Anda di halaman 1dari 9

Optimalisasi Pengelolaan Sumberdaya Ekonomi Nasional Guna Meningkatkan Kemandirian dan Daya Saing dalam rangka Ketahanan Nasional

Posted by Redaksi on Juni 7, 2011 Leave a Comment Optimalisasi Pengelolaan Sumberdaya Ekonomi Nasional Guna Meningkatkan Kemandirian dan Daya Saing dalam rangka Ketahanan Nasional

Oleh Ir.NURDIN TAMPUBOLON Wakil Ketua Komisi VI DPR RI

Pendahuluan Pengelolaan sumberdaya ekonomi, tidak hanya berkaitan dengan pemanfaatan guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja untuk saat ini. Namun juga terkait dengan upaya untuk menjaga kelestariananya untuk menjamin terciptanya pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Proses perencanaan dan pemanfaatan sampai pengendaliannya harus berdasarkan prinsip-prinsip kehidupan yang berkesinambungan melalui separangkat peraturan perundang-undangan termasuk penegakan hukumnya sehingga optimalisasinya dapat diwujudkan untuk kesejahteraan. Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pada pasal 33 mengamanatkan kepada Negara untuk menguasai cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan hajat hidup orang banyak. Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat (dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat). Pada penjelasan UUD 1945 tentang pasal 33 tersebut ditegaskan tentang dasar demokrasi ekonomi yaitu produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua dibawah pimpinan atau kepemilikan anggota masyarakat sehingga dapat diwujudkan kemakmuran bagi semua orang. Konsekuensinya yaitu keterbukaan terhadap peta posisi sumberdaya agar masyarakat dapat terlibat dalam upaya kepemilikan dan pemanfaatan, mengingat sumberdaya merupakan warisan bagi generasi berikutnya.

Fenomena yang terjadi pada saat ini adalah pengelolaan sumberdaya yang berlebihan, untuk kepentingan jangka pendek (sesaat) bahkan cenderung mengabaikan sustainable development. Beberapa dampak yang dirasakan antara lain kerusakan lingkungan yang meluas dan berkontribusi terhadap pemanasan global selaian konflik vertikal dan horizontal yang dapat mengganggu kinerja pemerintah. Data yang ada menunjukkan bahwa pada tahun 2008, luas cakupan hutan rata-rata hanya 18,16% dari luas daratan yaitu jauh dari standar minimal sustainable development sebesar 30%. Makin menurun daya dukung alam bagi kegiatan ekonomi bahkan mempengaruhi perubahan iklim sehingga perlu revitalisasi dalam manajemen sumberdaya ekonomi agar mampu memberikan dukungan yang optimal bagi pembangunan di masa yang akan datang. Tulisan ini merupakan bahan-bahan sebagai penanggap dari makalah Optimalisasi Pengelolaan Sumberdaya Ekonomi Nasional Guna meningkatkan Kemandirian Ekonomi dan Daya Saing dalam rangka Ketahanan Nasional yang dilaksanakan oleh Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas), pada tgl 11 mei 2011. Setelah pengantar maka akan diuraikan pentingnya daya saing dan kemandirian ekonomi dalam rangka mencapai ketahanan nasional, yang kemudian diakhiri dengan penutup Daya Saing Nasional Daya saing nasional dari suatu negara sering dikaitkan dengan beberapa parameter. Misalnya, daya saing nasional dikaitkan dengan nilai tukar mata uang dan tingkat suku bunga yang diberlakukan dan anggaran pemerintah. Ada juga yang meningkaitkan daya saing nasional suatu negara dengan jumlah angkatan kerja yang berlimpah dan murah. Lainnya, mengaitkan daya saing nasional dengan kelimpahan dan keragaman sumberdaya alam. Atau juga, mengaitkan daya saing nasional dengan kebijakan pemerintah dalam pencapaian target ekspor, promosi dagang, proteksi impor dan subsidi eskpor. Bahkan, ada yang mengaitkan daya saing nasional dengan praktek manajemen perusahaan, termasuk didalamnya relasi antara manajemen dengan pekerja. Singkatnya, terdapat banyak pendekatan yang diterapkan untuk memahami dan mendefinisikan daya saing nasional. Lalu apa hakekat dari daya saing nasional suatu negara? Dari hasil riset dan studinya terhadap ekonomi negara-negara di dunia, Michael E. Porter, pakar manajemen dari Harvard University, menyimpulkan bahwa sumber utama peningkatan daya saing adalah produktivitas dan rata-rata peningkatan produktivitas. Lebih jauh lagi, Porter menandaskan bahwa sektor industri yang menjadi pendorong utama daya saing nasional. Melalui sektor industri, sumberdaya manusia, modal dan kekayaan alam dikelola dan dimanfatkan untuk memproduksi barang/jasa pada tingkat biaya yang efisien dan kualitas yang prima serta menjualnya ke pasar domestik dan global secara kompetitif.

Faktor-faktor Penentu Daya Saing Disimpulkan oleh Porter bahwa kelimpahan sumberdaya alam tidak cukup untuk menciptakan daya saing suatu negara yang berujung pada standar hidup (living standard) yang tinggi. Sementara, daya saing makroekonomi (macroeconomic competitiveness) hanya memberikan

dukungan terhadap produktivitas suatu negara. Bagi Porter, produktivitas sepenuhnya tergantung pada perbaikan kapabilitas mikroekonomi dari suatu negara dan kecanggihan industri lokal. Jadi, sesungguhnya sektor industri yang punya kaitan langsung dalam menciptakan lapangan pekerjaan, menambah penghasilan pekerja dan berperan penting dalam mengatasi kemiskinan. Ekonomi suatu negara yang memiliki daya saing adalah ekonomi yang ditopang dan digerakkan oleh industri yang kuat untuk melahirkan dari rahimnya perusahaan-perusahaan kelas dunia, yang tidak hanya mampu menahan gempuran pesaing-pesaing asing di pasar domestik tapi juga mampu melakukan penetrasi dan memenangkan persaingan di pasar-pasar internasional/global. Perusahaan-perusahaan inilah yang menjadi ujung tombak dari daya saing nasional. Sebab, bagaimanapun yang bersaing secara head-to-head dengan produk asing adalah produk-produk yang dihasilkan oleh perusahaan-perusahan ini di manapun produk-produk tersebut dipasarkan baik di pasar domestik maupun di pasar global. Pada intinya, daya saing nasional sangat tergantung pada produktivitas perusahaan-perusahaan di berbagai industri dalam memproduksi barang/jasa secara lebih kompetitif dengan teknologi yang dikuasai anak bangsa serta bahan baku berbasis sumberdaya lokal.. Akan tetapi, peranan pemerintah dalam menumbuhkan daya saing suatu negara tidak bisa dikesampingkan. Pemerintah memiliki peran yang sangat penting, utamanya dalam mendesain dan mengimplementasikan berbagai kebijakan yang menawarkan lingkungan usaha kondusif kepada dunia bisnis. Pemerintah berperan menciptakan iklim usaha untuk memungkinkan dunia usaha tumbuh kuat dan bergerak lincah dalam berkompetisi dengan produsen asing. Begitu juga, sektor publik dan masyarakat harus memposisikan diri dalam memperkuat sektor industri. Sektor publik diharapkan mampu menyediakan berbagai infrastruktur dan pengelolaannya serta tingkat pelayanan yang cepat, akurat dan murah kepada sektor industri. Sementara itu, masyarakat berperan menyerap produk yang dihasilkan oleh sektor industri lokal melalui kemampuan daya beli dan pola konsumsi yang dimiliki. Masyarakat juga diharapkan menmbangun dan memperkuat aspek budaya (termasuk pendidikan) dan mentalitas/spiritual para warganya agar dapat melahirkan tenaga-tenaga kerja yang trampil, ulet dan berintegritas bagi sektor industri. Dari perspektif ini menjadi jelas bahwa membangun daya saing nasional suatu negara bukanlah persoalan sederhana. Di sana mutlak perlu ditunjang oleh industrial structure yang tangguh. Yakni, suatu bagunan industri yang digerakan oleh perusahaan-perusahaan yang kokoh dalam sumber pendanaan/keuangan, ditopang oleh sumberdaya manusia kompeten, bergerak lincah dan cepat karena didukung kebijakan pemerintah yang kondusif terhadap lingkungan usaha, memiliki kemudahan akses bahan baku, menguasai teknologi secara handal, kuat dalam jaringan distribusi, mampu mengembangkan penelitian dan pengembangan terdepan untuk menelurkan produk inovatif, dan terakhir memiliki kepedulian terhadap kelangsungan lingkungan hidup (sustainable development). Mencermati kondisi Indonesia, dalam presentasi Improving Indonesias Competitiveness kepada Presiden RI di Boston pada 28 September 2009, Porter memberi beberapa catatan mengenai kekuatan dan kelemahan lingkungan bisnis Indonesia. Pertama, Kekuatan Indonesia terletak pada tersedianya jumlah angkatan kerja yang besar dengan tingkat kemampuan dasar yang kuat. Kedua, terlaksananya program reformasi hukum/perundang-undangan dan peraturan yang menciptakan iklim usaha kondusif bagi kalangan dunia usaha. Ketiga, terciptanya sistem

keuangan solid yang menjamin ketersedian cadangan devisa memadai untuk menstabilkan nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, khususnya mata uang dari negara-negara kuat. Keempat, ketersedian Indonesia untuk membuka investasi luar negeri. Kelima, tersedianya ruang gerak yang luas bagi pembangunan cluster, khususnya di sektor-sektor industri berbasis sumberdaya alam yang secara berlimpah dimiliki Indonesia. Hal terakhir ini bisa memberikan keunggulan komparatif (comparative adventage) bagi Indonesia. Sementara itu, setidaknya ada 12 hal yang harus mendapat perhatian dan segera dibenahi serta diperbaiki oleh Indonesia, yakni: 1. 2. 3. Membuka pasar bebas sementara produk domestik belum berdaya saing Infrastruktur komunikasi dan logistik. Krisis dalam menyediakan pasokan listrik yang andal.

4. Sistem keuangan yang masih kurang menyentuh sektor riil (cost of money yang tinggi tak berdaya saing). 5. 6. 7. Kekutaan pasar tenaga kerja Keruwetan dan kompleksitas regulasi dan prosedur kepabean Tingkat mutu pendidikan

8. Kepastian hukum yang kurang memadai bagi investor, khususnya di tingkat propinsi & Kabupaten/kota 9. 10. 11. Peran usaha mikro kecil/menengah dan koperasi yang masih sangat-sangat terbatas. Dominasi kelompok usaha besar (konglomerat) dan BUMN. Pembangunan dan kolaborasi industry cluster yang masih lemah.

12. Kekurangan tenaga kerja di tingkat ahli dan lemahnya pengembangan teknologi dan ilmu pengetahuan.

Sehubungan dengan hal tersebut, Indonesia harus mampu memperbaiki lingkungan bisnis menjadi lebih kondusif bagi investor secara khusus bagi investor dalam negeri dan juga luar negeri agar terjadi kegiatan riil. Dalam persaingan industri/produk, tiga persyaratan umum harus dipenuhi agar dapat keluar menjadi pemenang persaingan, yaitu:

1. Menghasilkan suatu barang atau jasa dengan tetap memperhatikan mutu pada tingkat biaya yang paling efisien sehingga bisa bersaing dalam harga jualnya. 2. Diferensiasi dalam pengertian bahwa produk yang dihasilkan mempunyai keunikan tersendiri dan mampu secara jitu mengkomunikasikan mutu dan harga produk untuk membangun dan menciptakan superior perceived value dibenak konsumen. 3. Cluster development dengan fokus untuk mengerjakan sesuatu bidang atau produk tertentu yang berbasiskan kelimpahan sumberdaya lokal yang dimiliki yang mempunyai keunggulan komparative ataupun kompetitif sehingga menghasilkan produk yang berbeda dan superior perceived value dengan penguasaan teknologi. Dengan segala kekuatan dan kelemahannya, serta diberlakukannya CAFTA, Indonesia berada dalam posisi harus berhadapan dengan China. CAFTA mendatangkan peluang bagi masingmasing negara dan sekaligus juga ancaman. Kenyataannya saat ini bahwa produk Indonesia secara umum belum mampu bersaing dengan produk-produk China, sehingga peningkatan daya saing produk industri nasional kita mutlak harus dilaksanakan. Seharusnya tingkat daya saing produk Indonesia dibandingkan dengan produk-produk dari negara-negara ASEAN, China dan negara lainnya yang telah menandatangani perjanjian perdagangan bebas (Free Trade Area) harus mempunyai daya saing yang minimal sama (equal) baru kita membuka perdagangan bebas untuk menghindari deindustrialisasi di dalam negeri yang dapat mengakibatkan Indonesia hanya sebagai pasar dan apabila hal ini terjadi akan mengakibatkan peningkatan jumlah pengangguran. Dalam peningkatan daya saing produk industri nasional mutlak harus dilaksanakan secara komprehensif, mungkin dapat dimulai dari pembenahan kelemahan-kelemahan seperti yang disebutkan di atas pada tulisan ini dengan perencanaan, pelaksanaan serta menetapkan target yang dicapai mulai dari jenis produk, waktu dan lain-lain. Memang pemerintah saat ini sedang mengupayakan peningkatan daya saing produk industri nasional secara berkelanjutan (sustainable development) yang diharapkan dalam waktu yang tidak terlalu lama sudah membawa daya saing produk industri nasional menjadi minimal sama atau bahkan lebih baik dari produk negara-negara lainnya. Dengan membawa produk industri nasional berdaya saing di pasar global maka akan meningkatkan pemasukan devisa kepada negara yang sekaligus meningkatkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat seperti yang diamanatkan pada UUD 1945 dalam pasal 33. Semua elemen bangsa harus berpartisipasi aktif dalam mendukung peningkatan daya saing produk-produk industri nasional ini dalam rangka Ketahanan Nasional Bangsa. Kemandirian Bangsa Visi Indonesia tahun 2025 ingin menjadikan Indonesia sebagai Negara yang Mandiri, Maju, Adil dan Makmur. Mandiri tidak berarti mengerjakan secara swadaya semuanya atau berdikari, namun lebih pada upaya meminimumkan ketergantungan pada dunia luar terutama sumberdaya dan sektor-sektor strategis. Oleh sebab itu kemandirian harus diartikan sebagai upaya untuk mendayagunakan secara optimal segenap potensi lokal sesuai dengan kearifan lokal meski tetap

membuka ruang kemitraan dengan pihak asing selama member manfaat bagi kepentingan nasional. Kemandirian juga bermakna kemerdekaan dan kedaulatan dalam mengelola sumberdaya tanpa pengaruh apalagi tekanan dari negara lain karena kemandirian itu merupakan salah satu faktor determinan bagi peningkatan daya saing nasional. Semakin mandiri suatu bangsa dalam mengelola sumberdaya ekonominya maka semakin tinggi daya saing ekonomi bangsa tersebut dan sebaliknya. Kemandirian dan daya saing bangsa merupakan prasyarat untuk mewujudkan ketahanan nasional yang tangguh dan dinamis karena keterkaitannya dengan kemerdekaan dan kedaulatan suatu bangsa. Kemandirian dan kedaulatan ekonomi bangsa akhir-akhir ini menjadi persoalan serius yang perlu dicarikan solusi dan strateginya. Ini mengingat sebagai dampak globalisasi dan liberalisasi ekonomi yang berakibat pada peran negara yang semakin berkurang dan peran swasta yang semakin dominan terutama swasta asing. Lihatlah bagaimana dominasi asing di sektor keuangan dan perbankan, sektor pertambangan dan sektor ekonomi lain seperti perkebunan, Hal yang tidak mungkin jika kelak dikemudian hari perekonomian akan dikuasi oleh sektor swasta asing dan akan membuat ketergantungan Indonesia terhadap ekonomi luar (asing). Hal ini juga terlihat dalam hal pembiayaan pembangunan, dimana hampir sebagian besar pembangunan dibiayai dari pinjaman luar negeri (hutang) yang tentu saja harus dikembalikan. Rasio beban utang negara terhadap hasil ekspor yang besar, menuntut pemerintah dan segenap elemen bangsa harus dapat merubah paradigma pembangunan yang semula dari mengandalkan sumber-sumber pembiayan luar negeri menjadi sumber-sumber dana domestik yang masih potensial belum tergarap. Peran BUMN dalam Kemandirian/Kedaulatan Terhadap peran BUMN dalam kemandirian ekonomi nasional, maka kebijakan dan program Kementerian BUMN dalam hal sinergitas perlu terus menerus diupayakan. Dengan kepemilikan saham pemerintah/negara yang dominan di perusahaan-perusahaan BUMN, maka jika hal ini mampu digerakkan akan dapat mendorong tumbuhnya perekonomian nasional yang tidak tergantung dari negara lain/luar. Selaras dengan pasal 33 UUD 1945, BUMN sebagai salah satu pilar perekonomian diharapkan dapat menjadi penggerak tumbuhnya perekonomian nasional, disamping badan usaha swasta dan koperasi. BUMN berperan strategis sebagai pelayanan publik, penyeimbang kekuatan-kekuatan swasta besar dan turut membantu pengembangan usaha kecil/koperasi. BUMN juga berperan dalam pelaksanaan layanan publik, penyeimbang kekuatan-kekuatan swasta besar dan berperan sebagai agen pembangunan guna merintis proyek-proyek pembangunan yang belum bisa ditangani swasta, selain merupakan sumber penerimaan negara yang cukup signifikan sebagai salah satu sumber penerimaan negera yang signifikan dalam bentuk berbagai jenis penerimaan negara, antara lain pajak dan deviden. Jika kita melihat pada BUMN yang ada sekarang, kita akan mengetahui bahwa BUMN sebagai suatu entitas yang memiliki potensi untuk berkembang menjadi suatu entitas yang besar dan

kuat. Hampir di semua lini bisnis dan sektor usaha yang ada di Indonesia, terdapat BUMN yang menjalankan usahanya. Bahkan di beberapa sektor usaha, BUMN adalah penguasa pasar (market leader) sehingga memiliki peran yang sangat signifikan baik bagi stabilitas sektor bisnis maupun perekonomian secara umum. Jumlah BUMN yang mencapai 141 dan tersebar di hampir semua sektor usaha tidak hanya membuat BUMN sangat berpotensi untuk berkontribusi yang signifikan kepada masyarakat dan negera secara u um, tetapi juga memiliki potensi yang besar untuk menjalin sinergi yang saling menguntungkan antar sesama BUMN sehingga akan memberikan percepatan dalam pencapaian kinerja perusahaan. Hal ini secara tidak langsung akan ikut serta membantu dalam menciptakan kemandirian/kedaulatan ekonomi dari peran dominasi swasta asing. BUMN sebagai suatu entitas usaha juga diharapkan akan dapat berperan serta dalam mendorong penerapan praktek-praktek bisnis dengan standar etika dan transparansi, independensi, akuntabilitas, responsibilitas dan fairness (GCG) serta profesionalisme dalam pengelolaan perusahaan, sehingga dapat menjalankan fungsi korporasi serta mendapatkan keuntungan wajar yang dapat digunakan untuk pengembangan usaha dan setoran untuk mendukung pembiayaan APBN sesuai dengan kontitusi kita.

Penutup Demikianlah beberapa point dan butir tanggapan terkait dengan Seminar Optimalisasi Pengelolaan Sumberdaya Ekonomi Nasional Guna Meningkatkan Kemandirian Dan Daya Saing Nasional Dalam Rangka Ketahanan Nasional. Mudah-mudahan tulisan/tanggapan ini dapat memberikan masukan yang berarti bagi Lembaga Ketahanan Nasional (LEMHANNAS) dalam merumuskan rekomendasi kebijakan kepada Pemerintah, cq Presiden RI dalam upaya menciptakan kemandirian dan daya saing nasional guna mewujudkan Ketahanan nasional.
http://beritasore.com/2011/06/07/optimalisasi-pengelolaan-sumberdaya-ekonomi-nasional-gunameningkatkan-kemandirian-dan-daya-saing-dalam-rangka-ketahanan-nasional/

Revitalisasi Industri Strategis untuk Meningkatkan Pertahanan Nasional Citizen6, Jakarata: Dalam periode kedua masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, beberapa kali telah menunjukkan keinginannya untuk merevitalisasi industri strategis pertahanan, guna mengembangkan kemampuan industri dalam negeri bagi kepentingan pembangunan ekonomi nasional. Revitalisasi ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan industri pertahanan nasional sekaligus memberikan kontribusi bagi kepentingan pembangunan ekonomi, (18/5). Demikian dikatakan Panglima TNI Laksamana TNI Agus Suhartono, pada acara Seminar Revitalisasi Industri Strategis yang diselenggarakan Harian Umum Sinar Harapan, Kementerian Pertahanan dan Perum LKBN antara di Auditorium Adhiyana, Wisma Antara Lt II jalan Medan

Merdeka Selatan 17 Jakarta, Rabu (18/5). Seminar diselenggarakan dalam rangka menyongsong ASEAN Defence Ministers Meeting yang akan dilaksanakan pada tanggal 19 20 Mei 2011. Dalam Peraturan Pemerintah (PP) nomor 7 tahun 2008 tentang kebijakan umum pertahanan negara, memuat bahwa satu permasalahan aktual dalam penyelenggaraan pertahanan negara adalah rendahnya kondisi dan jumlah alat utama sistem persenjataan (Alutsista), terkait dengan rendahnya pemanfaatan industri pertahanan nasional dan embargo oleh negara - negara produsen utama, untuk itu diperlukan percepatan terwujudnya kemandirian industri pertahanan. Dokumen nota kesepahaman antara Kementerian Pertahanan RI dan Kementerian Perindustrian RI, serta Kementerian Negara BUMN tentang percepatan penggunaan Alutsista produksi dalam negeri tahun 2006, merupakan komitmen bersama yang bisa memberikan harapan bagi terwujudnya industri pertahanan nasional. Namun demikian untuk mewujudkan hal tersebut Indonesia masih mengalami kendala yang diantaranya adalah keterbatasan anggaran negara, hal ini mendorong pemerintah untuk terus mengagendakan revitalisasi industri strategis nasional. Menurut Panglima TNI, terdapat tiga catatan penting dalam revitalisasi industri strategis yang diarahkan bagi percepatan dan perluasan ekonomi. Pertama, adalah revitalisasi industri dan potensi pertumbuhan pasar. kedua, horison industri nasional umumnya sering terjebak oleh target laba jangka pendek, dan ketiga, revitalisasi yang mendasari semua aspek aspek revitalisasi yaitu revitalisasi ketekunan dalam menjalin kerjasama antar lembaga. Revitalisasi semangat, kemauan dan nasionalisme setiap pelaku nasional, para ahli dan peneliti, kalangan akademisi serta komponen terkait lainnya dalam memegang komitmen dan menegakkan disiplin termasuk komponen pengguna industri pertahanan yaitu TNI. Revitalisasi tersebut merupakan kunci utama menuju pembangunan industri menuju pembangunan industri strategis dalam rangka percepatan dan perluasan ekonomi nasional. Seminar Pertahanan ini dihadiri oleh Menteri Pertahanan RI, Purnomo Yusgiantoro selaku Keynote Speaker, Menteri Pertahanan Malaysia Datok DR Ahmad Zahid bin Hamidi, Duta Besar Malaysia untuk Indonesia Datok Syed Munsche Afzarudin, Duta Besar Indonesia untuk Malaysia Jenderal Pol (Purn) Dai Bachtiar, serta perwakilan dari para negara sahabat ASEAN dan para pejabat TNI. Adapun para pembicara dalam Seminar Pertahanan adalah Wakil Ketua Komisi I DPR, Mayjen TNI (Purn) Tubagus Hasanuddin, Deputi Bidang Usaha Industri Strategis dan Manufaktur Kementerian BUMN Irnanda Laksanawan Komisaris Utama PT PAL, Laksamana TNI (Purn) Tedjo Edhy Purdijatno, pengamat masalah pertahanan M. Riefqi Muna, Direktur Teknologi dan Pengembangan PT Dirgantara Indonesia, Bapak Dita Ardonni Jafri, dan Direktur Teknologi Industri Pertahanan, Dirjen Pothan Kemenhan RI, Brigjen TNI Agus Suyarso. (Pengirim: badarudin bakri).
http://citizen6.liputan6.com/read/334963/revitalisasi_industri_strategis_untuk_meningkatkan_pert ahanan_nasional

Pengusaha Minta Ekspor Gas Dihentikan Monday, 27 June 2011 JAKARTA Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Erwin Aksa mengatakan, pemerintah harus menghentikan ekspor gas agar produksi gas bisa dioptimalkan untuk menutupi kebutuhan energi di dalam negeri.

Menurut Erwin, krisis energi yang berbuntut pada pemadaman listrik antara lain merupakan akibat langsung dari mengalirnya produk gas ke luar negeri. Mengalirnya ekspor gas ke luar negeri adalah salah satu pangkal masalah krisis energi. Indonesia punya banyak pembangkit listrik tenaga gas. Tetapi karena minimnya stok gas dalam negeri, akhirnya penggunaan bahan bakar beralih ke solar yang harganya jauh lebih mahal ketimbang gas,Kata Erwin di Jakarta baru-baru ini. Erwin menjelaskan, apabila pemerintah tidak segera mengambil kebijakan yang konkret dalam bidang energi, krisis energi akan terus terjadi, sehingga pertumbuhan ekonomi akan terhambat. Sementara itu, Ketua Umum Forum Industri Pengguna Gas Bumi (FIPGB) Achmad Safiun mengatakan saat ini industri di dalam negeri masih kekurangan pasokan gas.Pemerintah,kata dia,baru memenuhi 50% gas untuk kebutuhan industri dalam negeri. Dari 326 industri yang membutuhkan pasokan gas, baru setengahnya yang mendapatkan pasokan, sisanya belum menerima sama sekali, kata Safiun. Ketua Umum Kamar dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Suryo Bambang Sulisto mengatakan, pemerintah mengambil langkah yang salah dengan mengekspor gas.Pemerintah tidak mungkin membeli gas secara impor karena harganya relatif mahal, sedangkan untuk produksi gas dalam negeri banyak yang diekspor, kata Suryo. Suryo menambahkan, keberpihakan pemerintah terhadap industri nasional masih kurang, sehingga daya saing industri nasional terus melemah. Csandra karina
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/406860/

Anda mungkin juga menyukai