Anda di halaman 1dari 6

BEBERAPA PERMASALAHAN PERKOTAAN

Pendahuluan Perkotaan di Indonesia, tak lagi terbatas sebagai pusat pemukiman masyarakat. Kini kota juga berfungsi sebagai pusat pemerintahan,sentral hirarki, dan pusat pertumbuhan ekonomi. Sebagai konsekuensi logis dari peran kota sebagai pusat pertumbuhan dan ekonomi, sumbangan perkotaan terhadap pertumbuhan ekonomi nasional, semakin meningkat. Data menunjukkan, terdapat peningkatan peranan perkotaan terhadap pertumbuhan nasional yang cukup signifikan. Pada awal Pelita I, peranan kota terhadap pertumbuhan ekonomi nasional tercatat 50%, namun pada Pelita V, peranan kota terhadap pertumbuhan telah mencapai 70% (National Urban Development Strategy, 2001). Pertumbuhan tersebut membawa dampak yang besar bagi kota itu sendiri. Dari sisi penduduk misalnya, terdapat pertumbuhan jumlah penduduk yang besar dari tahun ke tahun. Pada tahun 1990, jumlah penduduk perkotaan di Indonesia mencapai 31,1%, sementara pada 1995 mencapai 35,9% dari jumlah penduduk Indonesia. Berdasarkan proyeksi National Urban Development Strategy, jumlah penduduk perkotaan pada tahun 2003 mencapai 55,3% dari penduduk Indonesia. Di lain pihak, penduduk pedesaan pada 1990,mencapai 68,9% pada 1995 mencapai 64,4% dan pada 2003 penduduk pedesaan mencapai kurang dari 45% dari jumlah penduduk Indonesia. Penambahan komposisi kependudukan perkotaan memang tak terelakkan. Pada kenyataannya negara-negara dengan tingkat perekonomian yang tinggi, memiliki tingkat urbanisasi yang tinggi pula. Negara-negara industri pada umumnya memiliki tingkat urbanisasi di atas 75 persen. Bandingkan dengan negara berkembang yang sekarang ini. Tingkat urbanisasinya masih sekitar 35 persen sampai dengan 40 persen saja. (Prijono Tjiptoherijanto, Urbanisasi dan Perkotaan, Artikel kompas 2000). Tentu juga pertumbuhan penduduk yang demikian pesat tersebut membawa konsekuensi yang besar bagi perkotaan. Penambahan jumlah penduduk di tengah semakin terbatasnya ruang publik, menjadikan kota semakin lama semakin kehilangan fungsi sebagai sarana pemukiman yang nyaman. Krisis perekonomian yang melanda Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini, menjadikan kota harus menanggung beban tambahan yang cukup serius. Arus urbanisasi yang semakin meningkat dari desa ke kota, ditambah dengan meningkatnya jumlah pengangguran dari 3 juta pada September 1998, menjadi 26 juta pada Januari 1999 (NUDS 2, 2000) menjadikan permasalahan kota menjadi semakin kompleks. Sebagai dampak pertumbuhan penduduk perkotaan tersebut, beberapa prinsip perencanaan perkotaan seperti liveability, kenyamanan kota yang dinilai akan mendorong warganya berproduktivitas tinggi, competitiveness, kebersaingan untuk mengundang investor1, menjadi

sulit untuk tercapai. Dengan berbagai persoalan ini, penataan perkotaan menjadi semakin kompleks. Beberapa permasalahan kota tersebut diantaranya adalah sebagai berikut:

1.Arus Urbanisasi yang Cepat Urbanisasi menurut Prijono Tjiptoherijanto berarti persentase penduduk yang tinggal di daerah perkotaan. Sedangkan mereka yang awam dengan ilmu kependudukan seringkali mendefinisikan urbanisasi sebagai perpindahan penduduk dari desa ke kota (Prijono, Urbanisasi, Kompas, Senin 8 Mei 2000). Berdasarkan survei penduduk antar sensus (Supas) 1995, tingkat urbanisasi di Indonesia pada tahun 1995 adalah 35,91 persen yang berarti bahwa 35,91 persen penduduk Indonesia tinggal di daerah perkotaan. Tingkat ini telah meningkat dari sekitar 22,4 persen pada tahun 1980 yang lalu. Sebaliknya proporsi penduduk yang tinggal di daerah pedesaan menurun dari 77,6 persen pada tahun 1980 menjadi 64,09 persen pada tahun 1995. Meningkatnya kepadatan penduduk perkotaan membawa dampak yang sangat besar kepada tingkat kenyamanan yang tinggi. Kota seperti Jakarta misalnya tidak dirancang untuk melayani mobilitas penduduk lebih dari 10 juta orang. Dengan jumlah penduduk lebih dari 8 juta penduduk saat ini, ditambah dengan 4-6 juta penduduk yang melaju dari berbagai kota sekitar Jakarta, menjadikan Jakarta sangatlah sesak. Kedekatan jangkauan terhadap pusat-pusat perekonomian di perkotaan, menjadikan daya tarik lain sehingga sebagian penduduk lebih memilih tinggal di kota, meski mereka terpaksa tinggal di ruang yang sangat terbatas. Akibatnya, area-area kumuh, dengan fasilitas kehidupan dan kebutuhan umum yang terbatas, menjadi semakin meluas. 2.Hilangnya Ruang Publik Dalam praktiknya berbagai kepentingan dan fungsi perkotaan kerap harus mengorbankan fungsi kota lainnya. Kota sebagai pusat pertumbuhan ekonomi tentu saja memerlukan lahan bagi pengembangan ekspansi kepentingan tersebut. Persoalannya, ruang dan wilayah perkotaan jumlahnya tetap, sehingga untuk kepentingan ekonomi tersebut harus menggunakan ruang wilayah fungsi kota lainnya. Yang kerap dikorbankan adalah ruang-ruang publik. Sarana olahraga, pendidikan kerap harus tersingkir oleh kepentingan ekonomi.Kasus penggusuran sebuah sekolah di Kawasan Melawai Jakarta baru-baru ini, merupakan salah satu contoh betapa sebuah kepentingan ekonomi harus mengorbankan fungsi kota lainnya, meski itu juga penting, yakni pendidikan. Pergeseran fungsi lahan atau penghilangan fungsi ruang publik, disadari atau tidak menimbulkan implikasi lain yang serius. Sejak puluhan tahun terakhir ini, ruang-ruang publik antara lain untuk

keperluan olahraga harus dikorbankan. Akibantnya, anak-anak muda jakarta kehilangan tempat untuk mengekspresikan jiwa muda dan kelebihan energinya. Hidup di lingkungan dan ruang yang terbatas, tidak adanya sarana untuk mengekpresikan diri, menimbulkan dampak sosial yang serius. Perkelahian pelajar misalnya, salah satu penyebabnya adalah karena mereka kehilangan ruang publik tempat mengekspresikan jiwa mudanya. Kondisi ini digambarkan secara cepat oleh Prijono Tjiptoherijanto: Kebijaksanaan pembangunan perkotaan saat ini cenderung terpusat pada suatu arena yang memiliki tingkat konsentrasi yang tinggi. Hubungan positif antara konsentrasi penduduk dengan aktivitas kegiatan ekonomi ini akan menyebabkan makin membesarnya area konsentrasi penduduk sehingga menimbulkan apa yang yang dikenal dengan nama daerah perkotaan. Sementara terdapat keterkaitan timbal balik antara aktivitas ekonomi dengan konsentrasi penduduk. Para pelaku ekonomi cenderung melakukan investasi di daerah yang telah memiliki konsentrasi penduduk tinggi serta memiliki sarana dan prasarana yang lengkap. Karena dengan demikian mereka dapat menghemat berbagai biaya, antara lain biaya distribusi barang dan jasa. Sebaliknya, penduduk akan cenderung datang kepada pusat kegiatan ekonomi karena di tempat itulah mereka akan lebih muda memperoleh kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan (Urbanisasi dan perkotaan di Indonesia, Artikel Harian Kompas, Senin, 8 Mei 2000). 3.Meningkatnya Kemacetan Pertumbuhan jumlah kendaraan sebagai akibat pertumbuhan ekonomi dan meningkatnya pendapatan penduduk, membawa implikasi lain bagi perkotaan. Masalah kemacetan lalu lintas merupakan masalah yang tidak mudah dipecahkan oleh para pengambil kebijakan perkotaan. Terbatasnya wilayah untuk memperluas jaringan jalan, merupakan kendala terbesar sehingga penambahan ruas jalan yang dilakukan pemerintah tak dapat mengimbangi laju pertambahan penduduk. Akibatnya persoalan kemacetan lalu lintas ini semakin lama semakin menjadi. Persoalannya semakin pelik, ketika pemerintah tidak mampu menyediakan sarana transportasi umum dan massal yang memadai, sehingga masyarakat lebih nyaman menggunakan kendaraan pribadi dan akhirnya menjadikan masalah kemacetan ini makin menjadi. Di lain pihak pembangunan kota-kota satelit di sekitar Jakarta, tak mampu memecahkan masalah ini, karena para penduduk kota satelit ini justru masih mencari penghidupan di Jakarta. Akibatnya pembangunan kota-kota ini justru hanya memperluas sebaran daerah-daerah pusat kemacetan lalu lintas. 4.Disparitas Pendapatan Antarpenduduk Perkotaan Perbedaan tingkat kemampuan, pendidikan dan akses terhadap sumber-sumber ekonomi menjadikan persoalan perbedaan pendapatan antarpenduduk di perkotaan semakin besar.

Di satu pihak, sebagian kecil dari penduduk perkotaan menguasai sebagian besar sumber perekonomian. Sementara di sisi lain, sebagian besar penduduk justru hanya mendapatkan sebagian kecil sumber perekonomian. Akibatnya, terdapat kesenjangan pendapatan yang semakin lama semakin besar. Sebagai bagian dari mekanisme pasar, kondisi ini sebenarnya sah-sah saja dan sangat wajar terjadi. Persoalannya, ternyata dan praktiknya disparitas pendapatan ini menimbulkan persoalan sosial yang tidak ringan. Terjadinya kecemburuan sosial yang bermuara pada kerusuhan massal, kerap terjadi karena persoalan ini. Dalam skala yang lebih kecil, meningkatnya kriminalitas di perkotaan, merupakan implikasi tidak meratanya kemampuan dan kesempatan untuk menikmati pertumbuhan perekonomian di perkotaan. 5.Meningkatnya Sektor Informal Kesenjangan antara kemampuan menyediakan sarana penghidupan dengan permintaan terhadap lapangan kerja, memacu tumbuhnya sektor informal perkotaan. Pada saat krisis ekonomi terjadi jumlah penduduk perkotaan yang bekerja di sektor informal ini semakin besar. Di satu sisi tumbuhnya sektor informal ini merupakan katup pengaman bagi krisis ekonomi yang melanda sebagian besar Bangsa Indonesia. Namun, pada gilirannya peningkatan aktivitas sektor informal, terutama yang berada di perkotaan dan menyita sebagian ruang publik perkotaan, menimbulkan masalah baru terutama menyangkut aspek kenyamanan dan ketertiban yang juga menjadi hak publik bagi warga perkotaan yang lain. Indonesia juga menghadapi masalah perkotaan yang cukup menekan khususnya sejak Pemerintahan Orde Baru tahun 1970-an di mana keamanan hidup di perkotaan makin meningkat dan pembangunan di kota-kota makin menggebu-gebu, ini merangsang urbanisasi berjalan dengan pesat dan tidak terkendali. Dalam sensus tahun 1961 tercatat bahwa dari 97 juta penduduk Indonesia, 14 juta tinggal di kota (=15 persen). Angka ini meningkat dalam sensus tahun 1971 di mana terlihat bahwa dari 119 juta penduduk, 21 juta tinggal di kota (=18 persen), dan dalam sensus tahun 1980 tercatat dari 148 juta penduduk Indonesia, 33 juta tinggal di kota (=22 persen). Dalam sensus terakhir tahun 1990 diketahui bahwa penduduk Indonesia sudah mencapai 180 juta orang di mana 56 juta di antaranya tinggal di kota-kota (=31 persen) dan diperkirakan pada tahun 2000, 40 persen penduduk Indonesia akan tinggal di kota-kota. Bayangkan bahwa dalam kurun waktu 30 tahun terakhir (1961-1990) kenaikan jumlah penduduk Indonesia hanya meningkat menjadi kurang dari 2 kali, tetapi kenaikan jumlah penduduk kotanya meningkat menjadi 4 kali lipat! Hal ini memang sesuai dengan hasil sensus 1990 di mana ditemukan fakta bahwa pertumbuhan penduduk Indonesia sekarang telah bisa ditekan menjadi 1,9 persen pertahun tetapi angka urbanisasi perkotaan pertahun mencapai 5,7 persen! Kota Bandung sebagai kota terbesar di Jawa Barat sekarang dihuni lebih dari 2 juta penduduk dan kota Jakarta sebagai Ibukota Negara telah berpenduduk 9 juta lebih.

Persentase penduduk kota yang meningkat itu menghasilkan kepadatan bangunan dan hunian yang makin tinggi di kota-kota yang berdampak serius terhadap penduduk perkotaan itu sendiri. Perumahan kelompok berpenghasilan rendah di kampung-kampung kota makin tinggi kepadatannya bahkan bisa mencapai 1000 orang per hektar tingkat huniannya, kenyataan mana menimbulkan masalah kemerosotan lingkungan perumahan menjadi kumuh, yang benar-benar makin tidak layak huni karena kepadatan bangunan dan kepadatan hunian. Banyak rumah-rumah di kampung-kampung kota dihuni lebih dari satu keluarga bahkan sering pula dihuni beberapa keluarga. Di Indonesia masalah perumahan makin sulit dijangkau oleh penduduk berpenghasilan rendah. Gejala makin langkanya perumahan di kota mengakibatkan makin banyaknya para gepeng (gelandangan pengemis) yang berkeliaran di kota-kota termasuk anak-anak jalanan (street children). Makin padatnya penduduk perkotaan makin menyulitkan penyediaan prasarana dan sarana fisik dan sosial dan kondisi lingkungan hidup makin merosot. Days dukung lingkungan bukan saja makin tidak memadai tetapi rusak akibat adanya polusi yang sekarang mengotori sungai-sungai di kota, dan udara kota penuh dengan polusi udara karena asap pabrik dan kendaraan. Kenyataan ini mendatangkan kerawanan kesehatan di kota-kota. Masalah polusi pabrik bukan hanya soal kesehatan dan lingkungan hidup saja, tetapi masalah moral mengenai ketidakadilan dan hak azasi penduduk dalam menuntut kehidupan yang asri, demikian juga kotornya sungai-sungai karena zat buangan pabrik-pabrik industri mematikan banyak ikan dan tidak memberi kesempatan banyak orang bergantung dari pengusahaan ikan sungai, bahkan penggunaan lain untuk air minum, mandi, atau mencuci makin tidak mungkin. Perkembangan kota dan industrinya memang menumbuhkan ekonomi kota, hal ini terlihat dengan lajunya pembangunan fisik gedung-gedung perkantoran, pusat-pusat pertokoan, dan pabrik-pabrik, tetapi sejalan dengan ini masalah lowongan pekerjaan, PHK, dan pengangguran makin menekan. Sekarang makin banyak kasus-kasus kita baca mengenai pemogokan buruh industri karena upah buruh di bawah standar dan perlakuan majikan yang tidak adil terhadap buruhnya, masalah PHK karena rasionalisasi dan otomatisasi perusahaan menjadi peristiwa yang makin sering terjadi di pabrik-pabrik dalam kota. Tidak dapat disangkal bahwa pengangguran makin meningkat yang akan berdampak luas terhadap kenaikan angka kejahatan atau kriminalitas. Kasus-kasus demonstrasi dan pemogokan buruh sudah menjadi agenda rutin di Tangerang dan bahkan di Medan belum lama ini telah menjurus kepada SARA yang mendatangkan korban jiwa! Jurang kaya miskin di kota antara mereka yang memperoleh kesempatan dan yang tidak makin menganga, dan kesenjangan sosial antara konglomerat dan yang melarat makin mustahil dijembatani. Di kota-kota besar kita melihat makin banyak villa-villa eksklusif dengan taman dan kolamnya yang lebar, tetapi kawasan kumuh tanpa air minum juga makin meluas. Makin banyak penduduk kota naik mobil mewah bahkan di kawasan elit satu rumah sering mempunyai mobil lebih dari dua, sedangkan masyarakat umum makin berhimpit-himpitan di bis-bis kota. Dibandingkan dengan situasi sosial di pedesaan (rural), kemelut sosial di perkotaan makin menghantui masyarakat kota, sebab kriminalitas menjadi berita sehari-hari pos kota, perkelahian

antar pelajar makin menjadi hobi anak-anak sekolah, penyalahgunaan alkohol dan narkotika sudah menjadi masalah serius yang berdampak negatif terhadap masa depan generasi muda, dari masalah anak-anak jalanan dan pelacuran yang juga menimpa anak-anak makin menjadi isu sehari-hari di kota-kota yang membutuhkan uluran tangan mendesak.

Anda mungkin juga menyukai