Anda di halaman 1dari 8

Senyum manis yang menawan

Sr. Yosefa Tri Retnaningsih, CB.

Aku dilahirkan di Gondang-Klaten, sebagai anak ketiga dari lima bersaudara. Aku bersyukur berada di tengah-tengah keluarga besar. Dalam keluarga besar tersebut, Tuhan mengajari aku untuk hidup berbagi. Dalam kesederhanaan hidup, orang tuaku menanamkan kepercayaan akan penyelenggaraan Tuhan. Kiranya ini juga yang menguatkan aku untuk berani menanggapi panggilan Tuhan. Kalau ditanya mulai kapan aku pengin jadi suster? aku tidak tahu. Namun aku mulai terkesan dengan figur seorang suster saat diajak Bapak untuk menjemput kedua kakakku yang sedang mempersiapkan komuni pertama. Saat itu aku masih kelas satu SD. Aku masih ingat, saat kami sampai di Gereja, dua kakakku sedang diajari menari oleh seorang Suster. Senyum manis dan bersahabat dari Suster tersebut ternyata begitu mengesan dalam diriku. Namun tentu saja aku belum ada minat untuk menjadi suster. Masa remaja aku lalui di SMP Pangudi Luhur 1 Klaten dan SMA Negeri 1 Klaten. Aku juga aktif di Gereja dalam komunitas Putera puteri Altar. Dalam kesibukan dan kehidupan seorang remaja, aku tidak tahu mengapa, senyum manis suster yang aku kenal waktu kecil kembali mengusik hatiku hingga akhirnya aku menyampaikan kepada Ibu kalau setelah lulus SMA aku pengin jadi suster. Ibu menanggapi keinginanku tersebut dengan memintaku untuk mencari wawasan dengan melanjutkan studi dulu. Atas anjuran ibu, aku kemudian melanjutkan pendidikan dengan kuliah di Perguruan Tinggi Negeri. Dalam kesibukan tugas-tugas kuliah, aku sempat lupa dengan keinginanku untuk menjadi suster. Namun dalam perjalanan waktu, kembali terngiang Panggilan Tuhan dalam diriku. Keinginan untuk menjadi suster kembali mengusik hatiku. Setelah menyelesaikan studi aku memberanikan diri untuk mengenal kehidupan seorang biarawati. Oleh temanku, aku dikenalkan dengan seorang suster CB. Kiranya Suster ini menjadi sarana yang dipakai Tuhan untuk memperkenalkan kongregasi CB kepadaku. Sampai akhirnya, aku memberanikan diri untuk menanggapi panggilan Tuhan ini untuk membalas cinta Tuhan yang begitu besar kepadaku dengan keyakinan bahwa rahmat Tuhan senantiasa menyertaiku. Kini di dalam diriku tinggal kepercayaan yang kuat pada Penyelenggaraan Ilahi (EG 54).

Riwayat Panggilan
Sr. Olivia, CB. Sejak kelas 5 SD keinginan untuk menjadi seorang suster sudah tumbuh dalam diriku. Keinginan itu bertumbuh karena aku sering berjumpa dengan para suster di Rumah Sakit Panti Rapih yang sering memberi aku permen coklat. Aku selalu gembira kalau bertemu dengan para suster di Rumah Sakit Panti Rapih, mula-mula memang karena permen coklatnya, tetapi lama-kelamaan, tanpa permen coklat pun aku merasa gembira ketika berjumpa dengan para Suster itu. Ketika duduk di bangku SLTP hingga mengakhiri studi di sekolah lanjutan tingkat atas, semakin besarlah kerinduanku untuk menjadi suster. Akan tetapi rupanya gayung tak bersambut. Kerinduan hatiku yang dalam tidak didukung oleh kedua orangtuaku. Mereka seakan tak percaya akan keinginan hatiku. Ah masak si Holiq mau jadi Suster, wong anak ini tomboy dan masih suka bermain dengan teman-teman Mudika!, mungkin seperti itu pendapat yang ada di benak ibuku. Holiq adalah julukan atau panggilan sayang untukku yang lebih populer dibanding dengan namaku sendiri. Kadang-kadang aku sampai lupa kalau namaku yang sebenarnya adalah Eni Listyarini Penampilanku saat itu boleh dikata memang tomboy, tidak pernah menyentuh pekerjaanpekerjaan rumah tangga, hobby main sepak bola dan dolan sampai larut malam bersama-sama temanteman dari komisi kepemudaan. Tahun 1991 aku kuliah di Sekolah Tinggi Tekhnik Lingkungan di Yogyakarta. Keinginanku untuk menjadi Suster yang telah bersemi sejak masa remajaku seakan-akan terkubur dibalik kesibukanku sebagai mahasiswi dan relasiku dengan teman-teman di Komisi Kepemudaan KAS, apalagi setelah aku mulai mempunyai TTM (Teman Tapi Mesra) alias teman istimewa. Akan tetapi dengan berjalannya waktu, benih-benih panggilan yang pernah tumbuh itu terasa kembali memunculkan tunas-tunasnya. Keterlibatanku dalam kegiatan kepemudaan baik di Paroki, Kevikepan Surakarta maupun di Keuskupan Agung Semarang yang telah kujalani selama 8 tahun mau tak mau menjadi pemicu tumbuhnya kembali tunas-tunas dari benih panggilan yang pernah coba kutimbun dan kusimpan rapat-rapat. Aku terperangkap dalam kebimbangan. Dalam suasana hati yang gundah itu aku bersyukur karena aku dianugerahi banyak teman yang mau menjadi pendengar untuk segala kegalauan hatiku walaupun aku tak kunjung berani untuk memutuskan. Tahun 1995, sebelum dipanggil menghadap Tuhan, Bapak pernah menandaskanku pada kerinduanku : Liq,.kamu mau jadi suster ?, dan aku menjawabnya dengan jujur. Sejak saat itu, terlebih setelah Bapak dipanggil Tuhan kerinduanku ujtuk menjadi seorang biarawati menjadi semakin besar walaupun dari pihak ibu masih keberatan dengan keinginanku tersebut. Tahun 1999, aku mencoba hidup mandiri di kota Bogor dan bekerja sebagai guru di SMA Regina Pacis. Waktu satu tahun terlampaui, namun aku merasa ada suatu kekosongan di dalam diriku. Yang membuat aku sering merasa tidak kerasan menjalani pekerjaanku yang sudah cukup mapan. Melalui bimbingan pakdhe yang juga seorang bruder CSA, menghantarkan saya untuk berani

mengambil keputusan untuk mendegarkam suara hatiku dengan memulai masa pembinaan di Postulat CB Yogyakarta.. Semua yang telah terjadi dalam peziarahan hidupku sungguh bagaikan misteri kehidupan. Aku bergabung dengan Kongregasi CB sekalipun sesungguhnya aku tak mengenal seorang pun suster CB sebelumnya selain para suster Raumah Sakit Panti Rapih yang sering memberiku permen coklat. Itupun tak pernah aku mengenal nama mereka. Pertengahan tahun 2003, Kongregasi memberiku kesempatan untuk mengikrarkan profesi sementara dan mulailah aku terlibat hidup bersama dalam komunitas yang merasul serta terlibat pula dalam perutusan diantara kaum muda. Aku sangat bersyukur karena boleh mengalami kasih penyertaan Tuhan dalam setiap langkah hidup serta dalam hidup bersama dengan para suster hingga aku diperkenankan mengikrarkan kaul untuk seumur hidupku. Aku sadar bahwa ini pun bukanlah akhir dari perjuanganku dalam mengikuti Dia. Perjalanan masih panjang dan aku butuh kekuatan untuk dapat meniti jalan panjang itu. Banyak kelemahan dalam diriku, namun aku percaya bahwa Tuhan dan Bunda Elisabeth selalu setia menyertai perjalanan hidupku,...... itulah kekuatan hidupku.....

Panggilan Tuhan adalah Seni dalam Peziarahan hidupku Sr. Mariella, CB.
Hidup adalah anugerah sekaligus sebuah pilihan yang perlu diperjuangkan terus menerus dalam proses memilih, memilah dan mengolah. Aku sadar, dalam peziarahan hidup sebagai seorang religius banyak godaan, tantangan, perjuangan yang membawa konsekuensi atas sebuah pilihan. Namun aku sadar bahwa inilah yang dinamakan seni hidup. Seni hidup yang hadir silih berganti dalam suka cita dan menjadikan semuanya indah karena selalu ada yang berubah, berkembang dan berbuah seiring dengan perjalanan waktu. ndhuk,nek dadi Suster, nasib-mu mengkone kepiye? Kowe mengko nek tuwo sopo sing ngopeni ?, Kowe rak yo ngerti nek Bapak lan Mamak-mu iki wis tuwo, sopo mengko sing ngopeni,sing iso nyanteni yo mung kowe lantaran kowe kuwi anakku wedhok dhewe,... Semula aku bingung karena Bapak tidak menjawab permohonanku. Tidak ada kejelasan atas ijin yang kumohon. Lain lagi dengan jawaban ibu: Kowe kuwi ringkih,..gampang masuk angin, mengko nek sakit sopo sing ngeriki?. Ungkapan-ungkapan lugu pria dan wanita sederhana yang sangat kucintai itu menyiratkan kekhawatiran akan nasibku di kemudian hari kalau aku memilih untuk hidup sebagai seorang biarawati. Aku bisa memahami kekhawatiran Bapak-Mamak karena aku memang terlahir sebagai satu-satunya anak perempuan yang diharapkan akan menjadi anak yang paling gemati pada orangtua di hari tua mereka nanti, apalagi saat itu aku juga masih sering menggantungkan hidup kepada Bapak-Mamak dan kakak-kakakku. Aku dilahirkan di desa Airnaningan, Gisting-Lampung Selatan, sebuah desa kecil di lereng gunung yang berhawa sejuk. Pendidikan TK, SD dan SMP kujalani di desa kelahiranku. Namun ketika aku harus melanjutkan pendidikan ke sekolah lanjutan atas, aku harus hijrah dari kampung halaman ke Ogan Komering Hulu (OKU), Palembang-Sumatera Selatan. Aku menempuh pendidikan di SLTA Xaverius yang dikelola oleh para bruder FIC dan tinggal di asrama. Dalam masa-masa tinggal di asrama itulah aku mulai mengenal kaum berjubah seperti Romo, Frater, Bruder dan Suster. Aku pun mulai merasakan benih-benih panggilan tumbuh dan berkembang dalam hatiku ketika aku mengalami pendampingan para bruder FIC. Aku merasakan sesuatu yang menarik dari kesaksian hidup para bruder itu, sikap mereka yang rendah hati, kedisiplinan, sapaan, perhatian dan terlebih kegembiraan yang terpancar dalam diri mereka. Dalam masa itu aku juga diberi banyak kesempatan untuk terlibat aktif dalam hidup menggereja. Semua itu semakin menggemburkan tanah hatiku terhadap pilihan hidup religius yang sudah mulai tertaburi oleh benih panggilan semenjak aku mengikuti aksi panggilan dan rekoleksi bersama para Suster FSGM dan para frater SCJ dikampung halamanku semasa SMP. Melalui perjuangan yang tidak mudah aku memberanikan diri menanggapi panggilan Tuhan dalam hatiku. Kulepaskan relasi-relasiku, teman dekatku dan memohon ijin kepada kedua orangtuaku. Kendati melalui dialog yang sangat ulet, akhirnya Tuhan memberiku jalan untuk mulai menapaki jalan hidupku yang baru.

Setelah mencari pengalaman hidup dengan bekerja di Palembang, aku mengawali masa postulat di Yogyakarta pada pertengahan tahun 2000. Pada tanggal 15 Agustus 2001, aku diijinkan untuk menerima busana biara aku pun mulai dipanggil dengan nama Sr. Mariella. Setelah menjalani masa pembinaan di Novisiat selama 2 tahun, pada tanggal 15 Agustus 2003 aku diberi kesempatan untuk mengikrarkan kaul pertama dan diutus untuk hadir dalam karya pelayanan pastoral di Wonogiri hingga 8 Agustus 2007. Aku bahagia dapat membagikan kasih Tuhan melalui perutusan yang dianugerahkan kepadaku dan kini aku sedang menjalani perutusan studi di IPPAK-Sanatha Darma untuk menambah bekal-bekal demi perutusan Tuhan kepadaku selanjutnya. Selama proses menanggapi panggilan Tuhan, aku telah menerima rahmat dan berkat yang melimpah. Tuhan sungguh mencintai diriku apa adanya, walaupun terkadang aku tidak mengerti dan tak memahami kehendak-Nya, namun aku percaya akan cinta-Nya. Apalagi yang hendak dikatakan? Semuanya sudah jelas (EG 156). Aku bersyukur karena akhirnya orangtua dan saudara-saudaraku mendukung hidup panggilanku. Semoga Bapak yang telah dipanggil Tuhan turut berbahagia dan mendukung dengan doa dari Surga. Aku percaya pada Penyelenggaraan Ilahi bahwa Tuhan telah merenda hidupku dan mempunyai rencana indah untuk mengisi hidupku. Aku bersyukur dan berterimakasih kepada semua yang turut mendukung hidup panggilanku, Kongregasi, para Suster CB secara khusus komunitas Hendragiri-Wonogiri dan komunitas TrenggonoYogyakarta, keluargaku, para Romo, Bruder, Suster, Frater dan sahabat-sahabatku. Terimakasih atas segala bentuk cintakasih, perhatian, kerjasama dan doa-doanya yang memberi kekuatan diri untuk melangkah maju dalam menapaki proses peziarahan hidupku.

Yn dadi Suster, yo dadio Suster sing tnanan


Sr. Maria Elly, CB Di penghujung minggu, 27 Maret 1976, di sebuah rumah bersalin kecil desa Rejotangan,Tulungagung - Jawa Timur tangisan seorang bayi perempuan memecah lengangnya pedusunan. Sukacita merayapi pasangan suami-istri Inigo Maria Gerarda Elityastuti-Ignatius Damis Budiarto yang telah lama merindukan kehadiran seorang puteri untuk melengkapi kebahagiaan keluarga mereka yang telah dianugerahi tiga orang putera. Bayi itu kemudian dinamai Maria Elly Budiarti. Maria, karena ia lahir dekat dengan pesta Santa Maria menerima Kabar Sukacita yang diperingati setiap tanggal 25 Maret. Elly, diambil nama ibu dan Budiarti, diambil dari nama Bapak. Sehingga Bapak dan ibu sering menjelaskan nama itu sebagai: Maria yang kehadirannya memberi sukacita bagi kedua orangtua dan keluarga Beberapa tahun kemudian, kami pindah ke Lawang, sebuah kota kecil sebelah utara Malang Jawa Timur. Keterlibatan dalam hidup menggereja menjadi agenda harian keluarga kami yang tinggal sekitar 50 meter dari Gereja Katolik St. Perawan Maria tak Bernoda-Lawang. Bahkan rumah kami yang letaknya dekat dengan Gereja Paroki seringkali berubah bak posko misdinarposko mudikaposko dewan paroki atau posko ibu-ibu paroki dan WKRI. Perjumpaan dengan para suster SPM dalam masa studiku di TKK dan SDK St. FransiscusLawang, para bruder Kongregasi Budi Mulia dalam masa studiku di SMPK Budi Mulia-Lawang juga para seminaris, Bruder, Frater dan Romo Karmelit dalam masa studiku di SMAK St.Albertus (DEMPO)-Malang mulai menggelitik hatiku untuk mencari tahu tentang pilihan hidup seperti yang mereka jalani. Waktu demi waktu berlalu, bisikan lembut di hatiku pun sayup-sayup hilang, sayup-sayup terdengar kembali sampai aku memutuskan untuk menjawab Ya terhadap bisikan lembut itu. Namun rupanya Tuhan berkehendak lain, sebab bapak dan ibu justru menyarankan agar aku menambah wawasan terlebih dahulu untuk bekal hidup di masa depan dengan kuliah terlebih dahulu. Aku sempat berpikir bahwa bapak hanya ingin mengulur kepergianku masuk biara, syukur-syukur kalau aku lupa lalu mengurungkan niatku. Menanggapi saran bapak, aku pun melanjutkan studi di STIE Malangkuewara-Malang jurusan Akuntansi Keuangan dan selesai pada tahun 1998. Setelah menunda selama 4 tahun, bisikan Tuhan yang semula coba kutepiskan ternyata terasa semakin menggelitik. Jogjakarta, kota yang tidak terlalu dekat pun juga tidak terlalu jauh dari rumah kami di Lawang menjadi tempat yang kupilih untuk mulai meniti panggilan hidupku. Motivasiku saat itu hanya satu, yaitu supaya aku tidak terlalu sering dikunjungi oleh keluargaku pun juga sebaliknya terlalu sering ingin berkunjung kembali ke rumah dalam masa pembinaan. Maklumlah, si cewek bontot ini masih sering kangen dengan Ibu, Bapak, dan mas-masnya.

Kuutarakan lagi keinginanku kepada ibu, satu-satunya makhluk hawa dalam keluargaku yang paling enak untuk diajak berbagi rasa. Kowe wis mantep th wuk ?, tanya ibu. Aku hanya mengangguk. Sorot mata ibu yang teduh membuat aku lega dan merasa didukung. Akan tetapi tidaklah mudah bagiku untuk mengutarakan maksudku kepada Bapak. Maklum, beberapa waktu setelah aku menyatakan keinginanku untuk masuk biara, Bapak mendadak mendapat serangan stroke ringan yang membuatnya lidah beliau sedikit plo. Jujur aku mulai ragu dengan keputusanku, jangan-jangan keputusanku malah memperparah kondisi Bapak. Karena keraguan itu pula, semula aku tidak berani meminta Bapak untuk menadatangani surat ijin orangtua yang perlu kusertakan dalam syarat-syarat memasuki masa pembinaan calon Suster. Buk! Ibu wa yo sing tandatangan, rajukku merayu ibu. Namun rupanya ibu tidak mudah termakan rayuanku, jawabnya: Yn ibu wis ctho setuju karo pilihanmu nduk,.ning kow kudu matur dhw karo Bapakmu!. Hatiku pun terasa semakin gundah. Di tengah kegalauan itu ibu mendekatiku dan menceriterakan suatu kisah tentang diriku yang baru kali itu ibu ceriterakan: Nduk,... kala smono ibu lan bapakmu pancn kpngin duw anak wdhok,..... Bapak ibu sowan karo suster-suster Karmelites Batu-Malang nyuwun donga. Terus suster malah nanting: Bapak,... Ibu.... menawi sastu diparingi putri lajng putrinipun Bapak Ibu dipun pundhut malih dados Suster menopo parng?. Bapak-mu sing mangsuli: Mnawi Gusti ingkang ngrsaakn nggih monggo.... Kurenungkan ceritera ibu dalam-dalam. Diam-diam aku tersenyum dalam hati. Bapak pasti tidak akan mengingkari janjinya sendiri pada Tuhan,gumamku. Perlahan-lahan, kubangun keberanian di hatiku disertai kepercayaan bahwa kalau Tuhan menghendaki, Ia tentu tidak akan tinggal diam. Maka dengan bulat hati aku menghadap Bapak untuk meminta ijin. Yo wis nduk,. yen kowe pancn wis mantp arp dadi Suster, bapak yo ora arp nggandoli manh,. Sing pnting tkad-mu sing kudu kuat yo wuk! Yn dadi Suster, yo dadio suster sing tnanan. Jawaban bapak yang kutunggu sekian waktu dengan harap-harap cemas itu akhirnya mampu melepaskan keraguanku. Di sisi lain aku bangga pada Bapak, karena beliau sungguh tidak mengingkari janjinya pada Tuhan sekalipun setelah melalui proses tarik ulur sedemikian rupa. Tuhan rupanya menjadikan pengalaman itu sebagai pelajaran berharga bagiku bahwa aku perlu menyadari, menghadapi, terbuka untuk menerima konsekuensi dari pilihan-pilihan yang kubuat dalam hidupku serta keteguhan untuk memegang komitmen yang telah aku buat di hadapan Tuhan. Demikian juga kini dalam komitmen keperawanan, kemiskinan dan ketaatan seumur hidup yang aku pilih. Aku sadar bahwa aku memerlukan kekuatan untuk setia, keberanian untuk menghadapi serta menerima konsekuensi dari pilihan hidupku dan kekuatan itu adalah Yesus yang telah memanggil aku. Aku bersyukur atas orang-orang yang telah duanugerahkan Tuhan untuk hadir dalam peziarahan hidupku, terutama ibu yang banyak mengajarkan kepadaku dasar-dasar hidup tentang apa itu mencintai, kesetiaan dan ketulusan melalui kesederhanaan kesaksian hidup beliau sehari-hari. Juga Bapak yang telah menanamkan pohon-pohon tanggungjawab dan kepedulian terhadap sesama dalam

lahan hatiku. Saat Bapak berpulang pada 6 November 2003, dua bulan setelah aku mengikrarkan profesi pertamaku, pesan Bapak kembali berbisik nyaring dalam hatiku: Nduk,..yn dadi Suster, yo dadio suster sing tnanan Kaul seumur hidup bukanlah suatu prestasi yang membanggakan ketika ia dapat dicapai, bukan pula suatu akhir dari perjuangan pengolahan hidup. Maka bersama Bunda Elisabeth Gruyters, pendiri Kongregasi Suster-suster Cintakasih St Carolus Borromeus aku berdoa: O Surya Ilahi,... turunlah dalam hatiku agar tertusuklah aku oleh cahaya kasih-M. (EG.41). Agar bersama Dia, Sang Sumber aku dimampukan untuk setia dalam jalan panggilan yang telah kupilih untuk seumur hidup ini. Dimuliakanlah Tuhan untuk Selama-lamanya

Anda mungkin juga menyukai