukira ayah akan langsung bertanya seperti biasanya. Tapi ternyata lain, kurasa ia sedang menungguku untuk menjelaskan sendiri ke-tidak-mengerti-anku. Maka aku terus berkata, Ari masih tidak mengerti mengapa Ari harus punya ibu lagi. Tapi Ari suka Tante Ai. Beliau baik dan ..., kuenya enak ... Ayah kembali merapatkan pelukannya, aku bisa merasakan hangatnya tubuh ayah. Ari punya teman? Aku mengangguk dan menikmati suasana ini. Kurasa dalam beberapa menit lagi aku akan terlelap. Ayah juga ingin punya teman. Dan Tante Ai yang akan menjadi teman ayah, teman Ari, juga teman Egi. Nanti, Ari tidak perlu lagi menginap di rumah Budi jika ayah dan Egi belum pulang, tapi akan ada ibu yang menunggu Ari di rumah .... Aku masih diam, walaupun sangat mengantuk, tapi aku mendengarkan suara ayah. Akan ada kue buat Ari. Mungkin lebih enak daripada kue yang kita makan di sana. Aku tersenyum. Sepertinya ayah tahu bahwa aku sangat menyukai kue itu. Kudongakkan kepalaku pada ayah. Kudapati wajah ayah tersenyum padaku. Kami tersenyum. Kemudian ayah menutupi tubuhku dengan selimut lalu kembali mengecup keningku. Ketika lampu padam, aku benar-benar tidak tahu lagi apa yang terjadi hingga jam waker berbunyi. ***

77

Bi Nuni datang lebih pagi. Ia membuat goreng pisang-keju dan susu hangat untukku. Egi masih belum berangkat, ia menemaniku sarapan. Begitupun ayah, beliau menyeruput susunya sambil membaca koran. Selesai sarapan, aku segera pamit pada ayah dan berlari menuju rumah Budi. Aku ingin mengatakan bahwa aku akan mempunyai seorang ibu. Tapi yang kutemui hanya Tante Ratna yang berkata, Budi sakit, dia tidak bisa masuk sekolah hari ini. Titip suratnya, ya .... Aku mengangguk dan berlari menuju rumah Andi. Kuharap dia tidak sakit juga. Bi Desi menyapaku di depan rumahnya, ia sedang menyirami bunga-bunga kesayangannya. Selain pagi hari, aku jarang melihat Bi Desi keluar rumah. Aku berlari lagi. Andi sedang duduk di teras sambil mengenakan sepatunya. Aku memanggilnya agak keras dan ia menoleh sambil nyengir kuda. Budi sakit lagi .... Sakit apa, sih, dia? Tanya Andi. Aku memang tidak pernah mengatakan Budi sakit apa. Karena sejujurnya aku juga tidak yakin Budi itu pilek, demam, atau bisulan. Dan aku tidak mau mengatakan pada Andi bahwa Budi sakit di lubang pantatnya. Ri, nanti siang main bola kasti lagi, yuk! Ajak Andi. Wajahnya begitu antusias. Aku agak malas sebenarnya. Tapi enggan juga menolak ajakan Andi, akhirnya kujawab, Jika Budi bisa ikut, aku juga mau .... Andi mengangguk aneh. Mungkin dia percaya bahwa Budi bisa sembuh siang ini. Tapi aku tidak yakin. Kukira Budi bahkan tidak akan sekolah sampai besok. Matahari memberikan panasnya terlalu banyak hari ini. Mungkin dia lupa bahwa sekarang masih pukul tujuh pagi, bahkan kurang. Ari sudah menyiapkan apa untuk kemping? Aku diam. Aku bahkan belum memikirkan kemping sama sekali. Aku menggeleng.

78

Ari tahu tidak? Tanya Andi lagi, sepertinya dia berusaha membuat perjalanan kami berisi. Sebenarnya aku juga tidak suka jika selama perjalanan ke sekolah kami hanya diam-diaman saja. Tapi aku kehabisan topik. Aku tidak begitu bersemangat memberitahukan calon ibu baruku pada Andi, atau bahkan berkata bahwa aku benar-benar merasa aneh dengan segala hal mengenai Dodi. Apa? Tanyaku penasaran. Budi benar-benar aneh akhir-akhir ini .... Aku sepakat sepenuhnya. Tapi aku tidak mau komentar. Aku hanya mengiya-kan saja. Mungkin begitu rasanya kehilangan ayah, ya? Aku ingin berkata bukan itu masalahnya. Tapi akhirnya aku mengangguk. Maksudku, bisa saja memang begitu rasanya kehilangan orang-tua. Aku bahkan tidak mau memikirkan apa jadinya jika ayahku meninggal. Aku tidak berani. Bahkan jika itu sempat terlintas di benakku, aku lebih baik berteriak-teriak sampai semuanya hilang begitu saja. Pintu gerbang sekolah mulai terlihat. Kami berlari. Andi menang, tentu saja. Avian sudah berada di depan koridor sementara Diki di sampingnya. Mereka mengobrol. Mereka mengobrol? Kurasa ini tidak wajar. Diki menyambut kami dengan senyuman liciknya. Aku benar-benar tidak menyukainya. Tapi aku tidak punya keberanian lebih untuk sekedar berkata, Kau sangat menyebalkan!! Karena aku yakin mukaku akan bonyok-bonyok. Avian juga tersenyum pada kami. Tahu tidak, kita sekelompok! Sekelompok apa? Tanyaku. Jika maksudnya adalah kemping, aku bersyukur bisa sekelompok dengan Avian yang cerdas dan tidak banyak bicara. Kemping, seloroh Andi. Dan dia balik bertanya, Siapa saja? Kita! Aku, Ari, Budi, Andi, dan Diki. Avian benar-benar buta! Dia bahkan tidak bisa merasakan betapa jahatnya Diki! Dan dia tersenyum ketika mengatakan kami berkelompok dengannya. Ini gila! Hal tergila yang pernah kualami seumur hidupku.

79

Andi,

sama

terkejutnya

denganku.

Tapi

kami

memang

mahir

menyembunyikan perasaan kami saat ini. Darimana kamu tahu? Tanyaku, aku berharap Avian bohong. Tapi mendengar Avian bohong sama saja dengan meminta hujan permen dari langit. Tadi pagi aku bertemu Pak Santoso. Aku bertanya sekelompok dengan siapa, kata Pak Santoso, kita berkelompok. Avian masih menyisakan senyumnya. Mataku mengerling pada Diki, dan ia masih tersenyum licik. Kalian aman bersamaku. Tenang saja! Tiba-tiba Diki berkata demikian. Apa maksudnya? Justru aku akan mati ketakutan! Terus, Jamal gimana? Tanya Andi. Ya.., kami mulai melupakan Jamal. Avian agak tersentak, kemudian tersenyum. Ya, dia juga. Aku sampai lupa. Hehe .... ***

Om Sugi itu orangnya benar-benar baik. Tetapi agak aneh. Dia tertawa seperti orang-orang dalam tivi. Hohoho, kurang lebih begitu. Dan jika ia tertawa, perut besarnya akan terguncang-guncang naik-turun. Aku takut jika bumi ini ikut terguncang juga. Jadi, jika beliau tertawa, aku selalu berpegangan pada benda apapun di dekatku. Meja, contohnya. Ayah pernah memerhatikan perilakuku, tapi kurasa ayah tidak tahu apa penyebabnya. Ari, Ari ..., kamu cepat sekali besar, hohoho ..... Aku berusaha tersenyum sebiasa mungkin. Tapi tidak bisa, senyumku sekaku ototku saat ini. Akhirnya ayah mampu meredam tawa Om Sugi. Ayah mengajaknya ke teras dan memperbincangkan banyak hal. Aku tidak mau ikut campur lebih lama. Sebaiknya aku ke kamar Egi. Tanpa kuketuk, pintu itu terbuka dengan sendirinya. Wajah Egi muncul di ambang pintu dengan dahi terlipat. Ada apa? Katanya. Ari sedang bingung ..., jawabku sekenanya. Tapi aku memang benarbenar sedang bingung.

80

Sebenarnya aku ingin sekali tidak bingung. Tapi bagaimana lagi. Aku benarbenar bingung sekali. Bingung kenapa? Aku tahu Egi akan berkata demikian. Maka aku sudah punya jawabannya. Mengapa semua orang bertingkah aneh? Jawabku. Eum ..., tidak semuanya, sih. Kurasa ayah tidak aneh. Tapi orang lain selain ayah aneh-aneh. Egi memicingkan matanya. Seolah-olah dengan itu bisa menjawab semuanya. Jadi, aku juga aneh? Aku mengangguk. Egi malah tersenyum. Aneh bagaimana? Kak Egi sering bertingkah aneh di depan cermin .... Dia tertawa dan mengacak-acak rambutku. Menyebalkan! Mengapa harus rambut, sih! Kamu itu masih separuh lelaki ...! Jawabnya tiba-tiba. Aku benar-benar tidak mengerti. Ini semakin membuatku bertambah bingung. Maksudnya apa? Aku laki-laki, kok! Egi malah semakin tertawa. Iya, tapi masih separuh ...! Kulihat sekujur tubuhku. Kurasa semua anak lelaki mempunyai tubuh yang sama denganku. Keningku mengerut. Kamu itu masih kecil. Jadi masih separuh laki-laki. Kamu belum menjadi lelaki seutuhnya. Aku diam. Kurasa dengan diam, Egi akan menjelaskan lebih rinci. Ternyata benar. Ia melanjutkan, Misalnya aku dan ayah. Kami sudah menjadi lelaki. Coba Ari lihat, laki-laki itu harus berotot, seperti ini, Egi memamerkan otot tangannya padaku. Tangannya mengembung, dan ia mirip superman. Dan ..., lelaki bersuara besar. Aku diam saja. Dalam hal ini aku tidak bisa sepakat dengan Egi. Dia telah menghinaku dengan mengatakan aku masih separuh lelaki. Kupikir, jeruk kecil atau besar, tetap saja dikatakan jeruk. Pisang juga begitu. Jadi, lelaki itu, besar ataupun kecil, tetap saja lelaki. Tapi kemudian aku berpikir lagi, mungkin Egi memang benar. Aku belum sekolah setinggi Egi, sehingga aku belum mendapatkan pelajaran semacam ini.

81

Mungkin jika aku sudah sebesar Egi, aku juga akan berkata demikian pada anak seusiaku yang kebingungan seperti aku. Laki-laki itu harus kuat. Karena kita harus bekerja. Perempuan juga banyak yang kerja!! Egi tersenyum. Bahkan Bi Nuni juga bekerja! Nih, lihat. Egi menggambar dua buah lingkaran, yang satu diberi sebuah tanda anak panah, dan yang satunya lagi diberi palang. Yang ini simbol untuk lelaki, katanya, menunjuk gambar lingkaran yang memiliki tanda anak panah. Ini gambar tombak atau anak panah, artinya ..., lelaki itu harus bisa memanah dan menombak. Zaman dahulu itu kan, mencari makan hanya dengan memanah dan menombak. Berburu. Tahu, kan? Aku mengangguk. Terus, kalau yang ini ..., perempuan? Ia mengangguk. Maksudnya cermin. Egi mengambil jeda dengan melihat wajahku secara seksama, sepertinya dia mencoba meyakinkan dirinya bahwa aku sedang memerhatikan. Jadi ..., perempuan itu harus bisa bercermin. Mereka harus bisa mempercantik dirinya. Jadi ..., yang punya tugas bekerja itu lelaki. Aku merasa tidak diperlakukan secara adil. Bagaimana jika lelaki kelelahan? Disisi lain, nampaknya Egi merasa puas karena telah menjelaskan semuanya padaku. Ari kan, belum bekerja, jadi belum bisa dikatakan lelaki sepenuhnya, Egi nyengir kuda. Nampaknya ia sangat bangga telah mengatakan semua itu. Egi ..., eum ..., Kak Egi juga belum bekerja?! Tapi aku sudah besar. Sebentar lagi juga bekerja! Aku benci harus mengakui ini; Egi selalu saja benar. Aku sering tidak bisa membantah perkataan Egi. Pastinya karena ia lebih dewasa daripada aku. Kalau begitu tunggu saja sampai aku menjadi lelaki seutuhnya, aku akan mengalahkan semua perkataannya! Tapi aku tidak mau disebut separuh lelaki! Egi tertawa lagi, puas.

82

07

Malam itu, kami sedang menonton tivi di ruang tengah. Ayah, seperti biasa, menemani kami sambil memamah-biak korannya. Egi memindahkan saluran pada acara berita kriminal. Aku tidak begitu menikmati acara sebelumnya yang memang masih juga dimonopoli oleh Egi. Jadi aku ikut saja.

83

Seorang anak yang wajahnya disamarkan tengah muncul di layar-kaca. Kata pembawa beritanya, Ia korban sodomi. Ayah ..., sodomi itu apa? Tanyaku. Sebenarnya aku sudah tahu apa itu sodomi, hanya saja aku ingin menanyakan hal ini pada ayah, dan aku masih belum mengetahui kalimat apa yang harus kusampaikan. Ayah segera menoleh pada kami, kemudian pada Egi dan memberikan sebuah kode rahasia yang membuat Egi memindahkan saluran televisi ke acara yang lebih seru. Aku menunggu jawaban dari ayah yang nampaknya sedang berusaha menjawab. Tapi kemudian aku berkata lagi, Budi bilang, Budi disodomi, Yah. Maksudku untuk memancing jawaban dari ayah. Tapi ayah malah menatapku heran. Budi ...? Ujarnya pelan sambil terus memandangiku. Ini membuatku harus menceritakan sesuatu pada ayah agar ia tidak salah paham padaku. Pandangannya itu membuatku khawatir dengan posisiku. Aku takut ada sesuatu yang salah dengan apa yang baru saja kutanyakan. Sebelum Om Firman meninggal, Om Firman sering memasukan anu-nya ke pantat Budi. Budi bilang begitu padaku. Makanya Om Firman ..., aku terhenti, ayah menaruh telunjuknya di depan bibirku. Ari jangan bilang siapa-siapa, ya. Aku masih merasa heran dengan apa yang sedang terjadi. Tapi kemudian ayah seperti memaksaku agar menurut. Janji pada ayah, Ari tidak ak an menceritakan itu pada siapa pun. Aku mengangguk sambil bingung. Karena itu tidak baik. Itu bukan sesuatu yang harus Ari sampaikan pada siapa pun. Aku mulai memahami bahwa itu adalah rahasia. Artinya, akan ada seseorang yang dirugikan jika rahasia itu bocor. Apalagi ini semua terkait dengan Budi, aku tidak mau mengkhianati Budi. Aku tidak mau jika sampai merugikan Budi. Dia temanku. Walaupun akhir-akhir ini kami jarang main bersama lagi.

84

Ari belum cerita pada siapa pun ..., aku membela diri. Tentu saja, aku tidak bersalah. Aku tidak melakukan apa pun. Aku hanya ..., yaa ..., mungkin aku salah. Tapi aku masih tidak tahu. Ayah tahu ..., sahut ayah pelan. Sementara itu, Egi masih memandangiku penuh tanya. Jika aku sering bingung, biarlah kali ini Egi yang bingung. Kurasa kami impas. Yang pasti, semua itu adalah sebuah kejahatan karena sudah masuk berita kriminal. Kepalaku mulai berputar mencari-cari sesuatu yang membuatku bingung. Om Firman yang baik tapi pelit itu melakukan kejahatan pada temanku; Bud i. Tapi setelah itu, mungkin dia malu karena Bi Ratna mengetahuinya, lalu ia bunuhdiri. Kini aku tahu semuanya. Semua masalah besar yang membuat Om Firman sampai harus bunuh-diri. Lalu bagaimana dengan Budi? Kurasa Budi belum tahu bahwa itu tindakan kejahatan. Sampai saat ini dia tidak lapor polisi. Atau memang, seperti yang ayah sampaikan, sebaiknya tidak semua orang mengetahui hal ini karena ini rahasia. Ah, aku semakin bingung. Sebaiknya aku berhenti berpikir. Kuserahkan saja semuanya pada orang-orang dewasa. Tapi ..., Budi kan, temanku. Apa polisi boleh tahu .... Ayah memandangiku dengan penuh cinta, membuatku diam dan tidak membutuhkan jawaban lebih banyak lagi. Ayah memang sering membuat sebuah kode yang dapat kami pahami tanpa harus berkata apapun. Entahlah, kurasa begitu. Kemudian ayah membawaku ke pangkuannya, kami memamah-biaki koran di genggaman tangan ayah. Egi beranjak dari tempatnya, sepertinya ia pun akan mempertanyakan sesuatu pada ayah, tapi ayah menggeleng pelan. Egi kembali ke tempatnya. ***

Egi sumringah bukan main. Seharian ini ia terus mengendarai sepeda motor barunya. Dan parahnya lagi, bersamaan dengan itu, ayah juga membelikanku

85

sepeda. Selanjutnya bertambah parah karena Andi mengetahui bahwa aku memiliki sepeda baru. Ia memanasiku untuk belajar sepeda. Tentunya, ia ingin merasakan sepeda baruku juga. Padahal ia sendiri sudah punya di rumahnya. Nanti kita bisa berangkat sekolah naik sepeda! Ujar Andi, ia benar-benar bersemangat. Lalu ..., Budi..? Dia bisa membonceng di sepedaku. Atau di sepeda Ari, katanya lagi. Aku tidak tahu Budi akan suka atau tidak, tapi aku sendiri mulai menikmatinya. Rupanya lebih mudah berjalan-jalan dengan sepeda. Walaupun awalnya sangat sulit untuk bisa mengendarai. Tapi kata Andi, kalau jatuh sekali atau dua kali itu masih biasa. Andi bahkan punya bekas luka di lututnya. Dia menunjukkannya padaku dengan bangga. Apa yang istimewa? Seandainya Dodi masih sekolah bersama kami, aku akan sering mengunjunginya dengan sepedaku ini. Ri ...., kenapa kita bisa sekelompok dengan Diki, ya? Aku berpikir sejenak, tapi kemudian menggeleng karena tidak mendapatkan jawaban yang tepat. Bahkan aku juga ingin mempertanyakan hal itu juga jika ada seseorang yang mampu menjawabnya. Kok bisa ya, ada anak yang menyebalkan seperti Diki? Aku malah bertanya demikian. Andi tercenung. Rasanya Diki tidak menyebalkan. Dia hanya ...., sangat nakal. Kini aku yang tercenung. Kemudian bertanya-tanya, apakah benar Diki menyebalkan? Padahal Diki belum pernah sekalipun menggangguku. Oh, pernah sih, sekali. Tapi memang hanya sekali. Ketika aku berhasil mengindarinya, ia tidak pernah lagi menggangguku. Setelah itu, dia memang mengganggu dan berkelahi dengan Dodi. Tapi tidak berhubungan denganku sama sekali. Pada kenyataannya, aku sangat sebal padanya. Tepat di depan gerbang sekolah, dapat kami lihat keadaan warung Bu Uci penuh oleh anak-anak yang jajan. Mungkin mereka belum sarapan. Tiba-tiba Andi mengajakku lewat belakang. Dia menghindari Hepi dan Lela. Aneh, selalu saja

86

ada sesuatu yang bisa membuat Hepi memandangi kami dan Lela mengeluarkan kata-kata mujarab yang membuat kepala kami pusing. Kami menelusup ke gang antara gedung sekolah dengan rumah dinas Pak Santoso. Ketika kakiku siap melangkah keluar dari gang sempit itu, Andi menarik tanganku. Aku menoleh, Andi menyuruhku diam. Ssstttt ..., telunjuk Andi di depan bibirnya. Aku mengikuti perintah Andi tanpa tahu ada apa. Tapi nampaknya ini serius. Akhirnya aku tahu, secara tidak langsung, Andi menyuruhku mendengarkan suara-suara berkelontangan yang muncul dari dalam rumah Pak Santoso. Tapi ..., kukira bukan hanya itu. Ada suara tangis juga. Kemudian suara lain menyusul, milik Pak Santoso. Aku ingin punya keturunan ..., tapi ... Sepi ...., mata kami berhadapan. Kami masih menunggu. Sebenarnya aku tidak mau mendengarkan obrolan ini, tapi tangan Andi masih erat memegang tanganku. Ayo ..., nanti telat ..., di sisi lain aku tidak mau suara kami terdengar dan mengganggu keluarga Pak Santoso, aku berbisik dengan menekan setiap kata yang kukeluarkan. Lantas Andi menjawab, Sebentar, tali sepatuku lepas. Memang tali sepatu Andi lepas, aku hanya bisa menunggunya mengikat kembali tali sepatunya. Ceraikan saja aku, mas. Suara ini milik Bu Santoso, ia terdengar seperti sedang merintih. Ini membuatku merinding. Kulihat lagi sepatu Andi, sudah selesai diikat. Aku segera menariknya keluar gang. Dengan setengah berlari kami meninggalkan rumah Pak Santoso. Begitu sampai di dalam kelas, napas kami masih terengah-engah. Aku teringat ucapan ayah tentang segala sesuatu yang tidak sepatutnya didengar banyak orang. Dalam hal ini, aku beranggapan bahwa apa yang baru saja kami dengar adalah sesuatu yang memang tidak sepatutnya kami dengar. Ndi, yang tadi itu ..., jangan bilang pada siapa pun, ya .... Apa? Yang mana? Andi memang terkadang agak lambat dalam berpikir. Yang kita dengar di rumah Pak Santoso itu, loh, tandasku.

87

Ok! Sepertinya itu bukan masalah. Kami berusaha duduk senyaman mungkin dan bersembunyi di dalam kelas walaupun ada beberapa anak cewek yang sedang asyik memainkan boneka bongkar pasang di dalam kelas juga. Termasuk Mimi dan Nia. Jamal datang dengan muka terlipat. Aku tidak dapat izin kemping. Soalnya asmaku lagi parah-parahnya, nih! Kami ikut prihatin. Tapi jika boleh, aku mau menggantikan Jamal sakit asma. Terus terang saja, aku tidak begitu berminat kemping, apalagi satu kelompok dengan Diki. Suara-suara gaduh di luar membuat kami segera mendongakkan wajah ke jendela. Rupanya Diki tengah membuat perhatian semua orang tertuju padanya. Dia memang benar-benar sok aksi! Dia memeragakan gaya smack-down dengan beberapa anak yang sama besarnya. Yang kutahu anak yang menjadi lawannya itu kelas enam. Anak-anak cowok yang lain sangat ramai, menyoraki Diki maupun si kelas enam itu. Sedangkan yang kulakukan adalah berlari menuju ruang kantor guru sekolah dan melaporkan hal itu pada Bu Yanti. Wajah Bu Yanti berang. ***

Minggu depan ujian akhir semester. Budi masih belum bisa sekolah. Ini sama sulitnya dengan beberapa bulan yang lalu ketika Om Firman baru meninggal. Malah aku jarang sekali melihat tanda-tanda kehidupan di rumah Budi. Tante Ratna yang sesekali duduk di teras, kini tidak pernah nampak lagi. Egi mengajakku menyuruhku mandi. Tadi pagi aku sudah mandi ...! Mandi lagi! Supaya segar. Disana itu panas sekali. Akhirnya aku menurut, aku paling tidak suka kegerahan. alat jumat. Katanya lelaki harus alat jumat. Egi

88

Egi memilihkan pakaian yang harus kupakai. Selesai mandi, pakaian taqwa dan kain sarung telah siap di atas tempat tidurku. Jangan lama-lama dandannya. Tentu saja aku tidak perlu waktu lama untuk memakai pakaian ini. Berbeda dengan Egi yang terkadang sering terlihat bingung dengan apa yang harus ia pakai. Kecuali seragam sekolah. Rupanya Egi sedang menungguku di bawah sambil duduk di kursi di depan televisi yang tidak menyala. Kan, belum a an ..., kataku, sambil menghampirinya. Lagipula, ini masih pukul sebelas lebih lima belas menit, masih lama kan! Ari pilih yang mana? Telur ayam, ayam, kambing, atau sapi? Ayam! Jawabku. Dibandingkan itu semua, aku lebih suka daging ayam. Aku tidak begitu suka telur, soalnya anyir. Daging kambing sangat bau dan membuatku ingin muntah. Sedangkan daging sapi alot, bisa-bisa gigiku rontok! Egi malah tertawa kecil. Maksudnya kalau Ari dapat pahala, ingin yang sebesar apa? Oh ..., yang paling besar, dong! Kalau kita datangnya telat, cuma bisa dapat telur ayam. Nah, kalau datang pas a an, tidak mendapatkan apa-apa. Jelasnya. Masa? Tanyaku keheranan. Soalnya, setahuku banyak sekali orang-orang yang baru datang ke masjid begitu a an. Kasihan mereka, sudah capek -capek tapi tidak dapat apa-apa. Kami menuju masjid dengan mengendarai sepeda motor baru Egi. Aku membonceng di belakangnya. Egi begitu cepat mahir. Jarak dari rumah kami menuju masjid yang biasa digunakan untuk alat jumat memang cukup jauh. Bukan berarti tidak ada masjid dekat di sekitar rumah kami, hanya saja masjid itu hanya untuk alat biasa saja. Dan benar sekali apa yang sempat terlintas di benakku. Masjid ini masih kosong-melompong ketika kami tiba. Hanya ada beberapa kakek-kakek yang mengisi barisan paling depan. Setelah itu menyusul beberapa anak kecil, ada juga yang seusiaku. Hei, aku melihat Avian! Pasti itu bapaknya.

89

Baru saja aku ingin memanggil Avian, Egi segera meleraiku. Jangan teriakteriak. Berisik! Bisiknya. Oh ..., jadi aku tidak boleh berisik-berisik disini. Pantas orang-orang disini begitu khusyuknya duduk sambil menunduk. Kukira mereka ketiduran. Mataku terus memandang ke arah Avian. Saat ia melihat ke arahku, aku akan memanggilnya. Rupanya butuh waktu lama menunggu keajaiban itu. Tapi akhirnya Avian menoleh juga. Aku segera melambai padanya. Ia b erbisik pada ayahnya, ketika ayahnya mengangguk, ia menghampiriku. Kami tersenyum lebar. Ari baru kesini, ya? Tanyanya. Sepertinya dia sudah sering alat jumat disini. Aku mengangguk. Pembicaraan kami lanjutkan dengan membahas Jamal yang tidak mendapat izin dari orangtuanya karena asma, juga Diki yang tempo hari di panggil Bu Yanti ke kantor guru. Kecuali Andi dan Jamalyang sampai saat ini masih bungkamtidak ada yang tahu mengapa Bu Yanti bisa tahu Diki dan anak kelas enam itu main smack-down di koridor sekolah. Setelah itu, Diki mendapat ancaman jika berbuat seperti itu lagi, akan dikeluarkan dari sekolah. Rasakan! Pengunjung masjid mulai berdatangan. Kulihat memang sudah hampir saatnya a an, hanya tinggal beberapa menit lagi. Seorang bapak-bapak yang kurasa seumuran ayahku jika ia lebih bisa mengurus dirinyadia nampak lebih tua, berdiri dan berjalan menuju ruang kecil di belakang mimbar. Kemudian terdengar suara a an. Semakin banyak orang yang memadati ruang utama masjid. Bahkan kami hampir tersisih. Aneh sekali orang-orang ini. Seharusnya mereka sadar bahwa mereka datang telat, jadi jangan mengambil tempat orang lain. Egi mencengkeram tanganku agar tidak duduk jauh dengannya. Kurasa dia tidak mau direpotkan dengan mencariku selepas alat jumat selesai. Begitu a an selesai, Egi berkata, Kalau khatibnya sedang khutbah, kalian jangan ngobrol terus, ya.. Memangnya kenapa? Tanyaku.

90

Tidak boleh, pahala alat jumatnya hilang, tambah Avian. Wah.., rupanya Avian tahu banyak. Khatib itu apa, sih? Bisikku pada Avian. Itu ..., yang ceramah di depan. Aku mengangguk. Kemudian bertanya lagi, Kalau khutbah? Ceramah ..., Avian terlihat senang telah membantuku. Kemudian kami diam karena khutbah sudah dimulai. Aku mengatupkan bibirku kuat-kuat. Berarti orang yang datang telat terus masih mengobrol saat khutbah rugi dua kali, dong! Tapi ..., aku masih melihat beberapa orang mengobrol di pojokan. Padahal mereka itu sudah lebih tua dariku. Mungkin seusia Egi atau lebih. Yang lainnya lagi, ada yang sampai tertidur segala. Sedikitnya, orang-orang di sekitarku duduk termangu dengan kepala naik turun. Mungkin karena mereka begitu khusyuk mendengarkan wejangan dari si khotib itu atau memang mereka belum mandi sehingga mengantuk. Untung Egi menyuruhku mandi dulu. Setelah khutbah selesai dan doa-doa, kami alat. Ini namanya alat jumat? Karena Avian harus bersama ayahnya, kami tidak bisa pulang bersama. Lagipula arah rumah kami berbeda. Egi sudah siap di atas motornya dan menyuruhku segera naik. Kalau ngobrol tidak boleh, kalau tidur boleh tidak? Tanyaku sambil naik dan duduk di belakangnya. Seharusnya sih, tidak boleh juga. Tancap gas, dan kami pulang. Kurasa aku akan mengajak Andi alat jumat minggu depan. Namanya juga alat jumat, berarti hanya ada saat hari jumat saja. ***

Ayah pulang lebih cepat. Tepat pukul empat sore. Ayah membawa serta Tante Ai, calon ibu kami itu, dan nenek yang waktu itu ada disana. Ternyata itu ibunya Tante Ai, sudah bisa kutebak, ayah menyapanya dengan panggilan Bu Ami. Mungkin jika saatnya tiba, aku akan memanggilnya Nenek.

91

Mereka membawa oleh-oleh sangat banyak. Ada juga kue enak seperti yang kemarin dulu itu. Aku sangat suka. Egi agak berubah. Entahlah, kupikir sikapnya tidak wajar di depan Tante Ai. Ia menjadi anak yang manis, kurasa. Jadi, aku mengikuti gayanya; menjadi anak manis, duduk manis, dan tersenyum manis. Pantas saja siang tadi ayah menelepon kami agar merapikan rumah dan kamarku. Ternyata Tante Ai dan ibunya akan menginap di kamarku. Jadi malam ini aku harus tidur di kamar ayah. Tapi Egi bilang di kamarnya saja. Jadi aku tidur di kamar Egi. Rupanya Egi tidak langsung tidur, ia membaca sebuah buku nyaris tebal. Kurasa itu bukan buku cerita, dan kurasa itu juga bukan buku pelajarannya. Kak .... Eum ..., jawabnya, perhatiannya masih terfokus pada buku yang ia baca. Jika Tante Ai jadi ibu kita, dia masih baik tidak, ya? Egi memandangku. Kan, aku sudah bilang, jika ia galak, kita akan minta pada ayah untuk menceraikannya, jawab Egi, serius. Mungkin Egi juga takut ibu baru kami akan menjadi galak begitu sudah bisa mendapatkan hati ayah. Seperti di sinetron-sinetron itu. Kak. Ya? Aku kembali menggangunya, tapi perhatiannya sudah kembali pada bukunya. Cerai itu kayak apa, sih? Kulihat Egi masih diam. Maksud Ari ..., seram, ya? Egi masih diam, rupanya ia enggan beralih dari bukunya. Tapi kemudian dia menjawab, Tak tahu! Dan aku yakin Egi benar-benar tidak tahu atau tidak mau memberitahu. Tapi jika Bu Santoso sampai menangis, artinya, cerai memang menyeramkan. ***

92

Pagi hari, ketika aku tengah menikmati nasi goreng buatan Bi Nuni, ayah berkata padaku dan Egi, tetapi matanya menghadap pada Egi, Ayah akan menikah minggu depan. Egi mengangguk, ia mencoba menepekuri nasi gorengnya. Pestanya tidak terlalu mewah, biasa saja. Kita hanya akan mengundang tetangga, kerabat dan saudara saja. Ayah khawatir merepotkan pihak Tante Ai. Rupanya ayah telah mempersiapkan segalanya. Ari boleh mengajak Budi dan Andi? Soalnya tempat pernikahannya kan, di rumah Tante Ai, disana aku tidak mempunyai teman. Ayah mengangguk. Setelah itu kami berpamitan. Ayah harus kerja, aku dan Egi sekolah. Rumah Budi masih sepi. Rasanya sudah terlalu lama. Jangan -jangan keluarga Budi pindah rumah. Memikirkan itu membuatku merasa bersalah. Akankah Budi seperti Dodi? Akhirnya aku mengambil sepeda dan melaju ke rumah Andi. Andi tertawa senang karena ini pertama kalinya kami berangkat sekolah naik sepeda.

08

Ketika

ujian

selesai dan

Budi tidak

mengikutinya,

kami

mulai

mempersiapkan segala hal yang berhubungan dengan kemping. Egi ikut ribut dan

93

melarangku membawa banyak barang. Dia bilang itu semua malah akan merepotkanku. Sejujurnya aku sempat sewot, tetapi kupikir Egi tahu banyak, dan selalu seperti itu. Dia sudah besar. Ari hanya perlu ini! Kemudian Egi memasukan minyak angindia tahu aku tidak suka balsem gosok karena lengket dan dingin dan beberapa barang yang tidak kuperhitungkan sebelumnya; lilin, korek api, dan sebuah buku ukuran saku, entah darimana ia mendapatkannya. Lalu bagaimana dengan ini? Tanyaku, menunjuk pada sekantung makanan ringan yang sudah kubeli kemarin dari mini market bersama Andi, Jamal, dan Avian. Egi merampas kantung itu dan membenamkannya ke dalam tasku. Kini tasku mirip Budi; gendut dan lucu. Serta-merta itu semua membuatku memandangi rumah Budi yang kosong terus selama beberapa minggu ini. Ari belum tahu, ya? Aku menoleh pada Egi segera, tapi justru Egi masih sibuk mengepak bawaanku. Sehingga ia berbicara tanpa memandangku. Budi dan keluarganya kan, sudah pindah rumah. Sudah satu minggu. Aku terhenyak, oh, ya? Masaaku tidak tahu? Aku benar-benar tidak percaya. Egi hanya mengangguk. Aku memukul keningku berkali-kali sampai Egi berkata, Hentikan! Apa-apaan, sih? Aah ..., kalah lagi! Jawabku spontan, padahal seharusnya aku tidak berkata apapun. Kalah apa? Tuh kan, Egi penasaran! Aku diam sejenak, mengambil napas panjang. Ini sulit untuk kukatakan. Ari kehilangan teman lagi. Kudengar Egi mendengus. Apakah ia melecehkanku? Ah, rasanya bukan. Mungkin hidungnya kemasukan debu. Budi sakit, ia harus dirawat di rumah sakit ..., suara Egi lebih pelan, aku menangkap hal itu sebagai sesuatu yang sepatutnya tidak didengar orang banyak.

94

Dan bagusnya, aku tidak mendengar tanda-tanda bahwa Egi mengejekku atau apapun itu. Saat ini ia sedang serius. Kenapa harus pindah rumah segala? Tanyaku. Kupikir aku benar dalam hal ini. Egi menjawab dengan sebuah gelengan kepala. Ya ..., rasanya kami memang benar-benar tidak tahu. Eum .... Lalu, aku diam. Kutunggu sampai Egi melanjutkan gumamannya menjadi sebuah kalimat lengkap. Tapi ia masih bungkam. Apa? Tanyaku pada akhirnya, kemudian ia menoleh padaku, mata kami beradu. Sepertinya ini serius. Budi dirawat oleh seorang psikiater ..., lanjut Egi. Psikiater? Apa itu? Semacam dokter jiwa. Budi sakit jiwa?!! Egi mengangkat bahunya. Kukira Budi hanya sakit di lubang pantatnya saja, gumamku, tapi cukup jelas hingga Egi mampu mendengarnya. Kau tahu, yang seperti itu bisa membuat orang tertekan, Egi bersuara dengan sangat lembut, dia menjadi sangat gentlemen. Apa maksudnya, sih? Mata kami kembali beradu. Stress. Eum ..., Budi stres. Kalian memang masih kecil! Egi mulai lagi. Dia mengataiku anak kecil. Tapi memang aku masih kecil. Kupikir kalau Egi mengataiku anak kecil, itu bukan masalah, asal jangan separuh lelaki saja. Tapi ..., entahlah. Aku tidak begitu banyak mengerti mengenai hal ini. Kupikir apa enaknya stress sampai dirawat dokter jiwa? Yang ingin kupastikan saat ini adalah keadaan Budi. Atau mungkin saat ini dia sedang bermain dengan anak-anak lain yang juga sama-sama stress. Jika itu memang membuat Budi senang, tak masalah. Ternyata memang aku tidak cukup baik menjadi temannya. Dia bahkan tidak mengajakku ..... ***

95

Kami mulai berbaris, dan dengan seenaknya saja Diki berdiri di depan. Avian dengan senyum super ramahnya malah diam saja. Lengkap sudah semuanya; dimulai dengan tidak-adanya Budi dalam kelompok kami, Diki si menyebalkan menjadi ketua kelompok dan aku harus menurutinya! Tapi ..., masih ada Jamal. Kukira orang dewasa memang aneh, dalam satu waktu mereka berubah pikiran. Mereka tidak jauh beda dengan kami : Jamal, pada akhirnya, diizinkan kemping. Aku tidak tahu apa yang Jamal tawarkan, apakah ia bilang akan bunuh diri jika tidak boleh ikut kemping? Menurut Andi, kelompok kita bisa kompak? Tanyaku, memancing Andi yang ternyata lumayan sependapat denganku, tentu saja ia menggeleng sambil memandang Diki, sinis. Pemberangkatan menuju tempat kemping kami lalui dengan menaiki sebuah truk besar. Wah ..., bau mesin tua dan bensin yang bercampur-aduk membuatku ingin muntah. Tapi ternyata perjalanan cukup menyenangkan ketika kami mulai memasuki kawasan yang banyak pohonnya. Setelah itu, kukira sekitar sepuluh atau lima belas menit, kami berhenti di sebuah lapangan luas. Kurasa kami sudah sampai. Pak Santoso kembali membariskan kami. Kemudian Jamal berbisik di telingaku, Aku sudah tahu artinya mandul, mungkin Pak Santoso itu impoten .... Apa itu? Keningku mengerut. Jamal mengangkat bahunya dan kami diam untuk mendengarkan intruksi Pak Santoso. Sepertinya aku pernah mendengar kata itu. Lagi-lagi Diki berdiri di depan, dan aku tepat di belakangnya. Diki benarbenar menutupi tubuhku hingga aku tidak bisa memandang ke depan. Tentu saja ini membuatku tidak bisa mendengarkan Pak Santoso dengan baik. Memang begitu, ternyata aku tidak bisa menerima perintah dengan baik jika tidak bisa melihat wajah orang yang berbicara. Pinjem pulpen, dong! Cepet!! Diki begitu memaksa, padahal aku benarbenar muak. Sebenarnya dia tahu tidak, sih?

96

Kurasa tidak. Tidak ada pilihan lain selain mengambil pulpen dari dalam tasku. Cepet! Cepet!! Dia benar-benar menyebalkan. Waktuku habis untuk menghujatnya. Akhirnya kuberikan pulpen yang paling jarang kugunakan, isinya masih penuh. Sempat kudengar Pak Santoso berkata tenda, pasak, tali, atau semacamnya. Setelah itu tiba-tiba kami bubar. Kami harus mendirikan tenda sebelum jam sebelas siang. Diki benar-benar cekatan. Ia menyuruh aku dan Jamal memegang tongkat sebagai penyangga tenda pada dua sisi, kemudian mengikat tali panjang dengan sebuah simpul, Ini simpul pangkal namanya, ia masih berusaha

menyombongkan diri. Tapi rupanya dia memang patut menyombongkan diri, karena tenda kami yang paling pertama berdiri kokoh. Yang lain, banyak yang kurang kokoh, tersentuh sedikit saja sudah ambruk. Yaa ..., dalam hal ini Diki hebat juga. Pukul sebelas siang, kami bersiap-siap untuk alat uhur dan makan siang. Diki kembali banyak tingkah, ia begitu senang mengatur kami dan membagikan piring-piring untuk aku, Jamal, Andi, dan Avian. Dia benar-benar seperti seorang pemimpin. Keadaan seperti ini membuatnya sedikit berbicara. Bagus-lah! Sedikit banyak Diki berubah. Kurasa, jika saja aku tidak membencinya, aku akan mengakui bahwa dia memang seorang pemimpin yang baik. Setelah istirahat sehabis makan, kami berkumpul di lapangan yang dikelilingi pohon kelapa. Rupanya kami akan bermain. Permainan ini aneh sekali, semacam kucing dan anjing, tetapi berkelompok dan kami tidak boleh terlepas dari kelompok tersebut. Kurasa aku senang. Kami melawan kelompok lain. Untungnya ada Diki, dia benar-benar hebat. Dia mampu berlari lebih kencang dari Andi sehingga tubuhku kadang terayun tak menentu. Tapi seru. Ini benar-benar seru.

97

Kemudian Pak Santoso menghentikan permainan karena, katanya, kami harus mempersiapkan penampilan untuk acara nanti malam. Setiap kelompok wajib menampilkan sesuatu; boleh nyanyian, drama, pencak silat, atau semacamnya. Aku tidak punya ide sama sekali. Jamal sampai tidak bisa bernapas begitu kami duduk di bawah pohon kelapa. Kemudian ia terlentang, kurasa ia mencoba mengambil seluruh oksigen di sekitarnya, termasuk punyaku. Tapi karena aku tidak mau kehilangan teman lagi, aku memberikan jatahku dengan senang hati. Kambuh lagi asma-nya? Tanyaku. Jamal menggeleng. Cuma kecapean ..., jawabnya. Jamal asma? Tanya Diki. Aku mulai menangkap geliat tak mengenakkan. Aku khawatir hal ini akan menjadi bahan ejekan baru untuk Jamal. Jamal berusaha menggeleng, mungkin dia sepikiran denganku. Adikku juga sama. Kasihan kalau sudah kambuh .... Tiba-tiba semuanya berubah. Kurasa Diki tidak akan menjadikan asma sebagai ejekan untuk Jamal. Setidaknya begitu. Aku dapat bernapas legakarena aku memang tidak asma. Kamu adiknya Egi, ya? Diki memandang ke arahku. Aku tidak suka mengobrol dengan orang asing. Tapi aku takut dipukul jika tidak menjawab. Maka aku mengangguk saja. Tapi kemudian kuteruskan, Kok, bisa kenal? Dia teman kakakku, jawabnya polos. Padahal aku berharap Diki mengenal Egi karena ia pernah dipukul oleh Egi! Tapi, kemudian aku tersenyum pada Andi. Andi merengut, tidak mengerti maksudku. Dik ...i, aku ingin tanya satu hal ..., kataku ragu-ragu. Apa?! Sahutnya, spontan. Aku sempat tersentak, sepertinya ia siap memakan kepalaku. Tapi ..., kamu tak akan marah atau mukul aku, kan? Sebelumnya ..., aku harus meyakinkan diriku bahwa keadaan aman dan terkendali, artinya: tubuhku tidak akan bonyok-bonyok!

98

Appa?! Cepetan, dong! Wah, Diki mulai lagi. Kurasa lebih baik mundur saja, deh! Kenapa kamu sering mengatai Dodi anak bencong? Memangnya Dodi salah apa padamu? Kucoba untuk tidak se-emosional mungkin. Tanganku saling berpegangan. Bahkan tanpa terasa, saling meremas. Andi dan Jamal menatapku, sepertinya mata mereka berkata, Ri, berani sekali kamu!? Dengan pandangan menyipit. Avian juga menatapku, tapi ia tidak mengeluarkan pandangan yang aneh, ia hanya diam saja. Senyumnya itu susah kutebak. Kecuali Diki. Dengan wajah anehnya, ia berpaling memandangi langit yang cerah. Kurasa itu menyilaukan. Avian merangkul pundak Diki yang membuat Diki risih bukan main. Kukira si Bandel itu akan melerai tangan Avian, ternyata ia membiarkannya begitu saja. Nanti malam kita mau menampilkan apa, nih? Bagaimana kalau ..., sulap, seloroh Diki, seolah-olah pertanyaanku sebelumnya tidak ada sama sekali. Ia nyengir menatap kami semua, semacam meminta persetujuan. Aku tidak bisa sulap, jawabku. Aku juga. Aku tidak suka sulap, sambung Jamal, napasnya masih sedikit terengah. Tapi lucu juga. Sulapnya boongan kan? Andi? Kurasa bukan berarti Andi memihak pada Diki. Ada sesuatu yang lain. Iya, boongan. Nanti kuajari. Diki menjawab antusias. Binar di matanya berubah. Aku dan Jamal hanya diam memandanginya. Ia cukup meyakinkan untuk mengajari kami. Sepertinya ia memang mahir. Begini nih, caranya. Kami berkumpul, membuat lingkaran kecil tak beraturan. Aku mulai terfokus pada ucapan dan gerak tangan Diki yang sangat cekatan memberi contoh salah satu sulap. Bahkan aku sudah tidak lagi membutuhkan jawaban atas pertanyaanku sebelumnya.

99

Kata ayah, suatu saat tepatnya ketika aku dewasa nanti, aku akan menemukan banyak hal. Suatu hal yang lebih besar. Mungkin lebih besar dari sekedar mengetahui jawaban Diki saat ini. Dan pada saat itulah, ayah bilang, semuanya akan dapat menjawab seluruh pertanyaaanku.

100

Kidung Kedua

Kejujuran, sepahit apapun dilakukan, akan selalu memberikan rasa manis kemudian.

01

101

Hujan sering muncul dengan tiba-tiba tanpa mendung terlebih dahulu. Egi selalu enggan untuk membawa payung ke sekolah, padahal kami punya lima buah di gudang. Mungkin, karena Egi sekarang memiliki motor, jadi ia lebih mungkin membawa jas hujan ketimbang payung. Desa kami memiliki sebuah sungai kecil yang selalu mengering, namun jika hujan turun dengan sangat deras, maka air bah akan muncul karena semua air di desa kami akan jatuh ke sungai ini. Biasanya, jika tidak terlalu deras, kami akan bermain di sana; berenang dan lain sebagainya. Tapi jika deras dan terlalu tinggi, kami tidak berani. Kami yakin, mobil saja bisa hanyut. Bahkan, menurut Egi, ketika ia kecil, pernah ada kerbau besar yang hanyut dan tidak diketahui ke mana sampai saat ini. Egi bilang, kemungkinan besar kerbau itu pasti sudah mati dan menjadi bangkai. Tersangkut di tempat entahberantah. Aku, Andi, Jamal, dan Budi, tidak pernah tahu di mana ujung sungai kecil ini. Kami pernah menjelalahinya, tapi akhirnya kelelahan dan pulang. Kukira Avian yang serba tahu akan bisa menjawab ketika keingin-tahuanku menanyakan hal itu padanya, namun ia hanya menggeleng sambil tersenyum ramah. Dan aku yakin, hujan deras kemarin telah membuat air sungai kecil itu kembali meluap. Tante Ai, pada akhirnya, menjadi ibu kami. Beliau sangat baik. Tentu saja. Karena sebelum itu Egi sudah menakut-nakutinya dengan sebuah kalimat, Jika Tante bersikap tidak baik kepada kami, kami akan mengadu pada ayah untuk menceraikan Tante. Kupikir Egi kejam dalam hal ini. Tapi Tante, maksudku ibu, hanya diam sambil tersenyum. Kukira beliau memang pendiam. Aku suka melihat lesung di pipinya jika ibu sedang tersenyum. Satu bulan pertama, Egi bersikap aneh. Sulit bagi ibu untuk bisa mendekatinya. Tapi tidak denganku. Mungkin karena aku lebih banyak di rumah daripada Egi. Ketika pulang sekolah, aku segera menuju dapur dan mencium aroma sedap di atas meja makan. Kupikir ibu senang membuatku gemuk mirip Budiya Allah, Budi ..., aku ingin sekali melihat wajahnya yang lucu itu. Tapi

102

dengan perut sekecil ini, mana mungkin kuhabiskan semua makanan dan kue-kue enak itu. Tapi Egi lebih rakus dariku. Dengan tidak peduli siapa yang membuat makanan itu, Egi melahapnya tanpa dosa. Dia memang drakula! Dan semenjak itu, tepatnya pada bulan kedua setelah ibu menjadi ibuku dan ibu Egi, Bi Nuni berhenti bekerja. Aku tidak begitu mengerti. Tapi kemudian Egi bilang, Kita sekarang sudah tidak memerlukan Bi Nuni lagi. Tante sudah banyak menggantikan tugastugasnya. Apa maksudnya? Ibu kan, di sini untuk menjadi ibuku; isteri ayah, bukan pelayan seperti Bi Nuni. Tapi aku malas mendebat Egi, karena ia akan menjadi mirip serigala jika menjawab semua pertanyaanku. Jadi, Bibi akan pergi ke mana? Tanyaku, semua mata mengarah padaku. Ini adalah saat yang menyedihkan mengingat Bi Nuni sudah cukup lama bekerja di rumah kami. Entahlah, kurasa hidungku agak gatal dan mataku sedikit berair. Ah ..., tenang saja. Bibi bisa nyari kerja di tempat lain, sahut Bi Nuni dengan mata mengembang dan senyum lebar. Padahal aku tahu mata itu mengeluarkan bening yang membuatnya berkilau. Mengapa tidak di sini saja. Jamal juga mempunyai ibu tetapi punya pelayan juga. (Bodoh!) Ibu Jamal, kan, sibuk! Bisik Egi di telingaku, aku bisa merasakan desahan napasnya yang panas. Iya, Bi. Di sini saja, pasti Ari masih kangen masakan Bibi ..., ujar ibu. Kulihat senyum yang menyungging di wajahnya, aku yakin itu tulus. Maksudku, ibu pasti akan senang jika Bi Nuni masih di sini, walaupun masakan Bi Nuni jauh lebih aneh dan tidak lebih enak daripada masakan ibu ditambah dengan bawelnya yang minta ampun. Kukira ..., aku tidak akan kangen dengan masakan Bi Nuni. Jadi, bukan itu alasanku berkata demikian. Namun Bi Nuni tertawa lebar, hingga nyaris semua giginya dapat kulihat. Ayah hanya tersenyum kecil. Selanjutnya memberikan sebuah amplop tebal yang diterima Bi Nuni dengan malu-malu.

103

Setelah itu, kehidupan kami kembali berjalan normal. Toh, aku memang jarang bertemu Bi Nuni di rumah. Karena ketika aku pulang sekolah, Bi Nuni pun sudah pulang ke rumahnya. Kukira memang tidak ada yang berubah dengan hal itu. Aku tidak menangis karena kehilangan Bi Nuni atau apapun itu, walaupun aku sering merasa jeritan Bi Nuni di pagi hari masih terngiang-ngiang. Namun kemudian aku tahu bahwa Bi Nuni kini bekerja di sebuah rumah makan tidak jauh dari tempat kerja ayah. ***

Entah mengapa, Diki semakin baik saja tiap harinya. Dia sering membawa mainan atau makanan untuk kami. Bahkan kini kami sering bermain dengannya. Diki lebih sering mengajak kami bermain permainan yang cenderung berbahaya tapi menyenangkan, dan dia akan bersorak atau berteriak keras terhadap apapun. Yang aku tidak suka darinya adalah dia menjadi sering meminta contekan padaku. Aku tidak tega membiarkan Bu Yanti menghukumnya, walaupun sering juga aku berbohong bahwa aku belum mengerjakannya sehingga ia tidak bisa menyontek. Tapi hal itu sangat membuatku merasa bersalah karena telah berbohong. Budi masih belum menampakkan sebuah pertanda bahwa ia akan muncul lagi di sekolah atau di depan rumahku. Rumahnya kosong-melompong; dia menghilang bersama keluarganya. Kata Egi, Budi mungkin pindah ke rumah neneknya di luar kota. Ketika aku melihat ke luar melalui jendela, kulihat jendela kamar Budi; tirainya seperti sedang melambai-lambai. Sepertinya aku kehilangan sesuatu. Andai aku tahu di mana rumah neneknya, mungkin aku akan mengajak Andi atau Jamal atau Avian, atau mungkin juga minta antar Egi jika tidak ada yang mau mengantarku untuk mengunjungi Budi. Ah ..., aku benar-benar ingin bermain lagi dengan Budi. Kira-kira dia sedang apa ya, sekarang? Kuharap dia baik -baik saja. Atau setidaknya, di tempat barunya, dia mempunyai teman yang baik. Begitupun dengan Dodi yang sudah tidak lagi kuketahui di mana. Pernah sekali waktu aku mengajak Jamal dan Avian ke rumah Dodi, tapi yang kutemui adalah orang tua Dodi yang masih aneh-aneh, akhirnya kami berlari pontang-

104

panting karena mereka tersenyum pada kami. Kupikir apa salahnya? Tapi memang wajah mereka berhasil membuat kami takut setengah mati. Jamal bilang itu karena operasi silikon, sehingga hidung dan dagu mereka jadi agak aneh. Setidaknya kini aku tahu bahwa silikon bisa ditanam di wajah walau aku tidak tahu pasti seperti apa silikon yang ditanam di wajah. Aku hanya tahu silikon yang sering dibakar untuk dijadikan lem. Aku yakin, bukan silikon seperti itu yang digunakan karena pasti sangat mengerikan. Siang ini, kursi Budi sudah tidak kosong lagi. Andi tidak begitu keberatan karena anak yang kini duduk di sampingnya sama pendiamnya dengan Budi, kurasa. Hanya saja, anak ini terlalu kurus dan dekil dibandingkan Budi. Ada anak baru di kelas kami. Maksudku, ada anak pindahan ke sekolah kami. Nama kamu siapa? Tanyaku mengawali. Andi sempat berkata padaku bahwa anak ini tidak pernah mau menjawab semua pertanyaannya. Aku melihat hal itu, ketika Bu Yanti memperkenalkan anak ini kepada kami di depan kelas, ia hanya diam sambil memandangi seisi kelas dengan pandangan aneh. Akhirnya Bu Yanti menyuruhnya duduk di dekat Andi setelah sebelumnya menyerah dengan menghela napas. Aku ingin tertawa melihat hal itu, tapi hanya mampu tersenyum. Diki melihatku dengan pandangan heran. Tapi akhirnya dia tidak peduli terlalu banyak. Anak itu memang mudah sekali melupakan sesuatu yang tidak dia anggap penting. Avian muncul dengan senyum ramahnya. Ia anak Pak Santoso ..., ujarnya datar, tentu dengan senyum ramah mengembang di wajahnya. Tapi tentu saja akukamiterlonjak kaget. Kami kira selama ini Pak Santoso tidak memiliki satu orang anak pun. Apalagi anak yang langsung seusia kami. Jamal membenarkan isi pikiranku dengan berkata, Pak Santoso, kan, mandul! di telinga Avian. Cukup pelan tapi masih terdengar. Rupanya Jamal masih mengingat kata mandul itu, padahal aku sudah melupakannya semenjak mempunyai ibu baru. Kulihat anak itu bahkan tidak memberikan reaksi marah atau apapun. Ia hanya diam sambil memandangi kami berempat dengan pasrah sepertinya dia

105

memang tahu bahwa kami sedang membicarakannya. Atau mungkin dia sudah benar-benar siap jika kami melancarkan siksaan padanya. Dia anak angkat Pak Santoso. Jawaban Avian barusan membuat kami mengangguk pelan. Kami tidak perlu tahu dari mana Avian mengetahui informasi ini. Kami cukup memercayainya. Kurasa, Avian memang mempunyai banyak informasi di dalam tasnya yang tidak kami ketahui dari mana asalnya. Mungkin karena ia anak yang pandai dan rapih sehingga dekat dengan guru, dan sering pula kami melihat Avian berbincangbincang dengan para guru. Jadi, siapa nama kamu? Tanyaku lagi. Anak ini melihat kami seperti sedang memilih martabak mana yang akan ia makan terlebih dahulu. Jika ada Budi, mungkin ia akan memilih Budi yang nampak penuh daging dan lebih lezat. Kamu tidak bisa bicara, ya? Tanya Jamal, membuat anak itu malah menunduk. Andi menyenggol bahu Jamal. Jamal hanya mengedikkan bahunya seolah berkata, So what? Selanjutnya Diki muncul dihadapan kami dengan keringat banyak. Ia menghirup es dalam kantong plastik dengan tergesa dan menghabiskannya dalam satu hisapan. Wah, si anak baru ya? Ujarnya, lebih seperti mengejek. Tapi kini kami tahu bahwa memang begitulah Diki. Mungkin ia memang tidak mengenal kalimat atau intonasi lain yang lebih ramah. Nama kamu Aik, kan? Tanya Diki sambil menyenggol bahu anak baru itu hingga agak terhuyung. Tapi anak itu masih diam. Dia lebih parah daripada kucing di rumah Nenek Fatma. Aik? Nama yang aneh. Kami memandangi Diki penuh tanya. Darimana kamu tahu namanya? Tanya Andi. Tadi Pak Santoso memanggilku. Katanya aku tidak boleh menganggu Aik, atau aku bisa dikeluarkan dari sekolah, jawab Diki dengan ringan. Rasanya Diki mulai bangga dengan kenakalannya yang sudah mulai dikenal oleh semua guru dan siswa. Ya ..., walaupun kami tahu bahwa Diki sudah banyak berubah, tapi di

106

hadapan orang lain, ia masih sering berbuat nakal. Padahal, siapa yang mau gangguin Aik, sambungnya. Kami cukup senang mendengar hal ini. Dalam hati aku berpikir, Diki juga pasti takut dengan ancaman Pak Santoso itu. Aik ..., selain namanya yang aneh, perilakunya juga aneh. Ketika bel berdering dan kami mulai duduk di kursi masing-masing, ia memandangi kami secara bergantian dengan pandangan yang sama anehnya dengan namanya. Rasanya hanya aku saja yang sadar dengan hal ini. Andi masih berusaha untuk membuat Aik berbicara dengan membicarakan banyak hal yang tak dapat kudengar, karena memang Aik akan menjadi teman sebangkunya sampai kenaikan kelas. Sedangkan aku seperti terikat ekor macan karena duduk dengan Diki. ***

Ayah pulang malam lagi. Begitupun dengan Egi. Ayah bilang ada urusan di rumah Om sugi, kemudian harus pergi ke rumah Pak Lurah untuk syukuran anak kelimanya. Sedangkan Egi, selain belajar kelompok, ia bilang ada latihan tae kwon do setelah salat magrib. Mungkin jika aku sudah besar memang harus pulang petang seperti Egi. Sehingga kami makan agak telat malam ini. Sebenarnya aku bisa saja makan lebih dulu. Tapi aku kasihan pada ibu yang masih mau menunggu ayah dan Egi. Lagipula aku tidak begitu lapar. Ibu selalu saja mempunyai kue enak untuk mengganjal perutku menjelang makan malam. Sepertinya dalam beberapa hari ini aku merasa agak gemuk. Ketika bangun tidur, aku merasa sulit untuk berjalan ke kamar mandi. Kurasa aku akan menjadi Budi. Polisi itu datang lagi ya, Yah? Egi membuka pembicaraan di waktu makan. Sebenarnya kami semua tahu bahwa ketika sedang makan dilarang mengobro l, tapi rasanya seperti di kuburan saja jika kami saling diam. Aku sendiri paling suka bercerita kepada ayah ketika sedang makan malam, soalnya ayah memang jarang di rumah akhir-akhir ini. Ya ..., sahut ayah singkat, sambil melahap makanannya. Aku semakin bernafsu melihat gaya makan ayah yang sangat lahap. Ibu memang hebat, mampu membuat makanan seenak ini. Padahal sebenarnya yang dimasak oleh ibu sama

107

saja dengan Bi Nuni. Mungkin tangan ibu mengandung sesuatu yang menambah rasa enak pada makanan ini. Ibu memandang wajah Egi yang juga makan dengan lahap, kemudian tersenyum. Aku juga tersenyum kecil melihat senyum ibu. Memangnya masih belum beres ya, Yah? Tanya Egi lagi. Entah apa yang sedang mereka bicarakan. Ayah menjawab pertanyaan itu dengan anggukan kepala. Ari mau tambah sayurnya lagi? Ibu berkata pelan padaku, tapi aku yakin semuanya dapat mendengar suara ibu yang lembut. Aku tersenyum sambil mengangguk dan menyodorkan piring. Mata ibu terlihat senang mengetahui aku menyukai masakan ini. Kini aku tahu bagaimana rasanya mempunyai ibu. Pantas saja Egi sempat membenciku karena telah membuat ibunya pergi. Semoga saja ibu baru kami bisa menggantikan ibu Egi. Kurasa, aku tidak mau menjadi polisi. Ayah menatap Egi dengan mata penuh tanya. Sedangkan aku tidak pernah tahu bahwa Egi mempunyai cita-cita menjadi polisi sebelumnya. Menurutku polisi keren juga. Kemudian Egi menunduk, menghadap makanannya dan melahapnya lagi. Sepertinya ia telah memuntahkan kalimat itu tanpa sadar. Ari juga tidak mau menjadi dokter, ujarku tanpa dosa. Setelah Ari pikirpikir, jadi dokter itu capek. Kalau tengah malam ada yang sakit, harus bangun dan merawat pasien itu ..., sambungku. Ini semua aku lihat di sebuah film di tivi. Tentu saja hal itu sangat melelahkan. Ibu hanya tersenyum, sedangkan Egi, aku tahu ia semacam tidak mau peduli terhadap kalimatku itu. Mungkin dalam hati ia berkata, Terserah! Memangnya Ari mau jadi apa? Tanya ayah sambil melap mulutnya dengan tisu. Aku berpikir keras. Mencoba untuk menemukan cita-cita yang ringan tapi hebat. Tapi ternyata sangat sulit sekali, sehingga akhirnya aku menggeleng karena tidak menemukan apapun.

108

Bu ..., besok teman Egi mau main ke rumah. Jadi mungkin akan banyak merepotkan ibu. Awalnya ibu agak kaget, tapi hanya sepersekian detik, setelah itu ibu tersenyum seperti biasa. Aku tahu kata-kata Egi memang tidak ramah, tetapi itu semacam permintaan kepada ibu untuk membantunya menyiapkan sesuatu. Tapi bukan itu yang membuat ibu tersenyum, melainkan ..., Egi sudah mulai memanggil ibu baru kami dengan sebutan ibu. Egi jarang melakukan ini, karena memang Egi jarang berbicara dengan ibu. Aku sempat khawatir bahwa Egi melakukan ini, memanggil ibu kepada ibu, karena ada ayah di hadapan kami. Karena setahuku, Egi selalu memanggil ibu dengan sebutan tante jika di depanku. Hampir pukul sembilan malam, kami baru meninggalkan meja makan. Aku membantu ibu membereskan piring dan gelas di dapur karena aku yakin Egi tidak akan membantu dan ayah masih berkutat di depan laptopnya. Aku hanya membantu ibu menaruh piring-piring kotor ke dalam bak cuci piring, selanjutnya ibu yang mencuci. Mengapa tidak besok pagi saja, bu? Aku berdiri di belakang ibu sambil memandangi beliau mencuci piring dan gelas. Ibu selalu saja menyempatkan diri untuk memperlihatkan senyumnya, padahal ibu tidak perlu menoleh untuk menjawab pertanyaanku. Supaya besok pagi sudah kering dan bisa kita gunakan untuk sarapan. Sepertinya kalimat itu mudah sekali dijawab. Padahal kan, piring kami cukup banyak, walaupun kami kehilangan piring yang baru saja kami gunakan, masih ada banyak di lemari dapur. Karena sudah beberapa kali menguap, aku memilih untuk tidur. Begitu melewati kamar Egi, sempat kudengar Egi sedang bernyanyi dengan suara super paraunya, berarti ia sedang belajar atau mengerjakan soal hitung-hitungan. Dalam hal ini, aku tidak mau menirunya. Ketika pintu kamar kubuka, tak sengaja mataku segera menuju jendela. Ada yang aneh malam ini. Jendela kamar Budi menyala. Kulihat lebih dekat, ternyata rumah Budi memang terang. Apakah Budi sudah pulang?

109

Kantukku hilang. Kutunggu, dan berharap ada bayangan yang bergerak di dalam rumah itu, tapi nihil. Mungkin mereka sudah tidur karena kelelahan. Kuharap Budi kembali, dan besok pagi ia akan sekolah lagi bersama kami. ***

Sesuatu yang paling kutunggu akhirnya tidak muncul juga. Budi sama sekali tidak menampakkan dirinya. Pagi tadi, sebelum berangkat ke sekolah, aku sempat menunggu sesuatu yang aneh yang mungkin saja muncul atau bergerak-gerak di dalam rumah Budi. Tapi ternyata sesuatu itu tidak nampak juga. Aku yakin sekali apa yang kulihat semalam itu nyata. Aku masih belum tidur ketika itu. Egi sempat memperhatikanku sebelum menyalakan motornya. Ya, ia hanya memandang dengan mata menyipit, sama sekali tidak bermaksud untuk bertanya atau mau tahu. Mungkin ia hanya merasa aku telah setengah gila karena kehilangan seorang teman gendut bernama Budi. Namun yang tidak kusadari sebelumnya, ibu muncul sambil merangkul bahuku. Rumah ini kosong, ya? Aku hanya mengangguk, sedangkan mataku masih mencoba memastikan benda-benda bergerak di dalam rumah Budi. Ari menunggu siapa? Sebentar lagi kan, jam setengah delapan. Ibu tahu betul bahwa bel berdering tanda masuk kelas di sekolahku adalah pukul setengah delapan. Tapi aku masih penasaran. Semalam Ari melihat lampu di rumah ini menyala. Mungkin Budi sudah pulang. Budi? Kupandang wajah ibu sejenak, ternyata ibu juga memandang sangat dalam ke rumah itu. Mungkin ibu juga membantuku mencari gerakan-gerakan aneh di dalam rumah itu. Budi itu teman Ari, bu. Anaknya gendut. Aku tidak mau menceritakan bagian Om Firman dan selanjutnya, karena aku yakin itu rahasia.

110

Lalu? Kok, rumah ini selalu kosong? Tanya ibu lagi. Eum ..., menurut Egi, Budi dan keluarganya sudah pindah. Tapi semalam lampu rumah ini menyala! Ibu tersenyum dan membelai rambutku. Sudah siang, daripada telat, mendingan berangkat sekarang. Naik sepeda saja agar lebih cepat. Aku mengangguk lagi. Andi hanya diam saja setika kubilang bahwa aku melihat lampu di rumah Budi menyala semalam. Mungkin ia kurang tidur, atau justru dia yang menganggapku kurang tidur. Hanya aku yang tahu Budi sakit apa. Sebenarnya aku sangat ingin bercerita kepada Andi atau Avian atau bahkan Jamal sekalipun, mengenai sakitnya Budi. Rahasia ini membuatku ingin muntah dan kepalaku pusing. Tapi aku juga takut jika Jamal yang cerewet mengatakan ini kepada anak -anak yang lain. Kasihan Budi, walaupun ia tidak ada disini, tapi ia pasti malu jika orang lain sampai tahu. Dan aku tidak mau menjadi penyebab hal itu. Waktu istirahat tiba, teman-teman berhamburan ke luar. Diki sudah paling pertama. Avian yang biasanya lebih banyak menghabiskan waktu di kelas pun, saat ini entah kemana. Mungkin ia juga bermain di luar. Aku teringat kembali pada Dodi. Biasanya hanya Do yang mau di mengikutiku kemana saja. Ya ..., itu kan karena dia memang tidak punya teman ngobrol lain selain aku. Namun, tiba-tiba saja suasana senyap di kelas ini membuat bulu kudukku merinding. Sepertinya ada yang aneh dengan ini semua. Kakiku berlari dengan tergesa hingga tanganku yang terayun tak sengaja menyentuh penggaris yang menggantung di dinding. Prang!! Cermin di samping lemari buku terjatuh. Aku bingung bukan main dan memilih untuk berlari ke luar.

111

02

Bu Yanti bertanya siapa yang sudah memecahkan cermin di kelas kami. Aku diam saja. Aku takut dan berlagak tidak tahu. Kuusahakan wajahku seperti temantemanku yang lain, yang tidak punya ide atas apa yang terjadi di kelas ketika jam istirahat. Aku ..., sama tidak tahunya mengenai hal ini, seperti yang lain. Memang tidak ada yang tahu siapa yang memecahkan cermin di kelas kami. Kebetulan sekali kelas kami sepi ketika jam istirahat. Namun hatiku seperti dicengkeram besi ketika Bu Yanti agak memaksa Hepi untuk memberitahu keadaan kelas ketika ia masuk. Hepi adalah orang yang pertama kali mengetahui cermin pecah ketika ia akan mengambil uang jajan di dalam tasnya. Saya tidak tahu, Bu, jawabnya berkali-kali. Apakah Bu Yanti mengira Hepi berbohong untuk menutupi kesalahannya? Aku masih diam dan juga masih memasang wajah seperti yang lain; seperti Avian, Mimi, Ani, Andi, dan anak-anak lain yang tidak bersalah. Namun ternyata keningku malah basah. Aku melapnya ketika semua perhatian tertuju pada Hepi. Diki berdiri di sampingku kemudian berteriak. Bu, jangan tanya Hepi kayak gitu dong, Bu. Hepi kan, sudah bilang tidak tahu! Aku agak tersentak dengan hal ini. Apakah Diki tahu yang sebenarnya? Hepi memandangi Diki dengan pandangan penuh harap. Sedangkan Bu Yanti terlihat tidak suka dengan hal ini, aku mempunyai prasangka bahwa Bu Yanti agak menuduh Diki juga. Aku semakin tidak menyukai hal ini. Mungkin kucing atau ada anak dari kelas lain yang tidak sengaja memecahkan cermin itu, sambung Diki. Hampir semua anak memandanginya. Kurasa mereka juga menyimpan curiga yang sama kepada Diki. Maksudku, orang-orang mungkin berpikir kucing itu pasti besar dan tinggi dengan rambut kering kemerahan dan kulit putih tak terurus, dan kesemuanya itu hanya dimiliki oleh Diki. Kuhela napas agak panjang. Sepertinya darahku mengalir sangat cepat dan jantungku berpindah tempat ke dekat gendang telingaku.

112

***

Egi pulang cepat hari ini. Ia sedang membaca sebuah buku tebal di kamarnya. Aku sangat ingin menyapanya, tapi takut ia merasa terganggu. Ketika lima menit telah berlalu, aku lebih memilih untuk duduk di teras sambil memandangi rumah Budi yang sampai hari ini masih terlihat mati, tidak seperti yang kuharapkan. Sepertinya memang aku bermimpi ketika melihat lampu di dalam rumah Budi yang tiba-tiba menyala. Karena sampai detik ini, tidak ada sesuatu yang dapat meyakinkanku bahwa yang kulihat malam itu nyata. Alih-alih memandangi dan menunggu, mataku mulai jenuh dan kudapati kerumunan orang di ujung jalan. Sebenarnya aku penasaran, tapi aku malas beranjak. Apalagi itu daerah yang tidak begitu ku kenal. Mereka itu jarang bermain dengan kami, begitupun sebaliknya. Tapi kata Egi, Egi sering bermain dengan mereka ketika kecil. Di sana itu lingkungan orang-orang kaya, lagipula mereka juga jarang bermain ke rumah kami. Bahkan anak-anak seusia kami yang tinggal di sana tidak ada yang satu sekolahan dengan kami. Mereka sekolah di sekolah swasta yang menurut kami sangat elit. Ada taman bermainnya dan gedung bertingkat. Seragam batik dan olahraga mereka terlihat mahal. Ketika ada kunjungan dari mereka ke sekolah kami, kami merasa sangat terhormat. Semakin lama kerumunan itu semakin banyak. Aku mulai berdiri untuk mengetahui lebih jauh apa yang terjadi, tapi bahkan suaranya pun tidak terdengar. Tiba-tiba saja Egi muncul di belakangku. Tangannya merangkul bahuku. Ada apa sih, Kak? Tanyaku. Ada yang menikah, jawabnya ringan. Aku mengangguk, pantas saja ramai sekali. Egi duduk sambil memegang toples berisi kue keju kering buatan ibu, ia begitu menikmatinya. Aku kembali duduk, di sampingnya. Yang menikah itu temanku waktu SD, loh! Aku tidak tahu apa maksud Egi memberitahuku hal ini. Mungkin ia tahu bahwa aku ingin tahu apa yang terjadi, tapi aku tidak begitu tertarik untuk

113

mengetahui siapa yang menikah. Atau ia ingin membanggakan diri bahwa ketika SD, ia bersekolah di sekolah swasta itu, bukan di SD tempatku belajar sekarang. Dulu dia sering main ke rumah kita. Waktu Ari masih kecil. Tapi bapaknya galak. Kalau manggil pake peluit. Pas kita lagi seru-serunya main, kalau terdengar bunyi peluit kencang, dia akan segera pulang. Kalau tidak, bapaknya pasti langsung marah-marah. Aku diam untuk menyatakan betapa seramnya mempunyai bapak seperti itu. Ternyata di dunia ini ada juga orang yang seram dari Egi. Ko, dia sudah menikah sih, kak? Emangnya dia tidak sekolah, ya? Jika Egi bilang bahwa mereka pernah satu kelas dan bermain bersama ketika kecil, berarti mereka memang seumuran. Dan seharusnya teman Egi itu masih sekolah. Setahuku anak sekolah belum boleh menikah, walaupun aku juga tidak tahu darimana kudapatkan ide seperti itu. Tapi pada kenyataannya memang demikian, kan? Kukira Egi juga masih terlalu kecil untuk menikah. Tapi, kutanya demikian Egi malah menggeleng sambil terus memasukkan kue lebih banyak ke mulutnya. Tiba-tiba sebuah motor berhenti di depan rumah kami. Egi segera bangkit dan menyimpan toples di atas kursi kemudian menuju motor itu. Pengendaranya membuka helm dan kini kukenali orang itu yang akhir-akhir ini sering bermain ke rumah kami, ia yang sering mengajari Egi mengaji. Kok, lama? Samar-samar kudengar suara Egi. Teman Egi tersenyum, seraya menyahut, Tadi ada polisi di pasar. Untung bawa SIM. Tak jadi ditilang, deh. Lagian kenapa lewat pasar? Akhir bulan begini polisi kan, lagi gencargencarnya nyari duit. Teman Egi kembali tersenyum, senyum aneh yang kuartikan seperti memaklumi sesuatu yang tidak sepatutnya. Kena pasal lima kosong empat, seloroh teman Egi disambut tawa keduanya. Aku tidak mengerti pembicaraan Egi dan temannya. Tapi kemudian aku tahu ketika Egi mulai membahasnya di meja makan malam ini. Kami, maksudku hanya Egi dan ayah, kembali membicarakan para polisi. Awalnya hanya polisi-polisi

114

yang memang sering mendatangi rumah kami yang kata ayah sedang meminta jatah, tapi kemudian merembet ke polisi yang sore tadi dibicarakan oleh Egi dan temannya. Apa mereka itu tidak ditegur oleh atasannya, atau memang atasannya juga sudah tahu bahwa mereka begitu, Yah? Kukira pertanyaan Egi seperti sebuah pembicaraan yang memang sengaja ingin ia bahas, bukan sesuatu yang benar benar tidak ia mengerti. Mungkin, sahut ayah. Tentu saja aku tahu, karena setelah itu Egi kembali berkata untuk menguatkan pendapatnya, Anehnya rahasia umum seperti itu malah dibiarkan. Ini kan, bisa jadi borok di kepolisian. Tapi mereka malah bilang itu hanya oknum! Ayah tersenyum, aku tahu maksud senyum kecil itu. Artinya ayah juga sepakat dengan ucapan Egi. Padahal jika polisi borok, mereka tidak akan bisa bertugas di jalanan. Lagipula, setahuku polisi-polisi itu orang-orang yang mulia; mereka mau bekerja untuk melindungi dan mengayomi masyarakat, seperti yang sering kubaca di buku pelajaran. Mereka akan menangkap penjahat, mem bantu nenek-nenek menyeberang, melayani masyarakat, dan mengayomi kami. Kasihan juga jika mereka borok. Selesai makan, seperti biasa, aku membantu ibu membawa piring-piring kotor ke dapur untuk dicuci. Ketika ibu mengucurkan keran ke dalam baskom pencuci piring, beliau bertanya padaku, Sekarang Ari sudah menemukan cita-cita belum? Aku diam. Mencoba untuk berpikir dan menemukan cita-cita yang cocok dan keren. Memangnya jadi polisi itu tidak bagus ya, Bu? Eumh ...? Ibu menoleh, sepertinya beliau terkejut. Bagus. Kok, Ari nanya begitu? Eum ..., sepertinya ayah dan Kak Egi tidak suka pada polisi. Kemarin Kak Egi juga bilang bahwa ia tidak mau menjadi polisi.

115

Ibu menyudahi mencuci piring dan beralih padaku, kedua tangannya merangkul bahuku. Itu jika polisinya tidak jujur. Kalau polisinya jujur, ayah dan Kak Egi juga suka. Jadi kalau Ari mau jadi polisi; harus jujur. Supaya disukai banyak orang. Dadaku terasa sesak, pikiranku mulai terhubung pada peristiwa di sekolah siang tadi. Sepertinya jantungku pun berdetak sangat cepat. Aku ingin memukul tembok atau memecahkan jendela. Kini aku tahu mengapa Egi pernah memukuli dinding, mungkin ia pernah mengalami hal memusingkan semacam ini. Aku bahkan ingin sekali membenturkan kepalaku agar semuanya bisa hilang. Kenapa, Sayang? Ari bingung? Jantungku berdetak lebih kencang. Secara tidak sengaja kepalaku malah menunduk. Sepertinya ... Aku memang bukan orang yang pantas menjadi polisi, Ari ..., tidak bisa jadi polisi, Bu .... Ibu mengelus kepalaku. Aku tidak tahu apakah beliau tersenyum atau tidak. Atau menganggapku hanya main-main saja. Aku benar-benar tidak tahu. ***

Bukan di depanku, tapi aku mampu mendengarnya dengan jelas ketika Egi mengatakan kepada temannya yang kemarin main ke rumah kami. Aku juga kaget. Padahal ketika kecil, kami sering main bareng. Kulihat mata Egi seperti sedang menerawang, seolah-olah mampu melihat kelebatan masa lalunya melalui langit-langit yang ia pandangi. Sedangkan temannya yang sampai saat ini masih belum kutahu namanya, hanya menatapnya sambil sesekali tersenyum dan mengangguk. Bapaknya itu TNI, ibunya guru. Di rumahnya sangat disiplin. Aku pernah melihat tapak tangan membiru di paha mereka. Kasihan. Kalau mereka sedang main di sini, mereka bakalan langsung berlari begitu mendengar peluit, haha ..., ayahnya memanggil mereka dengan peluit. Teman Egi terperangah. Mungkin ia benar-benar terkejut dengan apa yang ia dengar dari Egi.

116

Aku masih asyik melepas bagian-bagian mobil balap yang mulai kehabisan tenaga. Mungkin nanti aku akan membeli batere alkalin saja, agar bisa lebih tahan lama. Kemudian Egi meneruskan kembali ceritanya, Kupikir mereka berontak. Ya ..., kejadiannya seperti ini, yang satu kabur dari rumah dan tidak pernah pulang, yang satunya lagi menghamili anak orang. Kemudian Egi tersenyum miris. Teman Egi diam saja. Ia hanya melihat langit yang mulai mendung sambil menghela napas panjang. Aku tidak punya ide sama sekali dengan cerita Egi barusan. Aku hanya masih memendam rasa malu jika mengingat kesalahan yang kulakukan. Maksudku, memang bukan aku yang secara langsung memecahkan cermin di kelas. Cermin itu jatuh olehku secara tidak sengaja. Aku tahu semua itu. Dan anehnya, aku sama sekali tidak bisa berkata yang sejujurnya kepada Bu Yanti. Aku takut jika tidak ada yang memercayaiku. Aku menyesal karena hanya bisa diam ketika Bu Yanti menyalahkan Hepi yang tidak bersalah sama sekali. Aku takut. Tapi juga kasihan jika melihat wajah Hepi tempo hari yang terlihat begitu merana. Kurasa ia menangis ketika sampai rumah. Juga Diki yang membela Hepi, padahal bisa saja Bu Yanti juga menuduhnya. Atau sekalian menuduh keduanya. Toh, mereka berdua memang anak yang terkenal nakal. Tapi ternyata aku yang paling nakal. Aku tidak bisa berkata jujur. Keributan kecil di teras membuatku tersadar, ternyata ada Bi Nuni. Egi menyapanya dengan sopan sambil tersenyum lebar, begitupun teman Egi. Tapi ada sesuatu yang tidak wajar. Walaupun Bi Nuni berusaha tersenyum, sepertinya ia terlihat sedang menahan tangis. Wajahnya memerah sperti lobster kukus. Egi segera masuk dan memanggil ayah dan ibu. Aku hanya diam sambil memerhatikan Egi yang mondar-mandir. Sedangkan Bi Nuni duduk di teras bersama teman Egi.

117

Aku masih bersembunyi di balik jendela ruang tamu, memerhatikan Bi Nuni yang duduk dengan kaku di kursi teras, kepalanya terus menunduk. Sepertinya memang ada yang aneh dengan hal ini. Egi muncul kembali dengan ibu mengekori di belakangnya dengan masih menggunakan celemek. Sedangkan aku tidak melihat ayah, padahal aku yakin ayah ada beberapa saat yang lalu. Ibu menyalami Bi Nuni dan memeluknya, seperti dua saudara yang sudah lama tidak bertemu. Ibu tersenyum lebar sambil bertanya keadaan Bi Nuni. Setelah itu, Bi Nuni malah menumpahkan air matanya di bahu ibu. Tentu saja ibu agak tersentak kaget. Aku, (maksudku,) kami pun demikian. Aku baru pertama kali melihat Bi Nuni menangis seperti ini. Bahunya sampai naik turun dengan suara menggerung. Kasihan sekali. Kulihat ibu mulai mengelus-elus bahu Bi Nuni sambil berkata pelan, Ada apa, Bi? Ada masalah apa? Siapa tahu saya bisa bantu .... Bi Nuni masih terus menggerung. Kurasa ini masalah yang serius. Aku tak tahan melihat keadaan ini. Sehingga tanpa berpikir panjang, kakiku segera melangkah mencari ayah. Mungkin ayah di teras belakang sedang membaca koran, tapi ternyata tak ada. Kakiku kembali melangkah menuju ruang kerja ayah dan perpustakaannya yang penuh buku-buku lapuk. Kulihat ayah sedang berdiri di samping rak sambil membuka-buka halaman dengan kaca-mata bertengger di hidungnya. Beliau tidak menyadari kehadiranku. Ayah ..., ujarku, ragu-ragu. Ayah menoleh, Kenapa, Ri? Mau menemani ayah membaca? Ada Bi Nuni di bawah. Jawabku, sempat kulihat dahi ayah mengerut, semacam mempertanyakan apakah aku sungguh-sungguh atau tidak, walaupun sebenarnya aku tahu bahwa ayah memercayai ucapanku, karena setelah itu beliau segera menutup bukunya. Bi Nuni sedang menangis, sambungku, untuk menambah alibi.

118

Menangis? Tanya ayah sambil merangkul pundakku dan membawaku ke bawah, ke teras tempat Bi Nuni yang sedang menangis dan ibu yang sedang bingung. Iya, menangis di bahu ibu. Kasihan deh, yah. Soalnya Bi Nuni menangis seperti anak kecil. Kulihat wajah ayah yang juga sedang menatapku. Kudapati wajah tenang ayah menyatakan bahwa beliau bisa menyelesaikan semua masalah ini. Seandainya aku bisa seperti ayah; bisa menyelesaikan semua masalah yang kuhadapi, aku tidak perlu merasa bersalah atas kejadian cermin yang pecah tempo hari. Ah ..., aku benar-benar ingin menghancurkan isi kepalaku! Ketika sampai teras, aku masih menyaksikan Egi dan temannya yang hanya bisa diam, khidmat dengan situasi yang terjadi. Sedangkan Bi Nuni sudah tidak menangis, tetapi sisa air matanya masih dapat kami lihat. Ia masih berusaha menghentikan senggukan yang tentu saja mengganggu pernapasannya. Aku tahu pasti bagaimana rasanya, aku akan susah bercerita ketika sedang dalam keadaan demikian. Kita bicara di dalam ya, Bi, bujuk ibu. Bi Nuni tidak mengangguk, tetapi ia berdiri ketika ibu membimbingnya. Kami, kecuali Egi dan temannya, menuju ruang tamu. Ayah duduk di kursi langganannya, sedangkan Bi Nuni dan ibu duduk berdekatan. Ibu masih merangkul pundak Bi Nuni, mungkin berusaha menenangkan Bi Nuni. Ada apa, Bi? Tanya Ibu lagi ketika merasa Bi Nuni sudah tenang dan mampu berbicara. Kami sabar menunggu Bi Nuni menarik napasnya. Kemudian barulah beliau berkata lamat-lamat, Sa-saya ..., saya dituduh mencuri. Ibu sempat melirik pada ayah. Mungkin itu semacam simbol bahwa inilah saatnya ayah bertindak, sehingga kemudian ayah berkata, Memangnya ..., kejadiannya bagaimana, Bi? Tiba-tiba saja Egi muncul dan menjawil tanganku. Aku memandangnya sambil berkata pelan, Apa, sih? Tapi Egi malah memelototiku. Ketika sampai di luar, Egi berkata, Jangan campuri urusan orang tua. Tidak sopan!

119

Aku merengut. Egi mulai kumat lagi. Tapi, kan ..., aku kasihan pada Bi Nuni, sahutku sekenanya untuk berusaha membela diri dari tuduhan tak berdasar yang dilontarkan Egi. Kurasa ia akan menggigitku sampai dagingku habis. Iya .., tapi tidak sopan tahu! Teman Egi malah cengingisan. Kupikir apanya yang lucu? Bibir Egi? Kurasa bibir Egi biasa saja. Mungkin mata Egi, karena mata itu nyaris saja meloncat keluar dari rongganya. Akhirnya kuputuskan untuk mengalah. Lagipula aku memang tidak akan pernah mampu mengalahkan Egi. Ia selalu saja lebih tahu dan lebih bisa berkata banyak hal daripada aku. Namun, ketika makan malam, seperti biasa, ini adalah ritual keluarga yang membahas segala persoalan kami, Egi mulai bertanya perihal Bi Nuni. Memangnya Bi Nuni kenapa, yah, sampai menangis seperti itu? Kupikir, Egi lebih tepat menanyakan hal itu pada ibu, karena ibu yang lebih tahu. Bi Nuni butuh pekerjaan, jadi akan bekerja kembali di rumah kita. Jawaban ayah yang singkat dan diplomatis ini sangat dipahami oleh Egi. Maksudku, Egi tahu bahwa kami hanya diizinkan tahu sampai sebatas itu saja. Mungkin tidak baik bagi kami tahu terlalu banyak. Aku tahu, Bi Nuni dituduh mencuri. Tapi aku tidak tahu mengapa tiba-tiba saja ia bekerja kembali di rumah kami. Egi bilang kami sudah tidak perlu pelayan lagi karena kini ada ibu yang mampu mengerjakan semuanya. Tapi mengapa kini ia mengangguk? ***

Hepi menjadi agak pendiam beberapa hari ini. Ini sangat membuatku merasa sangat bersalah. Tapi Jamal malah berkata, Bagus juga cermin itu pecah, si Hepi jadi sadar. Aku menarik napas panjang, Kupikir bukan Hepi yang memecahkan cermin itu.

120

Oh-ya? Terus siapa, dong? Jamal balik tanya, kurasa ia meragukan pendapatku. Padahal seharusnya ia tahu bahwa aku tidak mungkin membela Hepi. Aku diam. Otakku seperti sedang berputar laiknya gasing. Ya ..., aku tidak tahu. Kupikir juga bukan Hepi, sambung Diki. Entah mengapa, sepertinya Diki sengaja menekan kalimatnya. Kini ia mampu berintonasi dengan baik. Jamal terlihat jengah. Aku juga, ternyata Avian malah ikut bicara. Kami benar-benar heran dan memandangi Avian. Anak ini malah tersenyum ramah seperti biasa. Aku percaya bukan Hepi yang memecahkan cermin itu. Kalau melihat wajahnya saat itu, sepertinya Hepi memang tidak berbohong. Kami diam, berkutat dengan pikiran masing-masing. Namun akhirnya Jamal berkata, Terserah kalian saja-lah! Sambil lalu. Karena kami merasa bahwa Avian memang kunci dari segala hal yang tidak kami ketahui. Aku pernah berpikir bahwa Avian itu semacam malaikat yang menjelma menjadi seorang anak sopan, pintar, tampan, dan rapih minta ampun. Tidak ada cela yang bisa kami lihat darinya. Mungkin jika aku seperti dia, Egi tidak akan pernah membenciku. Dia akan sangat menyayangiku dan tak pernah lagi memperlihatkan mata besarnya itu. Di kursinya, Andi sudah berhasil membuat Aik berkata. Setidaknya kini Aik bisa menjawab pertanyaan walaupun hanya menggeleng dan mengangguk. Kami sempat sepakat bahwa Aik itu keturunan alien, sehingga ia kesulitan berbicara bahasa bumi. Jamal bahkan mengatakan bahwa Aik itu harus belajar satu persatu, kali ini ia baru belajar berjalan, karena di planetnya ia tidak berjalan dengan dua kaki, tetapi dengan banyak kaki mirip gurita, itulah mengapa ia sering memerhatikan cara kami bergaul, berjalan, dan berkata. Kemudian kami tertawa. Aku menghampiri Aik dan Andi yang sedang menulis sesuatu di buku tulis mereka. Mungkin Andi sedang menggambar. Ia memang pandai menggambar jagoan-jagoan favorit kami. Kurasa ia juga sedang menyombongkan keahliannya pada Aik. Biasanya tidak ada satupun siswa yang mau melewatkan kesempatan melihat Andi menggambar. Jadi, kurasa inilah kunci untuk menarik perhatian Aik.

121

Tapi ternyata Andi tidak sedang menggambar, ia hanya sedang mencoratcoret tidak jelas. Tetapi Aik tetap memerhatikannya. Ndi, nanti sore kita jalan-jalan naik sepeda, yuk! Andi mendongak, sepertinya belum sempat menyimak kalimatku. Tapi kemudian Diki muncul di belakang sambil menepuk bahuku. Wah, seru juga, tuh! Jam berapa? Sahutnya. Jam empat? Tawarku. Oke-lah! Aku juga ikut, dong! Jamal menyambangi. Sama Avian juga, biar seru! Avian yang awalnya hanya tersenyum ramah, kini tersenyum cerah. Kalau begitu, kita boncengan saja. Aku dengan kamu, Ri. Terus Jamal dengan Avian, Andi dengan Aik, Diki berseloroh menawarkan idenya. Tapi rupanya kami sepakat tanpa menunggu anggukan kepala dari Aik. Hingga akhirnya, ketika pukul empat hampir tiba dan kami berkumpul kembali di depan gerbang sekolah, Aik sudah duduk menunggu kami, sendirian. Aku yang datang bersama Andi cukup senang mendapati hal ini. Setidaknya kami tahu bahwa Aik antusias dengan tawaran kami, walau tanpa anggukan. Aku tidak membawa sepeda karena akan membonceng di sepeda Diki, makanya tadi membonceng di sepeda Andi. Kemudian Jamal dan Avian datang. Wah ..., sepeda baru, masih ada plastik yang melapisi setiap bagian sepeda itu, kecuali bannya tentu saja. Kami segera tahu itu milik Jamal karena anak itu segera berpromosi. Tapi anehnya, malah Avian yang mengendarai. Soalnya aku masih belum lancar, hehehe, jawab Jamal tanpa malu. Tak terasa lama menunggu Diki karena mulut Jamal yang terus berkicau, walaupun Diki telat sepuluh menit. Tanpa menunggu lagi, kami segera melaju. Awalnya kami tidak tahu akan menuju ke mana, tapi kemudian Diki memimpin dan membawa kami ke pasar, pusat kota kecamatan. Tenang, tak akan terjadi apa-apa, kok! Kami memercayainya, lagipula apa yang kami sebut pusat kota tidak lebih dari kumpulan toko dan masjid besar di depan lapangan sepak bola. Di sana banyak

122

kantor-kantor wilayah dan perpustakaan. Jadi tidak ada jalan layang atau gedung pencakar langit seperti di tivi-tivi. Yang lain mengikuti, dan ini kali pertama kami ke pusat kota dengan mengendarai sepeda. Kupikir ini agak berbahaya. Dan aku yakin teman-temanku, selain Diki, juga sepakat mengenai hal ini, termasuk Aik. Di pinggir jalan lebar yang mulai banyak dihuni perumahan kumuh, kami berhenti untuk istirahat. Diki berkeringat banyak, begitupun Andi dan Avian. Dik, mau gantian? Aku mengajukan diri walaupun aku tahu Diki masih sangat kuat untuk melakukan sepuluh kali putaran lagi. Boleh, tapi berani tidak? Tanyanya, bukan bermaksud menantangku, tapi kurasa dia memang tahu bahwa aku terkadang bersikap agak terlalu hati-hati. Sehingga saat ini pun aku hanya tersenyum sambil berkata, Ya udah, Diki lagi aja, deh. Kalau sudah dekat sekolah, baru gantian. Diki nyengir kuda. Sebenarnya bukan berarti aku tidak mahir, aku hanya berpikir bahwa di sini sangat banyak kendaraan lalu lalang. Rasanya aku tidak bisa selincah Diki. Brangkat lagi!! Diki berteriak lantang, membuat semangat kami terpacu kembali. Andi menawari Aik untuk mengendarai sepeda, tapi kemudian Aik menolak dengan menggeleng sambil berkata pelan, Andi saja. Kami semua terperangah. Ini kejadian yang sangat jarang terjadi. Kenapa, sih? Tanya Andi. Si Aik ngomong? Tanya Jamal. Iya, sahut Andi, terlihat begitu keheranan. Di kelas juga Aik kadangkadang ngomong, tapi pelan. Kami hanya tersenyum sambil ber-oh. Ketika Diki mulai siap melaju, mataku seperti melihat seseorang yang tidak asing. Seorang bocah dengan gitar okulele sedang bernyanyi dengan suara nyaring. Dik, Dik, sbentar! Diki terhentak dan tidak jadi melaju. Kenapa, sih?!

123

Walaupun ada intonasi yang cukup kasar dari pertanyaan Diki, tapi aku sama sekali tidak menggubrisnya. Mataku terus memerhatikan sosok pengamen itu. Avian dan Andi pun menghentikan sepedanya dan menoleh pada kami. Diki hanya mengangkat bahu. DODI! Semuanya menoleh pada pengamen yang kutunjuk. Aku segera beranjak dari jok belakang dan menghampiri pengamen itu sambil kembali memanggil manggil, Dodi! Anak itu menoleh. Dia memang Dodi. Aku tersenyum lebar. Dodi melihatku sejenak, kemudian kepada teman-teman di belakangku. Setelah itu, ia malah berlari.

124

03

Egi pulang dengan kesal. Padahal kukira akhir-akhir ini Egi jarang menampakan wajah kesal semacam itu. Kukira dia sudah dewasa .... Ibu, sambil malu-malu, mendekati Egi dan mengelus pundaknya. Sebenarnya aku yakin bahwa Egi tahu ibu sedang mengelus pundaknya, tapi dia diam saja. Seharusnya ibu tidak melakukan hal semacam itu pada Egi, dia kan sudah besar! Lihat saja, dia bahkan tidak menggubris perhatian ibu. Kenapa, Gi? Ada yang membuat kesal di sekolah? Tanya ibu, masih mengelus-elus pundak Egi. Aku duduk di samping Egi sambil memangku daguku dengan tangan. Kulihat wajah Egi, kurasa ia ingin mengucapkan sesuatu. Tak ada sih, bu. Tapi di jalan tadi ada razia motor. Eh ..., saya kena juga. Padahal siswa kan biasanya tidak kena. Harus bayar lima puluh ribu. Padahal Egi sudah minta slip biru. Tapi mereka malah tetap minta duit! Dasar mata duitan! Padahal kan, uang itu untuk tambahan beli buku, kalimat lanjutan ini diucapkan Egi dengan suara pelan, seolah untuk dirinya sendiri. Mata ibu berbinar. Beliau benar-benar ibu kami. Pemandangan seperti ini jarang sekali kulihat, sama halnya dengan melihat Dodi beberapa hari yang lalu. Sepertinya Egi memang sudah harus menyadari bahwa ibu adalah ibu kami saat ini, dan beliau ibu yang sangat baik dengan masakan yang sangat enak. Ya ..., walaupun ada Bi Nuni yang sudah membantu beberapa hari ini, tetapi tetap saja yang memasak adalah ibu. Memangnya ..., Egi butuh berapa lagi untuk beli buku itu? Kukira ibu akan bertanya, Memangnya buku apa yang mau Egi beli? Soalnya aku juga khawatir Egi mabuk buku, di kamarnya banyak sekali buku buku tebal tentang mesin-mesin aneh, yang terkadang bukan lagi berbahasa Indonesia, Egi bilang, Indonesia belum bisa bikin buku kayak gini! Bukan saja ketika marah Egi mirip drakula, tetapi buku-buku itu juga ia hisap sampai mereka pucat dan tergeletak lemah di atas kasur. Jadi, aku memang harus yakin bahwa Egi adalah drakula.

125

Eum..., Egi nampak ragu, sesekali ia mengerling padaku, padahal aku kan, tidak tahu apa-apa, sehingga aku lebih baik diam dari pada digigit drakula. Sekitar lima puluh ribu lagi, bu. Sebentar, ya. Ibu segera beranjak menuju kamarnya. Kami diam saja. Aku mencoba untuk bisa mengintip Egi melalui ujung mataku, tapi ia juga masih diam saja. Tak lama, ibu muncul lagi. Tetapi wajahnya menyimpan kekecewaan. Gi, nanti kalau ayah pulang, ibu akan meminta pada ayah untuk tambahan beli buku. Sekarang uangnya belum ada. Wajah Egi sedikit merengut, tapi ia mampu menyembunyikannya dengan sempurna. Aku juga akan berlaku demikian, soalnya wajah ibu benar-benar memelas. Sepertinya ada yang ibu sembunyikan dari kami. Egi segera menuju kamarnya. Ibu masih memandangi Egi sampai ke pintu kamarnya. Aku tahu ibu pasti juga merasa tidak enak hati. Aku menggelayut di lengan ibu, ibu segera membelai rambutku. Tepat pukul lima sore, ayah pulang. Egi masih di kamarnya. Biasanya ayah pulang lebih larut. Ibu segera menggamit lengan ayah menuju kamarnya dengan wajah cemas. Sepertinya banyak hal yang ingin ibu sampaikan pada ayah. Yah, maaf ..., uang belanja bulan ini hilang. Ibu sudah cari, tapi tidak ada, ujar ibu sambil duduk di atas kasur. Ibu biasa menyimpan dompet di dalam lemari. Ayah duduk di samping ibu sambil merebahkan kepala ibu di dadanya. Mungkin ibu lupa menyimpannya. Coba ingat lagi. Rasanya ibu tidak membawa dompet itu ke mana-mana. Ibu ingat betul, setelah belanja dengan Bi Nuni ke pasar, langsung ibu simpan di lemari. Kemudian ayah dan ibu terdiam agak lama. Tidak mungkin anak-anak yang ngambil, kan? Mereka penurut. Lagipula mereka juga baru pulang sore.

126

Ayah mengiyakan dengan mengelus kerudung yang membalut kepala ibu. Ya ..., mungkin bukan milik kita, bu. Nanti ayah ganti. Tukas ayah sambil tersenyum dan memandangi mata ibu. Wajah ibu sempat memerah, kemudian segera beralih, Yah, tadi siang Egi kena tilang, bayar denda lima puluh ribu, padahal uang itu untuk beli buku, katanya. Tadinya ibu mau kasih, tapi uangnya malah hilang, jadi tidak bisa ngasih. Kasihan, yah. Sepertinya dia sangat ingin beli buku itu. Wah ..., hilang uang terus, nih. Bukan milik kita, yah, sahut ibu sambil menunduk, padahal bibirnya tersenyum kecil. Ayah segera membuka dompetnya, Gagal, deh, bulan madu kedua. Gagal apanya, yah? Ayah memberikan beberapa lembar uang ratusan ribu kepada ibu, Jangan hilang lagi, ya. Bulan madu apanya, yah? Tanya Ibu lagi, sambil mengambil uang dari ayah. Tadinya akhir bulan ini ayah ingin bulan madu sekeluarga. Kita, kan, jarang jalan-jalan. Ibu tersenyum sambil berlalu dari kamarnya. Beliau segera menuju kamar Egi. ***

Aku yakin betul kalau anak yang kami temui tempo hari itu adalah Dodi. Hal ini kusampaikan pada Avian, Jamal, Andi, dan, Aikwalaupun Aik tidak tahumenahu mengenai Dodi sehingga ia hanya diam saja seperti biasa. Sepertinya dia memang Dodi, tukas Diki, mengiyakan pendapatku. Ya ..., kami kan, tidak melihat anak itu lebih dekat, jadi tidak tahu, jawab Andi, Lagipula, kasihan juga kalau begitu. Mengapa Dodi jadi pengamen, ya? Jamal bergumam sendiri. Mungkin memang dalam benaknya tidak pernah terpikir sama sekali bahwa Dodi akan menjadi pengamen. Aku juga demikian, tidak pernah terpikir sedikitpun bahwa

127

Dodi, atau salah satu dari teman kami, akan menjadi pengamen di jalanan. Aku segera mengingat Budi. Tapi kurasa Budi tidak akan menjadi pengamen. Dia sekolah tidak, ya? Aku bergumam sendiri. Teman-teman

memandangiku. Selanjutnya, bel berdering sangat nyaring. Bu Yanti belum masuk. Tidak biasanya beliau telat. Mungkin sekitar lima belas menit kelas ini masih ribut. Ketika akhirnya Bu Yanti muncul, anak-anak berhamburan menuju kursi mereka masing-masing. Tanpa mengucapkan salam atau apapun, Bu Yanti segera menuju meja Andi dan Aik, Aik, kamu sekarang ke kantor guru, ya. Aik diam saja. Tapi kemudian ia menggeleng. Kamu ditunggu Pak Santoso, ujar Bu Yanti lagi. Tapi Aik tetap diam dan menggeleng. Memangnya ada apa, Bu? Tanya Andi. Bu Yanti hanya tersenyum. Bu Yanti masih terus membujuk Aik agar mau ke kantor guru. Aku masih tidak mengerti mengapa Aik harus ke kantor guru. Apakah ia melakukan sebuah kenakalan atau semacamnya? Tapi sepertinya bukan. Karena Bu Yanti membujuk Aik dengan baik tanpa bentakan. Sampai akhirnya, kami kasihan kepada Bu Yanti dan mencoba membantu Bu Yanti membujuk Aik. Ke sana saja sebentar, ujar Avian. Kami mulai mengelilingi Aik dan Bu Yanti. Tidak mau! Tidak mau! Aku tidak mau ikut mereka! Aku mau tinggal di sini! Aik berteriak keras. Kami kaget bukan main. Jangankan mendengarnya berteriak, berbicara saja sudah aneh, kan? Aik membenamkan kepalanya ke dalam tangannya yang terlipat di atas meja. Ia menangis keras. Suaranya terisak dan bahunya naik turun. Kami tidak mengerti apa yang terjadi. Bu, memangnya ada apa? Tanya Avian, mungkin ia merasa bersalah karena telah ikut membujuk Aik. Bu Yanti kembali diam. Beliau hanya menghela napas panjang. Kemudian berlalu begitu saja. Kurasa beliau kembali menuju kantor guru.

128

Aik, kamu kenapa? Tanya Jamal sambil mendekat. Memangnya ada apa, sih? Diki menimpali dengan dahi mengerut. Tapi Aik masih terus menangis. Aku benar-benar kehabisan ide untuk melakukan apapun. Kami tidak tahu apa yang sedang terjadi, ditambah lagi sikap Aik yang sangat aneh, membuat kami tidak yakin untuk melakukan apapun. Tanpa kami sadari sebelumnya, Pak Santoso muncul di samping kami. Ketika aku melihat ke belakang, di ujung pintu, seorang pria tak kukenal sedang berdiri dengan wajah penuh harap. Nak .... Belum sempat Pak Santoso meneruskan kalimatnya, Aik kembali berteriak, Tidak mau! Tidak mau! Aku tidak mau ikut mereka! sambil terus menangis. Avian memandangku, kami hanya bisa diam tanpa tahu apapun. Pak, ada apa, sih? Tanya Andi yang sepertinya sudah tidak sabar dengan ini semua. Kasihan, kan, Aik. Memangnya mau dibawa ke mana? Kali ini, Pak Santoso sama saja dengan Bu Yanti, hanya bisa diam. Kupikir, mengapa orang-orang dewasa bersikap aneh saat ini. Lebih aneh daripada sikap Aik. Apakah karena kami memang masih kecil sehingga tidak sepatutnya tahu banyak hal bahkan mengenai teman kami sekalipun?! Kami memang tidak akan peduli dengan masalah mereka, tapi kami sangat peduli pada Aik. Bagaimanapun kini Aik adalah salah satu teman kami. Aku tidak tega melihat Aik menangis seperti ini. Pria aneh yang sebelumnya di depan pintu, melewati dan menyenggol bahuku. Ia mendekati Aik juga. Nak, ayo pulang. Kita pulang, ujar pria tadi. Siapa dia? Tanya Jamal di telingaku, kurasa Avian dan Diki juga mampu mendengarnya. Tapi kami hanya bisa menggeleng, walaupun dalam pikiranku berkata bahwa pria tadi bisa saja ayah kandung Aik, jika mendengar dari ucapannya barusan. Tidak mau! Tidak mau! Aku mau di sini saja! Aik berteriak lagi dengan masih tetap membenamkan wajahnya. Bapak janji akan menyekolahkan Aik lagi. Tidak akan galak lagi sama Aik dan adik-adik. Kita pulang, ya. Pria tadi menangis.

129

Jamal berbisik lagi di telingaku, Dia bapaknya Aik ...., kali ini pun suaranya mampu di dengar Avian dan Diki. Aik masih menangis. Aku mulai berpikir memang ada yang aneh dengan ini semua. Mana mungkin ada anak yang menangis ketika dijemput ayahnya, kecuali jika ayahnya memang galak seperti yang pria itu katakan. Kini, sedikitnya kami sudah tahu permasalahan Aik. Mungkin Aik kabur dari rumah karena peril ku a ayahnya yang kejam. Aku mendekati Aik dan mencoba membelai pundaknya, sama seperti yang sering ibu lakukan jika aku sedang sedih. Tanpa kusadari, Aik memperlihatkan wajahnya yang hancur penuh air mata. Dia menatapku sambil berkata pelan. Aku mau sekolah di sini saja, kemudian beralih memandangi Avian, Jamal, Diki, dan Andi, bergantian. Hal ini membuatku sangat sedih, sepertinya ada yang sedang meremas jantungku. Aku mau jadi anak Bapak saja. Kata Aik lagi kepada Pak Santoso. Aku yakin Pak Santoso merasakan perih yang kami rasakan. Wajah Pak Santoso tidak bisa membohongi kami. Apalagi beliau memang tidak mempunyai seorang anak pun. Aik mungkin telah menjadi sesuatu yang sangat beliau inginkan. Pria tadi, hanya tertegun melihat kami dan Pak Santoso. Tidak bisa, nak. Kamu harus ikut ayahmu. Tapi Bapak janji, kalau ayahmu masih galak, Bapak akan membawa kamu ke sini lagi, ujar Pak Santoso sambil tersenyum. Senyum kaku yang asing di mata kami. Kami diam sambil memandangi pemandangan asing ini. Kelas benar-benar hening dengan isi pikiran masing-masing yang berkecamuk. Rahangku mengatup keras sehingga menimbulkan benjolan di wajahku. Kulihat Diki, bahkan, seperti kehilangan kata-kata yang biasanya ia keluarkan. Ia hanya mampu celingak-celinguk memandangi kami yang tak mampu melakukan apapun selain memperhatikan Aik, ayahnya, dan Pak Santoso. Namun pada akhirnya, kurasa Aik memang tidak punya pilihan. Walaupun kini kami adalah sahabatnya, tetapi kami juga tidak punya pilihan. Ketika ayahnya membawanya ke luar kelas. Kami hanya bisa diam. Aik masih menangis.

130

Bu Yanti maju ke depan kelas dan berkata bahwa sekarang saatnya melanjutkan pelajaran seperti biasa. Kami pun duduk manis kembali. Bu Yanti memegang kapur dengan perilaku yang aneh. Sama seperti pikiranku saat ini. Bu, saya ingin pamitan pada Aik! Aku berkata lantang sambil berdiri, Bu Yanti agak kaget. Sebelum Bu Yanti berkata sesuatu, aku segera menyela, Ketika Budi dan Dodi pergi, aku belum sempat berpamitan dengan mereka. Sekarang saya ingin berpamitan dengan Aik. Mataku perih, hidungku gatal. Mengapa aku ingin menangis saat ini. Benar kata Egi, aku masih setengah lelaki. Aku masih mudah menangis. Saya juga, Bu. Aik teman sebangku saya. Andi juga berdiri. Bu Yanti tersenyum dan melipat tangannya di dada, kini beliau nampak lebih santai. Siapa lagi yang mau ikut? Avian, Jamal, dan Diki berdiri, aku juga yakin mereka akan berdiri. Namun ternyata teman-teman kami yang lain pun berdiri. Bahkan beberapa orang yang tidak tahu menahu mengapa harus berdiri pun ikut berdiri. Akhirnya Bu Yanti mengizinkan kami melihat Aik pergi bersama ayahnya. Kami segera berlari menuju rumah Pak Santoso. Begitu Aik keluar, ia terhenyak melihat kami berdiri di depannya. Nanti kita main lagi, ya, tukasku. Aik mengangguk. Kemudian kami menyalaminya. Tidak ada yang bisa kuberikan kepadanya selain harapan bahwa suatu saat nanti kami akan bertemu lagi, masih sebagai sahabat. Begitupun harapanku kepada Budi dan Dodi. Aik pergi bersama ayahnya sambil sesekali melihat kami di belakangnya. Mata Pak Santoso merah dan basah. Padahal beliau guru olahraga kami yang sangat kuat. Yang paling kuat. ***

Di teras belakang, pikiranku masih terhubung pada kejadian siang tadi. Aku memang baru saja mengenal Aik. Tapi setidaknya ketika dia pergi, aku tidak begitu merasa bersalah seperti pada Dodi dan Budi. Aik baik-baik saja, mungkin.

131

Suara Bi Nuni yang keras terdengar dari arah dapur. Ibu bersamanya. Mungkin Bi Nuni sedang bercerita banyak kepada ibu, dan ibu akan selalu mendengar sambil tersenyum. Hanya itu yang ibu bisa; mendengar sambil tersenyum. Tapi kurasa semua merasa nyaman dengan hal itu. Bayangan Hepi kembali berkelebat. Ketika mengingatnya, rasanya ingin memukul kepalaku dengan batu yang paling keras. Ingin sekali berteriak kencang, sekencang suara Bi Nuni, bahkan lebih. Tiba-tiba Egi muncul, ia duduk di sampingku sambil menyesap susu dalam cangkir dan setoples kue keju buatan ibu. Kurasa ia hanya ingin mencari teman duduk untuk menghabiskan kue, bukan teman bicara. Jadi, aku pun hanya diam. Kenapa kamu, Ri? Egi malah bertanya sambil memandang wajahku penuh tanya, dahinya mengerut. Kenapa apanya? Aku tidak mengerti, memangnya aku melakukan sebuah gerakan yang salah atau aneh sehingga ia bertanya demikian? Keliatan pusing banget, jelasnya. Banyak pe-er? Kukira orang dewasa memang hanya akan memandang permasalahan anak kecil dengan sebuah pe-er dan semacamnya. Aku pernah dibuat kesal dengan seorang bapak-bapak yang berbicara di depan kami; aku, Avian, Budi, Andi, dan Jamal. Katanya, Saya sering heran melihat anak kecil ngobrol, padahal apa yang mereka bicarakan? Mereka kan, belum punya masalah seperti kita! Padahal dalam pikiranku berkecamuk berbagai macam hal yang sangat ingin kuceritakan, tapi begitu mendengar bapak tadi berbicara demikian, aku menjadi berpikir ulang. Apa benar kami tidak mempunyai dunia yang bisa kami ceritakan? Heh, malah bengong! Nih, minum. Egi menyodorkan cangkir susunya padaku. Aku tidak tahu apa alasanku mengambil dan meminum susu itu, sehingga ia berkata, Jangan sampai habis, dong! Kusimpan cangkir itu di meja kecil di sampingku. Egi malah mengacak-acak rambutku, hal yang tidak kusukai. Tapi aku diam saja. Aku malas bertindak macam-macam di depannya. Lagipula Egi jarang melakukan hal ini. Mungkin ia bermaksud menenangkan diriku atau semacamnya, aku berusaha berpikiran positif

132

mengenai hal ini. Ketika selanjutnya ia menawariku kue keju, aku mengambilsatu dan melahapnya. Kemudian Egi mengajakku jalan-jalan keliling blok. Aku mengangguk. Mungkin memang gelagatku aneh saat ini. Tapi, menurutku, aku memang sedang malas saja. Kami melewati perumahan mewah yang pernah Egi ceritakan; rumah temannya yang kemarin menikah. Egi melambatkan laju motornya. Sepertinya ia sedang melirik rumah tersebut. Rumah yang sangat besar dan mewah. Ada garasi besar, cukup untuk dua mobil, tetapi saat ini kosong. Juga taman yang tak terurus dan cat dinding yang mulai mengelupas. Rumah ini sama sekali tidak membuatku ingin masuk ke dalamnya, justru yang kubayangkan adalah setan-setan gentayangan di dalamnya. Namun, kami berdua tersentak ketika sebuah suara mengagetkan kami, Apa liat-liat! Suara yang sangat keras milik seorang bapak setengah baya dengan rambut

lontos dan kulit cokelat terbakar. Rupanya dia sedari tadi sedang

menyirami rumput di depan rumahnya. Kami benar benar tidak tahu. Ia telah begitu mahir berkamuflase dengan kebunnya. Bukannya permisi atau minta maaf, Egi malah menggas motornya hingga kami segera menghilang dari rumah itu. Bapak itu mungkin pemilik rumah yang Egi ceritakan yang selalu , memanggil anaknya dengan meniup peluit. Aku sangat bersyukur memiliki ayah yang tidak semenyeramkan bapak tadi. Bahkan ayah seribu kali lebih tampan dan bersih.

133

04

Malam ini, Egi tidak nampak di ruang tengah, ia sedang sibuk di dalam kamarnya. Kurasa ia sedang mempersiapkan diri untuk ujian. Akhir-akhir ini ia sering sekali belajar sampai malam. Aku pernah mendengar ia berkata kepada temannya yang sering datang untuk mengaji bersamanya, bahwa ia harus bisa masuk teknik informatika ketika kuliah kelak di sebuah perguruan tinggi negeri favorit. Jadi karena itulah Egi belajar ekstra keras. Walaupun yang aku tahu, Egi akan menyanyikan sebuah lagu aneh dengan nada super sumbang ketika sedang belajar. Aku hanya bisa diam sambil lalu atau mencoba mengalihkan perhatian telingaku dengan memasukan makanan ke dalam mulutku banyak -banyak. Tapi suara Egi masih saja terdengar di otakku walaupun kami berjauhan dan terhalang dinding. Kurasa Egi memang sangat memengaruhi kehidupanku! Ketika kumatikan televisi dengan menekan tombol pada remot kontrol, karena tidak menemukan tontonan yang asyik, kudengar suara -suara aneh dari kamar ayah. Aku menoleh dan mendapati ibu seperti sedang kebingungan dengan dahi mengerut. Ternyata ibu sedang mengadu pada ayah bahwa beliau kehilangan uang lagi. Ayah agak kaget mengetahui hal ini. Bukan berarti ayah tidak percaya, tetapi meminta ibu untuk mengingat kembali. Kukira wajar jika ayah berkata demikian, soalnya baru beberapa hari yang lalu ibu mengadu kehilangan uang, dan sekarang kehilangan lagi. Kemudian ibu menjelaskan bahwa beliau sama sekali tidak lupa menyimpan uangnya. Ibu bilang, ibu selalu menyimpan dompetnya di laci yang berada di dalam lemari pakaiannya. Aku yakin ibu jujur. Ibu tidak pernah berbohong sebelumnya. Dan aku tidak pernah mempunyai alasan untuk tahu apakah ibu pernah berbohong atau belum. Ketika ibu membuat kue yang sangat enak atau makan malam yang seringkali membuatku ingin nambah lagi, aku tahu bahwa ibu memasukan semua bumbu dan masakan itu dengan ketulusan dan kejujuran.

134

Aku tidak kuasa melihat wajah ibu yang seperti sedang bingung. Kulihat mata ibu seperti ingin menumpahkan air bah yang sangat deras. Sepertinya beliau sedang mencoba untuk tidak menangis karena suatu hal. Ayah hanya diam sambil mendengarkan kata-kata ibu tanpa melihat wajah ibu. Mungkin ayah juga tidak tega, sama seperti aku, melihat wajah ibu saat ini membuatku ingin mendekat dan berbicara sesuatu padanya. Tetapi apa? Aku malah semakin bingung. Mungkin saat ini aku memang hanya bisa kasihan saja. Kurasa ayah juga tidak akan kehilangan sikap dewasa-nya saat ini. Ayah pasti tahu apa yang harus beliau lakukan. Ya ..., ayah selalu tahu. Sama seperti padaku atau Egi. Ayah selalu bisa memberikan sesuatu yang membuat kami melupakan hal yang paling memuakkan sekalipun. Mungkin hal ini yang membuat ibu tidak mau menangis di depan ayah. Atau sebaliknya. Kini kulihat ayah merangkul pundak ibu ketika akhirnya ibu menutupi wajahnya dengan kedua tangan sambil duduk membungkuk. Kurasa ibu sedang berusaha menutupi keinginannya untuk menangis. Beliau tidak mau

memperlihatkan wajah sedihnya. Walaupun, menurutku, ibu pasti tahu bahwa ayah pasti percaya kalau itu semua bukan salah ibu. Lain kali, coba lebih hati-hati. Ternyata ibu masih belum menangis, ibu menampakkan wajahnya menghadap wajah ayah, Apakah sebelumnya ..., di rumah ini ..., sering kehilangan, yah? Ayah nampak sedang berpikir sejenak, kemudian berkata, Eum ..., ya, dulu pernah. Egi sering sekali mengadu kehilangan uang. Ayah juga pernah beberapa kali. Tapi hanya uang, yang lainnya belum. Ibu dan ayah terdiam agak lama. Nampaknya pikiran mereka sedang berputar-putar seperti gasing. Kemudian ibu beristigfar berkali-kali. Aku tidak bisa lagi mendengar apa yang ayah bisikan di telinga ibu yang tertutupi jilbab, tapi kemudian ibu memandang wajah ayah dengan pandangan aneh. Kemudian pintu kamar ayah tertutup. Sehingga tidak ada lagi yang bisa kulihat saat ini.

135

Aku diam, memikirkan sesuatu yang tidak menentu. Sehingga tidak sadar bahwa aku sedang berada di depan kamar Egi dan mengetuk pintunya. Begitu tahu bahwa Egi tengah berada di depanku, baru aku tersadar. Apa?! Tanpa menghiraukan kalimat Egi yang lagi-lagi mengelegar seperti petir, otakku segera berpikir. Akhirnya kutemukan sebuah kalimat yang menurutku lumayan bagus untuk dijadikan alasan mengapa aku tadi mengetuk pintu kamar Egi. Ibu kehilangan uang lagi. Egi mengerutkan keningnya, Hilang uang? Lagi? Memangnya berapa kali? Ya, aku tidak pernah memberitahukan kepada Egi tentang kehilangan uang pertama, sehingga ia tidak tahu-menahu. Walaupun seharusnya ia peka, karena kehilangan pertama ketika ia kena tilang, kan!? Egi membuka pintu lebar-lebar. Kuartikan hal itu sebagai ungkapan Mari masuk, duduk di sini. Jangan nakal dan mengacak -acak barang-barangku, atau kutelan kau hidup-hidup! Tanpa menunggu pertanyaannya lagiyang memang tidak akan pernah ia ucapkan dua kaliaku segera berkata, Ketika Kak Egi bilang butuh uang untuk beli buku .... Egi diam. Aku tidak melihat rona bersalah atau apapun. Tapi aku sudah cukup tahu ekspresi itu. Dia pintar sekali menyembunyikan perasaannya di depanku. Dan yang kedua ..., sekarang. Egi mengangguk, kemudian kembali menepekuri bukunya. Aku masih berpikir mengapa ia tidak mengusirku. Atau ia mulai merasa bahwa dengan tubuh sekecil ini, aku tidak terlihat dan tidak cukup mengganggunya. Kemudian ibu bertanya pada ayah, apakah kita pernah kehilangan uang semacam ini, aku menambahkan redaksi kalimat ibu sesuai dengan ingatanku, aku lupa seperti apa kalimat aslinya. Dan kata ayah, dulu pernah beberapa kali, bahkan Egi ..., maksudku Kak Egi, pernah kehilangan juga.

136

Egi mengerutkan dahinya. Kemudian memandangiku. Jika saja aku bisa membuka mulutku, aku akan berkata, Jangan pandang aku dengan mata seperti itu, aku tidak tahu apa-apa. Namun kemudian matanya menerawang ke langit-langit kamarnya. Apakah dulu rumah kita sering ada pencuri? Egi menggeleng, kemudian menjawab dengan enggan, Entahlah .... Itu adalah kalimat yang artinya Hentikan sampai disitu. Kau tahu terlalu banyak! Maka aku kembali diam. Tiba-tiba saja dadaku terasa sesak. Kakiku bergoyang, mengajakku untuk pergi meninggalkan kamar ini. Mungkin di kamarku sendiri, aku bisa menggambar atau membaca beberapa buku pelajaran. Ketika akhirnya aku ingin beranjak, Egi berkata, Dulu memang aku sering kehilangan uang. Tapi beberapa bulan ini tidak pernah lagi. Kemudian ia membalikkan tubuhnya, tepat menghadap wajahku. Kau tahu ..., aku sempat senang ketika Bi Nuni berhenti kerja, soalnya aku mempunyai firasat bahwa Bi Nuni yang mengambil uangku atau uang ayah. Hanya dia yang bisa melakukan itu, ketika kita sekolah dan ayah bekerja. Aku diam di tempat, mencoba kembali menikmati duduk di atas kasurnya dan mencerna kata-kata yang baru saja ia lontarkan. Aku juga pernah mengatakannya pada ayah. Tapi ayah bilang jangan suuzan dulu. Jadi ..., akhirnya aku diam saja. Buktinya ..., ketika Bi Nuni tidak ada, aku dan ayah tidak pernah kehilangan uang lagi. Dan sekarang, ketika Bi Nuni muncul kembali, kita kehilangan uang lagi. Ini aneh, kan?! Egi kembali memandangi wajahku, meminta persetujuan atas pernyataannya. Namun aku ragu. Ah, maksudku, aku tidak ragu dengan ucapan Egi ..., hanya saja ... aku tidak mau jika kenyataannya demikian. Aku tidak mau jika pernyataan Egi itu benar. Bi Nuni orang yang baik, aku tidak mau jika mengetahui Bi Nuni sebagai seorang pencuri.

137

Hal ini, perasaan ini, adalah perasaan yang sama ketika aku tahu apa yang dilakukan oleh Om Firman kepada Budi. Namun, pada akhirnya aku kalah oleh pandangan matanya itu, aku mengangguk tanpa sadar. Egi berdiri, kemudian duduk di sampingku. Ia menghempaskan tubuhnya di atas kasur dengan tangan terlipat di bawah kepalanya. Ia nampak kelelahan, dan melenguh pelan. Kak .... Heum ..., tanpa menoleh, Egi mempersilahkanku melanjutkan kalimatku yang terputus. Aku berusaha memacu oksigen banyak-banyak ke dalam dadaku agar mampu berkata lebih lancar. Kalau benar, Bi Nuni yang melakukannya ..., Kakak bisa memaafkannya? Aku diam. Kukira ia tertidur karena matanya terpejam. Wajahnya mirip bayi dalam keadaan seperti ini. Tidak pernah kukira ia sering menghujamkan kalimat jahatnya padaku. Namun kemudian ia berkata pelan, Entahlah. Kukira Egi memang akan tidur, ia nampak sangat kelelahan. Akhirnya kuputuskan untuk beranjak dari kamar ini. Aku tidak suka pada ketidak-jujuran. Kalau Bi Nuni mau jujur meminta, pasti aku atau ayah akan memberi. Tapi dengan mencuri, dia sudah berlaku tidak jujur. Lagi-lagi dia melakukan itu, berbicara ketika aku akan pergi. Mungkin dia pikir hal itu keren atau apa. Aku diam sejenak. Kata-kata itu menelusup ke dalam tubuhku seperti asap beracun yang tak mampu kutepis. Pada akhirnya, kini, aku memilih untuk benar-benar pergi. Tolong tutup pintunya. ***

Hujan kembali mengguyur rumah kami. Derasnya bukan main. Aku masih mengenakan seragam dan menimbang-nimbang untuk pergi ke sekolah.

138

Tanpa menunggu reda, Egi pergi dengan ponco dan motornya. Ia bahkan tidak menawariku tumpangan. Mungkin karena khawatir terlambat jika harus mampir ke sekolahku yang berbeda arah. Kukira, aku bahkan sudah sangat terlambat. Kini, satu setengah jam setelah Egi berangkat, aku masih berdiri di depan jendela, memandangi air yang terus turun dan membasahi jendela. Pada bagian dalam, di kaca jendela yang berembun, aku mencoret-coret sebuah nama dan gambar Ksatria Bertopeng. Ibu duduk di sampingku. Ia memelukku dari belakang. Ibu tidak bertanya apakah aku akan berangkat sekolah atau justru langsung menyuruhku berangkat ke sekolah. Hujan ini sangat deras, bahkan aku yakin, selokan di depan rumah pasti banjir dan air bah meningkahi sungai kecil desa kami. Pikiranku melayang dan terus melayang. Sepertinya aku tidak tahu lagi apa yang seharusnya ada dan tidak ada. Kalimat Egi kemarin terus berloncatan di kepalaku. Ia membenciku .... Egi membenci anak yang tidak jujur. Aku orang yang paling tidak bisa jujur. Bahkan pada diriku sendiri. Seharusnya aku bilang kepada Bu Yanti bahwa bukan Hepi yang memecahkan cermin kesayangan kami. Aku merasakan sentuhan tubuh ibu yang terasa hangat. Hangat yang semakin membuatku ingin menolaknya. Hangat ini begitu jujur, seperti ingin

menenangkanku dari apa yang terus mengaduk-aduk isi kepalaku. Agar semuanya cair dan mampu meleleh, sehingga tidak membatu di dalam kepalaku sampai aku besar. Aku tahu ... hangat ini berusaha untuk membuatku mengatakan sebuah kejujuran. Ia tidak mau jika aku, ketika dewasa kelak, tetap menjadi orang yang tidak jujur. Namun ini sungguh menyiksa. Aku sangat ingin menangis lagi. Dadaku berdebar tak karu-karuan. Intervalnya tak beraturan. Mataku perih bukan main. Pada akhirnya, aku tidak mampu menolak napasku yang mulai tersendat-sendat. Kukira ..., ibu menyadari bahwa kini aku sedang menangis. Si manusia setengah lelaki menangis lagi.

139

Tanpa berkata Ari kenapa menangis, ibu membelai rambutku, menyisirnya ke belakang dengan tangan lembutnya. Kemudian beliau menyandarkan kepalaku di dadanya. Semakin nyaman dan hangat. Tarikan napasku semakin tersengal dan kini aku benar-benar menangis. Dan ketika ibu mengecup keningku, aku tahan lagi untuk tidak memeluknya. Ibu ... tidak mengatakan apa-apa, hanya menerima pelukanku ... dengan jujur. Patutkah aku menerima itu? Aku tahu saat ini ibu sedang menunggu kalimat yang seharusnya meluncur dari mulutku. Namun aku sangat malu dan enggan untuk berbicara. Hingga akhirnya ibu bangkit dan mengajakku berdiri. Beliau membawaku ke ruang istimewanya; sebuah dapur yang kini selalu bersih dan nyaman. Gelagat dan senyum teduhnya mengisyaratkan agar aku duduk manis di kursi dekat meja kecil di tengah ruangan. Kemudian ibu beranjak meninggalkanku. Aku mencoba mengatur napasku agar tidak lagi tersengal. Butuh waktu agak lama agar semuanya normal. Ibu muncul dengan dua gelas susu cokelat hangat di kedua tangannya. Yang kanan, beliau berikan padaku. Aku menirunya menyeruput isi gelas ini pelanpelan. Menikmati setiap hangat yang mengalir di mulut dan tenggorokanku. Mencoba melelehkan kebekuan di lidahku. Aku menunduk sambil menyeruput isi gelas ini hingga tak terasa kini tinggal setengahnya. Kukira, beku itu sudah meleleh. Maka, kusimpan gelas itu di hadapanku dan mulai berani memandang wajah ibu, yang ternyata, sedang memerhatikanku dengan seksama, dan senyum menghiasi wajahnya yang bercahaya dan cantik bukan main. Isi gelasnya nyaris utuh, artinya, sedari tadi beliau memandangiku seperti itu. Bu ..., berbohong itu dosa, kan? Sejatinya, ini bukan pertanyaan, aku hanya ingin menghukum diriku sendiri dengan mengetahui bahwa orang yang sangat kucintai menyatakan apa yang telah kulakukan selama ini adalah salah. Kendati aku tahu bahwa aku tidak berbohong, aku hanya tidak mengatakan kebenaran atau menyembunyikan kebenaran. Tapi ..., kupikir ... apa bedanya?

140

Ibu diam, senyum di wajahnya mengembang. Beliau telah mengetahui satu hal. Akumungkintelah berbohong. Aku menyerahkan sepenuhnya pada kesimpulan apapun yang beliau ambil. Aku tidak khawatir jika ibu menyimpulkan aku sebagai seorang pembohong. Karena yang kulihat di matanya adalah rasa berbeda, beliau senang karena aku mengatakan kejujuran dengan mengaku bahwa aku seorang pembohong dengan pertanyaanku itu. Itu sudah cukup. Kukira ... ibu tidak perlu menjawab pertanyaanku. Aku sudah tahu. Lagipula ..., aku memang sudah tahu. Tentu ..., nak. Beliau menyeruput susunya. Sepertinya merasa lega karena mengetahui apa hal yang membuatku menangis. Kemudian ..., pembohong akan masuk neraka? Ibu kembali memandangiku lekat-lekat. Kemudian menggeser kursinya ke dekatku. Wajahku masih mendongak pada mata itu yang kini semakin dekat, sedekat surga dan telapak kakinya. Ibu kembali meraih kepalaku ke dalam pelukannya. Tentu saja ..., seorang pembohong ... akan masuk neraka .... Kuhela napasku dalam-dalam. Siap menerima siksaan yang berat karena telah menjadi seorang pendosa. Aku tahu ibu tidak bermaksud memberikan justifikasi. Beliau hanya berkata jujur. Sebuah kebenaran. Pelajaran yang selama ini seharusnya kulakukan. Tapi ... kita masih bisa memperbaikinya, ujar ibu sambil kembali membelai rambutku. Aku dapat merasakan tangannya yang bergerak merapikan garis belahan rambutku yang memang sering jatuh tak beraturan. Ibu juga pernah melakukan kebohongan. Saki...t sekali. Namun ketika kita mencoba untuk memperbaiknya, rasa sakit itu mungkin masih ada, tapi terkalahkan. Kuulang kembali kalimat ibu dan menyimpannya dalam-dalam di dalam ingatanku. Agar terus rapi berada di dalam lemari pikiranku. Manusia ..., ibu kira ..., tidak ada yang pernah terlepas dari dosa. Tapi kita bisa belajar untuk tidak kembali melakukan dosa itu. Allah Maha Pengasih dan Maha Penerima taubat. Itu harus menjadi pelajaran untuk kita agar tidak melakukan dosa itu berkali-kali.

141

Ibu mengambil jeda, kemudian kembali berkata, Melakukan dosa itu kejahatan, tetapi lebih jahat lagi membiarkan dosa itu berkelanjutan. Apalagi mengurung dosa itu di dalam dirinya sampai dewasa, kemudian menularkannya pada orang lain yang tidak bersalah dengan melakukan dosa itu terus menerus. Mungkin, itu yang tidak termaafkan. Aku diam, menemukan sebilah pisau berkilat dalam pandangan ibu. Hal ini sangat berseberangan dengan senyum tulus yang beliau hadirkan. Ari paham? Aku menggeleng. Ibu tertawa kecil. Begini ..., ibu semakin mendekatkan tubuhnya padaku. Kulihat jam di dinding dapur menunjukkan keterlambatanku yang tidak dapat lagi ditoleransi Bu Yanti. Kubiarkan tubuhku dihangatnya tubuh ibu. Aku tahu, Bu Yanti tidak akan marah karena pelajaran dari ibuku lebih penting dari matematika. Pasti Bu Yanti akan mengerti. Kalau kita melakukan kesalahan, jangan terlalu terbelenggu dengan kesalahan itu, apalagi sampai membuat kita mengurung diri. Bagaimana dengan bunuh diri? Aku menyela, karena saat itu, aku segera mengingat Om Firman. Wah ..., ini sudah sangat keterlaluan. Allah melaknat perbuatan ini. Tubuhku merinding membayangkan Om Firman yang baik, namun karena kejahatannya dan tindakan bunuh dirinya, semuanya menjadi kacau. Ketika kita melakukan kesalahan, segeralah bertaubat. Istigfar. Dan berusahalah untuk tidak melakukan perbuatan itu lagi .... Dan ... kalau kita memiliki masalah, jangan dipendam sendiri. Cobalah untuk berbagi. Kalau menghadapai masalah sendirian, ketika kita goyah, tidak akan ada orang yang bisa menolong. Ibu menutup penjelasannya dengan kecupan di keningku. Hujan mereda. Menyisakan air di ujung-ujung daun yang menetes satupersatu. Kuseruput kembali susu cokelat yang mulai dingin, tapi cukup hangat karena ibu di sampingku. ***

142

Karena hujan, Bi Nuni telat datang. Tapi sebenarnya ibu memang tidak perlu repot. Tidak perlu ada yang mencuci piring pagi ini karena selalu Ibu lakukan setelah makan makan. Tidak perlu membuat sarapan karena ibu sudah menyediakannya lebih awal. Tidak perlu mengepel karena hujan membasahi teras dan balkon, dan ibu sudah menyapunyadengankusubuh tadi. Mungkin yang belum dilakukan hari ini hanya mencuci pakaian dan menyetrikanya. Kukira, itu tidak terlalu banyak. Ketika ibu mengajakku ke pasar untuk membeli persediaan makanan, aku menolak karena takut bertemu dengan teman-teman atau guru yang lain. Tentu saja aku masih punya malu. Ibu memahami hal ini. Sehingga mengizinkan aku menungu di rumah sendirian. Beberapa menit setelah itu, ketika aku sedang menggambar di dalam kamarku, kudengar suara berkelotak di bawah. Tidak mungkin ibu pulang secepat itu, kecuali mengambil barang yang tertinggal. Apalagi Egi yang jarang sekali meninggalkan sekolahnya. Ayah juga telah beberapa hari ini tidak pulang, ibu bilang ayah baru pulang lusa dari Kalimantan. Kakiku melangkah pelan menuju arah suara yang pada akhirnya membuatku ingin tahu siapa yang membuatnya. Kupikir, pasti Bi Nuni yang baru muncul. Seisi ruangan kutelusuri. Bukan di ruang tamu, karena tidak ada orang di sana. Bukan pula di dapur, karena ruang ini pun kosong melompong. Hanya ada lobak, dua gelas basah bekas menyeduh susu cokelat di dekat tempat cuci piring, dan air dalam ketel yang hampir mendidihibu menitipkan padaku agar mengangkatnya jika sudah berbunyi tuuut. Ternyata pintu kamar ayah yang terbuka. Aku sempat berpikir bahwa terkaanku pasti salah, tidak mungkin Bi Nuni yang muncul. Bisa jadi ibu. Mungkin ibu memang meninggalkan barang yang penting dan sedang mengambilnya kemudian kembali ke pasar. Sehingga aku berniat untuk kembali lagi ke kamar untuk menggambar. Jarang sekali aku, maupun Egi, masuk ke kamar ayah dan ibu. Ini semacam

143

pantangan bagi kami. Sepertinya kurang sopan ketika kami masuk ke ruang tidur ayah dan ibu tanpa i in mereka. Namun kemudian terlintas dalam benakku untuk k embali, meminta ibu membuatkan kentang goreng. Rasanya iklan kentang goreng di tivi -tivi telah membuat air liurku menetes. Bu ..., Ari ingin kentang goreng. Bel ..., kalimatku terputus ketika kakiku telah sampai di dalam kamar ibu. Bi Nuni tengah membuka lemari pakaian ibu, dan memeriksa isi laci di dalamnya. Mengetahui keberadaanku, mata kami bertemu. Wajahnya nampak kebingungan dan terkejut bukan main. Kami hanya mampu terdiam beberapa menit. Pikiranku segera tertuju pada pernyataan Egi. Bi N ni sedang mencuri.

144

05

Sebenarnya semalam aku sempat bermimpi. Namun jika kupikir-pikir, mimpi itu bahkan lebih nyata dari pada apa yang kulihat saat ini. Atau semua yang pernah ku alami. Bahkan, aku lebih ingin mimpi itu yang nyata daripada kenyataan yang kuhadapi. Aku ingin agar kenyataan itu adalah mimpi, yang ketika aku terbangun, semuanya baik-baik saja ... seperti mimpiku tadi malam. Ketika terbangun di pagi yang cerah bukan main, kakiku melangkah ke jendela. Memandangi ruang luas di luar jendela, di luar duniaku. Semuanya indah bukan main. Entah dari mana asalnya, bau harum bunga-bunga tercium melalui cuping hidungku. Mungkin harum ini berasal dari bunga-bungaan yang ditanam Andi dan kakaknya. Kukira demikian. Kemudian mataku menangkap sosok yang sangat ku kenal. Ari! Ari! Cepat kemari ...! Budi memanggilku di bawah sana, di depan halaman rumahnya. Ia sudah mengenakan seragam sekolahnya. Perut gendutnya tersembunyi di balik pakaian dan dasi merahnya. Ia begitu rapi, seperti biasanya namun aku meyakini satu hal, selesai sekolah pakaiannya akan berantakan dan kumal. Ia menggendong tas besarnya di punggung. Aku yakin, tas itu adalah kamuflase agar ia nampak ... hihihi ..., mungkin penjelasannya seperti ini, itu adalah cara yang digunakan Tante Ratna agar anaknya itu tidak nampak terlalu gemuk. Kupikir, cara itu malah tidak berhasil. Aku tertawa riang dan melambaikan tanganku. Tunggu, ya. Ari mandi dulu! Seruku, masih di dalam kamar, di dekat jendela. Aku segera berlari dan mengambil handuk. Pergi ke kamar mandi sambil bernyanyi nyaring. Di dalam kamar mandi, kudengar Egi berteriak nyaring dari balik pintu, menegurku dengan bahasa yang paling halus yang ia punya, Jangan berisik! Tidak boleh menyanyi di kamar mandi! Namun aku bergeming. Kuanggap tidak mendengar sama sekali apa yang ia ucapkan. Aku juga yakin, saat ini, ibu sedang

145

tersenyum sambil menikmati nyanyianku yang jauh lebih-lebih merdu daripada suara Egi. Ketika aku keluar dari kamar mandi, Egi kembali melancarkan jampijampinya, Mandi seperti gajah! Apa maksudnya? Kuharap aku memang memiliki belalai. Aku kembali berlari ke kamar, meninggalkan sisa-sisa air yang jatuh dari tubuhku. Egi kembali berteriak, namun sama sekali tidak mampu kutangkap satu pun kalimatnya. Hahaha ...., sepertinya pagi ini aku berhasil membuatnya kesal. Kugunakan pakaian yang tersetrika rapi di dalam lemari. Heum ...., wangi sekali. Ibu menggunakan pewangi yang kusuka dan menyetrikanya dengan penuh cintatidak pernah terpikir olehku sama sekali bahwa kemungkinan Bi Nuni yang melakukan hal itu. Ini adalah mimpiku! Ketika aku sampai di ruang makan, Budi, Andi, Jamal, Avian, dan Diki, telah duduk manis di depan meja makan. Mereka tersenyum padaku. Entah mengapa, aku sama sekali tidak mampu berkata atau bertanya mengapa kalian ada di sini? Sehingga aku malah duduk bersama mereka. Ayah, ibu, dan Egi juga bersama kami. Ibu telah membuat sarapan yang sangat spesial. Enak bukan main. Entah apa nama makanan ini, mungkin tidak pernah kutemui seumur hidupku. Mungkin nanti akan kuusulkan kepada ibu untuk membuat makanan semacam ini di alam nyata. Pokoknya, sarapan pagi itu adalah momen yang sangat menyenangkan. Aku sama sekali tidak melihat kesakitan di wajah Budi. Ia begitu cerah. Diki juga tidak menampakkan kenakalan yang kutakutkan di depan kedua orangtuaku. Ketika kami akan berangkat, ayah memberi kami uang jajan. Sepertinya kami adalah anak kecil yang bersaudara. Kemudian ibu dan ayah memeluk dan mencium keningku. Aku benar-benar hanya bisa tersenyum. Menikmati pagi ini. Dan anehnya lagi, Egi juga melakukan hal yang sama dengan ayah dan ibu, ia memeluk dan mencium keningku. Agak malu dibuatnya. Tapi ternyata bumi tidak bergoncang dan kiamat masih terasa lama. Semuanya baik-baik saja. Bahkan lebih dari sekedar baik-baik saja. Semuanya hebat!

146

Budi benar-benar sembuh. Ia berjalan dengan normal, tidak mirip bebek atau apapun. Ia bahkan mampu berlari secepat Andi, tersenyum seindah dan seramah Avian, tertawa seringan Diki, dan berbicara selancar Jamal. Ia telah menjadi temanku, lagi. Kami bahkan tidak mengucapkan satu kata pun menyangkut kejadian yang membuatnya hilang. Kami menganggapnya tidak pernah terjadi sama sekali. Dan aku pun tidak mau itu terjadi. Bahkan aku berharap, aku bisa menemukan Om Firman di rumahnya. Sampai di sekolah, bel segera berdering. Kami berhamburan ke kursi masing-masing. Ani dan Mimi masih duduk di depanku. Mereka menawariku kue yang enak sekali, namun masih kalah enak oleh sarapan buatan ibuku. Namun, Mengapa Budi duduk di sini? Seharusnya kan, Diki yang duduk di sini? Kemudian Budi menjawab sambil tersenyum padakusepertinya selalu banyak senyum di depanku, tidak pernah ada orang yang bisa melepaskan senyumnya hari ini! Andi duduk dengan Aik, jadi aku duduk di sini. Aku menoleh ke belakang, ternyata benar. Lalu di mana Diki? Ia duduk di depan, dengan Dodi, sahut Budi sambil mendongak ke depan, di dekat meja guru. Aku terhenyak bukan main. Diki dan Dodi akur. Mereka duduk sambil mengobrol tidak jelasaku tidak mampu mendengar suara mereka, terlalu banyak tawa di sini. Aku benar-benar yakin ini adalah mimpi. Namun, seperti yang kukatakan sebelumnya, ini sangat nyata. Sangat nyata. Jamal dan Avian tetap seperti biasa. Dengan sabarnya Avian mendengar ocehan omong kosongnya Jamal. Kuharap otak Avian tidak meledak karena terlalu penuh oleh kata-kata Jamal. Tapi aku memang meyakini hal itu; pertama, karena ini adalah mimpiku, selama ini semuanya indah, sehingga aku yakin akan berakhir dengan indah juga; kedua, Avian orang yang sangat baik, dia tidak akan jenuhsampai matiuntuk mendengar ocehan teman kami itu.

147

Kemudian, Hepi muncul sambil melenggok di depan kelas, berlagak bagai model di depan cermin kesayangan kami. Ah ..., semuanya normal. Bahkan cermin itu tidak pernah pecah dan masih menggantung di tempatnya. Mungkin, jika ia memiliki wajah, ia akan tersenyum. Beban itu hilang begitu saja. Aku benar-benar mampu merasakan setiap oksigen yang memenuhi paru-paruku. Bahkan mungkin lebih banyak lagi. Dadaku tidak pernah terasa sesak. Bu Yanti muncul dan memberikan pelajaran mengarang sepanjang jam pelajaran. Kami menyelesaikannya. Bahkan Diki mampu membuat karangan yang sangat panjang. Ini benar-benar aneh dan kuyakini tidak akan terjadi di alam nyata. Pulang sekolah, kami bermain di kebun kosong, menikmati buah jambu langsung dari pohonnya. Aku tidak perlu takut dengan kuman atau kotoran yang lain, karena di sini, di dalam mimpiku ini, tidak akan ada kuman nakal yang menempel di buah jambu dan membuat kami sakit perut. Semuanya ada di depanku; Budi, Dodi, Aik, dan yang lainnya; Andi, Avian, Jamal, dan Diki. Bud, kamu kemana saja? Budi hanya tersenyum. Kukira, mungkin memang sebaiknya aku tidak perlu tahu yang sebenarnya. Cukup sampai di sini saja. Dodi juga sama. Aku tidak perlu tahu mengapa ia pergi dan menjadi pengamen jalanan. Saat ini, aku sudah sangat senang melihatnya tersenyum sepanjang waktu. Bahkan ia tidak akan pernah melakukan hal itu. Ia mampu mendongakkan kepalanya. Kami bermain sepanjang waktu. Juga berenang di sungai kecil kami. Ketika ibu membangunkanku untuk salat subuh. Aku segera berlari menuju jendela; di luar masih gelap karena azan pun masih berkumandang, jendela di rumah Budi tidak ada yang menyala sama sekali. Rumah itu tidak menampakkan kehidupan atau ada orang yang hidup di dalamnya. Ibu menarik tanganku, kemudian menyuruhku untuk berwudu. Biasanya, setelah itu, beliau akan menyuruh aku dan Egi ke masjid.

148

Setelah salat subuh dan kaki kami berhasil sampai di ruang makan, ibu telah menyediakan sarapan yang anehnya, adalah makanan yang kulihat dala m mimpiku. Bu, ini makanan apa? Namanya apa? Ibu menoleh ambil tersenyum. Egi melihatku tanpa berkedip. Namanya kue cinta ..., jawab ibu. Kue ini seenak di dalam mimpiku, anehnya, dadaku malah terasa begitu sesak. Hujan mulai turun setetes demi setetes diiringi semilir angin dingin yang mulai meniup gorden, membuatnya melambai-lambai seperti setan. Beberapa menit setelah itu, hujan menderas. Jendela kembali tertutup, mungkin ibu yang menutupnya. Aku segera mandi dan bersiap untuk sekolah. Di dal m kamar, beberapa kali a mataku mengerling pada kaca jendela yang menghadirkan rumah Budi. Jendela itu seperti sebuah figura untuk gambar kenangan yang selalu ingin kulihat. Aku menunggu hujan di depan jendela ruang tamu. Egi juga, ia menghabiskan waktunya sambil membaca sebuah buku tebal. Dahi Egi mengerut, bahkan alisnya hampir bersatu. Ia sangat serius. Pikiranku kembali tertuju pada mimpiku semalam. Budi dan Dodi ..., dan, tentu saja, cermin kelas kesayangan kami. Egi melihat jam dinding dan mulai beranjak. Ia berpamitan kepada ibu sambil mengenakan ponco.

149

06

Bi Nuni masih kaku di depanku. Tubuhnya seperti telah lama berdiam diri di dalam lemari es; membeku. Aku juga demikian. Diam sambil memandanginya. Sebenarnya Bi Nuni bisa saja beralasan dengan apapun. Bisa saja ia bilang bahwa ia sedang merapikan isi lemari ibu. Toh, aku tidak melihat benda apa yang ia pegang. Namun karena kami masing-masing tahu, dan pikiran kami bergelut dengan ke-tahu-an kami itu, maka semuanya memang sudah jelas. Aku segera berlari ke dalam kamar dan mengunci diri dari dalam. Aku hanya diam saja. Membenamkan kepalaku ke dalam bantal. Dan aku yakin bahwa aku sama sekali tidak tertidur. Tidak ada suara apapun yang kudengar. Aku tidak mengerti dengan isi pikiranku sendiri. Aku bahkan tidak mengerti apa yang kulakukan saat ini. Aku bingung dengan semuanya. Aku tidak mau melihat Bi Nuni melakukan itu. Maksudku, mungkin saja semua ini memang harus terbongkar, tapi kenapa harus aku yang mengetahuinya? Tiba-tiba saja aku tersadar, bahwa semuanya memang akan terlihat. Baik itu dengan sendirinya, atau mengakuinya. Aku tercenung dan semakin membenamkan kepalaku ke dalam bantal. Hingga akhirnya, entah berapa jam setelah kejadian aneh yang kulihat, suara ibu terdengar di balik pintu. Ri ..., Ari ..., ini ibu, nak. Aku segera bangkit dan membuka pintu. Ibu, dengan wajah aneh yang tidak dapat kudefinisikan, berdiri di depan pintu. Kami diam saja. Aku juga tak tahu harus melakukan apa. Kemudian terpikir untuk berkata, Bu ..., Bi Nuni .... Bi Nuni sudah pulang. Aku diam lagi. Bi Nuni pulang, tadi pamitan pada ibu, lanjut ibu sambil memegang kedua pundakku. Ibu menekuk lututnya hingga kini wajah kami beradu. Tadi Bi Nuni

150

berpamitan sambil menangis. Dia meminta maaf pada kita. Dan ..., pamit untuk berhenti bekerja. Aku tahu mengapa ibu berkata demikian. Padahal ini adalah penjelasan yang pertama kali kudengar dari orang dewasa berkaitan dengan permasalahan orang dewasa. Aku yakin, ibu pasti tahu bahwa aku telah mengetahui semuanya, seperti yang ibu ketahui juga mengenai siapa sebenarnya yang telah mencuri uang di rumah kami selama ini. Dan ibu menjelaskan kepergian Bi Nuni tanpa perlu menjelaskan kepadaku mengapa dan bagaimana. Kami berdua telah tahu ..., bahwa Bi Nuni ..., menangis dan menyesal. Dia tidak tahu apa yang harus ia lakukan karena telah memanfaatkan kepercayaan yang kami berikan. Ia hanya bisa menangis. Ibu mengajarkanku bahwa kami, manusia, bisa saja khilaf. Ibu juga tidak berkata apapun ketika Bi Nuni menangis dan pergi. Ketika ibu muncul dengan belanjaan di tangannya, Bi Nuni menyambut beliau dengan tangisan tersedu di dapur. Mengetahui hal itu, ibu segera menghampirinya sambil bertanya, Ada apa, Bi? Bi Nuni tidak mampu berkata, ia malah semakin menangis dan ke mudian terus-menerus meminta maaf pada ibu. Maafkan saya, Bu. Maafkan saya. Saat itu, ibu telah tahu bahwa Bi Nuni telah bertaubat. Tidak perlu ada terlalu banyak kata untuk diucapkan, semuanya sudah selesai. Tangisan itu adalah sebuah tanda baru. Bi Nuni sendiri, tidak perlu menungguku untuk mengatakan apa yang kulihat. Walaupun bisa saja aku tidak akan mengatakan apapun. Atau, bisa juga ia berpendapat bahwa aku adalah seorang anak kecil yang tidak akan didengar oleh orang-orang di rumahku, sehingga semuanya berlalu seperti biasa saja. Namun, karena Bi Nuni tidak sejahat itu, ia tahu bahwa kesalahannya telah terbongkar. Allah telah menunjukkan semuanya di hadapan seorang anak kecil. Bahkan Bi Nuni tidak berusaha menutup-nutupi atau bahkan mengejarku ke kamar. Ia kembali ke dapur dan menangis, sampai ibu muncul.

151

Aku yakin pikiran Bi Nuni berkecamuk dengan banyak hal. Sehingga akhirnya ia memutuskan untuk berhenti bekerja. Kukira, baik ibu maupun ayah, sebenarnya akan memaafkan Bi Nuni jika ia menyesal. Namun Bi Nuni sudah memilih jalannya sendiri. Bu, aku ingin menjadi orang jujur .... Ibu tersenyum, memandangiku. Mata kami beradu. Aku ingin lebih banyak belajar kejujuran dari ibu. Karena ibu adalah orang paling jujur yang pernah kutemui. Aku tahu. Masakan dan bumbunya tidak penah berbohong. Pandangannya dan kilauan di matanya juga tidak pernah berbohong. Bahasanya juga tidak pernah berbohong. Aku tahu bahwa Bi Nuni tidak pernah jujur dalam memasak. Ia tidak tahu porsi kejujuran yang seharusnya ia taburkan dalam memasak, sehingga masakannya tidak pernah enakhanya sekedar cukup untuk bisa melewati tenggorokan. Namun masakan ibu sangat berbeda. Aku mampu mengetahui kejujuran itu melalui jumlah garam yang dicampur dalam masakan itu .... Kupikir semua ini adalah masalah kejujuran. Semua orang ... ketika ia menjadi atau berusaha menjadi jujur, akan bisa melakukan sesuatu yang hebat. Seperti ibuku dan masakannya. Bahkan aku melihat kejujuran ibu dari caranya memercayaiku. Beliau tidak pernah menganggapku sebagai anak kecil yang masih kecil. Beliau memberikanku banyak kepercayaan untuk memiliki jawaban dan kata-kata yang kubutuhkan. Ketika aku merasa orang-orang dewasa lain begitu kesulitan untuk memercayaiku karena aku hanyalah seorang anak kecil, ibu adalah o rang dewasa yang berbeda. Ketika orang lain merasa begitu kesulitan untuk menjelaskan sebuah jawaban dengan dalih menggunakan bahasa yang kumengertiyang kudapati malah aku tidak mengerti sama sekali. Namun ibu tidak demikian, ibu akan selalu berusaha membuatku memahaminya dengan bahasanya sendiri. Bantu ibu memasak, ya, ujar ibu kemudian, sambil berdiri dan menarik tanganku. Sekarang kan, Bi Nuni tidak ada. Jadi harus ada yang membantu ibu. Aku membiarkan kakiku melangkah mengikuti ibu, walaupun kemudian bibirku berucap, Aku kan, laki-laki. Aku tidak mau memasak!

152

Ibu tertawa kecil. Aku sempat berpikir bahwa beliau akan berkata, Memangnya lelaki tidak boleh bisa memasak? Karena begitulah yang sering terjadi atau yang sering ku dengar sebagai dalih. Tapi ternyata ibu tidak mengucapkan kalimat itu. Ari jadi pencicipnya, supaya ketahuan enak atau tidak .... Aku mengangguk. Soalnya kita harus masak spesial. Ayah akan pulang hari ini. Loh, bukannya ayah pulang lusa? Tanpa menoleh padaku yang hanya duduk di kursi dekat meja kecil, ibu menjawab, Sebelumnya begitu, tapi semalam ayah menelepon, katanya sudah kangen rumah dan minta dimasakkan makanan yang enak. Aku tersenyum lebar, kendati tahu bahwa ibu belum tentu menoleh untuk mengetahui selebar apa senyumku. ***

Gimana ...? Egi bingung sambil lalu. Ia masih menepekuri makanannya. Jika ia menjawab biasa saja, aku semakin yakin bahwa ia adalah drakula. Apanya? Ia malah balik bertanya. Makanannya ...! Oh ..., ini? Aku mengangguk. Enak. Itu sudah cukup, karena ia jarang memberi pujian. Memangnya kenapa? Kamu yang buat? Aku menggeleng. Bukan. Karena aku takut jika kukatakan bahwa aku yang membuatnya, ia akan memuntahkannya ke mukaku. Tapi, masakan itu memang bukan buatanku, aku hanya mencicipinya saja, kemudian berkata pada ibu bahwa makanan itu sempurna. Eum ...., Kak, kalau Kakak merusak benda kesayangan teman-teman di kelas, apa yang akan Kakak lakukan setelah itu?

153

Seperti biasa, aku selalu memiliki prasangka dengan lontaran kalimat yang akan membuncah dari mulutnya. Kupikir ia akan berkata, Pertanyaan macam apa itu? Namun ternyata ia menjawab, Tentu saja menggantinya. Aku cukup puas dengan jawabannya. Kemudian beranjak, karena aku tidak mau ia bertanya yang macam-macam. Walaupun sebenarnya Egi bukan orang seperti itu. Ia tidak akan bertanya sebenarnya apa yang kutanyakan itu adalah masalahku atau bukan. Namun, kukira sebenarnya Egi tahu apa yang sebenarnya terjadi. Di balik rasa benciku padanya, sebenarnya aku selalu mengaguminya. Ini perasaan jujur yang harus mulai kuakui. Dan minta maaf di depan kelas, lanjutnya, sebelum aku menghilang di balik tangga menuju kamarku. Aku segera mengambil celengan ayam jago di atas meja belajar kemudian memecahkannya. Setelah isi celengan terhitung dan kumasukkan ke dalam tas kecil, aku berlari menuju ruang tengah dan menghubungi Diki. Antar Ari ke pasar. Untuk apa? Nanti Ari beri tahu. Diki ke rumah Ari ya. Selang beberapa menit, Diki sudah berada di depan rumahku dengan sepedanya. Aku tahu mengapa harus menghubungi Diki, karena ia lebih mahir bersepeda dari pada yang lain. Kukira kamu sakit. Aku hanya tertawa kecil. Tidak, cuma tidak bisa berangkat sekolah. Tadi pagi kan, hujan deras sekali. Banyak juga yang tidak sekolah. Kukira juga pasti karena hujan. Sambungnya. Diki yang lebih tahu letak toko yang kuinginkan, segera melaju ke tempat tujuan kami, sebuah toko meubel. Entah mengapa, Diki sama sekali tidak banyak omong, ia tidak bertanya untuk apa aku mencari cermin. Bahkan cermin yang mirip dengan cermin kami yang pecah. Selanjutnya kita ke mana? Tanyanya. Sepertinya ia masih ingin bermain.

154

Aku diam sejenak. Berpikir. Ke rumah Bu Yanti. Diki diam agak lama. Kami berdiri mengapit sepedanya. Aku tahu ..., bukan Hepi yang memecahkan cermin itu. Ujarnya. Aku menoleh. Mulutku mengatup rapat. Aku melihat cermin itu jatuh. Aku tidak kaget. Hanya saja, masih ada sedikit sesak yang menyumbat jantungku. Ya ..., aku yang menjatuhkannya. Sahutku, sambil menunduk, memandangi kakiku yang bergerak berputar-putar memainkan tanah. Suasana hening setelahnya. Lalu, kenapa kamu tidak bilang ke bu guru atau yang lain waktu itu? Kurasa pertanyaan ini lebih kepada pengalihan, atau ..., ah, kurasa aku memang ingin tahu alasan Diki. Mungkin ia kasihan atau merasa bahwa aku adalah temannya yang harus ia tolong. Kurasa ia juga mengerti posisiku. Heum ..., kalau kukatakan yang sebenarnya, tidak ada lagi yang mau memberiku contekan! Jawabnya, kalimatnya lurus seperti rel kereta api. Kupikir itu jawaban bodoh. Tapi jika memang hanya itu yang terlintas di benaknya, aku tidak bisa memaksa. Mungkin dia mengira aku akan marah atau semacamnya, sehingga berhenti memberinya contekan yang kadang tidak sesempurna milik Avian. Kurasa aku tidak akan marah. Tapi ... ah, entahlah. Kupikir, aku sangat takut waktu itu. Bisa jadi aku akan malu sekali. Dan rasa malu itu membuatku membenci Diki. Tapi aku akan mengaku. Sambungku. Besok aku akan meminta maaf di depan kelas. Entah apa yang sudah merasuki kepalakusepertinya kalimat Egi memang jampi-jampi atau mantra, karena ia mampu merasuki pikiranku sehingga kepikiran untuk melakukan itu. Aku juga tahu itu. Kamu tidak bisa makan, kan? Apa hubungannya ...? Diki tersenyum sinis. Tapi senyum itu berbeda dari biasanya. Biasanya senyumnya dipenuhi nafsu jahat. Tapi kini berbeda. Selanjutnya ia segera menyuruhku naik ke sepedanya. Kami pergi ke rumah Bu Yanti. Satu-satunya hal yang kupikirkan sekarang adalah alasan apa yang akan

155

kusampaikan jika Bu Yanti bertanya mengapa tadi pagi aku bolos. Setelah kupikir ratusan kali, jawabannya sudah jelas. Sebuah kejujuran. Karena pagi tadi hujan, maka aku tidak bisa berangkat sekolah. Jika Bu Yanti tidak bisa menerimanya, terserah padanya. Toh, begitulah kenyataannya. Setelah itu isi pikiranku dipenuhi berbagai kemungkinan yang akan terjadi di depan Bu Yanti nanti. Rumah Bu Yanti tidak begitu besar. Namun terlihat asri dengan pohon buahbuahan di bagian samping dan belakang. Di halaman depan rumahnya banyak bunga-bunga kecil dan menjalar. Bahkan, bunga-bungaan itu masih menghiasi terasnya. Bunga-bunga itu tumbuh di dalam pot yang berasal dari batok kelapa. Pantas saja kelas kami penuh bunga, sepertinya ini memang ide beliau. Bu Yanti muncul setelah Diki mengucapkan salam dengan berteriak tiga kali. Aku baru pertama kali melihat beliau tanpa seragam mengajar atau batik. Beliau nampak berbeda, lebih mirip wanita biasa. Tapi masih tetap rapi seperti biasa dan lebih ramah daripada di sekolah. Ari? Mari masuk? Saya tidak diminta masuk juga, Bu? Tanya Diki, iseng. Kamu juga .... Aku yakin Bu Yanti akan menanyakan hal ini, Mengapa hari ini tidak sekolah? Dan aku yakin Bu Yanti sudah tahu jawabanku, Hujan deras, Bu. Makanya beliau mengangguk tanpa ragu. Wah ..., itu apa? Sempat kulihat pandangan mata Diki, seolah berkata, Jangan ge-er deh, bu. Ini bukan buat ibu. Maka aku segera berkata, Begini, bu. Ini cermin untuk mengganti cermin kelas kita. Kemudian aku diam, mencoba memilah-milah kata yang pas untuk menyampaikan maksudku. Diki diam saja, ia melemparkan pandangannya pada ruangan yang dipenuhi gambar bunga, mulai dari gorden, lukisan, foto, hingga ukiran gelas untuk kami. Bu Yanti menyela, O, begitu. Tapi kamu tak perlu mengganti cermin ini.

156

Rasanya, Bu Yanti memandangku terlalu tinggi. Sama halnya dengan yang lain. Oh ..., entahlah, tiba-tiba saja aku merasa takut. Aku tidak mau Bu Yanti menjadi berubah membenciku karena melakukan hal ini. Namun, langkahku sudah sampai di sini dan Diki bersamaku. Apa katanya nanti? Bu ..., eum ... Sebenarnya. Bukan Hepi yang memecahkan cermin itu. Diki menatapku, aku tidak begitu mengerti apa isi pikirannya, mungkin semacam menunggu sebuah kejujuran yang seharusnya meluncur dari mulutku selama ini. Sedangkan Bu Yanti diam, menungguku untuk meneruskan kalimatku. Aku juga tidak tahu apakah Bu Yanti segera berprasangka bahwa aku-lah yang memecahkan cermin itu, tapi beliau masih ingin tahu apa yang terjadi. Kemudian beliau mengangguk, pelan sekali, bahkan seperti tidak mengangguk, mungkin memberiku isyarat untuk melanjutkan kalimatku lagi. Ketika Ari sendirian di dalam kelas, dan berlari dengan tergesa, tiba-tiba cermin itu pecah. Ari tidak tahu ... Mengapa cermin itu pecah. Tapi ..., mungkin tersenggol penggaris yang Ari senggol. Aku menunduk. Telah siap dengan segala pertanyaan selanjutnya. Atau mungkin lebih parah lagi, Bu Yanti akan marah karena aku tidak mengatakan hal ini sejak awal. Mungkin Bu Yanti tidak perlu menuduh Hepi atau siapapun jika aku mengatakannya lebih awal. Namun yang kulihat, Bu Yanti sedang menghela napas. Dia tidak tersenyum, tidak pula murka. Aku hanya mampu melihat kilatan matanya. Kurasa, beliau memang kecewa. Aku kembali menunduk. Diki duduk di dekatku, semakin dekat. Seolah berkata, Tenang saja, jika Bu Yanti memukulmu, aku akan membelamu! Sehingga sedikitnya aku merasa ada rongga di dadaku. Ari akan minta maaf di depan kelas besok, Bu. Tiba-tiba Diki berkata. Bu Yanti mengusap wajahnya dan kembali menghela napas. Terus terang ibu tidak menyangka .... Kucoba untuk mendongakkan kepalaku, memandang wajah Bu Yanti. Namun aku tidak mampu. Aku hanya mampu melihat dunia di luar diriku yang mulai memanas. Maksud ibu? Diki kembali berkata.

157

Ada jeda, entah apa yang terjadi. Aku tidak mampu melihatnya karen terus a menunduk. Selama ini ibu percaya pada Ari .... Namun, mengapa Ari tidak percaya pada ibu? Aku diam. Walaupun, sedianya, Bu Yanti mengharapkan jawaban dariku, atau setidaknya, aku mampu membuka mulutku. Pikiranku kosong. Aku bahkan tidak memiliki kata-kata yang telah kusiapkan sebelumnya. Tapi sekarang Ari, kan, sudah bilang ke ibu, kata Diki lagi, diselingi dengusan napas Bu Yanti. Sepertinya beliau memang menginginkan aku yang berbicara, bukan Diki. Ari takut, Bu ..., jawabku, pada akhirnya. Takut kenapa? Takut teman-teman menjauhi kamu? Aku menggeleng, Takut Bu Yanti tidak percaya lagi pada Ari. Walaupun aku tidak tahu betul apa yang sedang mengisi kepalaku untuk menjawab pertanyaan Bu Yanti, namun kalimat itu meluncur begitu saja. Bu Yanti kembali menghela napas. Aku tahu bahwa aku benar-benar salah. Artinya, saat ini, aku telah benarbenar kehilangan kepercayaan Bu Yanti. Kemudian kami diam. Diki juga diam. Jika boleh memutar waktu, mungkin aku akan memilih untuk tidak melakukan hal bodoh ini. Ah, perutku seperti berputar dan siap memuntahkan semua isinya. Baik, ibu tunggu besok di kelas. Sebelum pelajaran dimulai, ibu akan memberi waktu untuk Ari meminta maaf di depan kelas. Terutama pada Hepi, ujar Bu Yanti, benar-benar tegas, ini bahkan lebih tegas dari pada ketika beliau menghukum Diki. Aku mengangguk. Kemudian kami pamit. Ketika menyalami Bu Yanti, kurasakan tangannya begitu kaku. Aku tidak berani bertanya pada Diki apakah ia merasakannya juga. Aku tidak mau mengetahui hal yang lebih buruk lagi. Bahkan, Bu Yanti tidak menyongsong kami di depan rumahnya.

158

Cermin itu masih kupegang. Kemudian duduk di belakang Diki. Kami mulai melaju meninggalkan rumah Bu Yanti. Begitu aku menoleh, kulihat gorden di dalam jendela rumah Bu Yanti bergerak. Kita akan ke mana lagi? Tanya Diki. Aku diam. Masih merasakan sesak yang tak tertahan. Aku ingin kembali menangis kencang. Kita ke rumah Andi, Avian, dan Jamal saja. Diki tidak mengangguk atau menjawab. Kurasa dia sepakat. Aku ingin teman-temanku itu yang pertama tahu apa yang terjadi sebelum semuanya. Sebenarnya, aku benar-benar takut. Dan meyakini satu hal hingga aku dewasa, bahwa aku seorang pengecut sejati. Tapi bukankah kita bisa memilih, untuk menjadi pecundang, pemenang tanpa bertarung, atau sebaliknya? Dalam hal ini, kurasa aku memang bukan pemenang, tapi juga bukan pecundang. Karena setidaknya, aku berusaha melawan kepengecutanku. Aku yakin Avian akan mengerti. Dia selalu tahu apa yang terjadi. Kad ang kupikir ia terlalu dewasa untuk ukuran anak seusianya. Begitupun Jamal, walaupun ia akan banyak berkata dan mengomel, ia tidak akan membiarkan orang lain mengomeliku melebihi dirinya. Dan Andi, entahlah, kami sudah berteman sejak kecil. Mungkin ia akan menganggap semuanya baik-baik saja. Merasa bahwa sebelum ini dan setelahnya, tidak pernah terjadi apapun. Kuharap besok baik-baik saja. Walaupun aku tahu, pasti Hepi marah besar. Namun aku telah belajar, konsekuensi yang akan kuambil. Satu telah hilang, dan muncul yang berikutnya. Setelah ini, aku benar-benar tidak akan lagi membohongi diriku dan orang lain yang memercayaiku. Sebenarnya bukan hanya aku yang tahu ..., ujar Diki, aku benar-benar membutuhkan pengalih perhatian agar pikiranku tidak terasa membekapku. Siapa lagi, Dik? Tanyaku, harap-harap cemas. Satu sisi aku ingin tahu, sisi yang lain aku takut untuk tahu. Avian ....

159

Aku diam. Pantas saja, dulu ia setuju ketika kubilang bukan Hepi yang memecahkan cermin itu. Lalu ..., Avian membenciku? Tak mungkin-lah! Seru Diki. Bahkan dia yang menyuruhku untuk tidak mengatakannya pada siapapun. ***

Kami duduk melingkar; aku, ayah, ibu, dan Egi. Kami tidak membahas masalah Bi Nuni. Kukira ibu pasti sudah memberitahu ayah. Dan Egi sudah tahu bahwa Bi Nuni sudah tidak bekerja lagi. Kukira, dalam beberapa hari Egi akan tahu mengapa Bi Nuni pergi. Aku-lah orang yang paling mungkin

mengatakannya. Tapi tidak hari ini, mungkin besok atau lusa, atau ketika Egi benar-benar ingin menanyakannya. Kami makan malam dengan normal. Bahkan terlalu normal untuk dikatakan normal. Ketika selesai, seperti biasa, aku membantu ibu merapikan piring-piring kotor ke dalam tempat cuci piring, kemudian berlari menuju kamar Egi. Ku ketuk kamar Egi yang sebenarnya tidak tertutup rapat. Ngapain?! Aku sudah siap dengan hal itu, tapi aku bingung harus berkata apa. Maka aku diam saja. Egi membuka pintunya lebar-lebar sambil meluncur di kursi belajarnya. Ia tidak mengatakan apapun, hanya sebuah isyarat dari pandangan matanya yang tajam. Aku duduk di atas kasurnya, ia membelakangiku dengan buku tebal di depannya. Ari sudah menggantinya, dan akan meminta maaf di depan kelas besok .... Awalnya, Egi diam saja. Bahkan kukira ia tidak akan memedulikanku. Namun kemudian ia berbalik. Tanpa buku di tangannya. Matanya menusuk mataku. Dan tangannya terlipat di dada.

160

Bagaimana rasanya? Katanya, dengan wajah super jutek. Aku bingung menggambarkan semua ini. Takut ..., jawabku kemudian. Ia berdiri dan kemudian duduk di sampingku. Tangannya mulai mengacakacak rambutku. Aku melerainya dengan satu gerakan. Namun kemudian ia meraih pundakku dan merangkulnya.. Tak apa-apa .... Tapi ..., aku takut kehilangan teman-temanku. Kamu kan, sudah kehilangan ..., siapa itu, eum .... Budi? Ya, Budi. Kurasa Egi memang sebenarnya mengetahui duniaku. Ia tahu bahwa aku benar-benar kehilangan Budi. Atau sebenarnya ia hanya menebak saja? Siapa sih, yang tidak tahu bahwa seluruh keluarga Budi pergi? Dan siapa juga yang tidak tahu bahwa aku berteman dengan Budi? Maka semua tetanggaku pun tahu bahwa aku kehilangan Budi. Ari sudah mengatakan semuanya pada Bu Yanti ..., tapi Bu Yanti sepertinya marah pada Ari. Egi diam, tangannya masih merangkul pundakku. Kurasa, saat ini kami benar-benar bersaudara. Dan aku sangat senang memanggilnya kakak. Dan teman-teman Ari, mereka merasa aneh dan heran. Tapi mereka tidak marah. Kami diam, Egi membelai kepalaku. Bukankah itu sudah cukup? Kupandang wajah Egi, aku tidak mengerti. Ada beberapa orang yang memercayaimu. Setidaknya .... Kamu tak perlu banyak orang untuk ada di belakangmu. Cukup mereka yang percaya saja. Kalau kehilangan yang lain ..., itu kan resiko yang harus diterima atas kesalahan yang telah kita buat. Setidaknya kita tidak kehilangan orang-orang yang kita sayang. Sejujurnya aku kurang memahami maksud Egi. Tapi sepertinya ucapan itu cukup memotivasi diriku untuk tidak merasa terpuruk. Sehingga besok, tetap melakukan sesuatu yang seharusnya kulakukan.

161

Butuh keberanian besar untuk memperbaiki semua itu, kata Egi, lebih kepada dirinya sendiri. Namun tentu saja aku mendengarnya. Beberapa orang memiliki cara sendiri dalam memperbaiki masalahnya. Pikiranku mulai melayang pada Bi Nuni yang memilih untuk menangis dan berhenti bekerja. Kemudian Om Firman yang bunuh diri, dilanjutkan oleh keluarganya yang pindah entah ke mana, kemudian Dodi yang akhirnya pergi dan berhenti sekolahmungkin. Seharusnya Om Firman memperbaikinya bersama Budi, bukan malah meninggalkan Budi begitu saja. Aku sempat mengkhawatirkan Budi kelak. Aku tidak mau membayangkan Budi akan seperti apa. Aku hanya mampu menitipkan doa untuknya, semoga ia baik-baik saja. Begitupun Dodi. Kuharap ia bisa memperbaiki segalanya. Dalam hal ini, aku pernah sangat membenci Diki yang, menurutku, menjadi penyebab masalah yang menimpa Dodi. Namun, dibalik itu semua, Diki mampu melihat. Kurasa ..., Diki sudah memperbaiki dirinya sendiri. Apakah Ari harus mengatakan hal ini pada ayah dan ibu? Egi menatap wajahku dalam-dalam. Apakah kamu masih kurang memercayaiku? Artinya, jawaban Egi adalah tidak. Mungkin memang tidak segala sesuatu yang kurasakan harus diketahui orangtua. Kendati kemudian Egi berkata, Tapi aku yakin, ayah dan ibu akan sepakat dengan tindakanmu. Egi kembali membelai kepalaku. Akhirnya, aku memang bisa memercayai Egi. Dan itu sudah cukup. Benar kata Egi, sedikitnya, ada orang-orang yang masih memercayaiku. Walaupun mungkin besok semua teman sekelas membenciku, aku masih memiliki Diki, Avian, Jamal, dan Andi, juga keluargaku. ***

Hujan mulai turun setetes demi setetes. Malam ini semakin dingin. Pandanganku menerawang ke langit-langit, seiring dengan pikiranku yang terus melayang, mencoba menghampiri esok hari. Padahal aku tidak berani berpikir mengenai apa yang akan terjadi ....

162

Lampu kamar telah kupadamkan enam puluh menit yang lalu. Tapi sampai saat ini mataku belum juga terpejam. Kucoba membayangkan macam -macam hal yang menyenangkan. Mulai dari masakan ibu, bermain bersama teman -teman, berlari dibawah hujan, membaca koran sore bersama ayah, melihat senyum Egi yang tulus, dan semacamnya. Namun tidak berhasil menahan keinginan untuk berteriak kencang. Aku tidak mau mencoba untuk memukul dinding karena sudah tahu bagaimana rasanya, apalagi membenturkan kepalaku. Pastinya itu akan menghilangkan ingatanku untuk selama-lamanya. Ketika aku benar-benar merasa tak mampu tidur, pikiranku benar-benar sadar pada pukul sebelas malam. Ternyata Egi tengah berbaring di sampingku, pantas saja terasa hangat, padahal di luar gerimis masih membasahi jalanan, pohon, halaman, dan genting. Selanjutnya, mataku benar-benar mampu terlelap dan tak terbuka lagi sampai ibu membangunkanku. Egi sudah tak ada di sini. Namun, ia masih akan mendengarkanku.

Untuk Umi dan pa It s will be nothing without your love




Bandung, 2006

163

164

Anda mungkin juga menyukai