Anda di halaman 1dari 4

Ditulis Oleh : Azis pata "murid-murid bersorak gembira ketika jam sekolah berakhir, kegembiraan pun meluap setiap

kali guru tidak hadir, walau ketidak hadirannya dikarenakan sakit. Bila jam istirahat tiba, para siswa bergegas keluar, seolah-olah pada jam sekolah mereka disiksa dan tertekan. Saat-nya datang ujian, para siswa seperti dihantui beban berat, dan berakhirnya ujian seolah masa bersejarah datangnya kemerdekaan. Suasana riang gembira pasca Ebtanas (saat ini Ujian Nasional (UN)), sama sekali bukan karena hasinya baik, tapi karena terbebas dari pola penyeragaman. Bebas dari pakaian seragam, bebas dari upacara senin, juga bebas dari mengarang dan menggambar yang seragam." Demikian gambaran kelas belajar kita dalam surat terbuka Eep Syaefulloh Fatah kepada Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas), yang saat itu dipimpin oleh Yahya Muhaimin. Kritik serupa sering pula kita baca dan kita dengar dari para ahli dan pemerhati pendidikan di Indonesia melalui buku, media cetak atau melalui media elektronik. Dengan suasana kelas belajar yang demikian, mustahil menjadi wahana belajar yang mendorong bagi berkembangnya potensi peserta didik sehingga menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab untuk terwujudnnya watak serta peradaban bangsa yang bermartabat. Inilah yang mendorong DPR RI dan Pemerintah tahun 2003 mengeluarkan UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) sebagai pengganti UU Sisdiknas lama, yang dikenal dengan UU No 2 Tahun 1989. Keluarnya UU No 20 Tahun 2003 tersebut, dilatarbelakangi oleh sebuah keyakinan bahwa UU Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional tidak memadai lagi dan perlu diganti serta perlu disempurnakan agar sesuai dengan amanat perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Keyakinan tersebut tetuang dalam mukadimah UU Sisdiknas

Sekedar mengingatkan, berikut petikan salah satu pasal dan ayat dari UU No 20 Tahun 2003; Pada Bab I pasal I dan ayat I tertulis, Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual kegamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara. Pengertian pendidikan di atas sebagai pengganti dari pengertian pendidikan yang tercantum pada bab, pasal, dan ayat yang sama pada UU No 2 Tahun 1989 yang berbunyi, Pendidikan adalah usaha terencana meningkatkan kualitas peserta didik dengan cara mengajar, melatih, dan membimbing agar siap menghadapi masa depan. Ada hal yang patut kita perhatikan dari kedua pengertian pendidikan di atas. Yang pertama posisi dan peran guru, dan kedua posisi dan peran peserta didik. Pada UU Sisdiknas yang lama kita temukan bahwa posisi dan peran guru adalah sosok dominan peningkatan kualitas siswa. Sementara siswa adalah manusia yang diposisikan sebagai sosok yang pasif, yakni diajar, dilatih, dan dibimbing. Sedangkan pada UU Sisdiknas yang baru, kita temukan bahwa guru hanyalah fasilitator bagi terwujudnya suasan belajar dan proses pembelajaran yang mendorong siswa secara aktif mengembangkan potensi dirinya. Inilah perubahan fundamental terhadap paradigma pendidikan yang terjadi di Indonesia saat ini Jadi upaya guru hanyalah mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran. Apabila seorang guru masih memposisikan dan menjalankan perannya sebagai pengajar, pelatih, atau pembimbing, maka guru tersebut telah melakukan perbuatan melawan hukum, atau subpersi, dan wajib dihukum. Permasalahannya kemudian, suasana dan proses pembelajaran yang bagaimanakah sehingga dapat mendorong peserta didik aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak

Secara garis besar, pertanyaan ini tidak terlalu sulit untuk dijawab. Sebab pada Bab III, pasal 4 UU Sisdiknas yang baru tersebut telah dinyatakatakan Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. Bagaimanakah implementasinya dalam kelas? Untuk menjawab pertanyaan ini, ada bebeberapa hal yang harus digaris bawahi; Pertama, yang menjadi pusat perhatian adalah siswa aktif mengembangkan potensinya sendiri. Kedua, upaya guru hanyalah mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran. Ketiga, Potensi yang dikembangkan bukan pengetahuan tetapi kekuatan spiritual keagamaan, penguasaan diri, kepribadian baru kemudian keterampilan. Keempat, berorientasi pada pengembangan potensi diri bukan hafalan dan keterampilan menjawab tes. Implikasinya yang diperlukan oleh guru bukan luas dan dalamnya bahan pelajaran, melainkan kompetensinya. Dalam pelajaran bahasa misalnya, kompetensi berkomunikasi, dan lebih penting lagi adalah kepercayaan diri untuk berkomunikasi, bukan pengetahuan kalimat aktif atau pasif atau kaitan dengan waktu, past tense, presentense atau future tense. Mengendalikan diri ketika berbicara dengan pihak lain tidak emosional tapi tetap rasional. Kompetensi berpikir sistimatik dan logis dalam berkomunikasi adalah kompetensi-kompetensi dalam pelajaran bahasa inggris. Yang aktif dalam pelajaran bahasa adalah siswa, bahkan melulu siswa. Guru hanya menciptakan suasana belajar dan proses pe,mbelajaran. Model pembelajaran semacam ini harus mendorong siswa untuk aktif. Untuk mendorong siswa, guru memerlukan media pembelajaran, yang bisa mengintegrasikan pengembangan potensi sebagai tujuan, beberapa bahan pelajaran sebagai alat bantu, dan mengikat siswa dalam proses pembelajaran secara pribadi atau perseorangan. Secara sederhana paradigma baru ini disebut Paradigma Pembelajaran Berpusat Siswa (Student Centered Learning) , unsur-unsurnya adalah sebagai berikut; Pertama, Guru berperan sebagai fasilitator yang mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran. Kedua, siswa aktif

perbaikan, bukan memilih dan memilah apalagi mendiskriminasi siswa dalam golongan bodoh dan pintar. Pembelajaran semacam ini, menemui kendala dari kemampuan guru sendiri, karena guru tidak memiliki pengalaman pembelajaran baru tersebut. Disamping guru yang tidak punya pengalaman praktek kelas yang mendorong siswa aktif, birokrat pendidikan pun sama saja awamnya terhadap paradigma baru tersebut. Beberapa orang konseptor di pusat, tidak cukup untuk menyebarkan praktek kelas baru ini kepada guru yang jumlahnya hampir 28 juta, dalam waktu yang sesingkatsingkatnya. Pembaharuan ini tidak perlu tergesa-gesa, harus disengaja dan terencana dalam pendidikan guru professional yang akan dilahirkan. Bahkan tidak perlu dipaksakan pada guru yang ada sekarang. Gagasan ini lebih ditujukan pada upaya pemunculan guru baru lewat pendidikan profesi guru. Sepatutnya para musyrif di ma'had sunan Ampel Al-aly bisa mengerapkan metode yang paling kreatif guna tidak menjadikan seluruh mahasantri tidak bosan akan kegiatan di ma'had

Anda mungkin juga menyukai