Anda di halaman 1dari 8

Dampak Pemanfaatan Lahan Gambut Untuk Budidaya Kelapa Sawit

2010 11.30 Pemanfaatan gambut dan lahan gambut untuk pertanian dan usaha-usaha yang berkaitan dengan pertanian berkembang cukup pesat. Ratusan ribu hektar lahan gambut dimanfaatkan untuk perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri. Lahan rawa menjadi kawasan andalan untuk perluasan perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Namun belakangan ini belakangan ini banyak menuai protes dari para pemerhati dan penggiat lingkungan baik dari dalam negeri maupuan dari luar negeri. Hal ini tentu didasari oleh kekhawatiran rusaknya lahan gambut sebagai fungsi ekosistem yang kompleks. Meski memiliki fungsi strategis, alih fungsi lahan gambut masih terus berlangsung, baik untuk lahan pertanian maupun pemukiman. Berbagai macam bentuk alih fungsi menyebabkan terjadinya penurunan (degradasi) fungsi strategis lahan gambut, sehingga meningkatkan luas kawasan lahan kritis. Seperti fungsi hidrologis, yang berperan penting pada sistim biosfir, yaitu sebagai sumber karbon, pengendali sirkulasi CO2 dan berpengrauh besar pada kondisi keseimbangan karbon di atmosfir. Selama ini sistem pengelolaan hutan rawa gambut umumnya tidak memperhatikan sifat inheren gambut dan melupakan prinsip-prinsip kelestariannya sehingga berpotensi lahan rawa gambut akan mengalami kerusakan dan sulit untuk diperbaharui. Terjadinya degradasi fungsi lahan gambut, salah satunya disebabkan kurangnya pemahaman terhadap karakteristik gambut dalam kondisi alami. Pengetahuan tentang keaneka-ragaman karakteristik gambut dalam kondisi masih alami menjadi sangat diperlukan, agar dapat mengelola dengan bijak (benar dan tepat) yaitu bermanfaat secara ekonomi dengan tidak mengesampingkan fungsi lingkungan. Potensi lahan gambut cukup besar untuk usaha pertanian, dan lahan gambut yang belum dimanfaatkan cukup luas, namun pemanfaatan lahan gambut tersebut harus dilakukan dengan memperhatikan prinsip kelestarian dan mencegah terjadinya degradasi yang dampaknya cukup luas baik terhadap sumber kehidupan manusia maupun terhadap fisk lingkungan. Reklamasi lahan gambut harus memegang prinsip bahwa gambut merupakan lahan marginal dan mudah terdegradasi. Gambut dengan kedalaman > 3 meter termasuk kategori kawasan hutan lindung yang tidak boleh diganggu Pemanfaatan gambut dan lahan gambut untuk pertanian dan usaha-usaha yang berkaitan dengan pertanian berkembang cukup pesat. Berbagai tanaman semusim dan tanaman tahunan dapat dibudidayakan pada lahan gambut tetapi yang paling berhasil atau menunjukkan harapan adalah tanaman perkebunan terutama kelapa sawit. Seperti di beberapa daerah di Riau yang sejak era tahun 1990 sudah memanfaatkan lahan gambut untuk tanaman kelapa sawit. Sayangnya data luasan lahan gambut yang diusahakan untuk perkebunan kelapa sawit tidak tersedia, tetapi

berdasarkan pengamatan kami diperkirakan sudah ratusan ribu hektar, baik yang diusahakan oleh perusahaan besar maupun oleh perorangan. Produktivitas tanaman kelapa sawit di lahan gambut tidak kalah baiknya dengan yang di tanah mineral, produksi kelapa sawit pada lahan gambut dengan kerapatan populasi 185 popok per hektar pada tahun ke delapan panen adalah 24 ton/ha/tahun sedangkan pada umur panen 5 8 tahun menghasilkan TBS mencapai 26,4 ton/ha Tingkat keberhasilan dari budidaya kelaap sawit di lahan gambut merupakan upaya yang terintegrasi dari berbagai kegiatan, mulai dari pembukaan lahan, penanaman dengan menggunakan bibit yang unggul dan sesuai, pemeliharaana tanaman baik pemupukan maupun pengendalian gulma dan hama penyakit tanaman, manajemen pengelolaan drainase dll. Seperti diketahui bahwa lahan gambut merupakan lahan yang rapuh atau marginal sehingga apabila salah dalam mengelolanya akan berdampak pada kerusakan fungsi gambut itu sendiri. Apabila kondisinya sudah rusak maka akan sulit untuk memperbaikinya. PERMASALAHAN Dampak Pembangunan Kelapa Sawit di Lahan Gambut
y

Dampak terhadap Lingkungan

Secara kegiatan pembangunan perkebunan kelapa sawit meliputi pembukaan lahan, penanaman, pemeliharaan, pemanenan, pengangkutan, pengolahan hasil dan pemasaran. Kegiatan-kegiatan tersebut dampaknya akan berbeda ketika dilakukan di lahan gambut, dibandingkan dengan pada lahan mineral, mengingat lahan gambut merupakan lahan yang unik dan rentan terhadap kerusakan 1. Pembukaan lahan

Dampak pembangunan kelapa sawit yang cukup besar terhadap lingkungan diantaranya adalah lenyapnya vegetasi alam serta flora dan fauna yang unik dan akan menjadi sangat berbahaya apabila mengalami kepunahan yang total pada sebagian besar kawasan di Indonesia. Pembukaan lahan gambut akan menghilangkan fungsi hutan gambut sebagai pemasok bahan-bahan yang bernilai ekonomi seperti kayu, ikan dan daging satwa, rotan, getah dan tanaman obat yang biasa dimanfatkan oleh masyarakt lokal. Pembukaan lahan gambut juga akan menurunkan fungsi konservasi bagi spesies langka dan dilindungi, satwa langka dan tumbuhan penting, komunitas dan ekosistem. 2. Pembuatan Kanal Drainase

Pembukaan kanal-kanal drainase akan mengurangi fungsi lahan gambut sebagai pengendali higrologi wilayah yang berfungsi sebagai penambat air dan mencegah banjir dan kebakaran, karena berubahnya sifat fisik gambut diakibatkan oleh adanya drainase yang berlebih sehingga berdampak pada pengeringan gambut. Penuruan muka air tanah juga akan mempercepat laju pemadatan tanah (subsidensi), sehingga akan mengurangi kemampuanya dalam menyimpan air.

Penurunan muka gambut mambuat lahan menjadi amblas. Subsidensi gambut di lahan perkebunan kelapa sawit ditandai dengan rebahnya pokok sawit atau pokok doyong. Kondisi ini tentu merugikan kebun itu sendiri. Drainase yang berlebih juga berpotensi munculnya pirit atau tanah dengan sulfat masam dan intrusi air laut 3. Kebakaran Lahan

Kebakaran pada lahan gambut terjadi karena pembukaan lahan gambut dengan cara mebakar, rata-rata menurunkan tingkat permukaan gambut sekitar 10 cm. Penurunan tanah gambut setiap 10 cm maka akan berakibat tanah akan kehilang kemampuan menyimpan air sebanyak 800 m3 per hektar. 4. Emisi Gas Rumah Kaca.

Lahan gambut dengan vegatasi tanaman kelapa sawit akan menghasilkan emisi karbos (CO2) sebanyak 1.540 g C/m2/tahun. Sebaliknya tanaman kelapa sawit di lahan gambut selam lima tahun akan menyimpan karbon sebanyak 27 ton C/ha, yang disumbangkan dari batang, pelepah dan akarnya. Emisi gas tersebut akan meningkat seiring dengan menurunnya tinggi muka air tanah akibat drainase yang berlebih. SOLUSI PERMASALAHAN Untuk meminimalkan dampak pembangunan perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut yang sudah berjalan maupun yang akan dilakukan, maka perlu suatu strategi atau upaya pengelolaan yang baik dan benar yang memenuhi kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan. Upaya-upaya tersebut yang sesuai dengan sifat dan karakteristik lahan gambut. apabila hutan rawa gambut diperlakukan secara baik dan benar sesuai dengan kemampuan/daya dukung lahan gambutnya, maka hasil yang diperoleh mampu memberikan sesuatu yang menjanjikan. Sebaiknya pengelolaan lahan dilakukan dengan memperhatikan ekosistem lahan gambut, kubah gambut sama sekali tidak boleh dibuka. Saluran drainase pada lahan gambut harus diatur dengan sangat ketat agar mampu mempertahankan muka air, termasuk muka air tanah yang sesuai dengan kebutuhan ruang perakaran tanaman. Secara khusus hal-hal yang harus diperhatikan untuk menahan laju degradasi lahan gambut pada lahan perkebunan kelapa sawit adalah memembuat suatu sistem tata air (water management system) yang betul-betul terencana dengan baik sehinga dapat memperhatikan tinggi muka air yang sesuai. Secara umum tinggi muka air tanah gambut pada lahan kelapa sawit adalah 60 cm di bawah permukan tanah. Dengan kedalaman muka air tanah 60 cm, diharapkan kelembaban tanah di bagian atasnya akan tetap terjaga (terhindar dari kekeringan) dan dilain pihak perakaran tanaman tidak tergenang Pengaturan tinggi muka air tanah dapat dilakukan dengan membuat pintu-pintu pengatur air pada kanal-kanal drainase dan memonitornya setiap saat sebagai upaya mengantisipasi kelebihan air yang mengakibatkan areal tergenang ataupun kekurangan air yang mengakibatkan kekeringan. Untuk mempertahankan keanekaragaman hayati maka lahan-lahan yang menjadi kawasan lindung harus tetap dipertahankan, Oleh karena itu perlu dilakukan analisis tentang

keanekaragaman hayati yang mempunyai nilai konservasi tinggi atau high covservation value (HCV) selajutnya melakukan pembatasan-pembatasan dan upaya pengelolaannya. Upaya untuk mencegah kebakaran lahan gambut adalah dengan tidak membuka lahan dengan cara bakar, tidak melakukan drainase yang berlebihan, membuat menara pemantau api, membuat regu pemadam yang dilengkapi dengan peralatannya dll, yang sifatnya mudah dilakukan di lapangan. KEBUTUHAN UNSUR HARA KELAPA SAWIT Tanaman menyerap unsur hara dari tanah dan udara. Hara yang diserap dari tanah berasal dari tanah itu sendiri dan dari pupuk yang diaplikasikan. Beberapa hal yang menjadi alasan dilakukan pemupukan adalah: (1) Tanah tidak mampu menyediakan unsur hara yang cukup bagi tanaman, (2) Tanaman kelapa sawit memerlukan hara yang besar untuk tumbuh dan produksi tinggi, (3) Penggunaan varietas unggul yang membutuhkan hara lebih besar, (4) Unsur hara yang terangkut berupa produksi tidak seluruhnya dikembalikan ke tanah. Karena itu pemupukan mempunyai tujuan agar tanaman mampu tumbuh normal dan produksi sesuai dengan potensinya, serta untuk mempertahankan atau meningkatkan kesuburan tanah. Tingginya hara yang terangkut oleh tanaman kelapa sawit, dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Jumlah Unsur Hara yang diangkut oleh tanaman Kelapa Sawit dari dalam tanah per Ha/tahun

Jumlah Pupuk yang diangkut oleh Tanaman Kelapa Sawit per Ha/tahun

EDOMAN PEMANFAATAN LAHAN GAMBUT UNTUK BUDIDAYA KELAPA SAWIT Written by Administrator Friday, 27 February 2009

JAKARTA-Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambut Untuk Budidaya Kelapa Sawit yang tertuang dalam Permentan No. 14/Permentan/PL.110/2/2009 tanggal 16 Pebruari 2009 merupakan pedoman yang dijadikan dasar untuk melakukan usaha budidaya yang berada di kawasan lahan gambut demikian dikatakan oleh Dirjen Perkebunan Achmad Mangga Barani saat memimpin pertemuan Sosialisasi Permentan 14/Permentan/PL.110/2/200 tentang Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambut Untuk Budidaya Kelapa Sawit dilaksanakan (23/2) di ruang rapat lantai I Gedung C Departemen Pertanian. Hadir sebagai nara sumber Kepala Badan Litbang Pertanian dan juga diikuti oleh Tim Kajian Lahan Gambut, LSM dalam dan luar Negeri diantaranya Green Peace, WWF Indonesia, Maksi, Sawit Watch dan NGO serta LSM Lainnya.

Peraturan Menteri Pertanian Nomor 14/Permentan/PL.110/2/2009 Tahun 2009 tentang Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambut Untuk Budidaya Kelapa Sawit merupakan tindak lanjut dari Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung yang antara lain menetapkan bahwa Kriteria kawasan bergambut adalah tanah bergambut dengan ketebalan 3 meter atau lebih yang terdapat dibagian hulu sungai dan rawa. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 14/Permentan/PL.110/2/2009 Tahun 2009 tentang Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambut Untuk Budidaya Kelapa Sawit. Pertimbangan diterbitkannya Peraturan Menteri Pertanian Nomor 14/Permentan/PL.110/2/2009 Tahun 2009 tentang Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambut Untuk Budidaya Kelapa Sawit adalah :

1. Perkebunan kelapa sawit merupakan salah satu sumber dalam penyediaan devisa dan peningkatan
kesejahteraan masyarakat ;

2. Lahan gambut memiliki peran penting terhadap kelestarian lingkungan dalam kehidupan yang
dapat dimanfaatkan untuk budidaya kelapa sawit ;

3. Pemanfaatan lahan gambut untuk budidaya kelapa sawit dapat dilakukan dengan memperhatikan
karakteristik lahan gambut sehingga tidak menimbulkan kerusakan fungsi lingkungan. Dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 14/Permentan/PL.110/2/2009 Tahun 2009 tentang Pedoman

Pemanfaatan Lahan Gambut Untuk Budidaya Kelapa Sawit, lahan gambut yang dapat digunakan untuk budidaya kelapa sawit harus memenuhi kriteria: 1. Berada pada kawasan budidaya Kawasan budidaya dimaksud dapat berasal dari kawasan hutan yang telah dilepas dan/atau areal penggunaan lain (APL) untuk usaha budidaya kelapa sawit. 2. Ketebalan lapisan gambut kurang dari 3 (tiga) meter Lahan gambut yang dapat digunakan untuk budidaya kelapa sawit: 2.1 dalam bentuk hamparan yang mempunyai ketebalan gambut kurang dari 3 (tiga) meter; dan 2.2 proporsi lahan dengan ketebalan gambutnya kurang dari 3 (tiga) meter minimal 70% (tujuh puluh prosen) dari luas areal yang diusahakan. 3. Lapisan tanah mineral di bawah gambut Substratum menentukan kemampuan lahan gambut sebagai media tumbuh tanaman. Lapisan tersebut tidak boleh terdiri atas pasir kuarsa dan tanah sulfat masam. 4. Tingkat kematangan gambut Areal gambut yang boleh digunakan adalah gambut matang (saprik) dan gambut setengah matang (hemik) sedangkan gambut mentah dilarang untuk pengembangan budidaya kelapa sawit. 5. Tingkat kesuburan tanah Tingkat kesuburan tanah dalam kategori eutropik, yaitu tingkat kesuburan gambut dengan kandungan unsur hara makro dan mikro yang cukup untuk budidaya kelapa sawit sebagai pengaruh luapan air sungai dan/atau pasang surut air laut. (hukmas dj bun)

Gambut Tidak Boleh Dikonversi

Sekarang saya membuat aturan, berapa pun kedalaman gambut tetap tidak boleh dikonversi!

Seluruh lahan gambut yang tersisa tidak boleh diubah fungsinya sekalipun kedalamannya di bawah 3 meter. Ketentuan sebelumnya, kedalaman lahan gambut di bawah 3 meter boleh dikonversi untuk budidaya. Dulunya kedalaman gambut kurang dari 3 meter boleh dikonversi. Namun, sekarang saya membuat aturan, berapa pun kedalaman gambut tetap tidak boleh dikonversi, kata Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan kepada wartawan, Selasa (1/2), dalam acara Komunikasi Publik Riset Menjawab Tantangan Perubahan Iklim: Implementasi REDD+ di Indonesia. Zulkifli mengatakan, saat ini hanya tinggal tersisa 8 juta hektar lahan gambut.

Seluas 12 juta hektar sudah dikonversi untuk berbagai fungsi, termasuk perkebunan sawit. Permintaan para pengusaha untuk mengonversi lahan gambut dan wilayah hutan alam sekarang meningkat. Menurut Zulkifli, hal tersebut dipicu naiknya harga berbagai komoditas perkebunan, seperti sawit, kopi, dan cengkeh. (Kompas, 02/2/11). Jejaring sosial SHK-list (02/2/11) mengangkat berita ini, Dukung langkah tegas Menhut! Sekarang saya membuat aturan, berapa pun kedalaman gambut tetap tidak boleh dikonversi(inal), beberapa linkers mengomentari Menarik!. Tapi apakah Menhut melarang konversi atau sebenarnya melarang pemanfaatan/penggunaan. Kalau yangg kedua maka akan ada dampak pada masyarkat (adat) yg sudah sejak lama tinggal dan bermata pencaharian di daerah gambut (masyarakat gambut). Saya memahami kebijakan ini sebagai cara paling murah mengurangi emisi karbon utk Indonesia. Menyelamatkan gambut akan secara signifikan mengurangi emisi karbon kita tanpa harus mengurangi jumlah industri atau memperbaiki tekonologi industri kita atau mengubah tata kota (e.g.Jakarta) secara signifikan atau mengurangi pemakaian bahan bakar. Pendek kata emisi berkurang tanpa mengurangi volume ekonomi dg resiko sosial minimal. Tapi yg jadi korban adalah masyarakat gambut karena mungkin harus keluar dari wilayah kehidupannya atau setidaknya mengubah cara hidupnya. Jika yg dimaksud Menhut adalah melarang pemanfaatan/penggunaan apa pendapat teman2? (ade cahyat). Yoi Ade, kekhawatiran kita disitu, akan ada ribuan desa di rawa gambut akan tergusur kalau moratorium rawa gambut tidak tepat. Kemenhut harus tau betul mana kawasan hutan rawa gambut. Sepertinya kawasan hutan rawa gambut adalah rawa gambut yang memiliki kedalaman lebih 1 meter-3 meter, dibawah 1 meter sudah jadi APL di beberapa propinsi di Sumatera. (tJong). Sepakat dgn Bung Ade. Dukungan saya kepada Menhut, sesuai dengan maksud Bung Ade melarang konversi. Pernyataan tegas ini, satu2nya cara untuk memblokir pengusaha2 hutan memanfaatkan celah2 untuk terus mengkonversi lahan bahkan rawa gambut, lihat apa yg dilakukan PT.RAPP dan konco2nya PT. Sumatera Riang Lestari (SRL), PT. Sumatera Silva Lestari (SSL) dan PT. Lestari Unggul Makmur (LUM) di wilayah Provinsi Riau. (inal). Ada indikasi persoalan yang berat dihadapi untuk melakukan moratorium lahan gambut adalah menghentikan pembukaan lahan-lahan diluar pengaturan resmi. Hal yang sering berkaitan dengan proses yang berkaitan dengan hak-hak penguasaan lahan oleh masyarakat. Sebuah keadaan yang sebenarnya yang berkaitan langsung dengan hubungan antara pemanfaatan lahan gambut dengan pengurangan kemiskinan. Berdasarkan kondisi ini, diusulkan pemerintah daerah yang mempunyai lahan gambut diharapkan dapat menyusun strategi pembangunan yang memberi tempat pada inisiatif-inisiatif komunitas (masyarakat) untuk pengembangan kawasankawasan produktif secara bijaksana. Strategi pembangunan yang memberi tempat pada pengembangan inisiatif masyarakat yang didukung langsung oleh pemerintah. Dengan cara ini, teknologi untuk pemanfaatan lahan gambut juga dapat dikembangkan berbasis pada masyarakat. Selanjutnya, inisiatif-inisiatif tersebut secara kreatif dihubungkan dengan program-program pemerintah, dan aksi-aksi nyata dari lembaga-lembaga bukan pemerintah. Artinya, moratorium lahan gambut perlu dikemas menjadi salah satu kegiatan pembangunan yang direncanakan sejalan dengan pengurangan kemiskinan. (Semiloka Pemanfaatan Gambut Berkelanjutan untuk

Pengurangan Kemiskinan dan Percepatan Pembangunan Daerah. IPBInternational Convention Center, Bogor 28/10/10). Yang perlu diwaspadai adalah bujukan2 para pengusaha sawit untuk ikut2an mengatasnamakan demi kesejahteraan rakyat. (inal). Rancangan Instruksi Presiden (Rinpres) tentang Penundaan Pelayanan dan Penerbitan Izin Baru pada Hutan Primer dan Sekunder serta Lahan Gambut pada Kawasan Hutan dan Area Penggunaan Lain (APL), harus segera diterbitkan sebagai Inpres Moratorium, agar tidak terus dipengaruhi oleh para pengusaha HTI dan pertambangan yang malah berdalih Rinpres ini hanya pesanan asing. Rawa gambut adalah ruang hidup bagi orang rawa gambut. Aktivitas untuk keberlanjutan kehidupan orang rawa gambut bergantung kepada kelestarian dan ketersediaan sumber-sumber penghidupan di rawa gambut. Pengelolaan kawasan rawa gambut yang baik oleh semua pihak (pemerintah, masyarakat dan swasta) menjadi jaminan untuk tetap berlangsungnya kehidupan (sosial, ekonomi dan budaya) di rawa gambut. Adanya kebijakan Pemerintah tentang desentralisasi kehutanan, konversi hutan dan rawa gambut untuk perkebunan dan pertambangan, serta yang baru-baru ini tentang adanya moratorium (suspensi) rawa gambut berkenaan dan mitigasi perubahan iklim di sektor kehutanan yang dimulai di awal tahun 2011 tidak mungkin tidak akan memberikan pengaruh bagi keberlanjutan kehidupan orang rawa gambut. (KpSHK, 2011). Tantangan dan dampak pembangunan bagi ruang hidup orang rawa gambut tersebut dalam perspektif pembangunan berkelanjutan, keberimbangan informasi dan komunikasi dalam segala bidang kehidupan di rawa gambut menjadi kunci utama bagi semua pihak untuk mencari solusi yang terbaik bagi persoalan-persoalan yang muncul karena adanya perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembangunan di kawasan rawa gambut, termasuk kemungkinan-kemungkinan pelaksanaan REDD Plus di wilayah-wilayah kabupaten dan propinsi yang memiliki kawasan rawa gambut luas. (KpSHK, 2011). Riau, Jambi dan Sumatera Selatan adalah 3 propinsi yang memiliki kawasan rawa gambut luas di Sumatera dan ketiganya termasuk dalam 9 propinsi yang disiapkan untuk (PPPR) Provincial Pilot Project REDD (mitigasi perubahan iklim sektor kehutanan). Walau belum ada kepastian propinsi-propinsi rawa gambut Sumatera tersebut menjadi pilihan, namun pembangunan kawasan yang condong pada pembangunan wilayah berbasis mitigasi dan adaptasi perubahan iklim (khususnya sektor hutan dan rawa gambut), kesiapsiagaan partisipatif dari orang rawa gambut terhadap kecenderungan tersebut menjadi penting dan segera. Hal ini karena masih banyaknya persoalan-persoalan dasar ekonomi, sosial dan ekologi di kawasan rawa gambut yang belum tersentuh dalam skema pembangunan kawasan rawa gambut berbasis mitigasi dan adaptasi perubahan iklim oleh semua pihak terutama pemangku kepentingan perencanaan pembangunan. (KpSHK, 2011).

Anda mungkin juga menyukai