Anda di halaman 1dari 71

20 Ciri Ciri Orang yang Inovatif

Posted on 15 Maret 2008 by AKHMAD SUDRAJAT Mitchell Ditkoff, Direktur dari Idea Champions, mengetengahkan tentang kualitas dari seorang inovator, dengan ciri-ciri sebagai berikut:

1. Challenges status quo; tidak merasa cepat puas dengan keadaan yang ada dan selalu mempertanyakan otoritas dan rutinitas serta mengkonfrontasikan asumsi-asumsi yang ada. 2. Curious; senantiasa mengeksplorasi lingkungannya dan menginvestigasi kemungkinankemungkinan baru, memiliki rasa kekaguman (sense of awe) 3. Self-motivated; tanggap terhadap kebutuhan dari dalam (inner needs) senantiasa secara proaktif memprakarsai proyek-proyek baru, menghargai setiap usaha. 4. Visionary; memiliki imaginasi yang tinggi dan memiliki pandangan yang jauh ke depan. 5. Entertains the fantastic; memunculkan ide-ide gila, memandang sesuatu yang tidak mungkin menjadi sebuah kemungkinan, memimpikan dan menghayalkan sesuatu yang besar-besar. 6. Takes risks; melampaui wilayah yang dianggap menyenangkan, berani mencoba dan menanggung kegagalan. 7. Peripatetic; merubah lingkungan kerja sesuai yang dibutuhkan, senang melakukan perjalanan (travelling) untuk memperoleh inspirasi atau pemikiran segar. 8. Playful/humorous; memliki ketertarikan terhadap hal-hal yang aneh dan mengagumkan, berani tampil beda, bertindak nekad, serta mudah dan sering tertawa layaknya seorang anak kecil. 9. Self-accepting; dapat mempertahankan ide-idenya dan menganggap kesempurnaan sebagai musuh kebaikan, tidak terikat dengan apa-apa yang diipandang baik menurut orang lain.

10. Flexible/adaptive terbuka bagi setiap perubahan, mampu melakukan penyesuaian terhadap rencana-rencana yang telah dibuat, menyajikan berbagai solusi dan gagasan 11. Makes new connections;mampu melihat hubungan-hubungan diantara unsur-unsur yang terputus, mensintesakan dan mengkombinasikannya. 12. Reflective, menginkubasi setiap masalah dan tantangan, mencari dan merenungkan berbagai pertimbangan dalam mengambil keputusan. 13. Recognizes (and re-cognizes) patterns; perseptif terhadap sesuatu dan dapat membedakannnya, dapat melihat kecenderungan dan prinsip serta mampu mengorganisasikannnya, dapat melihat the Big Picture. 14. Tolerates ambiguity, merasa nyaman dalam situasi kacau (chaos), dapat menyajikan situasi paradoks, tidak tergesa-gesa membenarkan terhadap suatu ide yang muncul. 15. Committed to learning; berusaha mencari pengetahuan secara terus menerus, mensintesakan segala in put, menyeimbangkan setiap informasi yang terkumpul dan menyelaraskan setiap tindakan. 16. Balances intuition and analysis memilih dan memilah diantara pemikiran divergen dan pemikiran konvergen, memiliki intuisi tertentu sebelum melakukan analisis, meyakini apa yang sudah dianalisis dan menggunakannya secara hati-hati dengan menggunakan akal. 17. Situationally collaborative; berusaha menyeimbangkan pemikiran dari setiap individu, membuka pelatihan dan mencari dukungan organisasi. 18. Formally articulate; mengkomunikasikan setiap gagasan secara efektif, menterjemahkan konsep abstrak ke dalam bahasa penuh arti, menciptakan prototype atau model yang dianggap paling mudah 19. Resilient; merefleksi hal-hal dianggap mengecewakan atau yang tidak dinginkan, belajar dengan cepat dari umpan balik, berkemauan untuk mencoba dan terus mencoba lagi 20. Persevering; bekerja keras dan tekun, memperjuangkan gagasan-gagasan baru dengan gigih, memiliki komitmen terhadap hasil-hasil yang telah digariskan. Sumber: http://thinksmart.com/articles/qualities.html Refleksi buat Anda: Berapa ciri-ciri di atas yang sudah Anda miliki?

Menjadi Kepala Sekolah yang Efektif


Posted on 20 Maret 2008 by AKHMAD SUDRAJAT

Berdasarkan hasil studi yang telah dilakukannya, Southern Regional Education Board (SREB) telah mengidentifikasi 13 faktor kritis terkait dengan keberhasilan kepala sekolah dalam mengembangkan prestasi belajar siswa. Ketigabelas faktor tersebut adalah: 1. Menciptakan misi yang terfokus pada upaya peningkatan prestasi belajar siswa, melalui praktik kurikulum dan pembelajaran yang memungkinkan terciptanya peningkatan prestasi belajar siswa. 2. Ekspektasi yang tinggi bagi semua siswa dalam mempelajari bahan pelajaran pada level yang lebih tinggi. 3. Menghargai dan mendorong implementasi praktik pembelajaran yang baik, sehingga dapat memotivasi dan meningkatkan prestasi belajar siswa. 4. Memahami bagaimana memimpin organisasi sekolah, dimana seluruh guru dan staf dapat memahami dan peduli terhadap siswanya. 5. Memanfaatkan data untuk memprakarsai upaya peningkatan prestasi belajar siswa dan praktik pendidikan di sekolah maupun di kelas secara terus menerus. 6. Menjaga agar setiap orang dapat memfokuskan pada prestasi belajar siswa. 7. Menjadikan para orang tua sebagai mitra dan membangun kolaborasi untuk kepentingan pendidikan siswa. 8. Memahami proses perubahan dan memiliki kepemimpinan untuk dapat mengelola dan memfasilitasi perubahan tersebut secara efektif. 9. Memahami bagaimana orang dewasa belajar (baca: guru dan staf) serta mengetahui bagaimana upaya meningkatkan perubahan yang bermakna sehingga terbentuk kualitas pengembangan profesi secara berkelanjutan untuk kepentingan siswa. 10. Memanfaatkan dan mengelola waktu untuk mencapai tujuan dan sasaran peningkatan sekolah melalui cara-cara yang inovatif. 11. Memperoleh dan memanfaatkan berbagai sumber daya secara bijak. 12. Mencari dan memperoleh dukungan dari pemerintah, tokoh masyarakat dan orang tua untuk berbagai agenda peningkatan sekolah. 13. Belajar secara terus menerus dan bekerja sama dengan rekan sejawat untuk mengembangkan riset baru dan berbagai praktik pendidikan yang telah terbukti. Sumber: adaptasi dari : The Principal Internship:How Can We Get It Right? www.sreb.org Refleksi untuk Anda: Menurut analisis kritis Anda, bagaimana kondisi nyata kepala sekolah di Indonesia dikaitkan dengan ketigabelas faktor di atas? A. Apa yang Dimaksud dengan Manajemen Peserta Didik?

Manajemen peserta didik dapat diartikan sebagai usaha pengaturan terhadap peserta didik mulai dari peserta didik tersebut masuk sekolah sampai dengan mereka lulus sekolah. Knezevich (1961) mengartikan manajemen peserta didik atau pupil personnel administration sebagai suatu layanan yang memusatkan perhatian pada pengaturan, pengawasan dan layanan siswa di kelas dan di luar kelas seperti: pengenalan, pendaftaran, layanan individual seperti pengembangan keseluruhan kemampuan, minat, kebutuhan sampai ia matang di sekolah.

Secara sosiologis, peserta didik mempunyai kesamaan-kesamaan.Adanya kesamaan-kesamaan yang dipunyai anak inilah yang melahirkan kensekuensi kesamaan hak-hak yang mereka punyai. Kesamaan hak-hak yang dimiliki oleh anak itulah, yang kemudian melahirkan layanan pendidikan yang sama melalui sistem persekolahan (schooling). Dalam sistem demikian, layanan yang diberikan diaksentuasikan kepada kesamaan-kesamaan yang dipunyai oleh anak.Pendidikan melalui sistem schooling dalam realitasnya memang lebih bersifat massal ketimbang bersifat individual. Layanan yang lebih diaksentuasikan kepada kesamaan anak yang bersifat massal ini, kemudian digugat. Gugatan demikian, berkaitan erat dengan pandangan psikologismengenai anak.Bahwa setiap individu pada hakekatnya adalah berbeda.Oleh karena berbeda, maka mereka membutuhkan layanan-layanan pendidikan yang berbeda. Layanan atas kesamaan yang dilakukan oleh sistem schooling tersebut dipertanyakan, dan sebagai responsinya kemudian diselipkan layanan-layanan yang berbeda pada sistem schooling tersebut. Adanya dua tuntutan pelayanan terhadap siswa, yakni aksentuasi pada layanan kesamaan dan perbedaan anak, melahirkan pemikiran pentingnya manajemen peserta didik untuk mengatur bagaimana agar tuntutan dua macam layanan tersebut dapat dipenuhi di sekolah. Baik layanan yang teraksentuasi pada kesamaan maupun pada perbedaan peserta didik, samasama diarahkan agar peserta didik berkembang seoptimal mungkin sesuai dengan kemampuannya. B. Tujuan dan Fungsi Manajemen Peserta Didik Tujuan umum manajemen peserta didik adalah: mengatur kegiatan-kegiatan peserta didik agar kegiatan-kegiatan tersebut menunjang proses belajar mengajar di sekolah; lebih lanjut, proses belajar mengajar di sekolah dapat berjalan lancar, tertib dan teratur sehingga dapat memberikan kontribusi bagi pencapaian tujuan sekolah dan tujuan pendidikan secara keseluruhan.

Tujuan khusus manajemen peserta didik adalah sebagai berikut: 1. Meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan psikomotor peserta didik. 2. Menyalurkan dan mengembangkan kemampuan umum (kecerdasan), bakat dan minat peserta didik. 3. Menyalurkan aspirasi, harapan dan memenuhi kebutuhan peserta didik. 4. Dengan terpenuhinya 1, 2, dan 3 di atas diharapkan peserta didik dapat mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan hidup yang lebih lanjut dapat belajar dengan baik dan tercapai cita-cita mereka. Fungsi manajemen peserta didik secara umum adalah: sebagai wahana bagi peserta didik untuk mengembangkan diri seoptimal mungkin, baik yang berkenaan dengan segi-segi individualitasnya, segi sosialnya, segi aspirasinya, segi kebutuhannya dan segi-segi potensi peserta didik lainnya. Fungsi manajemen peserta didik secara khusus dirumuskan sebagai berikut: 1. Fungsi yang berkenaan dengan pengembangan individualitas peserta didik, ialah agar mereka dapat mengembangkan potensi-potensi individualitasnya tanpa banyak terhambat. Potensi-potensi bawaan tersebut meliputi: kemampuan umum (kecerdasan), kemampuan khusus (bakat), dan kemampuan lainnya. 2. Fungsi yang berkenaan dengan pengembangan fungsi sosial peserta didik ialah agar peserta didik dapat mengadakan sosialisasi dengan sebayanya, dengan orang tua dan keluarganya, dengan lingkungan sosial sekolahnya dan lingkungan sosial masyarakatnya. Fungsi ini berkaitan dengan hakekat peserta didik sebagai makhluk sosial. 3. Fungsi yang berkenaan dengan penyaluran aspirasi dan harapan peserta didik, ialah agar peserta didik tersalur hobi, kesenangan dan minatnya. Hobi, kesenangan dan minat peserta didik demikian patut disalurkan, oleh karena ia juga dapat menunjang terhadap perkembangan diri peserta didik secara keseluruhan. 4. Fungsi yang berkenaan dengan pemenuhan kebutuhan dan kesejahteraan peserta didik ialah agar peserta didik sejahtera dalam hidupnya. Kesejahteraan demikian sangat penting karena dengan demikian ia akan juga turut memikirkan kesejahteraan sebayanya. C. Prinsip-Prinsip Manajemen Peserta Didik Yang dimaksudkan dengan prinsip adalah sesuatu yang harus dipedomani dalam melaksanakan tugas. Jika sesuatu tersebut sudah tidak dipedomani lagi, maka akan tanggal sebagai suatu prinsip. Prinsip manajemen peserta didik mengandung arti bahwa dalam rangka memanaj peserta didik, prinsip-prinsip yang disebutkan di bawah ini haruslah selalu dipegang dan dipedomani. Adapun prinsip-prinsip manajemen peserta didik tersebut adalah sebagai berikut: 1. Manajemen peserta didik dipandang sebagai bagian dari keseluruhan manajemen sekolah. Oleh karena itu, ia harus mempunyai tujuan yang sama dan atau mendukung terhadap tujuan manajemen secara keseluruhan. Ambisi sektoral manajemen peserta didikB tetap ditempatkan dalam kerangka manajemen sekolah. Ia tidak boleh ditempatkan di luar sistem manajemen sekolah.

2. Segala bentuk kegiatan manajemen peserta didik haruslah mengemban misi pendidikan dan dalam rangka mendidik para peserta didik. Segala bentuk kegiatan, baik itu ringan, berat, disukai atau tidak disukai oleh peserta didik, haruslah diarahkan untuk mendidik peserta didik dan bukan untuk yang lainnya. 3. Kegiatan-kegiatan manajemen peserta didik haruslah diupayakan untuk mempersatukan peserta didik yang mempunyai aneka ragam latar belakang dan punya banyak perbedaan. Perbedaan-perbedaan yang ada pada peserta didik, tidak diarahkan bagi munculnya konflik di antara mereka melainkan justru mempersatukan dan saling memahami dan menghargai. 4. Kegiatan manajemen peserta didik haruslah dipandang sebagai upaya pengaturan terhadap pembimbingan peserta didik. Oleh karena membimbing, haruslah terdapat ketersediaan dari pihak yang dibimbing. Ialah peserta didik sendiri. Tidak mungkin pembimbingan demikian akan terlaksana dengan baik manakala terdapat keengganan dari peserta didik sendiri. 5. Kegiatan manajemen peserta didik haruslah mendorong dan memacu kemandirian peserta didik. Prinsip kemandirian demikian akan bermanfaat bagi peserta didik tidak hanya ketika di sekolah, melainkan juga ketika sudah terjun ke masyarakat. Ini mengandung arti bahwa ketergantungan peserta didik haruslah sedikit demi sedikit dihilangkan melalui kegiatan-kegiatan manajemen peserta didik. 6. Apa yang diberikan kepada peserta didik dan yang selalu diupayakan oleh kegiatan manajemen peserta didik haruslah fungsional bagi kehidupan peserta didik baik di sekolah lebih-lebih di masa depan. D. Pendekatan Manajemen Peserta Didik Ada dua pendekatan yang digunakan dalam manajemen peserta didik (Yeager, 1994).Pertama, pendekatan kuantitatif (the quantitative approach).Pendekatan ini lebih menitik beratkan pada segi-segi administratif dan birokratik lembaga pendidikan.Dalam pendekatan demikian, peserta didik diharapkan banyak memenuhi tuntutan-tuntutan dan harapan-harapan lembaga pendidikan di tempat peserta didik tersebut berada. Asumsi pendekatan ini adalah, bahwa peserta didik akan dapat matang dan mencapai keinginannya, manakala dapat memenuhi aturan-aturan, tugas-tugas, dan harapan-harapan yang diminta oleh lembaga pendidikannya. Wujud pendekatan ini dalam manajemen peserta didik secara operasional adalah: mengharuskan kehadiran secara mutlak bagi peserta didik di sekolah, memperketat presensi, penuntutan disiplin yang tinggi, menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan kepadanya. Pendekatan demikian, memang teraksentuasi pada upaya agar peserta didik menjadi mampu. Kedua, pendekatan kualitatif (the qualitative approach).Pendekatan ini lebih memberikan perhatian kepada kesejahteraan peserta didik.Jika pendekatan kuantitatif di atas diarahkan agar peserta didik mampu, maka pendekatan kualitatif ini lebih diarahkan agar peserta didik senang.Asumsi dari pendekatan ini adalah, jika peserta didik senang dan sejahtera, maka mereka dapat belajar dengan baik serta senang juga untuk mengembangkan diri mereka sendiri di lembaga pendidikan seperti sekolah.Pendekatan ini juga menekankan perlunya penyediaan iklim yang kondusif dan menyenangkan bagi pengembangan diri secara optimal.

Di antara kedua pendekatan tersebut, tentu dapat diambil jalan tengahnya, atau sebutlah dengan pendekatan padu. Dalam pendekatan padu demikian, peserta didik diminta untuk memenuhi tuntutan-tuntutan birokratik dan administratif sekolah di satu pihak, tetapi di sisi lain sekolah juga menawarkan insentif-insentif lain yang dapat memenuhi kebutuhan dan kesejahteraannya. Di satu pihak siswa diminta untuk menyelesaikan tugas-tugas berat yang berasal dari lembaganya, tetapi di sisi lain juga disediakan iklim yang kondusif untuk menyelesaikan tugasnya. Atau, jika dikemukakan dengan kalimat terbalik, penyediaan kesejahteraan, iklim yang kondusif, pemberian layanan-layanan yang andal adalah dalam rangka mendisiplinkan peserta didik, penyelesaian tugas-tugas peserta didik. MANAJEMEN SEKOLAH : Pengertian, Fungsi dan Bidang Manajemen oleh : Akhmad Sudrajat, M.Pd. A. Pengertian Manajemen Sekolah

Dalam konteks pendidikan, memang masih ditemukan kontroversi dan inkonsistensi dalam penggunaan istilah manajemen.Di satu pihak ada yang tetap cenderung menggunakan istilah manajemen, sehingga dikenal dengan istilah manajemen pendidikan. Di lain pihak, tidak sedikit pula yang menggunakan istilah administrasi sehingga dikenal istilah adminitrasi pendidikan. Dalam studi ini, penulis cenderung untuk mengidentikkan keduanya, sehingga kedua istilah ini dapat digunakan dengan makna yang sama. Selanjutnya, di bawah ini akan disampaikan beberapa pengertian umum tentang manajemen yang disampaikan oleh beberapa ahli. Dari Kathryn . M. Bartol dan David C. Martin yang dikutip oleh A.M. Kadarman SJ dan Jusuf Udaya (1995) memberikan rumusan bahwa : Manajemen adalah proses untuk mencapai tujuan tujuan organisasi dengan melakukan kegiatan dari empat fungsi utama yaitu merencanakan (planning), mengorganisasi (organizing), memimpin (leading), dan mengendalikan (controlling). Dengan demikian, manajemen adalah sebuah kegiatan yang berkesinambungan. Sedangkan dari Stoner sebagaimana dikutip oleh T. Hani Handoko (1995) mengemukakan bahwa: Manajemen adalah proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan usahausaha para anggota organisasi dan penggunaan sumber daya-sumber daya organisasi lainnya agar mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan. Secara khusus dalam konteks pendidikan, Djaman Satori (1980) memberikan pengertian manajemen pendidikan dengan menggunakan istilah administrasi pendidikan yang diartikan sebagai keseluruhan proses kerjasama dengan memanfaatkan semua sumber personil dan materil yang tersedia dan sesuai untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan secara

efektif dan efisien. Sementara itu, Hadari Nawawi (1992) mengemukakan bahwa administrasi pendidikan sebagai rangkaian kegiatan atau keseluruhan proses pengendalian usaha kerjasama sejumlah orang untuk mencapai tujuan pendidikan secara sistematis yang diselenggarakan di lingkungan tertentu terutama berupa lembaga pendidikan formal. Meski ditemukan pengertian manajemen atau administrasi yang beragam, baik yang bersifat umum maupun khusus tentang kependidikan, namun secara esensial dapat ditarik benang merah tentang pengertian manajemen pendidikan, bahwa : (1) manajemen pendidikan merupakan suatu kegiatan; (2) manajemen pendidikan memanfaatkan berbagai sumber daya; dan (3) manajemen pendidikan berupaya untuk mencapai tujuan tertentu. B. Fungsi Manajemen Dikemukakan di atas bahwa manajemen pendidikan merupakan suatu kegiatan. Kegiatan dimaksud tak lain adalah tindakan-tindakan yang mengacu kepada fungsi-fungsi manajamen. Berkenaan dengan fungsi-fungsi manajemen ini, H. Siagian (1977) mengungkapkan pandangan dari beberapa ahli, sebagai berikut: Menurut G.R. Terry terdapat empat fungsi manajemen, yaitu : 1. 2. 3. 4. Planning (perencanaan); organizing (pengorganisasian); actuating (pelaksanaan); dan controlling (pengawasan).

Sedangkan menurut Henry Fayol terdapat lima fungsi manajemen, meliputi : 1. 2. 3. 4. 5. planning (perencanaan); organizing (pengorganisasian); commanding (pengaturan); coordinating (pengkoordinasian); dan controlling (pengawasan).

Sementara itu, Harold Koontz dan Cyril O Donnel mengemukakan lima fungsi manajemen, mencakup : 1. 2. 3. 4. 5. planning (perencanaan); organizing (pengorganisasian); staffing (penentuan staf); directing (pengarahan); dan controlling (pengawasan).

Selanjutnya, L. Gullick mengemukakan tujuh fungsi manajemen, yaitu : 1. planning (perencanaan); 2. organizing (pengorganisasian);

3. 4. 5. 6. 7.

staffing (penentuan staf); directing (pengarahan); coordinating (pengkoordinasian); reporting (pelaporan); dan budgeting (penganggaran).

Untuk memahami lebih jauh tentang fungsi-fungsi manajemen pendidikan, di bawah akan dipaparkan tentang fungsi-fungsi manajemen pendidikan dalam perspektif persekolahan, dengan merujuk kepada pemikiran G.R. Terry, meliputi : (1) perencanaan (planning); (2) pengorganisasian (organizing); (3) pelaksanaan (actuating) dan (4) pengawasan (controlling). 1. Perencanaan (planning) Perencanaan tidak lain merupakan kegiatan untuk menetapkan tujuan yang akan dicapai beserta cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut. Sebagaimana disampaikan oleh Louise E. Boone dan David L. Kurtz (1984) bahwa: planning may be defined as the proses by which manager set objective, asses the future, and develop course of action designed to accomplish these objective. Sedangkan T. Hani Handoko (1995) mengemukakan bahwa : Perencanaan (planning) adalah pemilihan atau penetapan tujuan organisasi dan penentuan strategi, kebijaksanaan, proyek, program, prosedur, metode, sistem, anggaran dan standar yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan. Pembuatan keputusan banyak terlibat dalam fungsi ini. Arti penting perencanaan terutama adalah memberikan kejelasan arah bagi setiap kegiatan, sehingga setiap kegiatan dapat diusahakan dan dilaksanakan seefisien dan seefektif mungkin. T. Hani Handoko mengemukakan sembilan manfaat perencanaan bahwa perencanaan: (a) membantu manajemen untuk menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan lingkungan; (b) membantu dalam kristalisasi persesuaian pada masalah-masalah utama; (c) memungkinkan manajer memahami keseluruhan gambaran; (d) membantu penempatan tanggung jawab lebih tepat; (e) memberikan cara pemberian perintah untuk beroperasi; (f) memudahkan dalam melakukan koordinasi di antara berbagai bagian organisasi; (g) membuat tujuan lebih khusus, terperinci dan lebih mudah dipahami; (h) meminimumkan pekerjaan yang tidak pasti; dan (i) menghemat waktu, usaha dan dana. Indriyo Gito Sudarmo dan Agus Mulyono (1996) mengemukakan langkah-langkah pokok dalam perencanaan, yaitu : 1. Penentuan tujuan dengan memenuhi persyaratan sebagai berikut : (a) menggunakan katakata yang sederhana, (b) mempunyai sifat fleksibel, (c) mempunyai sifat stabilitas, (d) ada dalam perimbangan sumber daya, dan (e) meliputi semua tindakan yang diperlukan. 2. Pendefinisian gabungan situasi secara baik, yang meliputi unsur sumber daya manusia, sumber daya alam, dan sumber daya modal. 3. Merumuskan kegiatan yang akan dilaksanakan secara jelas dan tegas. Hal senada dikemukakan pula oleh T. Hani Handoko (1995) bahwa terdapat empat tahap dalam perencanaan, yaitu : (a) menetapkan tujuan atau serangkaian tujuan; (b) merumuskan keadaan saat ini; (c) mengidentifikasi segala kemudahan dan hambatan; (d) mengembangkan rencana atau

serangkaian kegiatan untuk pencapaian tujuan. Pada bagian lain, Indriyo Gito Sudarmo dan Agus Mulyono (1996) mengemukakan bahwa atas dasar luasnya cakupan masalah serta jangkauan yang terkandung dalam suatu perencanaan, maka perencanaan dapat dibedakan dalam tiga bentuk, yaitu : (1) rencana global yang merupakan penentuan tujuan secara menyeluruh dan jangka panjang, (2) rencana strategis merupakan rencana yang disusun guna menentukan tujuan-tujuan kegiatan atau tugas yang mempunyai arti strategis dan mempunyai dimensi jangka panjang, dan (3) rencana operasional yang merupakan rencana kegiatan-kegiatan yang berjangka pendek guna menopang pencapaian tujuan jangka panjang, baik dalam perencanaan global maupun perencanaan strategis. Perencanaan strategik akhir-akhir ini menjadi sangat penting sejalan dengan perkembangan lingkungan yang sangat pesat dan sangat sulit diprediksikan, seperti perkembangan teknologi yang sangat pesat, pekerjaan manajerial yang semakin kompleks, dan percepatan perubahan lingkungan eksternal lainnya. Pada bagian lain, T. Hani Handoko memaparkan secara ringkas tentang langkah-langkah dalam penyusunan perencanaan strategik, sebagai berikut: 1. Penentuan misi dan tujuan, yang mencakup pernyataan umum tentang misi, falsafah dan tujuan. Perumusan misi dan tujuan ini merupakan tanggung jawab kunci manajer puncak. Perumusan ini dipengaruhi oleh nilai-nilai yang dibawakan manajer. Nilai-nilai ini dapat mencakup masalah-masalah sosial dan etika, atau masalah-masalah umum seperti macam produk atau jasa yang akan diproduksi atau cara pengoperasian perusahaan. 2. Pengembangan profil perusahaan, yang mencerminkan kondisi internal dan kemampuan perusahaan dan merupakan hasil analisis internal untuk mengidentifikasi tujuan dan strategi sekarang, serta memerinci kuantitas dan kualitas sumber daya -sumber daya perusahaan yang tersedia. Profil perusahaan menunjukkan kesuksesan perusahaan di masa lalu dan kemampuannya untuk mendukung pelaksanaan kegiatan sebagai implementasi strategi dalam pencapaian tujuan di masa yang akan datang. 3. Analisa lingkungan eksternal, dengan maksud untuk mengidentifikasi cara-cara dan dalam apa perubahan-perubahan lingkungan dapat mempengaruhi organisasi. Disamping itu, perusahaan perlu mengidentifikasi lingkungan lebih khusus, seperti para penyedia, pasar organisasi, para pesaing, pasar tenaga kerja dan lembaga-lembaga keuangan, di mana kekuatan-kekuatan ini akan mempengaruhi secara langsung operasi perusahaan. Meski pendapat di atas lebih menggambarkan perencanaan strategik dalam konteks bisnis, namun secara esensial konsep perencanaan strategik ini dapat diterapkan pula dalam konteks pendidikan, khususnya pada tingkat persekolahan, karena memang pendidikan di Indonesia dewasa ini sedang menghadapi berbagai tantangan internal maupun eksternal, sehingga membutuhkan perencanaan yang benar-benar dapat menjamin sustanabilitas pendidikan itu sendiri. 2. Pengorganisasian (organizing) Fungsi manajemen berikutnya adalah pengorganisasian (organizing). George R. Terry (1986) mengemukakan bahwa :

Pengorganisasian adalah tindakan mengusahakan hubungan-hubungan kelakuan yang efektif antara orang-orang, sehingga mereka dapat bekerja sama secara efisien, dan memperoleh kepuasan pribadi dalam melaksanakan tugas-tugas tertentu, dalam kondisi lingkungan tertentu guna mencapai tujuan atau sasaran tertentu. Lousie E. Boone dan David L. Kurtz (1984) mengartikan pengorganisasian : as the act of planning and implementing organization structure. It is the process of arranging people and physical resources to carry out plans and acommplishment organizational obtective. Dari kedua pendapat di atas, dapat dipahami bahwa pengorganisasian pada dasarnya merupakan upaya untuk melengkapi rencana-rencana yang telah dibuat dengan susunan organisasi pelaksananya. Hal yang penting untuk diperhatikan dalam pengorganisasian adalah bahwa setiap kegiatan harus jelas siapa yang mengerjakan, kapan dikerjakan, dan apa targetnya. Berkenaan dengan pengorganisasian ini, Hadari Nawawi (1992) mengemukakan beberapa asas dalam organisasi, diantaranya adalah : (a) organisasi harus profesional, yaitu dengan pembagian satuan kerja yang sesuai dengan kebutuhan; (b) pengelompokan satuan kerja harus menggambarkan pembagian kerja; (c) organisasi harus mengatur pelimpahan wewenang dan tanggung jawab; (d) organisasi harus mencerminkan rentangan kontrol; (e) organisasi harus mengandung kesatuan perintah; dan (f) organisasi harus fleksibel dan seimbang. Ernest Dale seperti dikutip oleh T. Hani Handoko mengemukakan tiga langkah dalam proses pengorganisasian, yaitu : (a) pemerincian seluruh pekerjaan yang harus dilaksanakan untuk mencapai tujuan organisasi; (b) pembagian beban pekerjaan total menjadi kegiatan-kegiatan yang logik dapat dilaksanakan oleh satu orang; dan (c) pengadaan dan pengembangan suatu mekanisme untuk mengkoordinasikan pekerjaan para anggota menjadi kesatuan yang terpadu dan harmonis. 3. Pelaksanaan (actuating) Dari seluruh rangkaian proses manajemen, pelaksanaan (actuating) merupakan fungsi manajemen yang paling utama. Dalam fungsi perencanaan dan pengorganisasian lebih banyak berhubungan dengan aspek-aspek abstrak proses manajemen, sedangkan fungsi actuating justru lebih menekankan pada kegiatan yang berhubungan langsung dengan orang-orang dalam organisasi Dalam hal ini, George R. Terry (1986) mengemukakan bahwa actuating merupakan usaha menggerakkan anggota-anggota kelompok sedemikian rupa hingga mereka berkeinginan dan berusaha untuk mencapai sasaran perusahaan dan sasaran anggota-anggota perusahaan tersebut oleh karena para anggota itu juga ingin mencapai sasaran-sasaran tersebut. Dari pengertian di atas, pelaksanaan (actuating) tidak lain merupakan upaya untuk menjadikan perencanaan menjadi kenyataan, dengan melalui berbagai pengarahan dan pemotivasian agar setiap karyawan dapat melaksanakan kegiatan secara optimal sesuai dengan peran, tugas dan tanggung jawabnya. Hal yang penting untuk diperhatikan dalam pelaksanan (actuating) ini adalah bahwa seorang karyawan akan termotivasi untuk mengerjakan sesuatu jika : (1) merasa yakin akan mampu mengerjakan, (2) yakin bahwa pekerjaan tersebut memberikan manfaat bagi dirinya, (3) tidak sedang dibebani oleh problem pribadi atau tugas lain yang lebih penting, atau mendesak, (4) tugas tersebut merupakan kepercayaan bagi yang bersangkutan dan (5) hubungan antar teman dalam organisasi tersebut harmonis.

4. Pengawasan (controlling) Pengawasan (controlling) merupakan fungsi manajemen yang tidak kalah pentingnya dalam suatu organisasi. Semua fungsi terdahulu, tidak akan efektif tanpa disertai fungsi pengawasan. Dalam hal ini, Louis E. Boone dan David L. Kurtz (1984) memberikan rumusan tentang pengawasan sebagai : the process by which manager determine wether actual operation are consistent with plans. Sementara itu, Robert J. Mocker sebagaimana disampaikan oleh T. Hani Handoko (1995) mengemukakan definisi pengawasan yang di dalamnya memuat unsur esensial proses pengawasan, bahwa : Pengawasan manajemen adalah suatu usaha sistematik untuk menetapkan standar pelaksanaan dengan tujuan tujuan perencanaan, merancang sistem informasi umpan balik, membandingkan kegiatan nyata dengan standar yang telah ditetapkan sebelumnya, menentukan dan mengukur penyimpangan-penyimpangan, serta mengambil tindakan koreksi yang diperlukan untuk menjamin bahwa semua sumber daya perusahaan dipergunakan dengan cara paling efektif dan efisien dalam pencapaian tujuan-tujuan perusahaan. Dengan demikian, pengawasan merupakan suatu kegiatan yang berusaha untuk mengendalikan agar pelaksanaan dapat berjalan sesuai dengan rencana dan memastikan apakah tujuan organisasi tercapai.Apabila terjadi penyimpangan di mana letak penyimpangan itu dan bagaimana pula tindakan yang diperlukan untuk mengatasinya. Selanjutnya dikemukakan pula oleh T. Hani Handoko bahwa proses pengawasan memiliki lima tahapan, yaitu : (a) penetapan standar pelaksanaan; (b) penentuan pengukuran pelaksanaan kegiatan; (c) pengukuran pelaksanaan kegiatan nyata; (d) pembandingan pelaksanaan kegiatan dengan standar dan penganalisaan penyimpangan-penyimpangan; dan (e) pengambilan tindakan koreksi, bila diperlukan. Fungsi-fungsi manajemen ini berjalan saling berinteraksi dan saling kait mengkait antara satu dengan lainnya, sehingga menghasilkan apa yang disebut dengan proses manajemen. Dengan demikian, proses manajemen sebenarnya merupakan proses interaksi antara berbagai fungsi manajemen. Dalam perspektif persekolahan, agar tujuan pendidikan di sekolah dapat tercapai secara efektif dan efisien, maka proses manajemen pendidikan memiliki peranan yang amat vital. Karena bagaimana pun sekolah merupakan suatu sistem yang di dalamnya melibatkan berbagai komponen dan sejumlah kegiatan yang perlu dikelola secara baik dan tertib. Sekolah tanpa didukung proses manajemen yang baik, boleh jadi hanya akan menghasilkan kesemrawutan lajunya organisasi, yang pada gilirannya tujuan pendidikan pun tidak akan pernah tercapai secara semestinya. Dengan demikian, setiap kegiatan pendidikan di sekolah harus memiliki perencanaan yang jelas dan realisitis, pengorganisasian yang efektif dan efisien, pengerahan dan pemotivasian seluruh personil sekolah untuk selalu dapat meningkatkan kualitas kinerjanya, dan pengawasan secara berkelanjutan. C. Bidang Kegiatan Pendidikan

Berbicara tentang kegiatan pendidikan, di bawah ini beberapa pandangan dari para ahli tentang bidang-bidang kegiatan yang menjadi wilayah garapan manajemen pendidikan. Ngalim Purwanto (1986) mengelompokkannya ke dalam tiga bidang garapan yaitu : 1. Administrasi material, yaitu kegiatan yang menyangkut bidang-bidang materi/ bendabenda, seperti ketatausahaan sekolah, administrasi keuangan, gedung dan alat-alat perlengkapan sekolah dan lain-lain. 2. Administrasi personal, mencakup di dalamnya administrasi personal guru dan pegawai sekolah, juga administrasi murid. Dalam hal ini masalah kepemimpinan dan supervisi atau kepengawasan memegang peranan yang sangat penting. 3. Administrasi kurikulum, seperti tugas mengajar guru-guru, penyusunan sylabus atau rencana pengajaran tahunan, persiapan harian dan mingguan dan sebagainya. Hal serupa dikemukakan pula oleh M. Rifai (1980) bahwa bidang-bidang administrasi pendidikan terdiri dari : 1. Bidang kependidikan atau bidang edukatif, yang menyangkut kurikulum, metode dan cara mengajar, evaluasi dan sebagainya. 2. Bidang personil, yang mencakup unsur-unsur manusia yang belajar, yang mengajar, dan personil lain yang berhubungan dengan kegiatan belajar mengajar. 3. Bidang alat dan keuangan, sebagai alat-alat pembantu untuk melancarkan siatuasi belajar mengajar dan untuk mencapai tujuan pendidikan sebaik-baiknya. Sementara itu, Thomas J. Sergiovani sebagimana dikutip oleh Uhar Suharsaputra (2002) mengemukakan delapan bidang administrasi pendidikan, mencakup : (1) instruction and curriculum development; (2) pupil personnel; (3) community school leadership; (4) staff personnel; (5) school plant; (6) school trasportation; (7) organization and structure dan (8) School finance and business management. Di lain pihak, Direktorat Pendidikan Menengah Umum Depdiknas (1999) telah menerbitkan buku Panduan Manajemen Sekolah, yang didalamnya mengetengahkan bidang-bidang kegiatan manajemen pendidikan, meliputi: (1) manajemen kurikulum; (2) manajemen personalia; (3) manajemen kesiswaan; (4) manajemen keuangan; (5) manajemen perawatan preventif sarana dan prasarana sekolah. Dari beberapa pendapat di atas, agaknya yang perlu digarisbawahi yaitu mengenai bidang administrasi pendidikan yang dikemukakan oleh Thomas J. Sergiovani.Dalam konteks pendidikan di Indonesia saat ini, pandangan Thomas J. Sergiovani kiranya belum sepenuhnya dapat dilaksanakan, terutama dalam bidang school transportation dan business management. Dengan alasan tertentu, kebijakan umum pendidikan nasional belum dapat menjangkau ke arah sana. Kendati demikian, dalam kerangka peningkatkan mutu pendidikan, ke depannya pemikiran ini sangat menarik untuk diterapkan menjadi kebijakan pendidikan di Indonesia. Merujuk kepada kebijakan Direktorat Pendidikan Menengah Umum Depdiknas dalam buku Panduan Manajemen Sekolah, berikut ini akan diuraikan secara ringkas tentang bidang-bidang kegiatan pendidikan di sekolah, yang mencakup :

1. Manajemen kurikulum Manajemen kurikulum merupakan subtansi manajemen yang utama di sekolah. Prinsip dasar manajemen kurikulum ini adalah berusaha agar proses pembelajaran dapat berjalan dengan baik, dengan tolok ukur pencapaian tujuan oleh siswa dan mendorong guru untuk menyusun dan terus menerus menyempurnakan strategi pembelajarannya. Tahapan manajemen kurikulum di sekolah dilakukan melalui empat tahap : (a) perencanaan; (b) pengorganisasian dan koordinasi; (c) pelaksanaan; dan (d) pengendalian. Dalam konteks Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), Tita Lestari (2006) mengemukakan tentang siklus manajemen kurikulum yang terdiri dari empat tahap : 1. Tahap perencanaan; meliputi langkah-langkah sebagai : (1) analisis kebutuhan; (2) merumuskan dan menjawab pertanyaan filosofis; (3) menentukan disain kurikulum; dan (4) membuat rencana induk (master plan): pengembangan, pelaksanaan, dan penilaian. 2. Tahap pengembangan; meliputi langkah-langkah : (1) perumusan rasional atau dasar pemikiran; (2) perumusan visi, misi, dan tujuan; (3) penentuan struktur dan isi program; (4) pemilihan dan pengorganisasian materi; (5) pengorganisasian kegiatan pembelajaran; (6) pemilihan sumber, alat, dan sarana belajar; dan (7) penentuan cara mengukur hasil belajar. 3. Tahap implementasi atau pelaksanaan; meliputi langkah-langkah: (1) penyusunan rencana dan program pembelajaran (Silabus, RPP: Rencana Pelaksanaan Pembelajaran); (2) penjabaran materi (kedalaman dan keluasan); (3) penentuan strategi dan metode pembelajaran; (4) penyediaan sumber, alat, dan sarana pembelajaran; (5) penentuan cara dan alat penilaian proses dan hasil belajar; dan (6) setting lingkungan pembelajaran 4. Tahap penilaian; terutama dilakukan untuk melihat sejauhmana kekuatan dan kelemahan dari kurikulum yang dikembangkan, baik bentuk penilaian formatif maupun sumatif. Penilailain kurikulum dapat mencakup Konteks, input, proses, produk (CIPP) : Penilaian konteks: memfokuskan pada pendekatan sistem dan tujuan, kondisi aktual, masalahmasalah dan peluang. Penilaian Input: memfokuskan pada kemampuan sistem, strategi pencapaian tujuan, implementasi design dan cost benefit dari rancangan. Penilaian proses memiliki fokus yaitu pada penyediaan informasi untuk pembuatan keputusan dalam melaksanakan program. Penilaian product berfokus pada mengukur pencapaian proses dan pada akhir program (identik dengan evaluasi sumatif) 2. Manajemen Kesiswaan Dalam manajemen kesiswaan terdapat empat prinsip dasar, yaitu : (a) siswa harus diperlakukan sebagai subyek dan bukan obyek, sehingga harus didorong untuk berperan serta dalam setiap perencanaan dan pengambilan keputusan yang terkait dengan kegiatan mereka; (b) kondisi siswa sangat beragam, ditinjau dari kondisi fisik, kemampuan intelektual, sosial ekonomi, minat dan seterusnya. Oleh karena itu diperlukan wahana kegiatan yang beragam, sehingga setiap siswa memiliki wahana untuk berkembang secara optimal; (c) siswa hanya termotivasi belajar, jika mereka menyenangi apa yang diajarkan; dan (d) pengembangan potensi siswa tidak hanya menyangkut ranah kognitif, tetapi juga ranah afektif, dan psikomotor. 3. Manajemen personalia

Terdapat empat prinsip dasar manajemen personalia yaitu : (a) dalam mengembangkan sekolah, sumber daya manusia adalah komponen paling berharga; (b) sumber daya manusia akan berperan secara optimal jika dikelola dengan baik, sehingga mendukung tujuan institusional; (c) kultur dan suasana organisasi di sekolah, serta perilaku manajerial sekolah sangat berpengaruh terhadap pencapaian tujuan pengembangan sekolah; dan (d) manajemen personalia di sekolah pada prinsipnya mengupayakan agar setiap warga dapat bekerja sama dan saling mendukung untuk mencapai tujuan sekolah. Disamping faktor ketersediaan sumber daya manusia, hal yang amat penting dalam manajamen personalia adalah berkenaan penguasaan kompetensi dari para personil di sekolah.Oleh karena itu, upaya pengembangan kompetensi dari setiap personil sekolah menjadi mutlak diperlukan. 4. Manajemen keuangan Manajemen keuangan di sekolah terutama berkenaan dengan kiat sekolah dalam menggali dana, kiat sekolah dalam mengelola dana, pengelolaan keuangan dikaitkan dengan program tahunan sekolah, cara mengadministrasikan dana sekolah, dan cara melakukan pengawasan, pengendalian serta pemeriksaan. Inti dari manajemen keuangan adalah pencapaian efisiensi dan efektivitas. Oleh karena itu, disamping mengupayakan ketersediaan dana yang memadai untuk kebutuhan pembangunan maupun kegiatan rutin operasional di sekolah, juga perlu diperhatikan faktor akuntabilitas dan transparansi setiap penggunaan keuangan baik yang bersumber pemerintah, masyarakat dan sumber-sumber lainnya. 5. Manajemen perawatan preventif sarana dan prasana sekolah Manajemen perawatan preventif sarana dan prasana sekolah merupakan tindakan yang dilakukan secara periodik dan terencana untuk merawat fasilitas fisik, seperti gedung, mebeler, dan peralatan sekolah lainnya, dengan tujuan untuk meningkatkan kinerja, memperpanjang usia pakai, menurunkan biaya perbaikan dan menetapkan biaya efektif perawatan sarana dan pra sarana sekolah. Dalam manajemen ini perlu dibuat program perawatan preventif di sekolah dengan cara pembentukan tim pelaksana, membuat daftar sarana dan pra saran, menyiapkan jadwal kegiatan perawatan, menyiapkan lembar evaluasi untuk menilai hasil kerja perawatan pada masingmasing bagian dan memberikan penghargaan bagi mereka yang berhasil meningkatkan kinerja peralatan sekolah dalam rangka meningkatkan kesadaran merawat sarana dan prasarana sekolah. Sedangkan untuk pelaksanaannya dilakukan : pengarahan kepada tim pelaksana, mengupayakan pemantauan bulanan ke lokasi tempat sarana dan prasarana, menyebarluaskan informasi tentang program perawatan preventif untuk seluruh warga sekolah, dan membuat program lomba perawatan terhadap sarana dan fasilitas sekolah untuk memotivasi warga sekolah. A. Pengertian Manajemen Keuangan

Manajemen keuangan merupakan salah satu substansi manajamen sekolah yang akan turut menentukan berjalannya kegiatan pendidikan di sekolah. Sebagaimana yang terjadi di substansi manajemen pendidikan pada umumnya, kegiatan manajemen keuangan dilakukan melalui proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pengkoordinasian, pengawasan atau pengendalian. Beberapa kegiatan manajemen keuangan yaitu memperoleh dan menetapkan sumber-sumber pendanaan, pemanfaatan dana, pelaporan, pemeriksaan dan pertanggungjawaban (Lipham, 1985; Keith, 1991) Menurut Depdiknas (2000) bahwa manajemen keuangan merupakan tindakan pengurusan/ketatausahaan keuangan yang meliputi pencatatan, perencanaan, pelaksanaan, pertanggungjawaban dan pelaporan Dengan demikian, manajemen keuangan sekolah dapat diartikan sebagai rangkaian aktivitas mengatur keuangan sekolah mulai dari perencanaan, pembukuan, pembelanjaan, pengawasan dan pertanggung-jawaban keuangan sekolah. B. Tujuan Manajemen Keuangan Sekolah Melalui kegiatan manajemen keuangan maka kebutuhan pendanaan kegiatan sekolah dapat direncanakan, diupayakan pengadaannya, dibukukan secara transparan, dan digunakan untuk membiayai pelaksanaan program sekolah secara efektif dan efisien. Untuk itu tujuan manajemen keuangan adalah: 1. Meningkatkan efektivitas dan efisiensi penggunaan keuangan sekolah 2. Meningkatkan akuntabilitas dan transparansi keuangan sekolah. 3. Meminimalkan penyalahgunaan anggaran sekolah. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka dibutuhkan kreativitas kepala sekolah dalam menggali sumber-sumber dana, menempatkan bendaharawan yang menguasai dalam pembukuan dan pertanggung-jawaban keuangan serta memanfaatkannya secara benar sesuai peraturan perundangan yang berlaku. C. Prinsip-Prinsip Manajemen Keuangan Manajemen keuangan sekolah perlu memperhatikan sejumlah prinsip. Undang-undang No 20 Tahun 2003 pasal 48 menyatakan bahwa pengelolaan dana pendidikan berdasarkan pada prinsip keadilan, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas publik. Disamping itu prinsip efektivitas juga perlu mendapat penekanan.Berikut ini dibahas masing-masing prinsip tersebut, yaitu transparansi, akuntabilitas, efektivitas, dan efisiensi.

1. Transparansi Transparan berarti adanya keterbukaan.Transparan di bidang manajemen berarti adanya keterbukaan dalam mengelola suatu kegiatan.Di lembaga pendidikan, bidang manajemen keuangan yang transparan berarti adanya keterbukaan dalam manajemen keuangan lembaga pendidikan, yaitu keterbukaan sumber keuangan dan jumlahnya, rincian penggunaan, dan pertanggungjawabannya harus jelas sehingga bisa memudahkan pihak-pihak yang berkepentingan untuk mengetahuinya.Transparansi keuangan sangat diperlukan dalam rangka meningkatkan dukungan orangtua, masyarakat dan pemerintah dalam penyelenggaraan seluruh program pendidikan di sekolah.Disamping itu transparansi dapat menciptakan kepercayaan timbal balik antara pemerintah, masyarakat, orang tua siswa dan warga sekolah melalui penyediaan informasi dan menjamin kemudahan di dalam memperoleh informasi yang akurat dan memadai. Beberapa informasi keuangan yang bebas diketahui oleh semua warga sekolah dan orang tua siswa misalnya rencana anggaran pendapatan dan belanja sekolah (RAPBS) bisa ditempel di papan pengumuman di ruang guru atau di depan ruang tata usaha sehingga bagi siapa saja yang membutuhkan informasi itu dapat dengan mudah mendapatkannya. Orang tua siswa bisa mengetahui berapa jumlah uang yang diterima sekolah dari orang tua siswa dan digunakan untuk apa saja uang itu. Perolehan informasi ini menambah kepercayaan orang tua siswa terhadap sekolah. 2. Akuntabilitas Akuntabilitas adalah kondisi seseorang yang dinilai oleh orang lain karena kualitas performansinya dalam menyelesaikan tugas untuk mencapai tujuan yang menjadi tanggung jawabnya. Akuntabilitas di dalam manajemen keuangan berarti penggunaan uang sekolah dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan perencanaan yang telah ditetapkan.Berdasarkan perencanaan yang telah ditetapkan dan peraturan yang berlaku maka pihak sekolah membelanjakan uang secara bertanggung jawab.Pertanggungjawaban dapat dilakukan kepada orang tua, masyarakat dan pemerintah. Ada tiga pilar utama yang menjadi prasyarat terbangunnya akuntabilitas, yaitu (1) adanya transparansi para penyelenggara sekolah dengan menerima masukan dan mengikutsertakan berbagai komponen dalam mengelola sekolah , (2) adanya standar kinerja di setiap institusi yang dapat diukur dalam melaksanakan tugas, fungsi dan wewenangnya, (3) adanya partisipasi untuk saling menciptakan suasana kondusif dalam menciptakan pelayanan masyarakat dengan prosedur yang mudah, biaya yang murah dan pelayanan yang cepat 3. Efektivitas Efektif seringkali diartikan sebagai pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.Garner(2004) mendefinisikan efektivitas lebih dalam lagi, karena sebenarnya efektivitas tidak berhenti sampai tujuan tercapai tetapi sampai pada kualitatif hasil yang dikaitkan dengan pencapaian visi lembaga. Effectiveness characterized by qualitative outcomes. Efektivitas lebih menekankan pada kualitatif outcomes.Manajemen keuangan dikatakan memenuhi prinsip efektivitas kalau kegiatan yang dilakukan dapat mengatur keuangan untuk membiayai aktivitas dalam rangka

mencapai tujuan lembaga yang bersangkutan dan kualitatif outcomes-nya sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. 4. Efisiensi Efisiensi berkaitan dengan kuantitas hasil suatu kegiatan.Efficiencycharacterized by quantitative outputs (Garner,2004). Efisiensi adalah perbandingan yang terbaik antara masukan (input) dan keluaran (out put) atau antara daya dan hasil.Daya yang dimaksud meliputi tenaga, pikiran, waktu, biaya. Perbandingan tersebut dapat dilihat dari dua hal: a. Dilihat dari segi penggunaan waktu, tenaga dan biaya: Kegiatan dapat dikatakan efisien kalau penggunaan waktu, tenaga dan biaya yang sekecilkecilnya dapat mencapai hasil yang ditetapkan. Ragam efisiensi dapat dijelaskan melalui hubungan antara penggunaan waktu, tenaga, biaya dan hasil yang diharapkan dapat dilihat pada gambar berikut ini:

Hubungan penggunaan waktu, tenaga, biaya dan hasil yang diharapkan Pada gambar di atas menunjukkan penggunaan daya C dan hasil D yang paling efisien, sedangkan penggunaan daya A dan hasil D menunjukkan paling tidak efisien. b. Dilihat dari segi hasil Kegiatan dapat dikatakan efisien kalau dengan penggunaan waktu, tenaga dan biaya tertentu memberikan hasil sebanyak-banyaknya baik kuantitas maupun kualitasnya. Ragam efisiensi tersebut dapat dilihat dari gambar berikut ini:

Hubungan penggunaan waktu, tenaga, biaya tertentu dan ragam hasil yang diperoleh Pada gambar di atas menunjukkan penggunaan waktu, tenaga, biaya A dan hasil B paling tidak efisien. Sedangkan penggunaan waktu, tenaga, biaya A dan hasil D paling efisien. Tingkat efisiensi dan efektivitas yang tinggi memungkinkan terselenggaranya pelayanan terhadap masyarakat secara memuaskan dengan menggunakan sumber daya yang tersedia secara optimal dan bertanggung jawab.

Manajemen Peran Serta Masyarakat


Posted on 10 Januari 2010 by AKHMAD SUDRAJAT

Sekolah sebagai institusi tidak dapat lepas dari masyarakat di lingkungan sekolah tersebut berada. Untuk memahami apa dan untuk apa program hubungan sekolah dan masyarakat perlu diaplikasikan secara intensif dalam pengelolaan pendidikan, berikut ini akan diuraikan beberapa hal pokok: pengertian, tujuan, dan prinsip hubungan sekolah dengan masyarakat. 1. Pengertian Secara umum orang dapat mengatakan apabila terjadi kontak, pertemuan dan lain-lain antara sekolah dengan orang di luar sekolah, adalah kegiatan hubungan sekolah dengan masyarakat.Apakah ini yang dimaksud dengan hubungan sekolah dengan masyarakat, tentunya yang dimaksudkan dalam uraian di sini tidak sesederhana pengertian tersebut. Arthur B. Mochlan menyatakan school public relation adalah kegiatan yang dilakukan sekolah atau sekolah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

Apa sebenarnya kebutuhan masyarakat terhadap sekolah itu? Masyarakat (lebih khusus lagi orang tua murid) mengirimkan anak-anaknya ke sekolah agar mereka dapat menjadi manusia dewasa yang bermanfaat bagi kehidupannya dan bagi masyarakat secara umum. Secara praktis sering kita dengar para orang tua menginginkan anaknya dapat berprestasi di sekolah Ini berarti kebutuhan masyarakat terhadap sekolah adalah penyelenggaraan dan pelayanan proses belajar mengajar yang berkualitas dengan out put yang berkualitas pula. Dengan tuntutan yang demikian akan menjadi beban bagi sekolah, dengan segala keterbatasan yang dimilikinya (tenaga, biaya, waktu dan sebagainya). Pengertian di atas memberikan isyarat kepada kita bahwa hubungan sekolah dengan masyarakat lebih banyak menekankan pada pemenuhan akan kebutuhan masyarakat yang terkait dengan sekolah. Di sisi lain pengertian tersebut di atas menggambarkan bahwa pelaksanaan hubungan masyarakat tidak menunggu adanya permintaan masyarakat, tetapi sekolah berusaha secara aktif (jemput bola), serta mengambil inisiatif untuk melakukan berbagai aktivitas agar tercipta hubungan dan kerjasama harmonis. Apabila dicermati pengertian tersebut di atas, nampaknya lebih mengarah pada pola hubungan satu arah, yaitu kemauan sekolah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat tentang hal-hal yang berkaitan dengan sekolah.Ini berarti pihak sekolah kurang mendapatkan balikan dari pihak masyarakat. Definisi yang lebih lengkap diungkapkan oleh Bernays seperti dikutip oleh Suriansyah (2000), yang menyatakan bahwa hubungan sekolah dengan masyarakat adalah: 1. Information given to the public (memberikan informasi secara jelas dan lengkap kepada masyarakat) 2. Persuasion directed at the public, to modify attitude and action (melakukan persuasi kepada masyarakat dalam rangka merubah sikap dan tindakan yang perlu mereka lakukan terhadap sekolah) 3. Effort to integrated attitudes and action of institution with its public and of public with the institution (suatu upaya untuk menyatukan sikap dan tindakan yang dilakukan oleh sekolah dengan sikap dan tindakan yang dilakukan oleh masyarakat secara timbal balik, yaitu dari sekolah ke masyarakat dan dari masyarakat ke sekolah. Pengertian di atas memberikan gambaran kepada kitaapa sebenarnya hakekat hubungan sekolah dan masyarakat. Hal terpenting dari pengertian di atas, adalah adanya informasi yang diberikan kepada masyarakat yang dampaknya dapat merubah sikap dan tindakan masyarakat terhadap pendidikan serta masyarakat memberikan sesuatu untuk perbaikan pendidikan. Dengan memahami dua pengertian hubungan sekolah dengan masyarakat di atas, kita dapat membuat suatu pengertian sederhana tentang hubungan sekolah dan masyarakat sebagai suatu proses kegiatan menumbuhkan dan membina saling pengertian kepada masyarakat dan orang tua murid tentang visi dan misi sekolah, program kerja sekolah, masalah-masalah yang dihadapi serta berbagai aktivitas sekolah lainnya.

Pengertian ini memberikan dasar bagi sekolah, bahwa sekolah perlu memiliki visi dan misi serta program kerja yang jelas, agar masyarakat memahami apa yang ingin dicapai oleh sekolah dan masalah/kendala yang dihadapi sekolah dalam mencapai tujuan, melalui berbagai kegiatan yang dilakukan oleh sekolah. Dengan demikian mereka dapat memikirkan tentang peranan apa yang dapat dilakukan oleh masyarakat/orang tua murid dan stakeholders lainnya untuk membantu sekolah. Pemahaman masyarakat yang mendalam, jelas dan konprehensip tentang sekolah merupakan salah satu faktor pendorong lahirnya dukungan dan bantuan mereka terhadap sekolah. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh C.L. Brownell seperti dikutip oleh Suriansyah (2001) yang menyatakan bahwa: Knowledge of the program is essential to understanding, and understanding is basic to appreciation, appreciation is basic to support. Bertolak dari pendapat yang diungkapkan Brownell tersebut di atas, dapat dipahami bahwa ssekolah perlu melakukan beberapa aktivitas dalam melaksanakan manajemen peran serta masyarakat agar dapat mencapai hasil yang diharapkan dan memberdayakan masyarakat dan stakeholders lainnya. Beberapa aktivitas tersebut adalah: Selalu memberikan penjelasan secara periodik kepada masyarakat tentang program-program pendidikan di sekolah, masalah-masalah yang dihadapi dan kemajuan-kemajuan yang dapat dicapai oleh sekolah (berfungsi sebagai akuntabilitas).Agar pemahaman program oleh masyarakat menyentuh hal yang mendasar, maka harus dimulai dengan penjelasan tentang visi dan misi serta tujuan sekolah secara keseluruhan.Apa yang dimaksud dengan visi dan misi sekolah anda dapat memperdalam pada buku-buku reference lain. Kenyataan selama ini tidak semua warga sekolah menghayati atau memiliki pemahaman yang mendalam tentang visi dan misi sekolah, sehingga pada saat masyarakat ingin mengetahui secara mendalam tentang hal tersebut warga sekolah (guru, murid, staf tata usaha dan lain-lain) tidak dapat memberikan penjelasan secara rinci. Hal ini akan memberikan kesan yang kurang baik kepada masyarakat. Apabila penjelasan-penjelasan tersebut dipahami masyarakat dan apa yang diinginkan serta program-program tersebut sesuai dengan kebutuhan masyarakat, maka penghargaan mereka terhadap sekolah akan tumbuh. Tumbuhnya penghargaan inilah yang akan mendorong adanya dukungan dan bantuan mereka pada sekolah. Dengan demikian maka program sekolah harus seiring dengan kebutuhan masyarakat.Karena memang pelanggan dan pengguna hasil lulusan sekolah adalah masyarakat. Atau dengan kata lain pelanggan sekolah itu pada hakekatnya adalah siswa dan orang tua siswa serta masyarakat. Karena itu kebutuhan dan kepuasan pelanggan merupakan hal pokok yang harus diperhatikan oleh lembaga sekolah. Sebagai contoh: Bagaimana masyarakat mau membantu sekolah apabila sekolah di tengah masyarakat religius dan fanatik, sekolah tidak pernah memprogramkan kegiatan sekolah yang bersifat religius, sehingga sekolah terisolir dari masyarakatnya. Sekolah menjadi menara gading bagi lingkungan masyarakatnya sendiri.Kondisi ini yang mendorong masyarakat untuk tidak terlibat apalagi berpartisipasi membantu sekolah. Bertolak dari gambaran tersebut di atas, Nampak manfaat yang sangat besar bagi sekolah dan masyarakat, apabila hubungan sekolah dengan masyarakat benar-benar dapat dikelola dan direalisasikan secara utuh sesuai dengan konsepsi di atas.

Di samping manfaat seperti diuraikan di atas, pelaksanaan hubungan sekolah dengan masyarakat yang baik akan memberikan manfaat lain seperti: 1. Masyarakat/orang tua murid dan stakeholders lainnya akan mengerti dengan jelas tentang visi, misi, tujuan dan program kerja sekolah, kemajuan sekolah beserta masalah-masalah yang dihadapi sekolah secara lengakap, jelas dan akurat. 2. Masyarakat/orang tua murid dan stakeholders lainnya akan mengetahui persoalanpersolan yang dihadapi atau mungkin dihadapi sekolah dalam mencapai tujuan yang diinginkan sekolah. Dengan demikian mereka dapat melihat secara jelas dimana mereka dapat berpartisipasi untuk membantu sekolah. 3. Sekolah akan mengenal secara mendalam latar belakang, keinginan dan harapan-harapan masyarakat terhadap sekolah. Pengenalan harapan masyarakat dan orang tua murid terhadap sekolah, khususnya sekolah merupakan unsur penting guna menumbuhkan dukungan yang kuat dari masyarakat. Apabila hal ini tercipta, maka sikap apatis, acuh tak acuh dan masa bodoh masyarakat akan hilang. Yang menjadi pertanyaan adalah, sudahkah sekolah mengenal harapan masyarakat? Atau sekarang justru sekolah memaksakan harapannya kepada masyarakat! Coba kita analisis kondisi tersebut berdasarkan pengalaman dan penglihatan selama ini dalam praktek penyelenggaraan pendidikan di tingkat sekolah. Apabila kita belum melakukan hal tersebut, maka sudah saatnya mulai sekarang sekolah berbenah diri untuk membangun kemitraan dengan masyarakat/ stakeholders untuk kemajuan sekolah. Apabila kondisi dia atas tercipta, para siswa secara langsung mengetahui bahwa mereka mendapat perhatian yang besar dari kedua belah pihak, baik pihak orang tua/masyarakat maupun pihak sekolah.Hal ini tentunya merupakan kartu kendali bagi sekolah untuk bersikap, berperilaku dan bertindak di luar aturan sekolah yang ada. Kendali/control yang dilakukan bersama antara sekolah dan masyarakat secara terpadu akan memberikan ruang sempit bagi siswa, maupun warga sekolah lainnya yang akan bertindak atau berperilaku tidak sesuai dengan norma dan nilai yang berlaku di lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat. Dalam kenyataan yang ditemui di lembaga-sekolah sekarang ini nampaknya masih sedikit ditemukan pola-pola hubungan yang dapat mendorong terciptanya keempat hal pokok di atas. Hal ini disebabkan adanya persepsi bahwa peningkatan mutu sekolah dan peningkatan proses pembelajaran cukup dilakukan oleh pihak sekolah atau pihak pemerintah secara sepihak. Sedangkan pihak masyarakat dan orang tua murid cukup dimintakan bantuannya dalam bentuk keuangan saja, atau ada semacam persepsi seolah-olah sekolah yang bertanggung jawab dalam peningkatan mutu.Sedangkan orang tua (masyarakat) tidak perlu terlibat dalam upaya peningkatan mutu di sekolah.Keterlibatan orang tua/masyarakat sering diinterpretasikan atau dipersepsi sebagai bentuk intervensi yang terlalu jauh memasuki kawasan otonomi sekolah.Keadaan ini juga turut berpengaruh terhadap terciptanya hubungan yang akrab antar sekolah dengan pihak masyarakat. Persepsi yang salah ini sebagai akibat dari kurangnya pemahaman masyarakat tentang pendidikan dan juga pemahaman warga sekolah tentang apa dan bagaimana harusnya pengelolaan hubungan sekolah dengan masyarakat dibangun. Di samping itu pemberdayaan masyarakat masih cenderung pada aspek pembiayaan. 2. Tujuan Hubungan Sekolah dengan Masyarakat

Pengelolaan hubungan sekolah dengan masyarakat sebagai salah satu aktivitas yang mendapat kedudukan setara dengan kegiatan pengajaran, pengelolaan keuangan, pengelolaan kesiswaan dan sebagainya (ingat substansi kegiatan management sekolah) juga harus direncanakan, dikelola dan dievaluasi secara baik. Tanpa perencanaan dan pengelolaan serta evaluasi yang baik, tujuan yang hakiki dari kegiatan hubungan sekolah dengan masyarakat tidak akan tercapai. Apa sebenarnya yang ingin dicapai dalam kegiatan hubungan sekolah dengan masyarakat?, gambaran pada pembahasan di atas sudah memperlihatkan kepada kita tentang apa yang ingin dicapai dalam kegiatan ini. Secara lebih lengkap Elsbree dan Mc Nelly seperti dikutip oleh Suriansyah (2001) menyatakan bahwa kegiatan hubungan sekolah dengan masyarakat bertujuan untuk 1. To improve the quality of childrens learning and growing. 2. To rise community goals and improve the quality of community living 3. To develop understanding, enthusiasm and support for community program of public educations Dari pendapat ini terlihat bahwa yang ingin dicapai dalam kegiatan hubungan sekolah dengan masyarakat ini tidak hanya sekedar mendapat bantuan keuangan dari orang tua murid/masyarakat, tetapi lebih jauh dari hal tersebut yaitu pengembangan kemampuan belajar anak dan peningkatan kualitas kehidupan masyarakat, yang pada akhirnya dapat menumbuhkan dukungan mereka akan pendidikan. Sebagai bahan perbandingan, anda dapat mempelajari tujuan hubungan sekolah dengan masyarakat yang dikemukakan oleh L. Hagman sebagai berikut: 1. Untuk memperoleh bantuan dari orang tua murid/masyarakat, Bantuan apa? Ingat bantuan ini bukan hanya sekedar uang! Untuk melaporkan perkembangan dan kemajuan, masalah dan prestasi-prestasi yang dapat dicapai sekolah. Kapan sebenarnya laporan ini perlu dilakukan oleh pihak sekolah ? 2. Untuk memajukan program pendidikan. 3. Untuk mengembangkan kebersamaan dan kerjasama yang erat, sehingga segala permasalahan dan lain-lain dapat dilakukan secara bersama dan dalam waktu yang tepat. Dari berbagai uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hubungan sekolah dengan masyarakat sebenarnya bertujuan untuk meningkatkan: 1. Kualitas pembelajaran. Kualitas lulusan sekolah dalam aspek kognitif, afektif maupun psikomotor hanya akan dapat tercipta melalui proses pembelajar di kelas maupun di luar kelas. Proses pembelajaran yang berkualitas akan dapat dicapai apabila didukung oleh berbagai pihak termasuk orang tua murid/masyarakat. 2. Kualitas hasil belajar siswa. Kualitas belajar siswa akan tercapai apabila terjadi kebersamaan persepsi dan tindakan antara sekolah, masyarakat dan orang tua siswa. Kebersamaan ini terutama dalam memberikan arahan, bimbingan dan pengawasan pada anak/murid dalam belajar. Karena itu peningkatan kemitraan sekolah dengan orang tua

murid dan masyarakat merupakan prasyarat yang tidak dapat ditinggalkan dalam konteks peningkatan mutu hasil belajar. 3. Kualitas pertumbuhan dan perkembangan peserta didik serta kualitas masyarakat (orang tua murid) itu sendiri. Kualitas masyarakat akan dapat dibangun melalui proses pendidikan dan hasil pendidikan yang handal. Lulusan yang berkualitas merupakan modal utama dalam membangun kualitas masyarakat di masa depan. Ini berarti segala program yang dilakukan dalam kegiatan hubungan sekolah dengan masyarakat harus mengacu pada peningkatan kualitas pembelajaran, kualitas hasil belajar dan kualitas pertumbuhan/perkembangan peserta didik. Apabila hal tersebut dapat kita lakukan, maka persepsi masyarakat tentang sekolah akan dapat dibangun secara optimal. 3. Prinsip-Prinsip Pelaksanaan Hubungan Sekolah dengan Masyarakat Apabila kegiatan hubungan sekolah dengan masyarakat ingin berhasil mencapai sasaran, baik dalam arti sasaran masyarakat/orang tua yang dapat diajak kerjasama maupun sasaran hasil yang diinginkan, maka beberapa prinsip-prinsip pelaksanaan di bawah ini harus menjadi pertimbangan dan perhatian. Beberapa prinsip yang perlu diperhatikan dan dipertimbangkan dalam pelaksanaan hubungan sekolah dengan masyarakat adalah sebagai berikut: 1. Integrity. Prinsip ini mengandung makna bahwa semua kegiatan hubungan sekolah dengan masyarakat harus terpadu, dalam arti apa yang dijelaskan, disampaikan dan disuguhkan kepada masyarakat harus informasi yang terpadu antara informasi kegiatan akademik maupun informasi kegiatan yang bersifat non akademik. Hindarkan sejauh mungkin upaya menyembunyikan (hidden activity) kegiatan yang telah, sedang dan akan dijalankan oleh sekolah, untuk menghindari salah persepsi serta kecurigaan terhadap sekolah. Biasanya sering terjadi sekolah tidak menginformasikan atau menutupi sesuatu yang sebenarnya menjadi masalah sekolah dan perlu bantuan atau dukungan orang tua murid.Oleh sebab itu sekolah harus sedini mungkin mengantisipasi kemungkinan adanya salah persepsi, salah interpretasi tentang informasi yang disajikan dengan melengkapi informasi yang akurat dan data yang lengkap, sehingga dapat diterima secara rasional oleh masyarakat. Hal ini sangat penting untuk meningkatkan penilaian dan kepercayaan masyarakat/orang tua murid terhadap sekolah, atau dengan kata lain transparansi sekolah sangat diperlukan, lebih-lebih dalam era reformasi dan abad informasi ini, masyarakat akan semakin kritis dan berani memberikan penilaian secara langsung tentang sekolah. Bahkan tidak jarang penilaian dan persepsi yang disampaikan masyarakatan tentang sekolah sering tidak memiliki dasar dan data yang akurat dan valid. Persepsi yang demikian apabila tidak dihindari akan menyebabkan hal yang negatif bagi sekolah, akibatnya sekolah tidak akan mendapat dukungan bahkan mungkin sekolah hanya akan menunggu waktu kematiannya. Karena dia tidak dibutuhkan keberadaannya oleh masyarakatnya sendiri. 2. Continuity. Prinsip ini berarti bahwa pelaksanaan hubungan sekolah dengan masyarakat, harus dilakukan secara terus menerus. Jadi pelaksanaan hubungan sekolah dengan masyarakat jangan hanya

dilakukan secara insedental atau sewaktu-waktu, misalnya hanya 1 kali dalam satu tahun atau sekali dalam satu semester/caturwulan, atau hanya dilakukan oleh sekolah pada saat akan meminta bantuan keuangan kepada orang tua/masyarakat. Hal inilah yang menyebabkan masyarakat selalu beranggapan bahwa apabila ada panggilan sekolah untuk datang ke sekolah selalu dikaitkan dengan minta bantuan uang. Akibatnya mereka cenderung untuk tidak datang atau sekedar mewakilkan kepada orang lain untuk menghadiri undangan sekolah. Kenyataan selama ini menunjukkan bahwa undangan kepada orang tua murid dari sekolah sering diwakilkan kehadirannya kepada orang lain, sehingga kehadiran mereka hanya berkisar antara 60% 70% bahkan tidak jarang kurang dari 30%. Apabila ini terkondisi, maka sekolah akan sulit mendapat dukungan yang kuat dari semua orang tua murid dan masyarakat.Perkembangan informasi, perkembangan kemajuan sekolah, permasalahan-permasalahan sekolah bahkan permasalahan belajar siswa selalu muncul dan tumbuh setiap saat, karena itu maka diperlukan penjelasan informasi yang terus menerus dari sekolah untuk masyarakat/orang tua murid, sehingga mereka sadar akan pentingnya keikutsertaan mereka dalam meningkatkan mutu pendidikan putraputrinya. Oleh sebab itu maka informasi tentang sekolah yang akan disampaikan kepada masyarakat juga harus di updating setiap saat. Informasi yang sudah out update akan memberikan kesan kurang baik oleh masyarakat kepada sekolah. 3. Simplicity Prinsip ini menghendaki agar dalam proses hubungan sekolah dengan masyarakat yang dilakukan baik komunikasi personal maupun komunikasi kelompok pihak pemberi informasi (sekolah) dapat menyederhanakan berbagai informasi yang disajikan kepada masyarakat. Informasi yang disajikan kepada masyarakat melalui pertemuan langsung maupun melalui media hendaknya disajikan dalam bentuk sederhana sesuai dengan kondisi dan karakteristik pendengar (masyarakat setempat). Prinsip kesederhanaan ini juga mengandung makna bahwa:
y

y y

Informasi yang disajikan dinyatakan dengan kata-kata yang penuh persahabatan dan mudah dimengerti. Banyak masyarakat yang tidak memahami istilah-istilah yang sangat ilmiah, oleh sebab itu penggunaan istilah sedapat mungkin disesuaikan dengan tingkat pemahaman masyarakat yang menjadi audience. Penggunaan kata-kata yang jelas, disukai oleh masyarakat atau akrab bagi pendengar. Informasi yang disajikan menggunakan pendekatan budaya setempat.

4. Coverage Kegiatan pemberian informasi hendaknya menyeluruh dan mencakup semua aspek, factor atau substansi yang perlu disampaikan dan diketahui oleh masyarakat, misalnya program ekstra kurikuler, kegiatan kurikuler, remedial teaching dan lain-lain kegiatan.Prinsip ini juga mengandung makna bahwa segala informasi hendaknya lengkap, akurat dan up to date. Lengkap artinya tidak satu informasipun yang harus ditutupi atau disimpan, padahal masyarakat/orang tua murid mempunyai hak untuk mengetahui keberadaan dan kemajuan (progress) sekolah dimana anaknya belajar. Oleh sebab itu informasi kemajuan sekolah, kegagalan/masalah yang dihadapi sekolah serta prestasi yang dapat dicapai sekolah harus dinformasikan kepada masyarakat.Akurat artinya informasi yang diberikan memang tepat dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat, dalam kaitannya ini juga berarti bahwa informasi yang diberikan jangan dibuat-buat atau informasi

yang obyektif.Sedangkan up to date berarti informasi yang diberikan adalah informasi perkembangan, kemajuan, masalah dan prestasi sekolah terakhir.Dengan demikian masyarakat dapat memberikan penilaian sejauh mana sekolah dapat mencapai misi dan visi yang disusunnya. 5. Constructiveness Program hubungan sekolah dengan masyarakat hendaknya konstruktif dalam arti sekolah memberikan informasi yang konstruktif kepada masyarakat. Dengan demikian masyarakat akan memberikan respon hal-hal positif tentang sekolah serta mengerti dan memahami secara detail berbagai masalah (problem dan constrain) yang dihadapi sekolah. Apabila hal tersebut dapat mereka mengerti, akan merupakan salah satu faktor yang dapat mendorong mereka untuk memberikan bantuan kepada sekolah sesuai dengan permasalahan sekolah yang perlu mendapat perhatian dan pemecahan bersama. Hal ini menuntut sekolah untuk membuat daftar masalah (list of problems) yang perlu dikomunikasikan secara terus menerus kepada sasaran masyarakat tertentu. Prinsip ini juga berarti dalam penyajian informasi hendaknya obyektif tanpa emosi dan rekayasa tertentu, termasuk dalam hal ini memberitahukan kelemahan-kelemahan sekolah dalam memacu peningkatan mutu pendidikan di sekolah. Prinsip ini juga berarti bahwa informasi yang disajikan kepada khalayak sasaran harus dapat membangun kemauan dan merangsang untuk berpikir bagi penerima informasi. Penjelasan yang konstruktif akan menarik bagi masyarakat dan akan diterima oleh masyarakat tanpa prasangka tertentu, hal ini akan mengarahkan mereka untuk berbuat sesuatu sesuai dengan keinginan sekolah. Untuk itu informasi yang ramah, obyektif berdasarkan data-data yang ada pada sekolah. 6. Adaptability Program hubungan sekolah dengan masyarakat hendaknya disesuaikan dengan keadaan di dalam lingkungan masyarakat tersebut. Penyesuaian dalam hal ini termasuk penyesuaian terhadap aktivitas, kebiasaan, budaya (culture) dan bahan informasi yang ada dan berlaku di dalam kehidupan masyarakat. Bahkan pelaksanaan kegiatan hubungan dengan masyarakat pun harus disesuaikan dengan kondisi masyarakat.Misalnya saja masyarakat daerah pertanian yang setiap pagi bekerja di sawah, tidak mungkin sekolah mengadakan kunjungan (home visit) pada pagi hari. Pengertian-pengertian yang benar dan valid tentang opini serta faktor-faktor yang mendukung akan dapat menumbuhkan kemauan bagi masyarakat untuk berpartisipasi ke dalam pemecahan persoalan-persoalan yang dihadapi sekolah.

Manajemen Sekolah dalam Upaya Mengantisipasi Peruba han


Posted on 26 Maret 2008 by AKHMAD SUDRAJAT

Dalam kehidupan modern sekarang ini, pendidikan dihadapkan pada berbagai tantangan perubahan yang sangat cepat dan kadang-kadang kehadirannya sulit diprediksikan, sehingga menuntut setiap organisasi untuk dapat memiliki kemampuan antisipatif dan adaptif terhadap berbagai kemungkinan sebagai konsekwensi dari adanya perubahan. Begitu pula dengan sekolah, sebagai institusi yang bergerak dalam bidang jasa pendidikan akan dihadapkan pada berbagai tantangan perubahan. Ketidakmampuan sekolah dalam mengantisipasi dan beradaptasi dengan perubahan yang terjadi, lambat laun akan dapat menimbulkan keterpurukan sekolah itu sendiri, dan habis ditelan oleh perubahan. Bentuk sikap antisipatif dan adaptif ini dapat dilakukan melalui upaya untuk melaksanakan perbaikan secara terus-menerus dalam proses manajemen. Jika kita mengacu pada konsep Total Quality Manajemen, maka upaya perbaikan secara terus menerus dalam proses manajemen di sekolah menjadi kebutuhan organisasi yang sangat mendasar. Dalam hal ini, Gostch dan Davis (Sudarwan Danim 2002:102) mengemukakan bahwa salah satu kaidah dalam mengaplikasikan TQM adalah adanya perbaikan kinerja sistem secara berkelanjutan.Untuk itu, kegiatan evaluasi dan riset menjadi amat penting adanya. Dengan melalui kegiatan evaluasi dan riset ini akan diperoleh data yang akurat untuk dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan yang berkenaan dengan usaha inovatif organisasi dan penyesuaiaian-penyesuaian terhadap berbagai perubahan. Berbicara tentang sikap antisipatif ini, kita akan diingatkan pula dengan konsep budaya organisasi yang adaptif yang dikemukakan oleh Ralph Klinmann bahwa budaya adaptif merupakan sebuah budaya dengan pendekatan yang bersifat siap menanggung resiko, percaya, dan proaktif terhadap kehidupan individu. Para anggota secara aktif mendukung usaha satu sama lain untuk mengidentifikasi semua masalah dan mengimplementasikan pemecahan yang dapat berfungsi. Ada suatu rasa percaya (confidence) yang dimiliki bersama. Para anggotanya percaya, tanpa rasa bimbang bahwa mereka dapat menata olah secara efektif masalah baru dan peluang apa saja yang akan mereka temui. Kegairahan yang menyebar luas, satu semangat untuk melakukan apa saja yang dia hadapi untuk mencapai keberhasilan organisasi. Para anggota ini reseptif terhadap perubahan dan inovasi.Rosabeth Kanter mengemukakan bahwa jenis budaya ini menghargai dan mendorong kewiraswastaan, yang dapat membantu sebuah organisasi beradaptasi dengan lingkungan yang berubah, dengan memungkinkannya mengidentifikasi dan mengeksploitasi peluang-peluang baru.(John P. Kotter dan James L. Heskett: 17- 49). Dengan demikian, sikap antisipatif dan adaptif terhadap perubahan seyogyanya menjadi bagian dari

budaya organisasi di sekolah, yang ditunjukkan dengan upaya melakukan berbagai perbaikan dalam proses manajemen. Berkenaan dengan perbaikan pada proses manajemen. Ross (Sudarwan Danim, 2002:121) mengetengahkan tentang perubahan kultural dari kultur tradisional ke budaya mutu, yang mencakup 4 fokus, sebagaimana tampak dalam tabel berikut ini: Focus Plan Organize Control Communication Decisions Functional Management Quality Management From Traditional Sort range budget Hierarchi chain of command Variance Reporting Top Down Ad Hoc/ Crisis Management Parochial, Competitive Fixing/One Short Manifacturing To Quality Future Strategic Issue Participant/Empowerment Quality Measure and Information or Self Control Top Down and Bottom Up Planned Change Cross functional, Integrative Preventive, Continous, functions, and Process

Budaya Organisasi di Sekolah


Posted on 27 Januari 2008 by AKHMAD SUDRAJAT Oleh : Akhmad Sudrajat, *)) A. Pengertian Budaya Organisasi

Pemahaman tentang budaya organisasi sesungguhnya tidak lepas dari konsep dasar tentang budaya itu sendiri, yang merupakan salah satu terminologi yang banyak digunakan dalam bidang antropologi. Dewasa ini, dalam pandangan antropologi sendiri, konsep budaya ternyata telah mengalami pergeseran makna. Sebagaimana dinyatakan oleh C.A. Van Peursen (1984) bahwa dulu orang berpendapat budaya meliputi segala manifestasi dari kehidupan manusia yang berbudi luhur dan yang bersifat rohani, seperti : agama, kesenian, filsafat, ilmu pengetahuan, tata negara dan sebagainya. Tetapi pendapat tersebut sudah sejak lama disingkirkan.Dewasa ini budaya diartikan sebagai manifestasi kehidupan setiap orang dan setiap kelompok orang-orang.Kini budaya dipandang sebagai sesuatu yang lebih dinamis, bukan sesuatu yang kaku dan statis. Budaya tidak tidak diartikan sebagai sebuah kata benda, kini lebih dimaknai sebagai sebuah kata kerja yang dihubungkan dengan kegiatan manusia.Dari sini timbul pertanyaan, apa sesungguhnya budaya itu ?Marvin Bower seperti disampaikain oleh Alan

Cowling dan Philip James (1996), secara ringkas memberikan pengertian budaya sebagai cara kita melakukan hal-hal di sini. Menurut Vijay Santhe sebagaimana dikutip oleh Taliziduhu Ndraha (1997)_budaya adalah : The set of important assumption (often unstated) that members of community share in common. Secara umum namun operasional, Edgar Schein (2002) dari MIT dalam tulisannya tentang Organizational Culture & Leadership mendefinisikan budaya sebagai: A pattern of shared basic assumptions that the group learned as it solved its problems of external adaptation and internal integration, that has worked well enough to be considered valid and, therefore, to be taught to new members as the correct way you perceive, think, and feel in relation to those problems. Dari Vijay Sathe dan Edgar Schein, kita temukan kata kunci dari pengertian budaya yaitu shared basicassumptions atau menganggap pasti terhadap sesuatu. Taliziduhu Ndraha mengemukakan bahwa asumsi meliputi beliefs (keyakinan) dan value (nilai). Beliefs merupakan asumsi dasar tentang dunia dan bagaimana dunia berjalan.Duverger sebagaimana dikutip oleh Idochi Anwar dan Yayat Hidayat Amir (2000) mengemukakan bahwa belief (keyakinan) merupakan state of mind (lukisan fikiran) yang terlepas dari ekspresi material yang diperoleh suatu komunitas. Value (nilai) merupakan suatu ukuran normatif yang mempengaruhi manusia untuk melaksanakan tindakan yang dihayatinya. Menurut Vijay Sathe dalam Taliziduhu (1997) nilai merupakan basic assumption about what ideals are desirable or worth striving for. Sementara itu, Moh Surya (1995) memberikan gambaran tentang nilai sebagai berikut : setiap orang mempunyai berbagai pengalaman yang memungkinkan dia berkembang dan belajar. Dari pengalaman itu, individu mendapatkan patokan-patokan umum untuk bertingkah laku. Misalnya, bagaimana cara berhadapan dengan orang lain, bagaimana menghormati orang lain, bagimana memilih tindakan yang tepat dalam satu situasi, dan sebagainya. Patokan-patokan ini cenderung dilakukan dalam waktu dan tempat tertentu. Pada bagian lain dikemukakan pula bahwa nilai mempunyai fungsi : (1) nilai sebagai standar; (2) nilai sebagai dasar penyelesaian konflik dan pembuatan keputusan; (3) nilai sebagai motivasi; (4) nilai sebagai dasar penyesuaian diri; dan (5) nilai sebagai dasar perwujudan diri. Hal senada dikemukakan oleh Rokeach yang dikutip oleh Danandjaya dalam Taliziduhu Ndraha (1997) bahwa : a value system is learned organization rules to help one choose between alternatives, solve conflict, and make decision. Dalam budaya organisasi ditandai adanya sharing atau berbagi nilai dan keyakinan yang sama dengan seluruh anggota organisasi. Misalnya berbagi nilai dan keyakinan yang sama melalui pakaian seragam. Namun menerima dan memakai seragam saja tidaklah cukup.Pemakaian seragam haruslah membawa rasa bangga, menjadi alat kontrol dan membentuk citra organisasi.Dengan demikian, nilai pakaian seragam tertanam menjadi basic.Menurut Sathe dalam Taliziduhu Ndraha (1997) bahwa shared basic assumptions meliputi : (1) shared things; (2) shared saying, (3) shared doing;dan (4) shared feelings.

Pada bagian lain, Edgar Schein (2002) menyebutkan bahwa basic assumption dihasilkan melalui : (1) evolve as solution to problem is repeated over and over again; (2) hypothesis becomes reality, dan (3) to learn something new requires resurrection, reexamination, frame breaking. Dengan memahami konsep dasar budaya secara umum di atas, selanjutnya kita akan berusaha memahami budaya dalam konteks organisasi atau biasa disebut budaya organisasi (organizational culture). Adapun pengertian organisasi di sini lebih diarahkan dalam pengertian organisasi formal. Dalam arti, kerja sama yang terjalin antar anggota memiliki unsur visi dan misi, sumber daya, dasar hukum struktur, dan anatomi yang jelas dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Sejak lebih dari seperempat abad yang lalu, kajian tentang budaya organisasi menjadi daya tarik tersendiri bagi kalangan ahli maupun praktisi manajemen, terutama dalam rangka memahami dan mempraktekkan perilaku organisasi. Edgar Schein (2002) mengemukakan bahwa budaya organisasi dapat dibagi ke dalam dua dimensi yaitu : Dimensi external environments; yang didalamnya terdapat lima hal esensial yaitu: (a) mission and strategy; (b) goals; (c) means to achieve goals; (d) measurement; dan (e) correction. Dimensi internal integration yang di dalamnya terdapat enam aspek utama, yaitu : (a) common language; (b) group boundaries for inclusion and exclusion; (c) distributing power and status; (d) developing norms of intimacy, friendship, and love; (e) reward and punishment; dan (f) explaining and explainable : ideology and religion. Pada bagian lain, Edgar Schein mengetengahkan sepuluh karateristik budaya organisasi, mencakup : (1) observe behavior: language, customs, traditions; (2) groups norms: standards and values; (3) espoused values: published, publicly announced values; (4) formal philosophy: mission; (5) rules of the game: rules to all in organization; (6) climate: climate of group in interaction; (7) embedded skills; (8) habits of thinking, acting, paradigms: shared knowledge for socialization; (9) shared meanings of the group; dan(10) metaphors or symbols. Sementara itu, Fred Luthan (1995) mengetengahkan enam karakteristik penting dari budaya organisasi, yaitu : (1) obeserved behavioral regularities;yakni keberaturan cara bertindak dari para anggota yang tampak teramati. Ketika anggota organisasi berinteraksi dengan anggota lainnya, mereka mungkin menggunakan bahasa umum, istilah, atau ritual tertentu;(2) norms; yakni berbagai standar perilaku yang ada, termasuk di dalamnya tentang pedoman sejauh mana suatu pekerjaan harus dilakukan; (3) dominant values; yaitu adanya nilai-nilai inti yang dianut bersama oleh seluruh anggota organisasi, misalnya tentang kualitas produk yang tinggi, absensi yang rendah atau efisiensi yang tinggi; (4) philosophy; yakni adanya kebijakan-kebijakan yang berkenaan dengan keyakinan organisasi dalam memperlakukan pelanggan dan karyawan (5) rules; yaitu adanya pedoman yang ketat, dikaitkan dengan kemajuan organisasi (6) organization climate; merupakan perasaan keseluruhan (an overall feeling) yang tergambarkan dan disampaikan melalui kondisi tata ruang, cara berinteraksi para anggota organisasi, dan cara anggota organisasi memperlakukan dirinya dan pelanggan atau orang lain

Dari ketiga pendapat di atas, kita melihat adanya perbedaan pandangan tentang karakteristik budaya organisasi, terutama dilihat dari segi jumlah karakteristik budaya organisasi.Kendati demikian, ketiga pendapat tersebut sesungguhnya tidak menunjukkan perbedaan yang prinsipil. Budaya organisasi dapat dipandang sebagai sebuah sistem.Mc Namara (2002) mengemukakan bahwa dilihat dari sisi in put, budaya organisasi mencakup umpan balik (feed back) dari masyarakat, profesi, hukum, kompetisi dan sebagainya. Sedangkan dilihat dari proses, budaya organisasi mengacu kepada asumsi, nilai dan norma, misalnya nilai tentang : uang, waktu, manusia, fasilitas dan ruang. Sementara dilihat dari out put, berhubungan dengan pengaruh budaya organisasi terhadap perilaku organisasi, teknologi, strategi, image, produk dan sebagainya. Dilihat dari sisi kejelasan dan ketahanannya terhadap perubahan, John P. Kotter dan James L. Heskett (1998) memilah budaya organisasi menjadi ke dalam dua tingkatan yang berbeda.Dikemukakannya, bahwa pada tingkatan yang lebih dalam dan kurang terlihat, nilainilai yang dianut bersama oleh orang dalam kelompok dan cenderung bertahan sepanjang waktu bahkan meskipun anggota kelompok sudah berubah. Pengertian ini mencakup tentang apa yang penting dalam kehidupan, dan dapat sangat bervariasi dalam perusahaan yang berbeda : dalam beberapa hal orang sangat mempedulikan uang, dalam hal lain orang sangat mempedulikan inovasi atau kesejahteraan karyawan. Pada tingkatan ini budaya sangat sukar berubah, sebagian karena anggota kelompok sering tidak sadar akan banyaknya nilai yang mengikat mereka bersama. Pada tingkat yang terlihat, budaya menggambarkan pola atau gaya perilaku suatu organisasi, sehingga karyawan-karyawan baru secara otomatis terdorong untuk mengikuti perilaku sejawatnya. Sebagai contoh, katakanlah bahwa orang dalam satu kelompok telah bertahun-tahun menjadi pekerja keras, yang lainnya sangat ramah terhadap orang asing dan lainnya lagi selalu mengenakan pakaian yang sangat konservatif.Budaya dalam pengertian ini, masih kaku untuk berubah, tetapi tidak sesulit pada tingkatan nilai-nilai dasar.Untuk lebih jelasnya lagi mengenai tingkatan budaya ini dapat dilihat dalam bagan 1. Tak Tampak berubah -Sulit

Nilai yang dianut bersama : Keyakinan dan tujuan penting yang dimiliki bersama oleh kebanyakan orang dalam kelompok yang cenderung membentuk perilaku kelompok, dan sering bertahan lama, bahkan walaupun sudah terjadi perubahan dalam anggota kelompok. Contoh: para manajer yang mempedulikan pelanggan; eksekutif yang suka dengan pertimbangan jangka panjang. Norma perilaku kelompok : cara bertindak yang sudah lazim atau sudah meresap yang ditemukan dalam satu kelompok dan bertahan karena anggota kelompok cenderung berperilaku dengan cara mengajarkan praktek-praktek (juga- nilai-nilai yang mereka anut bersama) kepada para anggota baru memberi imbalan kepada mereka yang menyesuaikan dirinya dan menghukum yang tidak. Contoh: para karyawan cepat menanggapi permintaan pelanggan; para menajer yang sering melibatkan karyawan tingkat bawah dalam pengambilan keputusan. Tampak -Mudah berubah

Bagan 1. Budaya dalam Sebuah Organisasi

(sumber : John P. Kotter. & James L. Heskett, 1998. Corporate Culture and Performance. PT Prehalindo, h.5)

(terjBenyamin Molan). Jakarta:

Pada bagian lain, John P. Kotter dan James L. Heskett (1998) memaparkan pula tentang tiga konsep budaya organisasi yaitu : (1) budaya yang kuat; (2) budaya yang secara strategis cocok; dan (3) budaya adaptif. Organisasi yang memiliki budaya yang kuat ditandai dengan adanya kecenderungan hampir semua manajer menganut bersama seperangkat nilai dan metode menjalankan usaha organisasi.Karyawan baru mengadopsi nilai-nilai ini dengan sangat cepat.Seorang eksekutif baru bisa saja dikoreksi oleh bawahannya, selain juga oleh bossnya, jika dia melanggar norma-norma organisasi.Gaya dan nilai dari suatu budaya yang cenderung tidak banyak berubah dan akarakarnya sudah mendalam, walaupun terjadi penggantian manajer. Dalam organisasi dengan budaya yang kuat, karyawan cenderung berbaris mengikuti penabuh genderang yang sama. Nilai-nilai dan perilaku yang dianut bersama membuat orang merasa nyaman dalam bekerja, rasa komitmen dan loyalitas membuat orang berusaha lebih keras lagi.Dalam budaya yang kuat memberikan struktur dan kontrol yang dibutuhkan, tanpa harus bersandar pada birokrasi formal yang mencekik yang dapat menekan tumbuhnya motivasi dan inovasi. Budaya yang strategis cocok secara eksplisit menyatakan bahwa arah budaya harus menyelaraskan dan memotivasi anggota, jika ingin meningkatkan kinerja organisasi.Konsep utama yang digunakan di sini adalah kecocokan.Jadi, sebuah budaya dianggap baik apabila cocok dengan konteksnya.Adapun yang dimaksud dengan konteks bisa berupa kondisi obyektif dari organisasinya atau strategi usahanya. Budaya yang adaptif berangkat dari logika bahwa hanya budaya yang dapat membantu organisasi mengantisipasi dan beradaptasi dengan perubahan lingkungan, akan diasosiasikan dengan kinerja yang superiror sepanjang waktu. Ralph Klimann menggambarkan budaya adaptif ini merupakan sebuah budaya dengan pendekatan yang bersifat siap menanggung resiko, percaya, dan proaktif terhadap kehidupan individu. Para anggota secara aktif mendukung usaha satu sama lain untuk mengidentifikasi semua masalah dan mengimplementasikan pemecahan yang dapat berfungsi. Ada suatu rasa percaya (confidence) yang dimiliki bersama. Para anggotanya percaya, tanpa rasa bimbang bahwa mereka dapat menata olah secara efektif masalah baru dan peluang apa saja yang akan mereka temui. Kegairahan yang menyebar luas, satu semangat untuk melakukan apa saja yang dia hadapi untuk mencapai keberhasilan organisasi. Para anggota ini reseptif terhadap perubahan dan inovasi.Rosabeth Kanter mengemukakan bahwa jenis budaya ini menghargai dan mendorong kewiraswastaan, yang dapat membantu sebuah organisasi beradaptasi dengan lingkungan yang berubah, dengan memungkinkannya mengidentifikasi dan mengeksploitasi peluang-peluang baru. Contoh perusahaan yang mengembangkan budaya adaptif ini adalah Digital Equipment Corporation dengan budaya yang mempromosikan inovasi, pengambilan resiko, pembahasan yang jujur, kewiraswastaan, dan kepemimpinan pada banyak tingkat dalam hierarki. B. Proses Pembentukan Budaya Organisasi Selanjutnya, kita akan membicarakan tentang proses terbentuknya budaya dalam organisasi. Munculnya gagasan-gagasan atau jalan keluar yang kemudian tertanam dalam suatu budaya

dalam organisasi bisa bermula dari mana pun, dari perorangan atau kelompok, dari tingkat bawah atau puncak. Taliziduhu Ndraha (1997) menginventarisir sumber-sumber pembentuk budaya organisasi, diantaranya : (1) pendiri organisasi; (2) pemilik organisasi; (3) Sumber daya manusia asing; (4) luar organisasi; (4) orang yang berkepentingan dengan organisasi (stake holder); dan (6) masyarakat. Selanjutnya dikemukakan pula bahwa proses budaya dapat terjadi dengan cara: (1) kontak budaya; (2) benturan budaya; dan (3) penggalian budaya. Pembentukan budaya tidak dapat dilakukan dalam waktu yang sekejap, namun memerlukan waktu dan bahkan biaya yang tidak sedikit untuk dapat menerima nilai-nilai baru dalam organisasi. Setelah mapan, budaya organisasi sering mengabadikan dirinya dalam sejumlah hal. Calon anggota kelompok mungkin akan disaring berdasarkan kesesuaian nilai dan perilakunya dengan budaya organisasi. Kepada anggota organisasi yang baru terpilih bisa diajarkan gaya kelompok secara eksplisit. Kisah-kisah atau legenda-legenda historis bisa diceritakan terus menerus untuk mengingatkan setiap orang tentang nilai-nilai kelompok dan apa yang dimaksudkan dengannya. Para manajer bisa secara eksplisit berusaha bertindak sesuai dengan contoh budaya dan gagasan budaya tersebut.Begitu juga, anggota senior bisa mengkomunikasikan nilai-nilai pokok mereka secara terus menerus dalam percakapan sehari-hari atau melalui ritual dan perayaan-perayaan khusus. Orang-orang yang berhasil mencapai gagasan-gagasan yang tertanam dalam budaya ini dapat terkenal dan dijadikan pahlawan. Proses alamiah dalam identifikasi diri dapat mendorong anggota muda untuk mengambil alih nilai dan gaya mentor mereka. Barangkali yang paling mendasar, orang yang mengikuti norma-norma budaya akan diberi imbalan (reward) sedangkan yang tidak, akan mendapat sanksi (punishment). Imbalan (reward) bisa berupa materi atau pun promosi jabatan dalam organisasi tertentu sedangkan untuk sanksi (punishment) tidak hanya diberikan berdasar pada aturan organisasi yang ada semata, namun juga bisa berbentuk sanksi sosial. Dalam arti, anggota tersebut menjadi isolated di lingkungan organisasinya. Dalam suatu organisasi sesungguhnya tidak ada budaya yang baik atau buruk, yang ada hanyalah budaya yang cocok atau tidak cocok . Jika dalam suatu organisasi memiliki budaya yang cocok, maka manajemennya lebih berfokus pada upaya pemeliharaan nilai-nilai- yang ada dan perubahan tidak perlu dilakukan.Namun jika terjadi kesalahan dalam memberikan asumsi dasar yang berdampak terhadap rendahnya kualitas kinerja, maka perubahan budaya mungkin diperlukan. Karena budaya ini telah berevolusi selama bertahun-tahun melalui sejumlah proses belajar yang telah berakar, maka mungkin saja sulit untuk diubah. Kebiasaan lama akan sulit dihilangkan. Walaupun demikian, Howard Schwartz dan Stanley Davis dalam bukunya Matching Corporate Culture and Business Strategy yang dikutip oleh Bambang Tri Cahyono mengemukakan empat alternatif pendekatan terhadap manajemen budaya organisasi, yaitu : (1) lupakan kultur; (2) kendalikan disekitarnya; (3) upayakan untuk mengubah unsur-unsur kultur agar cocok dengan strategi; dan (4) ubah strategi. Selanjutnya Bambang Tri Cahyono (1996) dengan mengutip pemikiran Alan Kennedy dalam bukunya Corporate Culture mengemukan bahwa terdapat lima alasan untuk membenarkan perubahan budaya secara besar-besaran : (1) Jika organisasi memiliki nilai-nilai yang kuat namun tidak cocok dengan lingkungan yang berubah; (2) Jika organisasi

sangat bersaing dan bergerak dengan kecepatan kilat; (3) Jika organisasi berukuran sedangsedang saja atau lebih buruk lagi; (4) Jika organisasi mulai memasuki peringkat yang sangat besar; dan (5) Jika organisasi kecil tetapi berkembang pesat. Selanjutnya Kennedy mengemukakan bahwa jika tidak ada satu pun alasan yang cocok dengan di atas, jangan lakukan perubahan. Analisisnya terhadap sepuluh kasus usaha mengubah budaya menunjukkan bahwa hal ini akan memakan biaya antara 5 sampai 10 persen dari yang telah dihabiskan untuk mengubah perilaku orang. Meskipun demikian mungkin hanya akan didapatkan setengah perbaikan dari yang diinginkan. Dia mengingatkan bahwa hal itu akan memakan biaya lebih banyak lagi. dalam bentuk waktu, usaha dan uang. C. Pengembangan Budaya Organisasi di Sekolah Dengan memahami konsep tentang budaya organisasi sebagaimana telah diutarakan di atas, selanjutnya di bawah ini akan diuraikan tentang pengembangan budaya organisasi dalam konteks persekolahan. Secara umum, penerapan konsep budaya organisasi di sekolah sebenarnya tidak jauh berbeda dengan penerapan konsep budaya organisasi lainnya.Kalaupun terdapat perbedaan mungkin hanya terletak pada jenis nilai dominan yang dikembangkannya dan karakateristik dari para pendukungnya.Berkenaan dengan pendukung budaya organisasi di sekolah Paul E. Heckman sebagaimana dikutip oleh Stephen Stolp (1994) mengemukakan bahwa the commonly held beliefs of teachers, students, and principals. Nilai-nilai yang dikembangkan di sekolah, tentunya tidak dapat dilepaskan dari keberadaan sekolah itu sendiri sebagai organisasi pendidikan, yang memiliki peran dan fungsi untuk berusaha mengembangkan, melestarikan dan mewariskan nilai-nilai budaya kepada para siswanya. Dalam hal ini, Larry Lashway (1996) menyebutkan bahwa schools are moral institutions, designed to promote social norms, . Nilai-nilai yang mungkin dikembangkan di sekolah tentunya sangat beragam.Jika merujuk pada pemikiran Spranger sebagaimana disampaikan oleh Sumadi Suryabrata (1990), maka setidaknya terdapat enam jenis nilai yang seyogyanya dikembangkan di sekolah.Dalam tabel 1 berikut ini dikemukakan keenam jenis nilai dari Spranger beserta perilaku dasarnya. Tabel 1. Jenis Nilai dan Perilaku Dasarnya menurut Spranger No 1 2 3 4 5 6 Nilai Ilmu Pengetahuan Ekonomi Kesenian Keagamaan Kemasyarakatan Politik/kenegaraan Perilaku Dasar Berfikir Bekerja Menikmati keindahan Memuja Berbakti/berkorban Berkuasa/memerintah

Sumber : Modifikasi dari Sumadi Suryabrata. 1990. Psikologi Kepribadian. Jakarta: Rajawali.

Dengan merujuk pada pemikiran Fred Luthan, dan Edgar Schein, di bawah ini akan diuraikan tentang karakteristik budaya organisasi di sekolah, yaitu tentang (1) obeserved behavioral regularities; (2) norms; (3) dominant value. (4) philosophy; (5) rules dan (6) organizationclimate. 1. Obeserved behavioral regularities budaya organisasi di sekolah ditandai dengan adanya keberaturan cara bertindak dari seluruh anggota sekolah yang dapat diamati. Keberaturan berperilaku ini dapat berbentuk acara-acara ritual tertentu, bahasa umum yang digunakan atau simbol-simbol tertentu, yang mencerminkan nilai-nilai yang dianut oleh anggota sekolah. 2. Norms; budaya organisasi di sekolah ditandai pula oleh adanya norma-norma yang berisi tentang standar perilaku dari anggota sekolah, baik bagi siswa maupun guru. Standar perilaku ini bisa berdasarkan pada kebijakan intern sekolah itu sendiri maupun pada kebijakan pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Standar perilaku siswa terutama berhubungan dengan pencapaian hasil belajar siswa, yang akan menentukan apakah seorang siswa dapat dinyatakan lulus/naik kelas atau tidak. Standar perilaku siswa tidak hanya berkenaan dengan aspek kognitif atau akademik semata namun menyangkut seluruh aspek kepribadian. Jika kita berpegang pada Kurikulum Berbasis Kompetensi, secara umum standar perilaku yang diharapkan dari tamatan Sekolah Menengah Atas, diantaranya mencakup : (1) Memiliki keyakinan dan ketaqwaan sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya; (2)Memiliki nilai dasar humaniora untuk menerapkan kebersamaan dalam kehidupan; (3) Menguasai pengetahuan dan keterampilan akademik serta beretos belajar untuk melanjutkan pendidikan; (4) Mengalihgunakan kemampuan akademik dan keterampilan hidup dimasyarakat local dan global; (5) Berekspresi dan menghargai seni; (6) Menjaga kebersihan, kesehatan dan kebugaran jasmani; (7) Berpartisipasi dan berwawasan kebangsaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara secara demokratis. (Depdiknas, 2002). Sedangkan berkenaan dengan standar perilaku guru, tentunya erat kaitannya dengan standar kompetensi yang harus dimiliki guru, yang akan menopang terhadap kinerjanya. Dalam perspektif kebijakan pendidikan nasional, pemerintah telah merumuskan empat jenis kompetensi guru sebagaimana tercantum dalam Penjelasan Peraturan Pemerintah No 14 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, yaitu : (1) Kompetensi pedagogik yaitu merupakan kemampuan dalam pengelolaan peserta didik yang meliputi: (a) pemahaman wawasan atau landasan kependidikan; (b) pemahaman terhadap peserta didik; (c) pengembangan kurikulum/ silabus; (d) perancangan pembelajaran; (e) pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis; (f) evaluasi hasil belajar; dan (g) pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya; (2) Kompetensi kepribadian yaitu merupakan kemampuan kepribadian yang: (a) mantap; (b) stabil; (c) dewasa; (d) arif dan bijaksana; (e) berwibawa; (f) berakhlak mulia; (g) menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat; (h) mengevaluasi kinerja sendiri; dan (i) mengembangkan diri secara berkelanjutan; (3) Kompetensi sosial yaitu merupakan kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk : (a) berkomunikasi lisan dan tulisan; (b) menggunakan teknologi komunikasi dan informasi secara fungsional; (c) bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orangtua/wali peserta didik; dan (d) bergaul secara santun dengan masyarakat sekitar; dan (4) Kompetensi profesional merupakan kemampuan penguasaan materi pembelajaran

secara luas dan mendalam yang meliputi: (a) konsep, struktur, dan metoda keilmuan/teknologi/seni yang menaungi/koheren dengan materi ajar; (b) materi ajar yang ada dalam kurikulum sekolah; (c) hubungan konsep antar mata pelajaran terkait; (d) penerapan konsep-konsep keilmuan dalam kehidupan sehari-hari; dan (e) kompetisi secara profesional dalam konteks global dengan tetap melestarikan nilai dan budaya nasional. 3. Dominant values; jika dihubungkan dengan tantangan pendidikan Indonesia dewasa ini yaitu tentang pencapaian mutu pendidikan, maka budaya organisasi di sekolah seyogyanya diletakkan dalam kerangka pencapaian mutu pendidikan di sekolah. Nilai dan keyakinan akan pencapaian mutu pendidikan di sekolah hendaknya menjadi hal yang utama bagi seluruh warga sekolah. Adapun tentang makna dari mutu pendidikan itu sendiri, Jiyono sebagaimana disampaikan oleh Sudarwan Danim (2002) mengartikannya sebagai gambaran keberhasilan pendidikan dalam mengubah tingkah laku anak didik yang dikaitkan dengan tujuan pendidikan. Sementara itu, dalam konteks Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (Depdiknas, 2001), mutu pendidikan meliputi aspek input, proses dan output pendidikan. Pada aspek input, mutu pendidikan ditunjukkan melalui tingkat kesiapan dan ketersediaan sumber daya, perangkat lunak, dan harapanharapan. Makin tinggi tingkat kesiapan input, makin tinggi pula mutu input tersebut. Sedangkan pada aspek proses, mutu pendidikan ditunjukkan melalui pengkoordinasian dan penyerasian serta pemanduan input sekolah dilakukan secara harmonis, sehingga mampu menciptakan situasi pembelajaran yang menyenangkan (enjoyable learning), mampu mendorong motivasi dan minat belajar, dan benar-benar mampu memberdayakan peserta didik. Sementara, dari aspek out put, mutu pendidikan dapat dilihat dari prestasi sekolah, khususnya prestasi siswa, baik dalam bidang akademik maupun non akademik. Berbicara tentang upaya menumbuh-kembangkan budaya mutu di sekolah akan mengingatkan kita kepada suatu konsep manajemen dengan apa yang dikenal dengan istilah Total Quality Management (TQM), yang merupakan suatu pendekatan dalam menjalankan suatu unit usaha untuk mengoptimalkan daya saing organisasi melalui prakarsa perbaikan terus menerus atas produk, jasa, manusia, proses kerja, dan lingkungannya. Berkaitan dengan bagaimana TQM dijalankan, Gotsch dan Davis sebagaimana dikutip oleh Sudarwan Danim (2002) mengemukakan bahwa aplikasi TQM didasarkan atas kaidah-kaidah : (1) Fokus pada pelanggan; (2) obsesi terhadap kualitas; (3) pendekatan ilmiah; (4) komitmen jangka panjang; (5) kerjasama tim; (6) perbaikan kinerja sistem secara berkelanjutan; (7) diklat dan pengembangan; (8) kebebasan terkendali; kesatuan tujuan; dan (10) keterlibatan dan pemberdayaan karyawan secara optimal. Dengan mengutip pemikiran Scheuing dan Christopher, dikemukakan pula empat prinsip utama dalam mengaplikasikan TQM, yaitu: (1) kepuasan pelanggan, (2) respek terhadap setiap orang; (3) pengelolaan berdasarkan fakta, dan (4) perbaikan secara terus menerus.(Sudarwan Danim, 2002). Selanjutnya, dalam konteks Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Depdiknas (2001) telah memerinci tentang elemenelemen yang terkandung dalam budaya mutu di sekolah, yakni : (a) informasi kualitas harus digunakan untuk perbaikan; bukan untuk mengadili/mengontrol orang; (b) kewenangan harus sebatas tanggung jawab; (c) hasil harus diikuti penghargaan (reward) atau sanksi (punishment); (d) kolaborasi dan sinergi, bukan kompetisi, harus merupakan basis kerja sama; (e) warga sekolah merasa aman terhadap pekerjaannya; (f) atmosfir keadilan (fairness) harus ditanamkan; (g) imbal jasa harus sepadan dengan nilai

pekerjaannya; dan (h) warga sekolah merasa memiliki sekolah. Di lain pihak, Jann E. Freed et. al. (1997) dalam tulisannya tentang A Culture for Academic Excellence: Implementing the Quality Principles in Higher Education. dalam ERIC Digest memaparkan tentang upaya membangun budaya keunggulan akademik pada pendidikan tinggi, dengan menggunakan prinsip-prinsip Total Quality Management, yang mencakup : (1) vision, mission, and outcomes driven; (2) systems dependent; (3) leadership: creating a quality culture; (4) systematic individual development; (4) decisions based on fact; (5) delegation of decision making; (6) collaboration; (7) planning for change; dan (8) leadership: supporting a quality culture. Dikemukakan pula bahwa when the quality principles are implemented holistically, a culture for academic excellence is created. Dari pemikiran Jan E.Freed et. al. di atas, kita dapat menarik benang merah bahwa untuk dapat membangun budaya keunggulan akademik atau budaya mutu pendidikan betapa pentingnya kita untuk dapat mengimplementasikan prinsip-prinsip Total Quality Management, dan menjadikannya sebagai nilai dan keyakinan bersama dari setiap anggota sekolah. 4. Philosophy; budaya organisasi ditandai dengan adanya keyakinan dari seluruh anggota organisasi dalam memandang tentang sesuatu secara hakiki, misalnya tentang waktu, manusia, dan sebagainya, yang dijadikan sebagai kebijakan organisasi. Jika kita mengadopsi filosofi dalam dunia bisnis yang memang telah terbukti memberikan keunggulan pada perusahaan, di mana filosofi ini diletakkan pada upaya memberikan kepuasan kepada para pelanggan, maka sekolah pun seyogyanya memiliki keyakinan akan pentingnya upaya untuk memberikan kepuasan kepada pelanggan. Dalam konteks Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Depdiknas (2001) mengemukakan bahwa : pelanggan, terutama siswa harus merupakan fokus dari semua kegiatan di sekolah. Artinya, semua in put proses yang dikerahkan di sekolah tertuju utamanya untuk meningkatkan mutu dan kepuasan peserta didik . Konsekuensi logis dari ini semua adalah bahwa penyiapan in put, proses belajar mengajar harus benar-benar mewujudkan sosok utuh mutu dan kepuasan yang diharapkan siswa. 5. Rules; budaya organisasi ditandai dengan adanya ketentuan dan aturan main yang mengikat seluruh anggota organisasi. Setiap sekolah memiliki ketentuan dan aturan main tertentu, baik yang bersumber dari kebijakan sekolah setempat, maupun dari pemerintah, yang mengikat seluruh warga sekolah dalam berperilaku dan bertindak dalam organisasi. Aturan umum di sekolah ini dikemas dalam bentuk tata- tertib sekolah (school discipline), di dalamnya berisikan tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh warga sekolah, sekaligus dilengkapi pula dengan ketentuan sanksi, jika melakukan pelanggaran. Joan Gaustad (1992) dalam tulisannya tentang School Discipline yang dipublikasikan dalam ERIC Digest78 mengatakan bahwa : School discipline has two main goals: (1) ensure the safety of staff and students, and (2) create an environment conducive to learning. 6. Organization climate; budaya organisasi ditandai dengan adanya iklim organisasi. Hay Resources Direct (2003) mengemukakan bahwa oorganizational climate is the perception of how it feels to work in a particular environment. It is the atmosphere of the workplace and peoples perceptions of the way we do things here Di sekolah terjadi interaksi yang saling mempengaruhi antara individu dengan lingkungannya, baik lingkungan fisik maupun sosial. Lingkungan ini akan dipersepsi dan dirasakan oleh individu

tersebut sehingga menimbulkan kesan dan perasaan tertentu. Dalam hal ini, sekolah harus dapat menciptakan suasana lingkungan kerja yang kondusif dan menyenangkan bagi setiap anggota sekolah, melalui berbagai penataan lingkungan, baik fisik maupun sosialnya.Moh. Surya (1997) menyebutkan bahwa: Lingkungan kerja yang kondusif baik lingkungan fisik, sosial maupun psikologis dapat menumbuhkan dan mengembangkan motif untuk bekerja dengan baik dan produktif.Untuk itu, dapat diciptakan lingkungan fisik yang sebaik mungkin, misalnya kebersihan ruangan, tata letak, fasilitas dan sebagainya.Demikian pula, lingkungan sosial-psikologis, seperti hubungan antar pribadi, kehidupan kelompok, kepemimpinan, pengawasan, promosi, bimbingan, kesempatan untuk maju, kekeluargaan dan sebagainya. Dalam konteks Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS, Depdiknas (2001) mengemukakan bahwa salah satu karakterististik MPMBS adalah adanya lingkungan yang aman dan tertib, dan nyaman sehingga proses belajar mengajar dapat berlangsung dengan nyaman (enjoyable learning). D. Arti Penting Membangun Budaya Organisasi di Sekolah Pentingnya membangun budaya organisasi di sekolah terutama berkenaan dengan upaya pencapaian tujuan pendidikan sekolah dan peningkatan kinerja sekolah.Sebagaimana disampaikan oleh Stephen Stolp (1994) tentang School Culture yang dipublikasikan dalam ERIC Digest, dari beberapa hasil studi menunjukkan bahwa budaya organisasi di sekolah berkorelasi dengan peningkatan motivasi dan prestasi belajar siswa serta kepuasan kerja dan produktivitas guru. Begitu juga, studi yang dilakukan Leslie J. Fyans, Jr. dan Martin L. Maehr tentang pengaruh dari lima dimensi budaya organisasi di sekolah yaitu : tantangan akademik, prestasi komparatif, penghargaan terhadap prestasi, komunitas sekolah, dan persepsi tentang tujuan sekolah menunjukkan survey terhadap 16310 siswa tingkat empat, enam, delapan dan sepuluh dari 820 sekolah umum di Illinois, mereka lebih termotivasi dalam belajarnya dengan melalui budaya organisasi di sekolah yang kuat. Sementara itu, studi yang dilakukan, Jerry L. Thacker and William D. McInerney terhadap skor tes siswa sekolah dasar menunjukkan adanya pengaruh budaya organisasi di sekolah terhadap prestasi siswa. Studi yang dilakukannya memfokuskan tentang new mission statement, goals based on outcomes for students, curriculum alignment corresponding with those goals, staff development, and building level decision-making. Budaya organisasi di sekolah juga memiliki korelasi dengan sikap guru dalam bekerja. Studi yang dilakukan Yin Cheong Cheng membuktikan bahwa stronger school cultures had better motivated teachers. In an environment with strong organizational ideology, shared participation, charismatic leadership, and intimacy, teachers experienced higher job satisfaction and increased productivity. Upaya untuk mengembangkan budaya organisasi di sekolah terutama berkenaan tugas kepala sekolah selaku leader dan manajer di sekolah.Dalam hal ini, kepala sekolah hendaknya mampu melihat lingkungan sekolahnya secara holistik, sehingga diperoleh kerangka kerja yang lebih luas guna memahami masalah-masalah yang sulit dan hubungan-hubungan yang kompleks di sekolahnya. Melalui pendalaman pemahamannya tentang budaya organisasi di sekolah, maka

iaakan lebih baik lagi dalam memberikan penajaman tentang nilai, keyakinan dan sikap yang penting guna meningkatkan stabilitas dan pemeliharaan lingkungan belajarnya.

Pengembangan Budaya Sekolah


Posted on 4 Maret 2010 by AKHMAD SUDRAJAT Budaya sekolah adalah nilai-nilai dominan yang didukung oleh sekolah atau falsafah yang menuntun kebijakan sekolah terhadap semua unsur dan komponen sekolah termasuk stakeholders pendidikan, seperti cara melaksanakan pekerjaan di sekolah serta asumsi atau kepercayaan dasar yang dianut oleh personil sekolah. Budaya sekolah merujuk pada suatu sistem nilai, kepercayaan dan norma-norma yang diterima secara bersama, serta dilaksanakan dengan penuh kesadaran sebagai perilaku alami, yang dibentuk oleh lingkungan yang menciptakan pemahaman yang sama diantara seluruh unsur dan personil sekolah baik itu kepala sekolah, guru, staf, siswa dan jika perlu membentuk opini masyarakat yang sama dengan sekolah.

Beberapa manfaat yang bisa diambil dari upaya pengembangan budaya sekolah, diantaranya : (1) menjamin kualitas kerja yang lebih baik; (2) membuka seluruh jaringan komunikasi dari segala jenis dan level baik komunikasi vertikal maupun horisontal; (3) lebih terbuka dan transparan; (4) menciptakan kebersamaan dan rasa saling memiliki yang tinggi; (4) meningkatkan solidaritas dan rasa kekeluargaan; (5) jika menemukan kesalahan akan segera dapat diperbaiki; dan (6) dapat beradaptasi dengan baik terhadap perkembangan IPTEK. Selain beberapa manfaat di atas, manfaat lain bagi individu (pribadi) dan kelompok adalah : (1) meningkatkan kepuasan kerja; (2) pergaulan lebih akrab; (3) disiplin meningkat; (4) pengawasan fungsional bisa lebih ringan; (5) muncul keinginan untuk selalu ingin berbuat proaktif; (6) belajar dan berprestasi terus serta; dan (7) selalu ingin memberikan yang terbaik bagi sekolah, keluarga, orang lain dan diri sendiri. Upaya pengembangan budaya sekolah seyogyanya mengacu kepada beberapa prinsip berikut ini. 1. Berfokus pada Visi, Misi dan Tujuan Sekolah. Pengembangan budaya sekolah harus senantiasa sejalan dengan visi, misi dan tujuan sekolah. Fungsi visi, misi, dan tujuan sekolah adalah mengarahkan pengembangan budaya sekolah. Visi tentang keunggulan mutu misalnya, harus disertai dengan program-program yang nyata mengenai penciptaan budaya sekolah. 2. Penciptaan Komunikasi Formal dan Informal. Komunikasi merupakan dasar bagi koordinasi dalam sekolah, termasuk dalam menyampaikan pesan-pesan pentingnya

budaya sekolah. Komunikasi informal sama pentingnya dengan komunikasi formal. Dengan demikian kedua jalur komunikasi tersebut perlu digunakan dalam menyampaikan pesan secara efektif dan efisien. 3. Inovatif dan Bersedia Mengambil Resiko. Salah satu dimensi budaya organisasi adalah inovasi dan kesediaan mengambil resiko. Setiap perubahan budaya sekolah menyebabkan adanya resiko yang harus diterima khususnya bagi para pembaharu. Ketakutan akan resiko menyebabkan kurang beraninya seorang pemimpin mengambil sikap dan keputusan dalam waktu cepat. 4. Memiliki Strategi yang Jelas. Pengembangan budaya sekolah perlu ditopang oleh strategi dan program. Startegi mencakup cara-cara yang ditempuh sedangkan program menyangkut kegiatan operasional yang perlu dilakukan. Strategi dan program merupakan dua hal yang selalu berkaitan. 5. Berorientasi Kinerja. Pengembangan budaya sekolah perlu diarahkan pada sasaran yang sedapat mungkin dapat diukur. Sasaran yang dapat diukur akan mempermudah pengukuran capaian kinerja dari suatu sekolah. 6. Sistem Evaluasi yang Jelas. Untuk mengetahui kinerja pengembangan budaya sekolah perlu dilakukan evaluasi secara rutin dan bertahap: jangka pendek, sedang, dan jangka panjang. Karena itu perlu dikembangkan sistem evaluasi terutama dalam hal: kapan evaluasi dilakukan, siapa yang melakukan dan mekanisme tindak lanjut yang harus dilakukan. 7. Memiliki Komitmen yang Kuat. Komitmen dari pimpinan dan warga sekolah sangat menentukan implementasi program-program pengembangan budaya sekolah. Banyak bukti menunjukkan bahwa komitmen yang lemah terutama dari pimpinan menyebabkan program-program tidak terlaksana dengan baik. 8. Keputusan Berdasarkan Konsensus. Ciri budaya organisasi yang positif adalah pengembilan keputusan partisipatif yang berujung pada pengambilan keputusan secara konsensus. Meskipun hal itu tergantung pada situasi keputusan, namun pada umumnya konsensus dapat meningkatkan komitmen anggota organisasi dalam melaksanakan keputusan tersebut. 9. Sistem Imbalan yang Jelas. Pengembangan budaya sekolah hendaknya disertai dengan sistem imbalan meskipun tidak selalu dalam bentuk barang atau uang. Bentuk lainnya adalah penghargaan atau kredit poin terutama bagi siswa yang menunjukkan perilaku positif yang sejalan dengan pengembangan budaya sekolah. 10. Evaluasi Diri. Evaluasi diri merupakan salah satu alat untuk mengetahui masalahmasalah yang dihadapi di sekolah. Evaluasi dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan curah pendapat atau menggunakan skala penilaian diri. Kepala sekolah dapat mengembangkan metode penilaian diri yang berguna bagi pengembangan budaya sekolah. Halaman berikut ini dikemukakan satu contoh untuk mengukur budaya sekolah. Selain mengacu kepada sejumlah prinsip di atas, upaya pengembangan budaya sekolah juga seyogyanya berpegang pada asas-asas berikut ini: 1. Kerjasama tim (team work). Pada dasarnya sebuah komunitas sekolah merupakan sebuah tim/kumpulan individu yang bekerja sama untuk mencapai tujuan. Untuk itu, nilai kerja sama merupakan suatu keharusan dan kerjasama merupakan aktivitas yang

2.

3.

4.

5.

6.

7.

bertujuan untuk membangun kekuatan-kekuatan atau sumber daya yang dimilki oleh personil sekolah. Kemampuan. Menunjuk pada kemampuan untuk mengerjakan tugas dan tanggung jawab pada tingkat kelas atau sekolah. Dalam lingkungan pembelajaran, kemampuan profesional guru bukan hanya ditunjukkan dalam bidang akademik tetapi juga dalam bersikap dan bertindak yang mencerminkan pribadi pendidik. Keinginan. Keinginan di sini merujuk pada kemauan atau kerelaan untuk melakukan tugas dan tanggung jawab untuk memberikan kepuasan terhadap siswa dan masyarakat. Semua nilai di atas tidak berarti apa-apa jika tidak diiringi dengan keinginan. Keinginan juga harus diarahkan pada usaha untuk memperbaiki dan meningkatkan kemampuan dan kompetensi diri dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab sebagai budaya yang muncul dalam diri pribadi baik sebagai kepala sekolah, guru, dan staf dalam memberikan pelayanan kepada siswa dan masyarakat. Kegembiraan (happiness). Nilai kegembiraan ini harus dimiliki oleh seluruh personil sekolah dengan harapan kegembiraan yang kita miliki akan berimplikasi pada lingkungan dan iklim sekolah yang ramah dan menumbuhkan perasaan puas, nyaman, bahagia dan bangga sebagai bagian dari personil sekolah. Jika perlu dibuat wilayah-wilayah yang dapat membuat suasana dan memberi nuansa yang indah, nyaman, asri dan menyenangkan, seperti taman sekolah ditata dengan baik dan dibuat wilayah bebas masalah atau wilayah harus senyum dan sebagainya. Hormat (respect). Rasa hormat merupakan nilai yang memperlihatkan penghargaan kepada siapa saja baik dalam lingkungan sekolah maupun dengan stakeholders pendidikan lainnya. Keluhan-keluhan yang terjadi karena perasaan tidak dihargai atau tidak diperlakukan dengan wajar akan menjadikan sekolah kurang dipercaya. Sikap respek dapat diungkapkan dengan cara memberi senyuman dan sapaan kepada siapa saja yang kita temui, bisa juga dengan memberikan hadiah yang menarik sebagai ungkapan rasa hormat dan penghargaan kita atas hasil kerja yang dilakukan dengan baik. Atau mengundang secara khusus dan menyampaikan selamat atas prestasi yang diperoleh dan sebagaianya. Jujur (honesty). Nilai kejujuran merupakan nilai yang paling mendasar dalam lingkungan sekolah, baik kejujuran pada diri sendiri maupun kejujuran kepada orang lain. Nilai kejujuran tidak terbatas pada kebenaran dalam melakukan pekerjaan atau tugas tetapi mencakup cara terbaik dalam membentuk pribadi yang obyektif. Tanpa kejujuran, kepercayaan tidak akan diperoleh. Oleh karena itu budaya jujur dalam setiap situasi dimanapun kita berada harus senantiasa dipertahankan. Jujur dalam memberikan penilaian, jujur dalam mengelola keuangan, jujur dalam penggunaan waktu serta konsisten pada tugas dan tanggung jawab merupakan pribadi yang kuat dalam menciptakan budaya sekolah yang baik. Disiplin (discipline). Disiplin merupakan suatu bentuk ketaatan pada peraturan dan sanksi yang berlaku dalam lingkungan sekolah. Disiplin yang dimaksudkan dalam asas ini adalah sikap dan perilaku disiplin yang muncul karena kesadaran dan kerelaan kita untuk hidup teratur dan rapi serta mampu menempatkan sesuatu sesuai pada kondisi yang seharusnya. Jadi disiplin disini bukanlah sesuatu yang harus dan tidak harus dilakukan karena peraturan yang menuntut kita untuk taat pada aturan yang ada. Aturan atau tata tertib yang dipajang dimana-mana bahkan merupakan atribut, tidak akan menjamin untuk dipatuhi apabila tidak didukung dengan suasana atau iklim lingkungan sekolah yang

disiplin. Disiplin tidak hanya berlaku pada orang tertentu saja di sekolah tetapi untuk semua personil sekolah tidak kecuali kepala sekolah, guru dan staf. 8. Empati (empathy). Empati adalah kemampuan menempatkan diri atau dapat merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain namun tidak ikut larut dalam perasaan itu. Sikap ini perlu dimiliki oleh seluruh personil sekolah agar dalam berinteraksi dengan siapa saja dan dimana saja mereka dapat memahami penyebab dari masalah yang mungkin dihadapai oleh orang lain dan mampu menempatkan diri sesuai dengan harapan orang tersebut. Dengan sifat empati warga sekolah dapat menumbuhkan budaya sekolah yang lebih baik karena dilandasi oleh perasaan yang saling memahami. 9. Pengetahuan dan Kesopanan. Pengetahuan dan kesopanan para personil sekolah yang disertai dengan kemampuan untuk memperoleh kepercayaan dari siapa saja akan memberikan kesan yang meyakinkan bagi orang lain. Dimensi ini menuntut para guru, staf dan kepala sekolah tarmpil, profesional dan terlatih dalam memainkan perannya memenuhi tuntutan dan kebutuhan siswa, orang tua dan masyarakat.
Iklim Sekolah Kaitannya dengan Hasil Akademik dan Non Akademik Siswa Posted on 29 Maret 2008 by AKHMAD SUDRAJAT

Iklim Sekolah3Iklim sekolah didefinisikan orang secara beragam dan dalam penggunaanya kerapkali dipertukarkan dengan istilah budaya sekolah.Iklim sekolah sering dianalogikan dengan kepribadian individu dan dipandang sebagai bagian dari lingkungan sekolah yang berkaitan dengan aspek-aspek psikologis serta direfleksikan melalui interaksi di dalam maupun di luar kelas.Halpin dan Croft (1963) menyebutkan bahwa iklim sekolah adalah sesuatu yang bersifat intangible tetapi memiliki konsekuensi terhadap organisasi.

Tagiuri (1968) mengetengahkan tentang taksonomi iklim sekolah yang mencakup empat dimensi, yaitu: (1) ekologi; aspek-aspek fisik-materil, seperti bangunan sekolah, ruang perpustakaan, ruang kepala sekolah, ruang guru, ruang BK dan sejenisnya (2) milieu: karateristik individu di sekolah pada umumnya, seperti: moral kerja guru, latar belakang siswa, stabilitas staf dan sebagainya: (3) sistem sosial: struktur formal maupun informal atau berbagai peraturan untuk mengendalikan interaksi individu dan kelompok di sekolah, mencakup komunikasi kepala sekolah-guru, partispasi staf dalam pengenbilan keputusan, keterlibatan siswa dalam pengambilan keputusan, kolegialitas, hubungan guru-siswa; dan (4) budaya: sistem nilai dan keyakinan, seperti: norma pergaulan siswa, ekspektasi keberhasilan, disiplin sekolah.

Berdasarkan berbagai studi yang dilakukan, iklim sekolah telah terbukti memberikan pengaruh yang kuat terhadap pencapaian hasil-hasil akademik siswa. Hasil tinjauan ulang yang dilakukan Anderson (1982) terhadap 40 studi tentang iklim sekolah sepanjang tahun 1964 sampai dengan 1980, hampir lebih dari setengahnya menunjukkan bahwa komitmen guru yang tinggi, norma hubungan kelompok sebaya yang positif, kerja sama team, ekspektasi yang tinggi dari guru dan adminstrator, konsistensi dan

pengaturan tentang hukuman dan ganjaran, konsensus tentang kurikulum dan pembelajaran, serta kejelasan tujuan dan sasaran telah memberikan sumbangan yang berharga terhadap pencapaian hasil akademik siswa.

Hubungan sosial antara siswa dengan guru yang mutualistik merupakan unsur penting dalam kehidupan sekolah. Guru yang memiliki interes, peduli, adil, demokratis, dan respek terhadap siswanya ternyata telah mampu mengurangi tingkat drop out siswa, tinggal kelas, dan perilaku salah suai di kalangan siswa (Farrell, 1990; Fine, 1989; Wehlage & Rutter, 1986; Bryk & Driscoll, 1988). Studi yang dilakukan oleh Wentzel (1997) mengungkapkan bahwa iklim sekolah memiliki hubungan yang positif dengan motivasi belajar siswa. Sementara itu, studi longitudional yang dilakukan oleh Roeser & Eccles (1998) membuktikan bahwa guru yang bersikap adil dan jujur memiliki dampak ke depannya bagi penguasaan kompetensi akademik dan nilai-nilai (values) akademik. Studi yang dilakukan Stockard dan Mayberry (1992) menyimpulkan bahwa iklim sekolah, yang mencakup : ekspektasi prestasi siswa yang tinggi, lingkungan sekolah yang teratur, moral yang tinggi, perlakuan terhadap siswa yang positif, penyertaan aktivitas siswa yang tinggi dan hubungan sosial yang positif ternyata memiliki korelasi yang kuat dengan hasil-hasil akademik siswa.

Selain berdampak positif pada pencapaian hasil akademik siswa, iklim sekolah pun memiliki kontribusi positif terhadap pencapaian hasil non akademik, seperti pembentukan konsep diri, keyakinan diri, dan aspirasi (Brookover et al., 1979; McDill & Rigsby, 1973; Mitchell, 1968; Anderson, 1982). Studi yang dilakukan Battistich dan Hom (1997) mengungkapkan bahwa adanya perasaan akan komunitas (sense of community) dapat mengurangi secara signifikan terhadap munculnya perilaku bermasalah seperti, keterlibatan narkoba, kenakalan remaja dan tindak kekerasan. Iklim sekolah yang positif juga dapat menurunkan tingkat depresi (Roeser & Eccles 1998). Studi yang dilakukan oleh World Health Organization (WHO) pada tahun 1983 yang menguji tentang kesehatan perilaku, gaya hidup dan konteks sosial pada kalangan anak muda di 28 negara menunjukkan bahwa keterlibatan peran dalam pengambilan keputusan di sekolah, perasaan memperoleh dukungan dari guru dan siswa lainnya ternyata berkorelasi dengan semakin berkurangnya kebiasaan merokok, tingginya aktivitas fisik, serta tingkat kesehatan dan kualitas hidup yang baik (Currie et al. 2000). Iklim sekolah juga berpengaruh terhadap pembentukan nilai-nilai kewarganegaraan (civic values). Sebagai contoh: hubungan guru-siswa yang saling menghormati, adanya kebebasan untuk menyatakan tidak setuju, mau mendengarkan siswa meski dalam perspektif yang berbeda telah memberikan dampak terhadap tingkat kekritisan siswa tentang berbagai isu yang terkait dengan kewarganegaraan (Newmann, 1990). Selain itu, siswa juga lebih toleran terhadap perbedaan (Ehman, 1980) dan lebih mengenal terhadap berbagai hubungan internasional (Torney-Purta & Lansdale, 1986).

Adaptasi dan disarikan dari : Les Gallay and Suet-ling Pong. 2004. School Climate and Students Intervention Strategies on line www.pop.psy.edu

Penelitian Tindakan Kelas (Classroom Action Research)


Posted on 21 Januari 2008 by AKHMAD SUDRAJAT A.PENGERTIAN Classroom action research (CAR) adalah action research yang dilaksanakan oleh guru di dalam kelas.Action research pada hakikatnya merupakan rangkaian riset-tindakan-riset-tindakan- , yang dilakukan secara siklik, dalam rangka memecahkan masalah, sampai masalah itu terpecahkan. Ada beberapa jenis action research, dua di antaranya adalah individual action research dan collaborative action research (CAR). Jadi CAR bisa berarti dua hal, yaitu classroom action research dan collaborative action research; dua-duanya merujuk pada hal yang sama.

Action research termasuk penelitian kualitatif walaupun data yang dikumpulkan bisa saja bersifat kuantitatif.Action research berbeda dengan penelitian formal, yang bertujuan untuk menguji hipotesis dan membangun teori yang bersifat umum (general).Action research lebih bertujuan untuk memperbaiki kinerja, sifatnya kontekstual dan hasilnya tidak untuk digeneralisasi. Namun demikian hasil action research dapat saja diterapkan oleh orang lain yang mempunyai latar yang mirip dengan yang dimliki peneliti. Perbedaan antara penelitian formal dengan classroom action research disajikan dalam tabel berikut. Tabel 1. Perbedaan antara Penelitian Formal dengan Classroom Action Research Penelitian Formal Dilakukan oleh orang lain Sampel harus representatif Instrumen harus valid dan reliabel Menuntut penggunaan analisis statistik Mempersyaratkan hipotesis Mengembangkan teori Classroom Action Research Dilakukan oleh guru/dosen Kerepresentatifan sampel tidak diperhatikan Instrumen yang valid dan reliabel tidak diperhatikan Tidak diperlukan analisis statistik yang rumit Tidak selalu menggunakan hipotesis Memperbaiki praktik pembelajaran secara langsung

B.MODEL MODEL ACTION RESEARCH Model Kurt Lewin menjadi acuan pokok atau dasar dari berbagai model action research, terutama classroom action research.Dialah orang pertama yang memperkenalkan action research. Konsep pokok action research menurut Kurt Lewin terdiri dari empat komponen, yaitu : (1) perencanaan (planning), (2) tindakan (acting), (3) pengamatan (observing), dan (4) refleksi (reflecting). Hubungan keempat komponen itu dipandang sebagai satu siklus. Model Kemmis & Taggart merupakan pengembangan dari konsep dasar yang diperkenalkan Kurt lewin seperti yang diuraikan di atas, hanya saja komponen acting dan observing dijadikan satu kesatuan karena keduanya merupakan tindakan yang tidak terpisahkan, terjadi dalam waktu yang sama C.MASALAH CAR Berikut ini merupakan hal-hal yang perlu dipertimbangkan pada saat menentukan masalah CAR. 1.Banyaknya Masalah yang Dihadapi Guru Setiap hari guru mengahadapi banyak masalah, seakan-akan masalah itu tidak ada putusputusnya.Oleh karena itu guru yang tidak dapat menemukan masalah untuk CAR sungguh ironis. Merenunglah barang sejenak, atau ngobrollah dengan teman sejawat, Anda akan segera menemukan kembali seribu satu masalah yang telah merepotkan Anda selama ini. 2.Tiga Kelompok Masalah Pembelajaran Masalah pembelajaran dapat digolongkan dalam tiga kategori, yaitu (a) pengorganisasian materi pelajaran, (b) penyampaian materi pelajaran, dan (c) pengelolaan kelas. Jika Anda berfikir bahwa pembahasan suatu topik dari segi sejarah dan geografi secara bersama-sama akan lebih bermakna bagi siswa daripada pembahasan secara sendiri-sendiri, Anda sedang berhadapan dengan masalah pengorganisasian materi. Jika Anda suka dengan masalah metode dan media, sebenarnya Anda sedang berhadapan dengan masalah penyampaian materi.Apabila Anda menginginkan kerja kelompok antar siswa berjalan dengan lebih efektif, Anda berhadapan dengan masalah pengelolaan kelas. Jangan terikat pada satu kategori saja; kategori lain mungkin mempunyai masalah yang lebih penting. 3.Masalah yang Berada di Bawah Kendali Guru Jika Anda yakin bahwa ketiadaan buku yang menyebabkan siswa sukar membaca kembali materi pelajaran dan mengerjakan PR di rumah, Anda tidak perlu melakukan CAR untuk meningkatkan kebiasaan belajar siswa di rumah. Dengan dibelikan buku masalah itu akan terpecahkan, dan itu di luar kemampuan Anda. Dengan perkataan lain yakinkan bahwa masalah yang akan Anda pecahkan cukup layak (feasible), berada di dalam wilayah pembelajaran, yang Anda kuasai. Contoh lain masalah yang berada di luar kemampuan Anda adalah: Kebisingan kelas karena sekolah berada di dekat jalan raya.

4.Masalah yang Terlalu Besar Nilai UAN yang tetap rendah dari tahun ke tahun merupakan masalah yang terlalu besar untuk dipercahkan melalui CAR, apalagi untuk CAR individual yang cakupannya hanya kelas.Faktor yang mempengaruhi Nilai UAN sangat kompleks mencakup seluruh sistem pendidikan.Pilihlah masalah yang sekiranya mampu untuk Anda pecahkan. 5.Masalah yang Terlalu Kecil Masalah yang terlalu kecil baik dari segi pengaruhnya terhadap pembelajaran secara keseluruhan maupun jumlah siswa yang terlibat sebaiknya dipertimbangkan kembali, terutama jika penelitian itu dibiayai oleh pihak lain. Sangat lambatnya dua orang siswa dalam mengikuti pelajaran Anda misalnya, termasuk masalah kecil karena hanya menyangkut dua orang siswa; sementara masih banyak masalah lain yang menyangkut kepentingan sebagian besar siswa. 6.Masalah yang Cukup Besar dan Strategis Kesulitan siswa memahami bacaan secara cepat merupakan contoh dari masalah yang cukup besar dan strategis karena diperlukan bagi sebagian besar mata pelajaran. Semua siswa memerlukan keterampilan itu, dan dampaknya terhadap proses belajar siswa cukup besar. Sukarnya siswa berkonsentrasi dalam mengikuti pelajaran, dan ketidaktahuan siswa tentang meta belajar (belajar bagaimana belajar) merupakan contoh lain dari masalah yang cukup besar dan strategis. Dengan demikian pemecahan masalah akan memberi manfaat yang besar dan jelas. 7.Masalah yang Anda Senangi Akhirnya Anda harus merasa memiliki dan senang terhadap masalah yang Anda teliti.Hal itu diindikasikan dengan rasa penasaran Anda terhadap masalah itu dan keinginan Anda untuk segera tahu hasil-hasil setiap perlakukan yang diberikan. 8.Masalah yang Riil dan Problematik Jangan mencari-cari masalah hanya karena Anda ingin mempunyai masalah yang berbeda dengan orang lain. Pilihlah masalah yang riil, ada dalam pekerjaan Anda sehari-hari dan memang problematik (memerlukan pemecahan, dan jika ditunda dampak negatifnya cukup besar). 9.Perlunya Kolaborasi Tidak ada yang lebih menakutkan daripada kesendirian. Dalam collaborative action reseach Anda perlu bertukar fikiran dengan guru mitra dari mata pelajaran sejenis atau guru lain yang lebih senior dalam menentukan masalah. D.IDENTIFIKASI, PEMILIHAN, DESKRIPSI, DAN RUMUSAN MASALAH 1.Identifikasi Masalah

Dalam mengidentifikasikan masalah, Anda sebaiknya menuliskan semua masalah yang Anda rasakan selama ini. 2.Pemilihan Masalah Anda tidak mungkin memecahkan semua masalah yang teridentifikasikan itu secara sekaligus, dalam suatu action research yang berskala kelas. Masalah-masalah itu berbeda satu sama lain dalam hal kepentingan atau nilai strategisnya. Masalah yang satu boleh jadi merupakan penyebab dari masalah yang lain sehingga pemecahan terhadap yang satu akan berdampak pada yang lain; dua-duanya akan terpecahkan sekaligus. Untuk dapat memilih masalah secara tepat Anda perlu menyusun masalah-masalah itu berdasarkan kriteria tersebut: tingkat kepentingan, nilai strategis, dan nilai prerekuisit. Akhirnya Anda pilih salah satu dari masalah-masalah tersebut, misalnya Siswa tidak dapat melihat hubungan antara mata pelajaran yang satu dengan yang lain. 3.Deskripsi Masalah Setelah Anda memilih salah satu masalah, deskripsikan masalah itu serinci mungkin untuk memberi gambaran tentang pentingnya masalah itu untuk dipecahkan ditinjau dari pengaruhnya terhadap pembelajaran secara umum maupun jumlah siswa yang terlibat. Contoh: Jika diberi pelajaran dengan pendekatan terpadu antara geografi, ekonomi, dan sejarah siswa merasa sukar mentransfer keterampilan dari satu pelajaran ke pelajaran lain. Pelajaran yang saya berikan adalah geografi, tetapi saya sering mengaitkan pembahasan dengan mata pelajaran lain seperti ekonomi dan sejarah. Ketika saya minta siswa mengemukakan hipotesis tentang pengaruh Danau Toba terhadap perkembangan ekonomi daerah, siswa terasa sangat bingung; padahal mereka telah dapat mengemukakan hipotesis dengan baik dalam mata pelajaran geografi.Saya khawatir siswa hanya menghafal pada saat dilatih mengemukakan hipotesis. Padahal dalam kehidupan sehari-hari keterampilan berhipotesis harus dapat diterapkan di mana saja dan dalam bidang studi apa saja. Pada hakikatnya setiap hari kita mengemukakan hipotesis.Ketidakbisaan siswa itu terjadi sepanjang tahun, tidak hanya pada permulaan tahun ajaran. Kelihatannya semua siswa mengalami hal yang sama, termasuk siswa yang cerdas. Guru lain ternyata juga mengalami hal yang sama, siswanya sukar mentransfer suatu keterampilan ke mata pelajaran lain. 4.Rumusan Masalah Setelah Anda memilih satu masalah secara seksama, selanjutnya Anda perlu merumuskan masalah itu secara komprehensif dan jelas. Sagor (1992) merinci rumusan masalah action research menggunakan lima pertanyaan: 1. 2. 3. 4. 5. Siapa yang terkena dampak negatifnya? Siapa atau apa yang diperkirakan sebagai penyebab masalah itu? Masalah apa sebenarnya itu? Siapa yang menjadi tujuan perbaikan? Apa yang akan dilakukan untuk mengatasi hal itu? (tidak wajib, merupakan hipotesis tindakan).

Contoh rumusan masalah:


y y y

Siswa di SLTP-X tidak dapat melihat hubungan antara mata pelajaran yang satu dengan yang lain di sekolah (Ini menjawab pertanyaan 1 dan 3) Grup action research percaya bahwa hal ini merupakan hasil dari jadwal mata pelajaran dan cara guru mengajarkan materi tersebut (Ini menjawab pertanyaan 2) Kita menginginkan para siswa melihat relevansi kurikulum sekolah, mengapresiasi hubungan antara disiplin-disiplin akademis, dan dapat menerapkan keterampilan yang diperoleh dalam satu mata pelajaran untuk pemecahan masalah dalam mata pelajaran lain (Ini menjawab pertanyaan 4) Oleh karena itu kita merencanakan integrasi pembelajaran IPA, matematika, bahasa, dan IPS dalam satuan pelajaran interdisiplin berjudul Masyarakat dan Teknologi (Ini manjawab pertanyaan 5)

Contoh pertanyaan penelitian: 1. Kesulitan apa yang dialami siswa dalam mentransfer keterampilan dari satu mata pelajaran satu ke mata pelajaran lain? 2. Apakah siswa dapat mentrasfer keterampilan lebih mudah antara dua mata pelajaran yang disukai? 3. Apa yang menyebabkan siswa menyukai suatu mata pelajaran? 4. Apakah ada perbedaan antara prestasi belajar siswa yang belajar dalam kelas mata pelajaran multidisiplin dibandingkan dengan mereka yang dalam kelas mata pelajaran tunggal? E.KAJIAN TEORI DAN HIPOTESIS TINDAKAN

1. Kajian Teori
Dalam membuat rumusan masalah di atas sebenarnya Anda telah melakukan analisis penyebab masalah sekaligus membuat hipotesis tindakan yang akan diberikan untuk memecahkan masalah tersebut. Untuk melakukan analisis secara tajam dan menjustifikasi perlakuan yang akan diberikan, Anda perlu merujuk pada teori-teori yang sudah ada. Tujuannya sekedar meyakinkan bahwa apa yang Anda lakukan dapat dipertanggungjawabkan secara profesional. Dalam hal ini proses kolaborasi memegang peranan yang sangat penting. Anda juga perlu membaca hasil penelitian terakhir, termasuk CAR, siapa tahu apa yang akan Anda lakukan sudah pernah dilakukan oleh orang lain; Anda dapat mengambil manfaat dari pengalaman orang itu. Manfaat lain yang lebih penting, Anda akan mengetahui trend-trend baru yang sedang diperhatikan atau diteliti oleh para guru di seluruh dunia. Sekarang ini sedang ngetrend pembelajaran yang bernuansa quantum teaching, quantum learning, contextual learning, integrated curriculum, dan competency based curriculum yang semua berorientasi pada kepentingan siswa. Jika penelitian Anda masih berkutat pada pemberian drill dan PR agar nilai UAN mereka meningkat, tanpa memperdulikan rasa ketersiksaan siswa, profesionalisme Anda akan dipertanyakan.

2. Hipotesis Tindakan
Lakukanlah analisis penyebab masalah secara seksama agar tindakan yang Anda rencanakan berjalan dengan efektif. Hipotesis tindakan dapat Anda tuliskan secara eksplisit, tetapi dapat juga tidak karena pada dasarnya Anda belum tahu tindakan mana yang akan berdampak paling efektif. F.METODOLOGI

1. Setting Penelitian
Setting penelitian perlu Anda uraikan secara rinci karena penting artinya bagi guru lain yang ingin meniru keberhasilan Anda. Mereka tentu akan mempertimbangkan masak-masak apakah ada kemiripan antara setting sekolahnya dengan setting penelitian Anda.

2. Perbedaan Mengajar Biasa dengan CAR


Dalam melakukan CAR kegiatan mengajar standar (biasa) berlangsung secara alami; tetapi ada bagian-bagian tertentu yang diberi perlakuan secara khusus dan diamati dampaknya secara seksama. Langkah-langkah seperti pembuatan satuan pelajaran, rencana pelajaran, lembaran kerja, dan alat bantu pembelajaran lainnya adalah langkah pembelajaran standar, bukan CAR. Asumsinya CAR dilaksanakan oleh guru yang sudah melaksanakan pembelajaran standar secara lengkap tetapi belum berhasil.Ia akan memodifikasi bagian-bagian tertentu dari pembelajaran standar itu. Bagian yang dimodifikasi itulah fokus dari CAR Anda.

3. Tahap Perencanaan
Tahap perencanaan CAR sebaiknya hanya menguraikan hal-hal yang berkaitan dengan CAR.Jika ada perubahan pada satuan pelajaran misalnya, hanya bagian yang diubah saja yang perlu diuraikan secara rinci.Akan lebih baik jika perubahan itu diletakkan dalam konteks satuan pelajaran aslinya sehingga terlihat jelas besar perubahan yang dilakukan.Perangkat-perangkat pembelajaran juga hanya tambahannya yang diuraikan secara rinci.Jika pembelajaran standar telah dilaksanakan dengan baik perangkat pembelajaran yang diperlukan untuk CAR dengan sendirinya sebagian besar sudah tersedia. Yang sering terjadi dalam CAR selama ini pembelajaran standar belum dilaksanakan sehingga CAR menjadi wahana untuk mewujudkan pembelajaran standar.Hal itu terlihat dari latar belakang yang diuraikan secara emosional oleh peneliti, umumnya menggambarkan pembelajaran yang sangat tradisional, buruk, dan di bawah standar. Setelah sekolah mendapat bantuan dana peningkatan kualitas pembelajaran pun uraian latar belakang itu tidak menunjukkan adanya perubahan yang berarti. Secara tidak langsung ditunjukkan bahwa perlakuan-perlakuan yang diberikan oleh pemberi dana selama ini berlalu tanpa bekas. Tahap perencanaan bisa memerlukan waktu setengah bulan karena harus mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan, termasuk di dalamnya adalah penyusunan jadwal, pembuatan instrumen, dan pemilihan kolaborator.

4. Siklus-siklus
Dalam CAR siklus merupakan ciri khas yang membedakannya dari penelitian jenis lain; oleh karena itu siklus harus dilaksanakan secara benar. Siklus pada hakikatnya adalah rangkaian riset-aksi-riset-aksi- yang tidak ada dalam penelitian biasa.Dalam penelitian biasa hanya terdapat satu riset dan satu aksi kemudian disimpulkan.Dalam CAR hasil yang belum baik masih ada kesempatan untuk diperbaiki lagi sampai berhasil. Siklus terdiri dari (1) perencanaan; (2) pelaksanaan; (3) pengamatan; dan (4) refleksi; dan (5) perencanaan kembali. Yang diuraikan dalam siklus hanya bagian yang dimodifikasi melalui action reseach, bukan seluruh proses pembelajaran. Modifikasi atau perubahan secara total jarang dilakukan dalam action research yang berskala kelas karena bagaimanapun sistem pendidikan secara umum masih belum berubah. Misalnya Anda akan memodifikasi pembelajaran dengan memperbanyak penggunaan carta. Dalam perencanaan yang Anda uraikan adalah tentang carta itu saja, misalnya Tiap pertemuan diusahakan akan ada carta yang digunakan dalam kelas.Dalam pelaksanaan Anda uraikan kenyataan yang terjadi, apakah benar tiap pertemuan bisa digunakan carta, misalnya Penggunaan carta tiap pertemuan hanya dapat dilakukan selama dua minggu pertama; minggu berikutnya rata-rata hanya satu carta tiap empat pertemuan. Anda tentu saja dapat mengelaborasi pelaksanaan itu dengan menyebutkan carta-carta apa saja yang digunakan, saatsaat mana yang paling tepat untuk penggunaan, siapa yang menggunakan, berapa lama digunakan, berapa ukurannya, di mana disimpan, dsb., dsb. Pengamatan didominasi oleh datadata hasil pengukuran terhadap respons siswa, menggunakan berbagai instrumen yang telah disiapkan.Refleksi berisi penjelasan Anda tentang mengapa terjadi keberhasilan maupun kegagalan, diakhiri dengan perencanaan kembali untuk perlakuan pada siklus berikutnya. Dalam action reseach selama ini banyak siklus yang bersifat semu, tidak sesuai dengan kaidah yang sudah baku. Inilah kelemahan-kelemahan yang terjadi. 1. Dalam siklus diuraikan semua proses pembelajaran, sehingga tidak dapat dilihat bagian yang sebenarnya sedang diteliti. Seolah-olah seluruh proses pembelajaran diubah secara total melalui CAR, dan sebelumnya pembelajaran berlangsung secara tradisional, buruk, dan di bawah standar. 2. Tidak jelas apakah perlakuan dalam suatu siklus dilakukan secara terus-menerus selama periode tertentu, sampai data pengamatan bersifat jenuh (menunjukkan pola yang menetap) dan diperoleh dari berbagai sumber (triangulasi). Sebagai analogi, jika selama satu minggu suhu badan pasien menunjukkan suhu 37,50 C; 370 C; 370 C; 37,50 C; 37,50 C; 37,50 C; dapatlah disimpulkan bahwa kondisinya telah kembali normal. Itu digabungkan dengan data pengamatan lain selama seminggu juga seperti perilaku, nafsu makan, dan denyut nadi pasien, yang bersifat triangulatif. 3. Siklus dilakukan tidak berdasarkan refleksi dari siklus sebelumnya. Ada siklus yang dilakukan secara tendensius: siklus pertama dengan metode ceramah, siklus kedua dengan demonstrasi, dan siklus ketiga dengan eksperimen, hanya ingin menunjukkan bahwa metode eksperimen adalah yang terbaik. Peneliti ini lupa bahwa metode harus

disesuaikan dengan karakteristik materi pelajaran. Untuk materi pertama boleh jadi justru metode ceramah yang lebih cocok.

5. Instrumen
Instrumen merupakan bagian yang tidak kalah pentingnya dalam pelaksanaan CAR.Jenis instrumen harus sesuai dengan karakteristik variabel yang diamati.Triangulasi dan saturasi (kejenuhan informasi) perlu diperhatikan untuk menjamin validitas data. G.HASIL PENELITIAN

1. Siklus-siklus Penelitian
Hasil penelitian CAR tidak hanya berisi data hasil observasi, melainkan justru proses perbaikan yang dilakukan. Untuk itu siklus adalah cara yang tepat untuk menyajikan hasil penelitian. Data hasil observasi tidak disajikan secara terpisah melainkan dalam konteks siklus-siklus yang telah dilakukan.

2. Tabel, Diagram, dan Grafik


Tabel, diagram, dan grafik sangat baik digunakan untuk menyajikan data hasil observasi.Gunanya agar refleksi dapat dilakukan lebih mudah. Tetapi sajian yang cantik itu bisa menjadi blunder manakala angka-angkanya diatur sedemikain rupa sehingga terkesan artificial. Hasil yang begitu spektakuler seringkali tidak disertai dengan bagaimana proses untuk mencapainya, sehingga pembaca akan makin ragu.

3. Hasil-hasil yang Otentik


Hasil-hasil yang otentik seperti karangan siswa, gambar hasil karya siswa, dan foto tentang proyek yang dilakukan siswa akan sangat baik dicantumkan sebagai hasil penelitian. H.KESIMPULANCAR 1. Kesimpulan Kesimpulan tentu saja harus menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian atau menguji hipotesis yang telah dikemukakan.Pertanyaan penelitian pada bagian D4 di atas di samping menuntut jawaban yang berupa hasil juga menuntut prosesnya.Marilah kita lihat pertanyaan-pertanyaan itu sekali lagi. 1. Kesulitan apa yang dialami siswa dalam mentransfer keterampilan dari satu mata pelajaran satu ke mata pelajaran lain ? Jawaban atas pertanyaan ini bisa diperoleh melalui tes awal dan atau selama proses pembelajaran berlangsung. Walaupun baru berupa daftar kesulitan yang dialami siswa, temuan ini cukup berarti bagi guru-guru lain. Kita sendiri pada saat ini belum bisa membayangkan kesulitan-kesulitan tersebut.

2. Apakah siswa dapat mentrasfer keterampilan lebih mudah antara dua mata pelajaran yang disukai ? Jawaban atas pertanyaan ini diperoleh setelah guru menghubungkan berbagai mata pelajaran dalam materi tes awal atau selama pembelajaran berlangsung, misalnya antara fisika dengan biologi, ekonomi dengan sejarah, dan bahasa Inggris dengan bahasa Indonesia. 3. Apa yang menyebabkan siswa menyukai suatu mata pelajaran ? Kesimpulan ini dapat diperoleh melalui kuesioner dan atau wawancara pada awal pembelajaran atau selama pembelajaran berlangsung. 4. Apakah ada perbedaan antara prestasi belajar siswa yang belajar dalam kelas mata pelajaran multidisiplin dibandingkan dengan mereka yang dalam kelas mata pelajaran tunggal ?Jawaban atas pertanyaan ini diperoleh setelah siswa diberi perlakukan yang berbeda; misalnya satu kelas diberi pelajaran multi disiplin, dan kelas lain diberi pelajaran yang terpisah-pisah, seperti biasanya. Ini tampaknya merupakan fokus dari CAR. Jika ditemukan bahwa mata pelajaran multidisiplin lebih berhasil dalam mengembangkan kemampuan transfer keterampilan antar mata pelajaran, peneliti perlu mengelaborasi bagaimana proses pembelajaran model multidisiplin tersebut berlangsung. Jadi kesimpulan penelitian CARakan kurang bermanfaaat jika bunyinya hanya seperti: Pembelajaran dengan media akan meningkatkan hasil belajar siswa. Kesimpulan ini mirip dengan yang diinginkan penelitian kuantitatif. Guru lain yang membaca kesimpulan ini tentu ingin mengetahui bagaimana prosesnya sehingga media itu bisa meningkatkan hasil belajar. Jadi kesimpulan itu masih harus diikuti dengan proses atau rinciannya, seperti a) Transparansi OHP lebih disukai siswa daripada media lain, b) Paling banyak hanya 10 transparansi dapat ditunjukkan dalam satu presentasi, jika lebih dari itu siswa akan bosan; c) Presentasi pada awal pembelajaran cenderung lebih disukai; d) Penjelasan yang terlalu lama terhadap satu transparansi cenderung membuat siswa bosan; dan e) Satu kali presentasi sebaiknya tidak lebih dari 20 menit. 2. Saran Karena CAR bersifat kontekstual, pemberian saran kepada orang lain berdasarkan hasil penelitian tersebut sebenarnya kurang bermanfaat. Deskripsi konteks penelitian secara rinci sudah cukup untuk memberikan informasi bagi guru lain yang ingin meniru keberhasilan Anda. Saran seperti Program CAR ini perlu lanjutkan dan diperluas untuk tahun-tahun mendatang, juga kurang begitu perlu, bahkan kurang relevan. Saran CAR diperlukan misalnya jika temuan penelitian menyangkut sistem yang lebih luas dari sekedar kelas, misalnya menghendaki adanya perubahan pengaturan jadwal pelajaran di sekolah.Dalam hal itu peneliti dapat menyarankan tentang jadwal yang diinginkan kepada fihak sekpolah. I.DAFTAR PUSTAKA Daftar pustaka mencerminkan penguasaan Anda atas teori belajar dan pembelajaran yang Anda minati.Di samping itu, sebagaimana telah disinggung sebelumnya, daftar pustaka mencerminkan keluasan pengetahuan Anda atas penelitian-penelitien terbaru yang sedang ngetren.Selama ini

guru peneliti sering mencantumkan nama-nama ahli pendidikan, psikologi, dan pembelajaran tetapi tidak disertai dengan daftar pustakannya.Buatlah daftar pustaka secara cermat. Sumber : Dr. Supriyadi M. Pd.*)) disajikan dalam Workshop MKKS Tingkat Pusat yang Diselenggarakan olah Direktorat Pendidikan Menengah Umum 12-15 September 2005 di Hotel Evergreen, Cisarua, Bogor. *) Dr. Supriyadi M. Pd. adalah staf pengajar pada Jurusan Fisika FMIPA Universitas Negeri Jakarta. Tulisan lain tentang Penelitian Tindakan Kelas disampaikan pula oleh Drs. Tatang Sunendar dari LPMP Jawa Barat.

Penelitian Tindakan Kelas (Part II)


Posted on 21 Maret 2008 by AKHMAD SUDRAJAT Penelitian Tindakan Kelas oleh: Drs. Tatang Sunendar, M.Si. Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Jawa Barat A. Latar Belakang

Belakangan ini Penelitian Tindakan Kelas (PTK) semakin menjadi trend untuk dilakukan oleh para profesional sebagai upaya pemecahan masalah dan peningkatan mutu di berbagai bidang.Awal mulanya, PTK, ditujukan untuk mencari solusi terhadap masalah sosial (pengangguran, kenakalan remaja, dan lain-lain) yang berkembang di masyarakat pada saat itu.PTK dilakukan dengan diawali oleh suatu kajian terhadap masalah tersebut secara sistematis.Hal kajian ini kemudian dijadikan dasar untuk mengatasi masalah tersebut. Dalam proses pelaksanaan rencana yang telah disusun, kemudian dilakukan suatu observasi dan evaluasi yang dipakai sebagai masukan untuk melakukan refleksi atas apa yang terjadi pada tahap pelaksanaan. Hasil dari proses refeksi ini kemudian melandasi upaya perbaikan dan peryempurnaan rencana tindakan berikutnya. Tahapan-tahapan di atas dilakukan berulang-ulang dan berkesinambungan sampai suatu kualitas keberhasilan tertentu dapat tercapai. Dalam bidang pendidikan, khususnya kegiatan pembelajaran, PTK berkembang sebagai suatu penelitian terapan. PTK sangat bermanfaat bagi guru untuk meningkatkan mutu proses dan hasil pembelajaran di kelas. Dengan melaksanakan tahap-tahap PTK, guru dapat menemukan solusi dari masalah yang timbul di kelasnya sendiri, bukan kelas orang lain, dengan menerapkan berbagai ragam teori dan teknik pembelajaran yang relevan secara kreatif.Selain itu sebagai

penelitian terapan, disamping guru melaksanakan tugas utamanya mengajar di kelas, tidak perlu harus meninggalkan siswanya.Jadi PTK merupakan suatu penelitian yang mengangkat masalahmasalah aktual yang dihadapi oleh guru di lapangan. Dengan melaksanakan PTK, guru mempunyai peran ganda : praktisi dan peneliti. B. Mengapa Penelitian Tindakan Kelas Penting ? Ada beberapa alasan mengapa PTK merupakan suatu kebutuhan bagi guru untuk meningkatkan profesional seorang guru : 1. PTK sangat kondusif untuk membuat guru menjadi peka tanggap terhadap dinamika pembelajaran di kelasnya. Dia menjadi reflektif dan kritis terhadap lakukan.apa yang dia dan muridnya 2. PTK dapat meningkatkan kinerja guru sehingga menjadi profesional. Guru tidak lagi sebagai seorang praktis, yang sudah merasa puas terhadap apa yang dikerjakan selama bertahun-tahun tanpa ada upaya perbaikan dan inovasi, namun juga sebagai peneniliti di bidangnya. 3. Dengan melaksanakan tahapan-tahapan dalam PTK, guru mampu memperbaiki proses pembelajaran melalui suatu kajian yang dalam terhadap apa yang terhadap apa yang terjadi di kelasnya. Tindakan yang dilakukan guru semata-mata didasarkan pada masalah aktual dan faktual yang berkembang di kelasnya. 4. Pelaksanaan PTK tidak menggangu tugas pokok seorang guru karena dia tidak perlu meninggalkan kelasnya. PTK merupakan suatu kegiatan penelitian yang terintegrasi dengan pelaksanaan proses pembelajaran. 5. Dengan melaksanakan PTK guru menjadi kreatif karena selalu dituntut untuk melakukan upaya-upaya inovasi sebagai implementasi dan adaptasi berbagai teori dan teknik pembelajaran serta bahan ajar yang dipakainya. 6. Penerapan PTK dalam pendidikan dan pembelajaran memiliki tujuan untuk memperbaiki dan atau meningkatkan kualitas praktek pembelajaran secara berkesinambungan sehingga meningkatan mutu hasil instruksional; mengembangkan keterampilan guru; meningkatkan relevansi; meningkatkan efisiensi pengelolaan instruksional serta menumbuhkan budaya meneliti pada komunitas guru. C. Hakikat Penelitian Tindakan Kelas Penelitian Tindakan Kelas (PTK) pertama kali diperkenalkan oleh ahli psikologi sosial Amerika yang bernama Kurt Lewin pada tahun 1946.Inti gagasan Lewin inilah yang selanjutnya dikembangkan oleh ahli-ahli lain seperti Stephen Kemmis, Robin McTaggart, John Elliot, Dave Ebbutt, dan sebagainya. PTK di Indonesia baru dikenal pada akhir dekade 80-an. Oleh karenanya, sampai dewasa ini keberadaannya sebagai salah satu jenis penelitian masih sering menjadikan pro dan kontra, terutama jika dikaitkan dengan bobot keilmiahannya. Jenis penelitian ini dapat dilakukan didalam bidang pengembangan organisasi, manejemen, kesehatan atau kedokteran, pendidikan, dan sebagainya.Di dalam bidang pendidikan penelitian

ini dapat dilakukan pada skala makro ataupun mikro.Dalam skala mikro misalnya dilakukan di dalam kelas pada waktu berlangsungnya suatu kegiatan belajar-mengajar untuk suatu pokok bahasan tertentu pada suatu mata kuliah. Untuk lebih detailnya berikut ini akan dikemukan mengenai hakikat PTK. Menurut John Elliot bahwa yang dimaksud dengan PTK ialah kajian tentang situasi sosial dengan maksud untuk meningkatkan kualitas tindakan di dalamnya (Elliot, 1982).Seluruh prosesnya, telaah, diagnosis, perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan pengaruh menciptakan hubungan yang diperlukan antara evaluasi diri dari perkembangan profesional. Pendapat yang hampir senada dikemukakan oleh Kemmis dan Mc Taggart, yang mengatakan bahwa PTK adalah suatu bentuk refleksi diri kolektif yang dilakukan oleh pesertapesertanya dalam situasi sosial untuk meningkatkan penalaran dan keadilan praktik-praktik itu dan terhadap situasi tempat dilakukan praktik-praktik tersebut (Kemmis dan Taggart, 1988). Menurut Carr dan Kemmis seperti yang dikutip oleh Siswojo Hardjodipuro, dikatakan bahwa yang dimaksud dengan istilah PTK adalah suatu bentuk refleksi diri yang dilakukan oleh para partisipan (guru, siswa atau kepala sekolah) dalam situasi-situasi sosial (termasuk pendidikan) untuk memperbaiki rasionalitas dan kebenaran (a) praktik-praktik sosial atau pendidikan yang dilakukan dilakukan sendiri, (b) pengertian mengenai praktik-praktik ini, dan (c) situasi-situasi ( dan lembaga-lembaga ) tempat praktik-praktik tersebut dilaksanakan (Harjodipuro, 1997). Lebih lanjut, dijelaskan oleh Harjodipuro bahwa PTK adalah suatu pendekatan untuk memperbaiki pendidikan melalui perubahan, dengan mendorong para guru untuk memikirkan praktik mengajarnya sendiri, agar kritis terhadap praktik tersebut dan agar mau utuk mengubahnya. PTK bukan sekedar mengajar, PTK mempunyai makna sadar dan kritis terhadap mengajar, dan menggunakan kesadaran kritis terhadap dirinya sendiri untuk bersiap terhadap proses perubahan dan perbaikan proses pembelajaran. PTK mendorong guru untuk berani bertindak dan berpikir kritis dalam mengembangkan teori dan rasional bagi mereka sendiri, dan bertanggung jawab mengenai pelaksanaan tugasnya secara profesional. Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, jelaslah bahwa dilakukannya PTK adalah dalam rangka guru bersedia untuk mengintropeksi, bercermin, merefleksi atau mengevalusi dirinya sendiri sehingga kemampuannya sebagai seorang guru/pengajar diharapkan cukup professional untuk selanjutnya, diharapkan dari peningkatan kemampuan diri tersebut dapat berpengaruh terhadap peningkatan kualitas anak didiknya, baik dalam aspek penalaran; keterampilan, pengetahuan hubungan sosial maupun aspek-aspek lain yang bermanfaat bagi anak didik untuk menjadi dewasa. Dengan dilaksanakannya PTK, berarti guru juga berkedudukan sebagai peneliti, yang senantiasa bersedia meningkatkan kualitas kemampuan mengajarnya. Upaya peningkatan kualitas tersebut diharapkan dilakukan secara sistematis, realities, dan rasional, yang disertai dengan meneliti semua aksinya di depan kelas sehingga gurulah yang tahu persis kekurangan-kekurangan dan kelebihannya. Apabila di dalam pelaksanaan aksi nya masih terdapat kekurangan, dia akan bersedia mengadakan perubahan sehingga di dalam kelas yang menjadi tanggungjawabnya tidak terjadi permasahan.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan PTK ialah suatu penelitian yang dilakukan secara sistematis reflektif terhadap berbagai tindakan yang dilakukan oleh guru yang sekaligus sebagai peneliti, sejak disusunnya suatu perencanaan sampai penilaian terhadap tindakan nyata di dalam kelas yang berupa kegiatan belajar-mengajar, untuk memperbaiki kondisi pembelajaran yang dilakukan. Sementara itu, dilaksanakannya PTK di antaranya untuk meningkatkan kualitas pendidikan atau pangajaran yang diselenggarakan oleh guru/pengajar-peneliti itu sendiri, yang dampaknya diharapkan tidak ada lagi permasalahan yang mengganjal di kelas. D. Jenis dan Model PTK Sebagai paradigma sebuah penelitian tersendiri, jenis PTK memiliki karakteristik yang relatif agak berbeda jika dibandingkan dengan jenis penelitian yang lain, misalnya penelitian naturalistik, eksperimen survei, analisis isi, dan sebagainya. Jika dikaitkan dengan jenis penelitian yang lain PTK dapat dikategorikan sebagai jenis penelitian kualitatif dan eksperimen. PTK dikatagorikan sebagai penelitian kualitatif karena pada saat data dianalisis digunakan pendekatan kualitatif, tanpa ada perhitungan statistik.Dikatakan sebagai penelitian eksperimen, karena penelitian ini diawali dengan perencanaan, adanya perlakuan terhadap subjek penelitian, dan adanya evaluasi terhadap hasil yang dicapai sesudah adanya perlakuan. Ditinjau dari karakteristiknya, PTK setidaknya memiliki karakteristik antara lain: (1) didasarkan pada masalah yang dihadapi guru dalam instruksional; (2) adanya kolaborasi dalam pelaksanaannya; (3) penelitian sekaligus sebagai praktisi yang melakukan refleksi; (4) bertujuan memperbaiki dan atau meningkatkan kualitas praktek instruksional; (5) dilaksanakan dalam rangkaian langkah dengan beberapa siklus. Menurut Richart Winter ada enam karekteristik PTK, yaitu (1) kritik reflektif, (2) kritik dialektis, (3) kolaboratif, (4) resiko, (5) susunan jamak, dan (6) internalisasi teori dan praktek (Winter, 1996). Untuk lebih jelasnya, berikut ini dikemukakan secara singkat karakteristik PTK tersebut. 1. Kritik Refeksi; salah satu langkah di dalam penelitian kualitatif pada umumnya, dan khususnya PTK ialah adanya upaya refleksi terhadap hasil observasi mengenai latar dan kegiatan suatu aksi. Hanya saja, di dalam PTK yang dimaksud dengan refleksi ialah suatu upaya evaluasi atau penilaian, dan refleksi ini perlu adanya upaya kritik sehingga dimungkinkan pada taraf evaluasi terhadap perubahan-perubahan. 2. Kritik Dialektis; dengan adanyan kritik dialektif diharapkan penelitian bersedia melakukan kritik terhadap fenomena yang ditelitinya. Selanjutnya peneliti akan bersedia melakukan pemeriksaan terhadap: (a) konteks hubungan secara menyeluruh yang merupakan satu unit walaupun dapat dipisahkan secara jelas, dan, (b) Struktur kontradiksi internal, -maksudnya di balik unit yang jelas, yang memungkinkan adanya kecenderungan mengalami perubahan meskipun sesuatu yang berada di balik unit tersebut bersifat stabil. 3. Kolaboratif; di dalam PTK diperlukan hadirnya suatu kerja sama dengan pihak-pihak lain seperti atasan, sejawat atau kolega, mahasiswa, dan sebagainya. Kesemuanya itu diharapkan dapat dijadikan sumber data atau data sumber. Mengapa demikian? Oleh karena pada hakikatnya kedudukan peneliti dalam PTK merupakan bagian dari situasi dan kondisi dari suatu latar yang ditelitinya. Peneliti tidak hanya sebagai pengamat, tetapi

dia juga terlibat langsung dalam suatu proses situasi dan kondisi. Bentuk kerja sama atau kolaborasi di antara para anggota situasi dan kondisi itulah yang menyebabkan suatu proses dapat berlangsung.Kolaborasi dalam kesempatan ini ialah berupa sudut pandang yang disampaikan oleh setiap kolaborator. Selanjutnya, sudut pandang ini dianggap sebagai andil yang sangat penting dalam upaya pemahaman terhadap berbagai permasalahan yang muncul. Untuk itu, peneliti akan bersikap bahwa tidak ada sudut pandang dari seseorang yang dapat digunakan untuk memahami sesuatu masalah secara tuntas dan mampu dibandingkan dengan sudut pandang yang berasal; dari berbagai pihak. Namun demikian memperoleh berbagai pandangan dari pada kolaborator, peneliti tetap sebagai figur yang memiliki ,kewenangan dan tanggung jawab untuk menentukan apakah sudut pandang dari kolaborator dipergunakan atau tidak. Oleh karenanya, sdapat dikatakan bahwa fungsi kolaborator hanyalah sebagai pembantu di dalam PTK ini, bukan sebagai yang begitu menentukan terhadap pelaksaanan dan berhasil tidaknya penelitian. 4. Resiko; dengan adanya ciri resiko diharapkan dan dituntut agar peneliti berani mengambil resiko, terutama pada waktu proses penelitian berlangsung. Resiko yang mungkin ada diantaranya (a) melesetnya hipotesis dan (b) adanya tuntutan untuk melakukan suatu transformasi. Selanjutnya, melalui keterlibatan dalam proses penelitian, aksi peneliti kemungkinan akan mengalami perubahan pandangan karena ia menyaksikan sendiri adanya diskusi atau pertentangan dari para kalaborator dan selanjutnya menyebabkan pandangannya berubah. 5. Susunan Jamak; pada umumnya penelitian kuantitatif atau tradisional berstruktur tunggal karena ditentukan oleh suara tunggal, penelitinya. Akan tetapi, PTK memiliki struktur jamak karena jelas penelitian ini bersifat dialektis, reflektif, partisipasi atau kolaboratif. Susunan jamak ini berkaitan dengan pandangan bahwa fenomena yang diteliti harus mencakup semua komponen pokok supaya bersifat komprehensif. Suatu contoh, seandainya yang diteliti adalah situasi dan kondisi proses belajar-mengajar, situasinya harus meliputi paling tidak guru, siswa, tujuan pendidikan, tujuan pembelajaran, interaksi belajar-mengajar, lulusan atau hasil yang dicapai, dan sebagainya. 6. Internalisasi Teori dan Praktik; Menurut pandangan para ahli PTK bahwa antara teori dan praktik bukan merupakan dua dunia yang berlainan. Akan tetapi, keduanya merupakan dua tahap yang berbeda, yang saling bergantung, dan keduanya berfungsi untuk mendukung tranformasi. Pendapat ini berbeda dengan pandangan para ahli penelitian konvesional yang beranggapan bahwa teori dan praktik merupakan dua hal yang terpisah. Keberadaan teori diperuntukkan praktik, begitu pula sebaliknya sehingga keduanya dapat digunakan dan dikembangkan bersama. Berdasarkan uraian di atas, jelaslah bahwa bentuk PTK benar-benar berbeda dengan bentuk penelitian yang lain, baik itu penelitian yang menggunakan paradigma kualitatif maupun paradigma kualitatif. Oleh karenanya, keberadaan bentuk PTK tidak perlu lagi diragukan, terutama sebagai upaya memperkaya khasanah kegiatan penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan taraf keilmiahannya. E. Jenis Penelitian Tindakan Kelas

Ada empat jenis PTK, yaitu: (1) PTK diasnogtik, (2) PTK partisipan, (3) PTK empiris, dan (4) PTK eksperimental (Chein, 1990). Untuk lebih jelas, berikut dikemukakan secara singkat mengenai keempat jenis PTK tersebut. 1. PTK Diagnostik; yang dimaksud dengan PTK diagnostik ialah penelitian yang dirancang dengan menuntun peneliti ke arah suatu tindakan. Dalam hal ini peneliti mendiagnosia dan memasuki situasi yang terdapat di dalam latar penelitian. Sebagai contohnya ialah apabila peneliti berupaya menangani perselisihan, pertengkaran, konflik yang dilakukan antar siswa yang terdapat di suatu sekolah atau kelas. 2. PTK Partisipan; suatu penelitian dikatakan sebagai PTK partisipan ialah apabila orang yang akan melaksanakan penelian harus terlibat langsung dalam proses penelitian sejak awal sampai dengan hasil penelitian berupa laporan. Dengan demikian, sejak penencanan panelitian peneliti senantiasa terlibat, selanjutnya peneliti memantau, mencacat, dan mengumpulkan data, lalu menganalisa data serta berakhir dengan melaporkan hasil panelitiannya. PTK partisipasi dapat juga dilakukan di sekolah seperti halnya contoh pada butir a di atas. Hanya saja, di sini peneliti dituntut keterlibatannya secara langsung dan terus-menerus sejak awal sampai berakhir penelitian. 3. PTK Empiris; yang dimaksud dengan PTK empiris ialah apabila peneliti berupaya melaksanakan sesuatu tindakan atau aksi dan membukakan apa yang dilakukan dan apa yang terjadi selama aksi berlangsung. Pada prinsipnya proses penelitinya berkenan dengan penyimpanan catatan dan pengumpulan pengalaman penelti dalam pekerjaan sehari-hari. 4. PTK Eksperimental; yang dikategorikan sebagai PTK eksperimental ialah apabila PTK diselenggarakan dengan berupaya menerapkan berbagai teknik atau strategi secara efektif dan efisien di dalam suatu kegiatam belajar-mengajar. Di dalam kaitanya dengan kegitan belajar-mengajar, dimungkinkan terdapat lebih dari satu strategi atau teknik yang ditetapkan untuk mencapai suatu tujuan instruksional. Dengan diterapkannya PTK ini diharapkan peneliti dapat menentukan cara mana yang paling efektif dalam rangka untuk mencapai tujuan pengajaran. F. Model-model Penelitian Tindakan Kelas Ada beberapa model PTK yang sampai saat ini sering digunakan di dalam dunia pendidikan, di antaranya: (1) Model Kurt Lewin, (2) Model Kemmis dan Mc Taggart, (3) Model John Elliot, dan (4) Model Dave Ebbutt. 1. Model Kurt Lewin; di depan sudah disebutnya bahwa PTK pertama kali diperkenalkan oleh Kurt Lewin pada tahun 1946. konsep inti PTK yang diperkenalkan oleh Kurt Lewin ialah bahwa dalam satu siklus terdiri dari empat langkah, yaitu: (1) Perencanaan ( planning), (2) aksi atau tindakan (acting), (3) Observasi (observing), dan (4) refleksi (reflecting) (Lewin, 1990). Sementara itu, empat langkah dalam satu siklus yang dikemukakan oleh Kurt Lewin tersebut oleh Ernest T. Stringer dielaborasi lagi menjadi : (1) Perencanaan (planning), (2) Pelaksanaan (implementing), dan (3) Penilaian (evaluating) (Ernest, 1996). 2. Model John Elliot; apabila dibandingkan dua model yang sudah diutarakan di atas, yaitu Model Kurt Lewin dan Kemmis-McTaggart, PTK Model John Elliot ini tampak lebih

detail dan rinci. Dikatakan demikian, oleh karena di dalam setiap siklus dimungkinkan terdiri dari beberapa aksi yaitu antara 3-5 aksi (tindakan). Sementara itu, setiap aksi kemungkinan terdiri dari beberapa langkah, yang terealisasi dalam bentuk kegiatan belajar-mengajar. Maksud disusunnya secara terinci pada PTK Model John Elliot ini, supaya terdapat kelancaran yang lebih tinggi antara taraf-taraf di dalam pelaksanan aksi atau proses belajar-mengajar. Selanjutnya, dijelaskan pula olehnya bahwa terincinya setiap aksi atau tindakan sehingga menjadi beberapa langkah oleh karena suatu pelajaran terdiri dari beberapa subpokok bahasan atau materi pelajaran. Di dalam kenyataan praktik di lapangan setiap pokok bahasan biasanya tidak akan dapat diselesaikan dalam satu langkah, tetapi akan diselesaikan dalam beberapa rupa itulah yang menyebabkan John Elliot menyusun model PTK yang berbeda secara skematis dengan kedua model sebelumnya, yaitu seperti dikemukakan berikut ini. SIKLUS PELAKSANAAN PTK

Gambar 4: Riset Aksi Model John Elliot G. Pelaksanaan Penelitian Tindakan Kelas Banyak model PTK yang dapat diadopsi dan diimplementasikan di dunia pendidikan. Namun secara singkat, pada dasarnya PTK terdiri dari 4 (empat) tahapan dasar yang saling terkait dan berkesinambungan: (1) perencanaan (planning), (2) pelaksanaan (acting), (3) pengamatan (observing), dan (4) refleksi (reflecting). Namun sebelumnya, tahapan ini diawali oleh suatu Tahapan Pra PTK, yang meliputi:
y y y y

Identifikasi masalah Analisis masalah Rumusan masalah Rumusan hipotesis tindakan

Tahapan Pra PTK ini sangat esensial untuk dilaksanakan sebelum suatu rencana tindakan disusun. Tanpa tahapan ini suatu proses PTK akan kehilangan arah dan arti sebagai suatu penelitian ilmiah. Beberapa pertanyaan yang dapat diajukan guna menuntut pelaksanaan tahapan PTK adalah sebagai berikut ini. 1. 2. 3. 4. Apa yang memprihatinkan dalam proses pembelajaran? Mengapa hal itu terjadi dan apa sebabnya? Apa yang dapat dilakukan dan bagaimana caranya mengatasi keprihatinan tersebut? Bukti-bukti apa saja yang dapat dikumpulkan untuk membantu mencari fakta apa yang terjadi? 5. Bagaimana cara mengumpulkan bukti-bukti tersebut? Jadi, tahapan pra PTK ini sesungguhnya suatu reflektif dari guru terhadap masalah yang ada dikelasnya.Masalah ini tentunya bukan bersifat individual pada salah seorang murid saja, namun lebih merupakan masalah umum yang bersifat klasikal, misalnya kurangnya motivasi belajar di kelas, rendahnya kualitas daya serap klasikal, dan lain-lain. Berangkat dari hasil pelaksanaan tahapan Pra PTK inilah suatu rencana tindakan dibuat. 1. Perencanaan Tindakan; berdasarkan pada identifikasi masalah yang dilakukan pada tahap pra PTK, rencana tindakan disusun untuk menguji secara empiris hipotesis tindakan yang ditentukan. Rencana tindakan ini mencakup semua langkah tindakan secara rinci. Segala keperluan pelaksanaan PTK, mulai dari materi/bahan ajar, rencana pengajaran yang mencakup metode/ teknik mengajar, serta teknik atau instrumen observasi/ evaluasi, dipersiapkan dengan matang pada tahap perencanaan ini. Dalam tahap ini perlu juga diperhitungkan segala kendala yang mungkin timbul pada saat tahap implementasi berlangsung. Dengan melakukan antisipasi lebih dari diharapkan pelaksanaan PTK dapat berlangsung dengan baik sesuai dengan hipotesis yang telah ditentukan. 2. Pelaksanaan Tindakan; tahap ini merupakan implementasi ( pelaksanaan) dari semua rencana yang telah dibuat. Tahap ini, yang berlangsung di dalam kelas, adalah realisasi dari segala teori pendidikan dan teknik mengajar yang telah disiapkan sebelumnya. Langkah-langkah yang dilakukan guru tentu saja mengacu pada kurikulum yang berlaku, dan hasilnya diharapkan berupa peningkatan efektifitas keterlibatan kolaborator sekedar untuk membantu si peneliti untuk dapat lebih mempertajam refleksi dan evaluasi yang dia lakukan terhadap apa yang terjadi dikelasnya sendiri. Dalam proses refleksi ini segala pengalaman, pengetahuan, dan teori pembelajaran yang dikuasai dan relevan. 3. Pengamatan Tindakan; kegiatan observasi dilakukan bersamaan dengan pelaksanaan tindakan. Data yang dikumpulkan pada tahap ini berisi tentang pelaksanaan tindakan dan rencana yang sudah dibuat, serta dampaknya terhadap proses dan hasil intruksional yang dikumpulkan dengan alat bantu instrumen pengamatan yang dikembangkan oleh peneliti. Pada tahap ini perlu mempertimbangkan penggunaan beberapa jenis instrumen ukur penelitian guna kepentingan triangulasi data. Dalam melaksanakan observasi dan evaluasi, guru tidak harus bekerja sendiri. Dalam tahap observasi ini guru bisa dibantu oleh pengamat dari luar (sejawat atau pakar). Dengan kehadiran orang lain dalam penelitian ini, PTK yang dilaksanakan menjadi bersifat kolaboratif. Hanya saja pengamat luar tidak boleh terlibat terlalu dalam dan mengintervensi terhadap pengambilan

keputusan tindakan yang dilakukan oleh peneliti. Terdapat empat metode observasi, yaitu : observasi terbuka; observasi terfokus; observasi terstruktur dan dan observasi sistematis. Beberapa prinsip yang harus dipenuhi dalam observasi, diantaranya a) ada perencanaan antara dosen/guru dengan pengamat; (b) fokus observasi harus ditetapkan bersama; (c) dosen/guru dan pengamat membangun kriteria bersama; (d) pengamat memiliki keterampilan mengamati; dan (e) balikan hasil pengamatan diberikan dengan segera. Adapun keterampilan yang harus dimiliki pengamat diantaranya : (a) menghindari kecenderungan untuk membuat penafsiran; (b) adanya keterlibatan keterampilan antar pribadi; (c) merencanakan skedul aktifitas kelas; (d) umpan balik tidak lebih dari 24 jam; (d) catatan harus teliti dan sistemaris 4. Refleksi Terhadap Tindakan; tahapan ini merupakan tahapan untuk memproses data yang didapat saat dilakukan pengamatan. Data yang didapat kemudian ditafsirkan dan dicari eksplanasinya, dianalisis, dan disintesis. Dalam proses pengkajian data ini dimungkinkan untuk melibatkan orang luar sebagai kolaborator, seperti halnya pada saat observasi. Keterlebatan kolaborator sekedar untuk membantu peneliti untuk dapat lebih tajam melakukan refleksi dan evaluasi. Dalam proses refleksi ini segala pengalaman, pengetahuan, dan teori instruksional yang dikuasai dan relevan dengan tindakan kelas yang dilaksanakan sebelumnya, menjadi bahan pertimbangan dan perbandingan sehingga dapat ditarik suatu kesimpulan yang mantap dan sahih.Proses refleksi ini memegang peran yang sangat penting dalam menentukan suatu keberhasilan PTK. Dengan suatu refleksi yang tajam dan terpecaya akan didapat suatu masukan yang sangat berharga dan akurat bagi penentuan langkah tindakan selanjutnya. Refleksi yang tidak tajam akan memberikan umpan balik yang misleading dan bias, yang pada akhirnya menyebabkan kegagalan suatu PTK. Tentu saja kadar ketajaman proses refleksi ini ditentukan oleh kejataman dan keragaman instrumen observasi yang dipakai sebagai upaya triangulasi data. Observasi yang hanya mengunakan satu instrumen saja. Akan menghasilkan data yang miskin.Adapun untuk memudahkan dalam refleksi bisa juga dimunculkan kelebihan dan kekurangan setiap tindakan dan ini dijadikan dasar perencanaan siiklus selanjutnya. Pelaksanaan refleksi diusahakan tidak boleh lebih dari 24 jam artinya begitu selesai observasi langsung diadakan refleksi bersama kolaborator. Demikianlah, secara keseluruhan keempat tahapan dalam PTK ini membentuk suatu siklus.Siklus ini kemudian diikuti oleh siklus-siklus lain secara bersinambungan seperti sebuah spiral. Kapan siklus-siklus tersebut berakhir?Pertanyaan ini hanya dapat dijawab oleh si peneliti sendiri. Kalau dia sudah merasa puas terhadap hasil yang dicapai dalam suatu kegiatan PTK yang dia lakukan, maka dia akan mengakhiri siklus-siklus tersebut. Selanjutnya, dia akan melakukan satu identifikasi masalah lain dan kemudian diikuti oleh tahapan-tahapan PTK baru guna mencari solusi dari masalah tersebut.

Persyaratan dan Kriteria KTI Guru


Posted on 3 Maret 2008 by AKHMAD SUDRAJAT

A. PERSYARATAN POKOK SETIAP JENIS KARYA TULIS ILMIAH GURU (APIK) 1. ASLI (Original), karya tulis ilmiah populer yang dihasilkan harus merupakan produk asli guru (penulis) dan sesuai dengan bidang studi/mata pelajaran/mata diklat yang diampu, dan tempat bekerja. 2. PENTING DAN BERMANFAAT (Useful), karya tulis ilmiah populer yang dihasilkan guru harus dirasakan manfaatnya secara langsung oleh guru dalam peningkatan kualitas pembelajaran pelatihan sehari-hari. 3. ILMIAH (Scientific), karya tulis populer yang dihasilkan guru harus disusun secara ilmiah, sistematis, runtut, dan menggunakan bahasa populer, sesuai persyaratan penulisan karya ilmiah. 4. KONSISTEN (Concistency), karya tulis ilmiah populer yang dihasilkan guru harus memperlihatkan keajegan dan konsistensi pemikiran yang utuh, baik secara keseluruhan maupun hubungan antar bab/antar bagian dalam karya tulis yang disajikan. B. KRITERIA POKOK SETIAP JENIS KARYA TULIS ILMIAH 1. Ada MASALAH pokok yang dijadikan dasar penulisan, dan masalah tersebut sesuai atau menyangkut kegiatan pembelajaran/pelatihan yang dilaksanakan guru sehari-hari. 2. Ada TEORI ATAU KAJIAN PUSTAKA yang mendukung upaya pemecahan masalah yang dihadapi. 3. Ada METODOLOGI/STRATEGI yang dilakukan secara runtut dalam upaya pemecahan masalah yang dihadapi. 4. Ada DATA/FAKTA yang mendukung pembahasan masalah yang dihadapi. 5. Ada ALTERNATIF PEMECAHAN yang dikemukakan atau dibahas untuk solusi masalah yang dihadapi. 6. Ada KESIMPULAN DAN REKOMENDASI yang dikemukakan berdasarkan analisis data terhadap upaya pemecahan maslaah yang dihadapi. 7. Ada Referensi atau sumber pustaka pendukung yang disusun secara runtut. Sumber : Tatang Sunendar, M.Si. Materi Pelatihan PTK dan PTS Pengawas Sekolah Kabupaten Kuningan

[ Downloads ]
TENTANG PENDIDIKAN
EDUCATION FOR A BETTER LIFE BETTER EDUCATION BETTER LIFE

Pengunjung yang budiman


Dalam blog ini tersimpan berbagai file yang tersebar dan tersembunyi dalam berbagai post (tulisan). File-fle tersebut dalam bentuk doc, pdf, dan ppt, yang tentunya hanya bisa diketahui isinya setelah Anda men-download-nya terlebih dahulu. Sebagian hasil karya

cipta sendiri dan sebagian lagi hasil karya pihak lain, yang menurut hemat saya sangat layak untuk diketahui oleh orang banyak. Untuk memudahkan Anda mengakses file-file tersebut, saya telah menginventarisasi dan mengelompokkannya ke dalam 5 (lima) kategori. Jika Anda berminat mengunduhnya, silahkan klik tautan di bawah ini.

[ Bimbingan-Konseling ]
y y y y y y y y y y y y y y y y y y y y y y y

Comprehensive Guidance and Counseling Program Evaluation School Counselor and Principals Programs Use of Guidance Curricula Materials Evolution of Accountability Counselors Role in a Changing Background of the School Counseling Profession Konseling di Sekolah: Konsep dan Praktik Draft Standar Kompetensi Konselor Pengadministrasian Bimbingan dan Konseling di Sekolah Rubrik Penilaian Portofolio Guru Bimbingan dan Konseling (Konselor) Format Penilaian Sertifikasi Guru BK/Konselor Alat Ungkap Masalah Siswa SMA Permendiknas No.27. Th 2008 tentang Kualifikasi & Kompetensi Konselor Arah dan Perspektif Baru Bimbingan dan Konseling Konsep Penyusunan Program Bimbingan dan Konseling Penanganan Kasus Teknik Konseling Behavioristik Teknik Konseling Trait and Factor Teknik Konseling Gestalt Teknik Konseling Psikoanalisis Teknik Konseling Psikodinamika Teknik Konseling Rational- Emotif Lembar Pengamatan Proses Konseling

[ Seputar KTSP ]
y y y y y y y y y y y

Buku Saku KTSP Konsep Kurikulum Berbasis Kompetensi Manajemen Kurikulum Perbandingan Kurikulum 2004 dengan KTSP Analisis Konteks dalam Penyusunan KTSP Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan I Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan II Pengembangan Silabus Tujuan Pembelajaran sebagai Komponen Penting dalam Pembelajaran Pengembangan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Pengembangan Bahan Ajar

y y y y y y y y

Pengembangan Model Pembelajaran Perancangan Penilaian Hasil Belajar Pengembangan Bahan Ujian Penetapan Kriteria Ketuntasan Minimal Model Pengembangan Muatan Lokal Panduan Umum Pengembangan Silabus Rambu-Rambu Penyusunan RPP Contoh RPP Akuntanasi SMA PENILAIAN PEMBELAJARAN

y y y y y y y

Penilaian Hasil Belajar Model Pengembangan Penilaian Portofolio Tabel Tingkat Kompetensi dan Kata Kerja Operasional Tabel Kata Kerja Ranah Kognitif, Afektif dan Psikomotor Penilaian Psikomotor Penilaian Afektif Penetapan KKM PEMBELAJARAN TEMATIK

y y y y y

Konsep Pembelajaran Tematik Contoh Pemetaan Standar Kompetensi Contoh Jaringan Tema Contoh Silabus Tematik Contoh RPP Tematik I ICE BREAK (GAME MULTI MEDIA)

y y y y y y y y y y y y

Aku Tidak Lebih Dulu Ke Surga Bagaimana Membuat Diri Anda Bahagia Biji Kopi Perilaku Masyarakat Negara Kaya Persepsi dan Paradigma Kita Program Memphoto Diri Anda Suami Ideal Sketsa Wajah Anda Aneka Ria Perkawinan Burung dengan Sebelah Sayap For Sons and Daughters The Pencil Parable PENELITIAN TINDAKAN KELAS

y y

Penelitian Tindakan Kelas Rambu-Rambu Proposal dan Laporan PTK,

Untuk Memahami Konsep PTK, silahkan baca tautan ini:


y y y y

Penelitian Tindakan Kelas (Part I) Penelitian Tindakan Kelas (Part II) Rambu-Rambu Penulisan Karya Ilmiah Guru Kaidah Umum Penulisan Skripsi KONSEP PEMBELAJARAN

y y y y y y y

Pergeseran Paradigma Pendidikan Revitalisasi MGMP Pengembangan Bahan Ajar Kegiatan Belajar Mengajar (KBM ) yang Efektif Belajar dan Pembelajaran Pembelajaran Kontekstual Pembelajaran Tematik

[ Manajemen Pendidikan ]
y y y y y y y y y y y y y y y y y y y y y y y y

Rencana Strategis Depdiknas Manajemen Berbasis Sekolah dan KTSP Rencana Pengembangan Sekolah Peran Strategis Komite Sekolah Konsep Sekolah Unggul Kepemimpinan Kepala Sekolah Manajemen Pengembangan Kurikulum Kebijakan Direktorat Pembinaan TK/SD Kebijakan Direktorat Pembinaan SMP Kebijakan Direktorat Pembinaan SMA Kebijakan Direktorat Pembinaan PUSKUR Kebijakan Direktorat Pembinaan BINDIKLAT Sistematika dan Format Program dan Laporan Pengawasan Kultur Sekolah Sekolah Berstandar Internasional Sekolah Berwawasan Keunggulan Lokal Kelautan Model Pengembangan Muatan Lokal Kebijakan Akreditasi Sekolah Revitalisasi MGMP Standar Penyelenggaraan KKG/MGMP Pedoman Penyusunan Portofolio Sertifikasi Guru Tahun 2009 [Buku3] Suplemen Buku3 (Pengawas Satuan Pendidikan) Pedoman Pelaksanaan Tugas Guru dan Pengawas Kode Etik Guru

[ Regulasi Pendidikan ]

UNDANG-UNDANG Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 Undang-Undang No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara PERATURAN PEMERINTAH Peraturan Pemerintah Nomor. 74 Tahun 2008 Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2008 tentang Guru Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2009 Peraturan Pemerintah No 37 Tahun 2009 tentang Dosen Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2008 Peraturan Pemerintah No. 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan Peraturan Pemerintah Nomor.19 Tahun 2005 Peraturan Pemerintah N0.19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Peraturan Pemerintah Nomor. 10 Tahun 2008 Peraturan Pemerintah Nomor. 10 Tahun 2008 tentangPerubahan Kesepuluh Atas Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1977 Tentang Peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil. Peraturan Pemerintah Nomor. 8 Tahun 2009 Peraturan Pemerintah Nomor. 8 Tahun 2009 tentangPerubahan Kesebelas Atas Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1977 Tentang Peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil.

Peraturan Pemerintah No 41 Tahun 2009 PP Nomor. 41 Tahun 2009 tentang Tunjangan Profesi Guru dan Dosen, Tunjangan Khusus Guru dan Dosen, serta Tunjangan Kehormatan Profesor Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 Peraturan Pemerintah Nomor 53Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL KETENAGAAN Permendiknas RI Nomor. 12 th 2007 Permendiknas RI Nomor. 12 th 2007 tentang Standar Pengawas Sekolah Permendiknas RI Nomor 13 th 2007 Permendiknas RI Nomor 13 th 2007 tentang Standar Kepala Sekolah Permendiknas RI Nomor 26 Tahun 2008 Permendiknas RI Sekolah/Madrasah Nomor 26 Tahun 2008 Tentang Standar Tenaga Laboratorium

Permendiknas RI Nomor 27 Tahun 2008 Permendiknas RI Nomor 27 Tahun 2008 Tentang Standar Kualifikasi Akademik Dan Kompetensi Konselor Permendiknas RI Nomor 24 Tahun 2008 Permendiknas RI Nomor 24 Tahun 2008 Tentang Standar Tenaga Administrasi Sekolah/ Madrasah Permendiknas RI Nomor 25 Tahun 2008 Permendiknas RI Nomor 25 Tahun 2008 Tentang Standar Tenaga Perpustakaan Sekolah/ Madrasah

SERTIFIKASI GURU DAN DOSEN Permendiknas RI Nomor 11 Tahun 2008 Permendiknas RI Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Perubahan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 18 Tahun 2007 Tentang Sertifikasi Bagi Guru Dalam Jabatan Permendiknas RI Nomor 17 Tahun 2008 Permendiknas RI Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Perubahan Pertama Atas Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 42 Tahun 2007 Tentang Sertifikasi Dosen Permendiknas RI Nomor 19 Tahun 2008 Permendiknas RI Nomor 19 Tahun 2008 Tentang Perguruan Tinggi Penyelenggara Sertifikasi Dosen Tahun 2008 Permendiknas RI Nomor 63 Tahun 2009 Permendiknas RI Nomor 63 Tahun 2009 Tentang Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan AKREDITASI SEKOLAH Permendiknas RI No. 29 Tahun 2005 Permendiknas No. 29 Tahun 2005 tentang Badan Akreditasi Nasional Sekolah-Madrasah Permendiknas No. 11 Tahun 2009 Permendiknas No 11 Tahun 2009 tentang Kriteria dan Perangkat Akreditasi SD-MI. Permendiknas No.12 Tahun 2009 Permendiknas No.12 Tahun 2009 tentang Kriteria dan Perangkat Akreditasi SMP-MTs Permendiknas RI No. 52 Tahun 2008 Permendiknas No. 52 Tahun 2008 tentang Kriteria dan Perangkat Akreditasi SMA-MA 8 STANDAR PENDIDIKAN DI SEKOLAH Permendiknas RI Nomor. 22 Tahun 2006 Permendiknas RI Nomor. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Permendiknas RI No. 23 Tahun 2006

Permendiknas No. 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Permendiknas Nomor 16 Tahun 2007 Permendiknas RI Nomor 16 Tahun 2007 tentang Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru Permendiknas No 19 Tahun 2007 Permendiknas Nomor 19 Tahun 2007 tentang Standar Pengelolaan Permendiknas RI Nomor 20 Tahun 2007 Permendiknas Nomor 20 Tahun 2007 tentang Standar Penilaian Permendiknas RI Nomor 24 Tahuan 2007 Permendiknas Nomor 24 Tahuan 2007 tentang Standar Sarana dan Prasarana Sekolah Permendiknas RI No. 41 Tahun 2007 Permendiknas RI No. 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses Permendiknas RI No. 40 Tahun 2008 Lampiran Permendiknas RI No. 40 Tahun 2008 Permendiknas RI No. 40 Tahun 2008 tentang Standar Sarana dan Prasana SMK/MAK Permendiknas Nomor 69 Tahun 2009 Permendiknas Nomor 69 Tahun 2009 tentang Standar Pembiayaan LAIN-LAIN Permendiknas No. 3 tahun 2009 Permendiknas No. 3 tahun 2009 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Dana Alokasi Khusus (DAK) Bidang Pendidikan Tahun Anggaran 2009. Permendiknas No.39 Tahun 2009 Permendiknas No 39 Tahun 2009 tentang Beban Kerja Guru dan Pengawas Satuan Pendidikan. Permendiknas RI Nomor 63 Tahun 2009 Permendiknas RI Nomor 63 Tahun 2009 Tentang Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan

Permen PAN dan Reformasi Birokrasi No. 16 Tahun 2009 Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 16 Tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru Dan Angka Kreditnya. Permendiknas No. 19 tahun 2010 Permendiknas No. 19 tahun 2010 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Dana Alokasi Khusus (DAK) Bidang Pendidikan Tahun Anggaran 2010 untuk SMP. Permendiknas No 17 Tahun 2010 Permendiknas No 17 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat di Perguruan Tinggi Permendiknas No 20 Tahun 2010 Permendiknas No 20 Tahun 2010 tentang Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria di Bidang Pendidikan

[ Instrumen Supervisi ]
y y y y y y y y y y y y y y y y y

Instrumen Pengamatan Proses Konseling Instrumen Penyelenggaraan BK di SMP-SMA-SMK Instrumen Supervisi Akademik Instrumen Supervisi SKL di SMP Instrumen Pengukuran Kompetensi Manajerial Kepala Sekolah Angket Kemampuan Manajemen Kepala Sekolah Angket Budaya Sekolah Instrumen Kinerja Sekolah Standar Nasional Instrumen Pengamatan Aktivitas Siswa dan Guru dalam PTK Instrumen Sertifikasi Guru BK Instrumen Uji Kompetensi Pengawas SD Instrumen Uji Kompetensi Pengawas SMP-SMA Instrumen Inventarisasi Kondisi Sekolah Kategori Mandiri/SSN Instrumen Supervisi Profil Sekolah Kategori Mandiri/SSN Lembar Pengamatan Kelas SSN-SKM Instrument Supervisi KTSP Instrumen Observasi Kelas

Instrumen Akreditasi SMA 2008 Instrumen Akreditasi SD-MI yPermendiknas No. 11 Tahun 2009 tentang Akreditasi SD-MI yLampiran-1

yIsi lampiran-1 yLampiran-2 yIsi lampiran-2 yLampiran-3 yIsi lampiran-3 yLampiran-4 Instrumen Akreditasi SMP-MTs yPermendiknas No.12 Tahun 2009 tentang Akreditasi SMP-MTs yTeknik Penskoran Pemeringkatan Akreditasi SMP dan MTs yPetunjuk Instrumen Akreditasi yInstrumen Akreditasi SMP-MTs yPengantar Petunjuk Teknik Pengisian Instrumen Akreditasi SMP-MTs yPetunjuk Teknik Pengisian Instrumen Akreditasi SMP-MTs yPetunjuk Instrumen Pengumpulan Data & Informasi Pendukung SMP-MTs yInstrumen Pengumpulan Data dan Informasi Pendukung SMP-MTs DOWNLOAD LAINNYA: INSTRUMEN KINERJA SEKOLAH STANDAR NASIONAL
y y y y y

Panduan Instrumen Supervisi Instrumen Dokumen Pembobotan Dokumen Pembobotan Kinerja Instrumen Standar Isi Instrumen Standar Proses Instrumen Standar Kompetensi Lulusan Instrumen Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan Instrumen Standar Sarana Prasarana Instrumen Standar Pengelolaan Instrumen Standar Pembiayaan Instrumen Standar Penilaian

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.

Anda mungkin juga menyukai