Anda di halaman 1dari 9

Mengenal biodiesel: karakteristik, produksi, hingga performansi mesin (1)

Sumber: Berita Iptek Topik: Mesin Tags: Bahan bakar nabati, biodiesel, Bioethanol Bahan bakar nabati (BBN) bioethanol dan biodiesel merupakan dua kandidat kuat pengganti bensin dan solar yang selama ini digunakan sebagai bahan bakar mesin Otto dan Diesel. Pemerintah Indonesia telah mencanangkan pengembangan dan implementasi dua macam bahan bakar tersebut, bukan hanya untuk menanggulangi krisis energi yang mendera bangsa namun juga sebagai salah satu solusi kebangkitan ekonomi masyarakat. Pesan ini jelas tertuang dalam pernyataan resmi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono seusai melakukan rapat kerja Sabtu-Ahad (1 2 Juli 2006) yang digelar di Losari, Magelang (Nusrat, 2006). BBN memenuhi dua syarat utama sebagai sumber energi baru: (1) Tidak menciptakan ketergantungan; karena bahan baku BBN dapat dibudidayakan di bumi Indonesia, dan (2) Ramah lingkungan. Emisi pembakaran BBN yang juga merupakan gas rumah kaca, yakni CO2, pada prinsipnya akan diserap kembali oleh tanaman sumber BBN. Terbukti telah terjadi penurunan emisi CO2 sebesar 12% di Brazil setelah negara ini menggunakan bioethanol dalam skala besar (Riberio dkk, 1997). Kontinuitas penggunaan BBN memerlukan kontinuitas suplai bahan baku dalam jumlah besar, hal ini memerlukan keterlibatan masyarakat yang sekaligus berpotensi meningkatkan taraf hidup mereka. Tulisan ini bertujuan untuk memberikan pemahaman seputar biodiesel, mulai dari karakteristik, produksi, hingga performansi mesin yang menggunakan biodiesel sebagai bahan bakar. Bagian pertama tulisan ini membahas pengertian seputar minyak tumbuhan dan biodiesel serta karakter utama yang membedakannya. Juga dibahas beberapa jenis bahan baku yang umum digunakan di berbagai negara untuk membuat biodiesel. Minyak (tumbuhan) mentah, SVO, dan Biodiesel Biodiesel didefinisikan sebagai metil ester yang diproduksi dari minyak tumbuhan atau hewan dan memenuhi kualitas untuk digunakan sebagai bahan bakar di dalam mesin diesel (Vicente dkk, 2006). Sedangkan minyak yang didapatkan langsung dari pemerahan atau pengempaan biji sumber minyak (oilseed), yang kemudian disaring dan dikeringkan (untuk mengurangi kadar air), disebut sebagai minyak lemak mentah (Soeradjaja, 2005). Minyak lemak mentah yang diproses lanjut guna menghilangkan kadar fosfor (degumming) dan asamasam lemak bebas (dengan netralisasi dan steam refining) disebut dengan refined fatty oil atau straight vegetable oil (SVO) (Soeradjaja, 2005a). SVO didominasi oleh trigliserida sehingga memiliki viskositas dinamik yang sangat tinggi dibandingkan dengan solar (bisa mencapai 100 kali lipat, misalkan pada Castor Oil (Conceicao, 2005)). Oleh karena itu, penggunaan SVO secara langsung di dalam mesin diesel umumnya memerlukan modifikasi/tambahan peralatan khusus pada mesin, misalnya penambahan pemanas bahan bakar sebelum sistem pompa dan injektor bahan bakar untuk menurunkan harga viskositas. Viskositas (atau kekentalan) bahan bakar yang sangat tinggi akan menyulitkan pompa bahan bakar dalam mengalirkan bahan bakar ke ruang bakar. Aliran bahan bakar yang rendah akan menyulitkan terjadinya atomisasi bahan bakar yang baik. Buruknya atomisasi berkorelasi langsung dengan kualitas pembakaran, daya mesin, dan emisi gas buang.

Dalam reviewnya, Bozbas (2005) menguraikan berbagai permasalahan yang timbul pada penggunaan SVO dalam mesin diesel dan alternatif solusinya. Pemanasan bahan bakar sebelum memasuki sistem pompa dan injeksi bahan bakar merupakan satu solusi yang paling dominan untuk mengatasi permasalahan yang mungkin timbul pada penggunaan SVO secara langsung pada mesin diesel. Bernardo dkk (2003) menggunakan minyak mentah Camelina Sativa, yang didapatkan dengan pengepresan (cold press) pada biji Camelina Sativa dan penyaringan (filtered), sebagai bahan bakar mesin diesel dan mengujinya pada kendaraan sejauh 426,4 km. Kendaraan yang sama juga digunakan untuk menguji bahan bakar solar sejauh 431,4 km guna mendapatkan perbandingan performansi antara minyak mentah Camelina Sativa dan solar. Mereka menggunakan pemanas khusus minyak Camelina Sativa sebelum memasuki ruang bakar. Secara umum, hasil pengujian Bernardo dkk (2003) menunjukkan bahwa minyak mentah Camelina Sativa memiliki performansi yang sebanding dengan solar. Namun demikian, Soeradjaja (2005b) menekankan perlunya pengujian jangka panjang untuk memastikan kompatibilitas mesin diesel konvensional terhadap SVO. Pada umumnya, orang lebih memilih untuk melakukan proses kimiawi pada minyak mentah atau refined fatty oil/SVO guna menghasilkan metil ester asam lemak (fatty acid methyl ester FAME) yang memiliki berat molekul lebih kecil dan viskositas setara dengan solar sehingga bisa langsung digunakan dalam mesin diesel konvensional. Biodiesel umumnya diproduksi dari refined vegetable oil menggunakan proses transesterifikasi. Proses ini pada dasarnya bertujuan mengubah [tri, di, mono] gliserida berberat molekul dan berviskositas tinggi yang mendominasi komposisi refined fatty oil menjadi asam lemak methil ester (FAME). Sebagai contoh, perbandingan karakteristik antara refined vegetable oil dan biodiesel yang dihasilkan dari tumbuhan jenis Brassica carinata (Bouaid dkk., 2005) terhadap solar dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini: Tabel 1 Beberapa karakteristik vegetable oil dan biodiesel dari Brassica carinata, serta solar

a b

data dari Ramadhas, dkk. (2005) data dari Bernardo, dkk. (2003)

Tabel 1 menunjukkan bahwa transesterifikasi refined vegetable oil menjadi biodiesel mengubah harga viskositas dan kadar asam secara signifikan. Harga viskositas biodiesel tidak jauh berbeda dengan solar; menunjukkan bahwa biodiesel dari Brassica Carinata memiliki karakteristik alir yang tidak jauh berbeda dengan solar, sehingga diprediksi tidak akan menimbulkan masalah yang berarti bila digunakan secara langsung pada mesin diesel konvensional. Sedangkan viskositas refined vegetable oil yang sangat tinggi (lebih dari 10 kali lipat) menunjukkan bahwa dengan daya pemompaan yang tetap, minyak ini akan

berpotensi menimbulkan masalah pada sistem injeksi bahan bakar, bila tidak dilakukan tambahan peralatan/modifikasi pada mesin dan atau sistem penyaluran bahan bakar. Bahan Baku Biodiesel Azam dkk (2005) mengkompilasi berbagai hasil riset di India tentang BBN biodiesel dan menemukan 75 spesies tanaman yang bisa menghasilkan biodiesel; 26 spesies diantaranya, termasuk Jathropa Curcas (Jarak Pagar), yang memenuhi standar kualitas USA, Jerman, dan Eropa. Soeradjaja (2005a) menyebut adanya 50 spesies tanaman di Indonesia yang bisa menghasilkan biodiesel, contoh yang populer adalah sawit, kelapa, jarak pagar, kapok atau randu. Vicente dkk. (2006) meneliti beberapa spesies tanaman penghasil biodiesel di Spanyol, diantaranya bunga matahari, rapeseed, dan Brassica carinata. Mereka menyimpulkan bahwa viskositas, peroksida, dan asam dari biodiesel yang dihasilkan oleh ketiga spesies di atas memenuhi standard Uni Eropa, sedangkan kadar iodine biodiesel dari bunga matahari dan Brassica carinata lebih tinggi dari standard Uni Eropa. Canoira dkk. (2005), juga dari Spanyol, setelah meneliti Jojoba oil-wax menyimpulkan bahwa biodiesel yang dihasilkan dari Jojoba (Simmondsia chinensis Link Schneider) memenuhi standard biodiesel Eropa (EN14214). Tsai dkk. (2005) menguraikan telah beroperasinya fasilitas pengolahan limbah minyak pangan di Taiwan yang berkapasitas 3,000 ton metrik per tahun. Limbah tersebut didapatkan dari berbagai sumber, seperti restoran, rumah makan, rumah tangga, hingga perusahaan-perusahaan yang menghasilkan limbah minyak pangan dalam proses produksinya. Dengan menggunakan proses transesterifikasi, Taiwan telah berhasil mengubah limbah minyak pangan nya menjadi biodiesel. Hal ini berdampak ganda: mengurangi limbah cair ke lingkungan sekaligus mendapatkan BBN biodiesel yang ramah lingkungan. Pustaka - Azam, M. M., Waris, A., Nahar, N. M., Prospect and potential of fatty acid methyl esters of some non-traditional seed oils for use as biodiesel in India, Biomass and Bioenergy, 29, 293-302 (2005) - Bernardo, A., Howard-Hildige, R., OConnel, A., Nichol, R., Ryan, J., Rice, B., Roche, E., Leahy, J. J., Camelina oil as a fuel for diesel transport engines, Industrial Crops and Products, 17, 191-197 (2003) - Bouaid, A., Diaz, Y., Martinez, M., Aracil, J., Pilot plant studies of biodiesel production using Brassica Carinata as raw material, Catalysis Today, (2005) - Bozbas, K., Biodiesel as an alternative motor fuel: Production and policies in the European Union, Renewable & Sustainable Energy Reviews, 1-12 (2005) - Canoira, L., Alcantara, R., Garci$B!&(BMartinez, Ma. J., Carraso, J., Biodiesel from Jojoba oil-wax: Transesterification with methanol and properties as fuel, Biomass and Bioenergy (2005) - Conceicao, M. M., Candeia, R. A., Dantas, H. J., Soledade, L. E. B., Fernandes, Jr., V. J., Souza, A. G., Theological Behavior of Castor Oil Biodiesel, Energy & Fuels, 19, 21852188 (2005) - Nusrat, M., Pertemuan Losari, Awal Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat, Kompas, 3 Juli (2006) - Soeradjaja, T. H., Energi alternatif biodiesel (Bagian 1), http://www.kimia.lipi.go.id/index.php?pilihan=berita&id=13 (2003a) - Soeradjaja, T. H., Energi alternatif biodiesel (Bagian 2), http://www.kimia.lipi.go.id/index.php?pilihan=berita&id=13 (2003b) - Tsai, W.-T., Lin, C.-C., Yeh, C.-W., An analysis of biodiesel fuel from waste edible oil in

Taiwan, Renewable & Sustainable Energy Reviews, 1-22 (2005) - Vicente, G., Martinez, M., Aracil, J., A comparative study of vegetable oils for biodiesel production in Spain, Energy & Fuels, 20, 394-398 (2006)

http://www.kamusilmiah.com/mesin/mengenal-biodieselkarakteristik-produksi-hingga-performansi-mesin-1-2/

Mengenal Biodiesel: Karakteristik, Produksi, hingga Performansi Mesin (3)


Sumber: Berita Iptek Topik: Mesin Setelah mengulas karakteristik umum, bahan baku, dan teknik produksi biodiesel, Bagian ke3 dari seri Mengenal Biodiesel ini akan mengulas beberapa parameter penting yang seringkali dipergunakan sebagai tolok ukur kualitas bahan bakar biodiesel. Beberapa parameter tersebut adalah: angka cetane, viskositas, sifat bahan bakar pada temperatur rendah (cloud point, pour point), angka iodine, penyimpanan dan stabilitas, serta efek pelumasan (lubricant). Angka Cetane Angka cetane menunjukkan seberapa cepat bahan bakar mesin diesel yang diinjeksikan ke ruang bakar bisa terbakar secara spontan (setelah bercampur dengan udara). Angka cetane pada bahan bakar mesin diesel memiliki pengertian yang berkebalikan dengan angka oktan pada bahan bakar mesin bensin, karena angka oktan menunjukkan kemampuan campuran bensin-udara menunggu rambatan api dari busi (spark ignition). Semakin cepat suatu bahan bakar mesin diesel terbakar setelah diinjeksikan ke dalam ruang bakar, semakin baik (tinggi) angka cetane bahan bakar tersebut. Cara pengukuran angka cetane yang umum digunakan, seperti standard dari ASTM D613 atau ISO 5165, adalah menggunakan hexadecane (C16H34, yang memiliki nama lain cetane) sebagai patokan tertinggi (angka cetane, CN=100), dan 2,2,4,4,6,8,8 heptamethylnonane (HMN yang juga memiliki komposisi C16H34) sebagai patokan terendah (CN=15) (Knothe, 2005). Dari standard tersebut bisa dillihat bahwa hidrokarbon dengan rantai lurus (straight chain) lebih mudah terbakar dibandingkan dengan hidrokarbon yang memiliki banyak cabang (branch). Angka cetane berkorelasi dengan tingkat kemudahan penyalaan pada temperatur rendah (cold start) dan rendahnya kebisingan pada kondisi idle (Environment Canada, 2006). Angka cetane yang tinggi juga diketahui berhubungan dengan rendahnya polutan NOx (Knothe, 2005). Secara umum, biodiesel memiliki angka cetane yang lebih tinggi dibandingkan dengan solar. Biodiesel pada umumnya memiliki rentang angka cetane dari 46 70, sedangkan (bahan bakar) Diesel No. 2 memiliki angka cetane 47 55 (Bozbas, 2005). Panjangnya rantai hidrokarbon yang terdapat pada ester (fatty acid alkyl ester, misalnya) menyebabkan tingginya angka cetane biodiesel dibandingkan dengan solar (Knothe, 2005). Azam dkk.

(2005) membuat persamaan untuk menghitung angka cetane (CN) fatty acid methyl ester/biodiesel sebagai fungsi dari angka iodine (IV) dan saphonifikasi (SN) sebagai berikut:

(1) Untuk menghitung Persamaan (1) di atas, angka iodine dan saphonifikasi bisa didapatkan dari harga eksperimen atau persamaan berikut ini:

(2)

(3) Dengan Ai adalah kosentrasi komponen ke-i, dan Mwi adalah berat molekul komponen ke-i (penyusun fatty acid methyl ester). Sedangkan D berarti jumlah ikatan ganda yang terdapat pada senyawa. Azam dkk. (2005) menemukan bahwa Persamaan (1) (3) di atas sesuai untuk digunakan pada biodiesel. Viskositas Viskositas merupakan sifat intrinsik fluida yang menunjukkan resistensi fluida terhadap aliran. Hubungan antara tegangan geser dinding dengan viskositas untuk fluida Newtonian bisa dilihat pada persamaan berikut ini:

(4) adalah viskositas fluida [Pa.s], dan (dp/dy) dengan taww adalah tegangan geser dinding [Pa], miuy=0 adalah gradien kecepatan fluida pada dinding [1/s]. Sedangkan hubungan antara tegangan geser dinding dengan penurunan tekanan (pressure drop) adalah sebagai berikut:

(5) dengan D adalah diameter pipa [m], delta p adalah penurunan tekanan [Pa], dan L adalah panjang pipa yang ditinjau [m]. Dari Persamaan (4) dan (5) dapat dilihat bahwa viskositas fluida berpengaruh langsung

terhadap besarnya penurunan tekanan yang dialami oleh fluida tersebut. Penurunan tekanan (pressure drop) fluida berkaitan dengan energi pengaliran fluida sebagai berikut:

(6) dengan P adalah daya [Watt], Q adalah debit fluida [m3/s]. Persamaan (4) (6) menunjukkan bahwa fluida dengan viskositas tinggi lebih sulit untuk dialirkan dibandingkan dengan fluida dengan viskositas rendah. Bila energi pengaliran yang tersedia tetap, maka fluida dengan viskositas tinggi akan mengalir dengan kecepatan lebih rendah. Di Bagian 1 seri tulisan ini telah dijelaskan tingginya harga viskositas SVO (straight vegetable oil) atau refined fatty oil. Hal inilah yang mendasari perlu dilakukannya proses kimia, transesterifikasi, untuk menurunkan harga viskositas minyak tumbuhan sehingga mendekati viskositas solar. Perbedaan viskositas antara minyak mentah/refined fatty oil dengan biodiesel juga bisa digunakan sebagai salah satu indikator dalam proses produksi biodiesel (Knothe, 2005). Kecepatan alir bahan bakar melalui injektor akan mempengaruhi derajad atomisasi bahan bakar di dalam ruang bakar. Selain itu, viskositas bahan bakar juga berpengaruh secara langsung terhadap kemampuan bahan bakar tersebut bercampur dengan udara. Dengan demikian, viskositas bahan bakar yang tinggi, seperti yang terdapat pada SVO, tidak diharapkan pada bahan bakar mesin diesel. Oleh karena itulah penggunaan SVO secara langsung pada mesin diesel menuntut digunakannya mekanisme pemanas bahan bakar sebelum memasuki sistem pompa dan injeksi bahan bakar (Bernardo, 2003). Cloud point dan Pour point Cloud point adalah temperatur pada saat bahan bakar mulai tampak berawan (cloudy). Hal ini timbul karena munculnya kristal-kristal (padatan) di dalam bahan bakar. Meski bahan bakar masih bisa mengalir pada titik ini, keberadaan kristal di dalam bahan bakar bisa mempengaruhi kelancaran aliran bahan bakar di dalam filter, pompa, dan injektor. Sedangkan pour point adalah temperatur terendah yang masih memungkinkan terjadinya aliran bahan bakar; di bawah pour point bahan bakar tidak lagi bisa mengalir karena terbentuknya kristal/gel yang menyumbat aliran bahan bakar. Dilihat dari definisinya, cloud point terjadi pada temperatur yang lebih tinggi dibandingkan dengan pour point. Pada umumnya permasalahan pada aliran bahan bakar terjadi pada temperatur diantara cloud dan pour point; pada saat keberadaan kristal mulai mengganggu proses filtrasi bahan bakar. Oleh karena itu, digunakan metode pengukuran yang lain untuk mengukur performansi bahan bakar pada temperatur rendah, yakni Cold Filter Plugging Point (CFPP) di negara-negara Eropa (standard EN 116) dan Low-Temperature Flow Test (LTFT) di Amerika Utara (standard ASTM D4539) (Knothe, 2005). Pada umumnya, cloud dan pour point biodiesel lebih tinggi dibandingkan dengan solar. Hal ini bisa menimbulkan masalah pada penggunaan biodiesel, terutama, di negara-negara yang mengalami musim dingin. Untuk mengatasi hal ini, biasanya ditambahkan aditif tertentu pada biodiesel untuk mencegah aglomerasi kristal-kristal yang terbentuk dalam biodiesel pada temperatur rendah. Selain menggunakan aditif, bisa juga dilakukan pencampuran antara biodiesel dan solar. Pencampuran (blending) antara biodiesel dan solar terbukti dapat

menurunkan cloud dan pour point bahan bakar (Environment Canada, 2006). Teknik lain yang bisa digunakan untuk menurunkan cloud dan pour point bahan bakar adalah dengan melakukan winterization (Knothe, 2005). Pada metode ini, dilakukan pendinginan pada bahan bakar hingga terbentuk kristal-kristal yang selanjutnya disaring dan dipisahkan dari bahan bakar. Proses kristalisasi parsial ini terjadi karena asam lemak tak jenuh memiliki titik beku yang lebih rendah dibandingkan dengan asam lemak jenuh. Maka proses winterization sejatinya merupakan proses pengurangan asam lemak jenuh pada biodiesel. Di sisi lain, asam lemak jenuh berkaitan dengan angka cetane. Maka proses winterization bisa menurunkan angka cetane bahan bakar. Namun demikian, karakteristik biodiesel pada temperatur rendah ini tidak terlalu menjadi masalah untuk negara dengan temperatur tinggi sepanjang tahun, seperti India (Azzam dkk., 2005). Penyimpanan dan stabilitas Biodiesel bisa mengalami degradasi bila disimpan dalam waktu yang lama disertai dengan kondisi tertentu. Degradasi biodiesel pada umumnya disebabkan oleh proses oksidasi. Beberapa faktor yang mempengaruhi degradasi biodiesel antara lain keberadaan asam lemak tak jenuh, kondisi penyimpanan (tertutup/terbuka, temperatur, dsb.), unsur logam, dan peroksida. Leung dkk. (2006) menemukan bahwa temperatur tinggi (40oC) yang disertai dengan keberadaan udara terbuka menyebabkan degradasi yang sangat signifikan pada penyimpanan biodiesel hingga 50 minggu. Konsentrasi asam meningkat pada biodiesel yang telah terdegradasi; hal ini disebabkan oleh putusnya rantai asam lemak metil ester menjadi asam-asam lemak. Mereka menemukan bahwa faktor keberadaan air tidak terlalu signifikan mempengaruhi proses degradasi. Namun demikian, keberadaan air (yang terpisah dari biodiesel) bisa membantu pertumbuhan mikroorganisme (Environment Canada, 2006). Temperatur tinggi (40oC) yang tidak disertai dengan keberadaan udara terbuka; dan sebaliknya udara terbuka tanpa keberadaan temperatur tinggi, tidak menyebabkan degradasi yang signifikan pada biodiesel yang disimpan dalam waktu lama (hingga 50 minggu). Dalam penelitiannya, Leung dkk. (2006) menggunakan rapeseed oil sebagai bahan baku biodiesel. Kontak antara biodiesel dengan logam dan elastomer selama proses penyimpanan juga bisa mempengaruhi stabilitas biodiesel (Environment Canada, 2006). Ditemukan bahwa logam tembaga (copper) memiliki efek katalis oksidasi yang paling kuat untuk biodiesel (Knothe, 2005). Oksidasi pada biodiesel bisa menyebabkan terbentuknya hidroperoksida yang selanjutnya terpolimerisasi dan membentuk gum; hal ini bisa menyebabkan penyumbatan pada filter atau saluran bahan bakar mesin diesel (Environment Canada, 2006). Standard Eropa, EN 14214, mengatur uji stabilitas biodiesel terhadap oksidasi, yakni dengan cara memanaskan biodiesel pada 110oC selama tak kurang dari 6 jam (menggunakan metode Rancimat) (Knothe, 2005). Harga viskositas biodiesel juga bisa dijadikan sebagai ukuran terjadi-tidaknya proses degradasi pada biodiesel. Conceicao (2005) menemukan bahwa biodiesel minyak Castor yang digunakannya bisa mengalami degradasi, dicirikan dengan kenaikan viskositas yang sangat tinggi, bila dikenai temperatur yang sangat tinggi (210oC) dalam jangka waktu lebih dari 10 jam. Degradasi ini terjadi diduga karena terjadinya proses oksidasi dan polimerisasi pada biodiesel. Angka Iodine

Angka iodine pada biodiesel menunjukkan tingkat ketidakjenuhan senyawa penyusun biodiesel. Di satu sisi, keberadaan senyawa lemak tak jenuh meningkatkan performansi biodiesel pada temperatur rendah, karena senyawa ini memiliki titik leleh (melting point) yang lebih rendah (Knothe, 2005) sehingga berkorelasi pada cloud dan pour point yang juga rendah. Namun di sisi lain, banyaknya senyawa lemak tak jenuh di dalam biodiesel memudahkan senyawa tersebut bereaksi dengan oksigen di atmosfer dan bisa terpolimerisasi membentuk material serupa plastik (Azam dkk., 2005). Oleh karena itu, terdapat batasan maksimal harga angka iodine yang diperbolehkan untuk biodiesel, yakni 115 berdasar standard Eropa (EN 14214). Di samping itu, konsentrasi asam linolenic dan asam yang memiliki 4 ikatan ganda masing-masing tidak boleh melebihi 12 dan 1% (Azzam dkk., 2005). Sebuah penelitian yang dilakukan di Mercedez-Benz (Environment Canada, 2006) menunjukkan bahwa biodiesel dengan angka iodine lebih dari 115 tidak bisa digunakan pada kendaraan diesel karena menyebabkan deposit karbon yang berlebihan. Meski demikian, terdapat studi lain yang menghasilkan kesimpulan bahwa angka iodine tidak berkorelasi secara signifikan terhadap kebersihan dan pembentukan deposit di dalam ruang bakar (Environment Canada, 2006). Efek Pelumasan Mesin Sifat pelumasan yang inheren pada solar menjadi berkurang manakala dilakukan desulfurisasi (pengurangan kandungan solar) akibat tuntutan standard solar di berbagai negara. Berkurangnya sifat pelumasan bahan bakar bisa menimbulkan permasalahan pada sistem penyaluran bahan bakar, seperti pompa bahan bakar dan injektor (Knothe, 2005). Meski berkurangnya sifat pelumasan tersebut muncul akibat proses desulfurisasi, terdapat hasil penelitian yang menunjukkan bahwa berkurangnya sifat pelumasan tersebut bukan akibat berkurangnya konsentrasi sulfur itu sendiri, namun karena berkurangnya komponenkomponen non-polar yang terikut dalam proses desulfurisasi (Knothe, 2005). Hu dkk. (2005) meneliti sifat pelumasan biodiesel menggunakan beberapa macam bahan baku minyak tumbuhan, yakni minyak bunga matahari (sun flower), minyak jagung, minyak kedelai, dan minyak canola. Mereka melakukan pengukuran ketahanan aus (wear performance) menggunakan metode HFRR (High Frequency Reciprocating Rig) pada solar yang dicampurkan dengan beberapa jenis biodiesel, baik unrefined biodiesel ataupun refined biodiesel (FAME murni). Hu dkk. (2005) menemukan bahwa unrefined biodiesel memiliki sifat pelumasan yang lebih baik dibandingkan dengan refined biodiesel. Dari analisis efek senyawa penyusun biodiesel terhadap sifat pelumasan bahan bakar, Hu dkk. (2005) menyimpulkan bahwa ester metil dan monodigliserida adalah dua komponen yang paling berpengaruh terhadap sifat pelumasan biodiesel secara signifikan. Karena memiliki sifat pelumasan yang baik, biodiesel dapat digunakan sebagai aditif untuk meningkatkan sifat pelumasan solar berkadar sulfur rendah (low-sulfur petrodiesel fuel). Penambahan 1 2% biodiesel bisa mengembalikan sifat pelumasan solar berkadar sulfur rendah ke tingkat semula (yakni setara dengan solar berkadar sulfur normal) (Knothe, 2005). Penggunaan biodiesel sebagai aditif pelumasan pada solar berkadar sulfur rendah memiliki keuntungan dibandingkan dengan aditif lain, karena biodiesel sekaligus merupakan bahan bakar mesin diesel. Pustaka 1. Bernardo, A., Howard-Hildige, R., OConnel, A., Nichol, R., Ryan, J., Rice, B., Roche, E., Leahy, J. J., Camelina oil as a fuel for diesel transport engines, Industrial Crops and Products, 17, 191 197 (2003)

2. Bozbas, K., Biodiesel as an alternative motor fuel: Production and policies in the European Union, Renewable & Sustainable Energy Reviews, 1 12 (2005) 3. Conceio, M. M., Candeia, R. A., Dantas, H. J., Soledade, L. E. B., Fernandes, Jr., V. J., Souza, A. G., Rheological Behavior of Castor Oil Biodiesel, Energy & Fuels, 19, 2185 2188 (2005) 4. Environment Canada, A critical review of biodiesel as transportation fuel in Canada, http://www.ec.gc.ca/transport/publications/biodiesel/biodiesel4.htm 5. Hu, J., Du, Z., Li, C., Min, E., Study on the lubrication properties of biodiesel as fuel lubricity enhancers, Fuel, 84, 1601 1606 (2005) 6. Knothe, G., Dependence of biodiesel fuel properties on the structure of fatty acid alkyl esters, Fuel Processing Technology, 86, 1059 1070 (2005) 7. Leung, DYC., Koo, BCP., Guo, Y., Degradation of biodiesel under different storage conditions, Bioresource Technology, 97, 250 256 (2006)

http://www.kamusilmiah.com/mesin/mengenal-biodiesel-karakteristik-produksi-hinggaperformansi-mesin-3/

Anda mungkin juga menyukai