Anda di halaman 1dari 7

Mixed-Species Flocked: Fenomena Asosiasi Burung Tropis

Oleh : Arif Faisal

Seringkali mengamati

ketika di

birdwatching alam, kita

atau melihat

dapat dibedakan menurut tingkat kehadiran dan perannya dalam kelompok. Nuclear atau core species adalah jenis burung yang lebih sering diikuti anggota kelompok yang lain dan berperan sebagai observer (peninjau). Regular species adalah jenis burung yang bergabung dalam kelompok untuk jangka waktu yang lama dan konsisten mengikuti arah terbang nuclear species. Sedangkan occasional species merupakan jenis burung yang kadang terlihat dalam flocks atau secara kebetulan berasosiasi dengan flocks. Kebanyakan burung yang membentuk

burung

sekelompok burung yang bertengger atau terbang secara bersama-sama. Mereka bergerak bersama dari satu pohon ke pohon yang lain. Kalau mata dengan di tambah binokuler kita lebih jeli melihat dan memperhatikan, dalam kelompok burung tersebut kita akan menemukan beberapa jenis burung yang bergabung menjadi satu kumpulan. Dalam dunia perburungan, fenomena tersebut lazim (MSF). Mixed-species flocks (MSF) merupakan kumpulan beberapa jenis burung yang bergerak bersama untuk mencari makan. Asosiasi yang terjadi dapat bersifat sementara atau jangka panjang. Menurut Munn dan Terborgh (1979), MSF merupakan sistem sosial yang khas untuk menggambarkan kekayaan jenis burung di hutan tropis. Satu kelompok MSF dapat tersusun oleh 26 jenis burung, dengan total individu dapat mencapai 80 ekor burung di hutan tropis. Komposisi jenis penyusun MSF bersifat dinamis. Burung yang menjadi anggota MSF dapat berubah-ubah baik jumlah individu maupun jenis spesies. Karakteristik burung anggota MSF disebut sebagai mixed-species flocks

MSF adalah jenis pemakan serangga dan lebih banyak menghabiskan waktunya di kanopi hutan. Dengan berkelompok, mereka dapat mengurangi kemungkinan untuk di mangsa oleh predator. Menurut penelitian King dan Rappole di Myanmar pada tahun 2001, burung predator seperti Alapalap sering sekali kesulitan menangkap mangsa yang tergabung dalam MSF. Fenomena menarik adalah kehadiran

burung Srigunting (berukuran 26-33 cm) dalam kelompok MSF yang biasanya di dominasi burung berukuran kecil seperti Sepah, Sikatan, Gelatik batu atau Kacamata. Sifatnya yang parasit karena kebiasaannya mencuri makanan dapat ditolerir

anggota kelompok lain karena perannya dalam kelompok. Burung Srigunting lebih banyak

lain menyebutkan bahwa MSF lebih banyak terlihat saat ketersediaan pakan menurun di musim kemarau. Banyak penelitian yang menghubungkan MSF dengan fragmentasi habitat. Hal ini yang

bertengger di cabang pohon dan mengamati keadaan sekeliling untuk mencari serangga serta menjadi pengawas terhadap kehadiran raptor. Keuntungan lain dengan membentuk MSF adalah kesempatan lebih banyak memperoleh pakan. Ketika sendirian, burung harus

disebabkan

karena

spesies

burung

menyusun MSF rentan terhadap kerusakan hutan. Menurunnya luasan hutan, perubahan struktur vegetasi dan iklim mikro serta berkurangnya ketersediaan predator secara langsung dapat mempengaruhi MSF (Thiollay, 1992). Seiring dengan semakin berkurangnya hutan tropis di Asia tenggara, sangatlah penting untuk memberi perhatian lebih terhadap studi interaksi ekologi seperti MSF. Lebih jauh, karakter MSF potensial untuk digunakan sebagai indikator ekologis

mendongakkan kepalanya paling tidak 12 kali dalam satu menit untuk melihat keadaan ketika

sekeliling

ketika

makan,

sedangkan

bergabung dalam MSF burung tersebut hanya membutuhkan 3 kali mendongakkan kepalanya dalam waktu yang sama sehingga kesempatan untuk memperoleh makanan dan menghindari predasi lebih besar. Jadi, kapan waktu terbaik bagi para birdwatcher untuk mengamati MSF?. Di daerah tropis, MSF dapat diamati sepanjang tahun. Dalam skala harian, MSF lebih banyak ditemui di pagi hari ketika burung-burung memulai aktifitas mencari makan. Kelompok MSF lebih banyak terlihat pada saat musim tidak berbiak (post breeding). Menurut Hart & Fred (2003) di Hawai, jumlah kelompok MSF menurun drastis ketika musim anggota berbiak. Hal ini disebabkan diri karena untuk

kerusakan hutan (Maldonado-Coelho dan Marini, 2000, 2004). Sebagai orang yang hidup di negara dengan laju kerusakan hutan tinggi, tidak ada salahnya kalau kita mulai menelisik lebih jauh MSF ini dan menggunakannya sebagai tools atau alat untuk mengukur kelestarian hutan di sekitar kita. Bukankah lebih menyenangkan bisa

menyalurkan hobby birdwatching yang dibarengi dengan kepekaan terhadap kondisi hutan yang menjadi habitat bagi burung-burung di alam. Selamat menikmati MSF.

kelompok

memisahkan

menyiapkan teritori selama musim berbiak. Fakta

Penulis adalah Koordinator divisi Knowledge Management Yayasan Kutilang Indonesia

Catatan KIBC 20 April 2008 Wah.., Jogja Bird Walk (JBW) kali ini tidak seramai bulan lalu.. banyak yang gak bisa hadir, kami berangkat berlima-belas berangkat dari kutilang jam 7 pagi. Ya gak papa sih, mereka yang gak hadir karena ada agenda sendiri-sendiri, kebanyakan tentang pengamatan burung juga sih. Bionic ada agenda untuk pengamatan burung pantai, sedangkan KSB lagi sibuksibuknya penutupan Biofair dan KP3 juga susah karena praktikum pa apa gitu..its oke gak papa. KSSL yang ikut ada 5 orang, SMP 16 Yogyakarta juga sibuk kartinian, yang bisa ikut cuma 5 anak, sisanya dari UIN dan kutilang. Kami tiba di parkiran telaga putri jam 9 kurang, breafing sebentar lalu langsung berjalan naik ke arah bukit Ganduman disebelah timur Plawangan. Tidak banyak burung yang bisa kami lihat dengan jelas, karena jumlah kami yang besar dan anak-anak SMP yang cukup rame membuat burung-burung pada lari he.. Erlin anak SMP 16, tiba-tiba berkata, eh ada burung! dia lari kesana, (Lari emang maling? He, terbang kali ) sambil menunjuk ke arah pepohonan yang rapat di sebelah kiri jalur yang kami lewati. Kami mencari-cari tapi susah, kita malah hanya menemui seekor tupai yang melompat-lompat di dahan pohon rasamala. Perjalanan kami cukup rame ha-ha hi-hi aja, kayaknya JBW kali ini namanya JBW ceria aja deh. Kami mendengar banyak suara burung yang tidak dapat kami lihat, seperti Srigunting kelabu (Dicrurus leucophaeus), Pelanduk semak (Malacocincla sepiarium)dan jenis takur (Megalaima ) juga banyak suara-suara yang tidak dapat kami identifikasi. Cuaca saat itu tidak begitu bagus, agak berkabut dan mendung namun begitu kami semua sempat melihat Betet biasa (Psittacula alexandri) sedang bertengger di pucuk tunas daun rotan. Jarak pandang yang jauh dan terlihat siluet membuat kami kesulitan mengamati detail warnanya. Namun demikian, kami dapat mengidentifikasi dari bentuk tubuh dan kepalanya juga ekornya yang terlihat panjang dan runcing. Perjalanan kami tiba pada satu tanjakan yang terjal, tapi asik he, melewati jalur yang jarang dilalui oleh orang, vegetasinya rapat sehingga udara terasa sangat menyegarkan. Anak-anak SMP mendakinya dengan ketawa-ketiwi, kelihatan mereka sangat menikmati perjalanan itu. Setelah mendaki kami beristirahat, sedikit minum dan makan-makan bekal yang kami bawa. Setelah cukup puas dengan waktu istirahat tersebut, kami melanjutkan perjalanan. Kami beristirahat dua kali dan ditempat peristirahatan yang kedua kami bisa melihat Betet biasa dengan jelas, dia bertengger diatas ranting pohon yang meranggas. Paruhnya yang berwarna merah terlihat sangat jelas melalui lensa binokuler, dadanya yang merah juga terlihat karena itu dia dinamai Redbreasted Parakeet. Kepala abu-abu, pola warna hitam tebal didaerah dagu dan leher, lalu sayap dan ekor berwarna hijau, hiburan yang cukup menarik. Setelah sekian lama berjalan, mendaki dan berlelah-ria akhirnya kami tiba di bukit Ganduman jam 11 siang. Bukit tersebut merupakan site yang paling enak untuk dapat melihat Elang Jawa (Spizaetus bartelsi). Kamipun melihat seekor Raptor endemik jawa ini sedang bertengger di ranting pohon yang ada di lereng timur Plawangan. Dia diam tak bergerak karena (mungkin) takut dengan Elang hitam (Ictinaetus malayensis) yang se-dari tadi mengekspansi daerah jelajahnya (mungkin teritorinya-red) berputar-putar diatasnya. Elang Jawa yang njawani he, dia akan sungkan untuk muncul ketika elang-elang lain berada di daerahnya, setidaknya itu yang sering terjadi dan kami amati disini. Asumsi

yang sering muncul adalah bahwa di daerah sini Elang Jawa sudah kalah bersaing dengan Elang hitam dan Elang ularbido (Spilornis cheela). Kami cukup lama dan puas mengamati elang berjambul ini, elang berwarna coklat yang juga merupakan situs hidup lambang negara kita. Jambulnya yang panjang berwarna coklat tua kehitaman rupanya tidak mencerminkan keberaniannya, dia merelakan daerahnya diekspansi oleh Elang hitam dan elang ular-bido. Bahkan kami mengamati ketika 4 ekor terbang soaring di situ sambil terus-menerus mengeluarkan suara dia hanya diam saja. Semoga negara kita yang memilih Elang Jawa sebagai lambang negara tidak menjadi bangsa penakut he.. Setelah 4 elang ular-bido mulai menyingkir, muncul Sikep madu-asia (Pernis ptilorhynchus), walaupun jarak cukup jauh kami dapat mengidentifikasinya dari bentuk sayap, kepala dan ekornya. Rentangan sayap mendatar dan ekor yang membundar seperti kipas lalu gerakan perputaran samping ekor yang karakteristik juga kepala yang terkesan kecil (runcing) proporsional dengan badan dan sayapnya. Satu jam berlalu tak terasa, dan akhirnya kami memutuskan untuk turun kembali ke Jogja. Matur tengkyu. BB Setyawan Kutilang Indonesia Birdwatching Club (KIBC) Mengajak peduli lingkungan dengan mencintai burung di alam

Nama Ilmiah Abroscopus superciliaris Accipiter gularis Accipiter soloensis Acridoteres javanicus Aegithina tiphia Aethopyga mystacalis Aethopyga siparaja Aetophygia eximia Alcippe brunneicauda Alcippe pyrrhoptera Alophoixus bres Anthreptes malacensis Aplonis panayensis Aplonis minor Apus affinis Apus pasificus Arachnothera longirostra Arborophila Javanica Artamus leucorynchus Brachypteryx leucophrys Cacomantis merulinus Cacomantis sepulchralis Cacomantis sonneratii Centropus sinensis

Nama Indonesia Cikrak Bambu Elang-alap Nipon Elang-alap Cina Kerak kerbau Cipoh kacat burung Madu Jawa Burung madu sepahraja Burung Madu gunung Wergan coklat Wergan Jawa Empuloh Janggut Burung madu Kelapa Perling Kumbang Perling kecil Kapinis rumah Kapinis Laut Pijantung kecil Puyuh gonggong Jawa Kekep Babi Cingcoang Coklat Wiwik kelabu Wiwik Uncuing Wiwik Lurik Bubut Besar

Cettia vulcania Chalcophaps indica Chloropsis cochinchinensis nigricollis Chloropsis soneratii Chrysococcyx basalis Cochoa azurea Collocalia fuciphaga Collocalia linchi Collocalia volcanorum Copsycus malabaricus Copsycus saularis Coracina Javensis Coracina larvata Corvus enca Corvus macrorhinchos Cuculus saturatus Cyanoptila cyanomelana Cyornis unicolor Dendrocopus macei Dicaecum maugei Dicaecum trochileum Dicaeum agile Dicaeum concolor Dicaeum sanguinoletum Dicaeum trigonostigma

Ceret Gunung Delimukan Zambrut Cica daun sayap biru

Cica daun besar Kedasi australia Ciung mungkal Jawa Walet sarang putih Walet linchi Walet gunung Kucica Hutan Kucica kampung Kepudang sungu Jawa Kepudang sungu gunung Gagak Hutan Gagak Kampung Kangkok Ranting Sikatan biru putih Sikatan Biru Muda Caladi Ulam Cabe Lombok Cabe Jawa Cabe gesit Cabai Polos Cabe gunung Cabe bunga api

Dicrurus anectans Passer montanus Srigunting gagak Burung Gereja Erasia Dicrurus leucophaeus Pellorneum capistratum Pelanduk Topi hitam Srigunting kelabu Dicrurus macrocercus Pericrocotus Srigunting hitam Sepah kecil cinnamomeus Dicrurus paradiceus Srigunting batu Pericrocotus flameus Sepah hutan Enicurus leschenaulti Meninting besar Pericrocotus miniatus Sepah gunung Enicurus velatus Meninting kecil Pernis Ptylorhincus Sikep madu asia Erithacus cyane Berkecet biru Phylloscopus borealis Cikrak Kutub Erythrura prasina Bondol hijau binglis Phylloscopus coronatus Cikrak Mahkota Eumyias indigo Sikatan ninon Phylloscopus trivirgatus Cikrak Daun Eurystomus orientalis Tiong lampu biasa Pnoepyga pussila Berencet kerdil Falco mollucensis Alap-alap sapi Pomatorhinus Cica Kopi Melayu Falco severus Alap-alap macan montanus Falco subbuteo Alap-alap walet Prinia familiaris Perenjak jawa Ficedula hyperythra Sikatan Bodoh Prinia inornata Perenjak padi Ficedula westermanni Sikatan Belang Prinia polychroa Perenjak Coklat Gallus varius Ayam hutan hijau Prionochilus percussus Pentis pelangi Garrulax rufifrons Poksai kuda Psittacula alexandri Betet biasa Halcyon cyanoventris Cekakak Jawa Pteruthius flaviscapis Ciu besar Hirundapus caudacutus Kapinis Jarum Asia Ptilinopus melanospila Walik kembang Hirundo rustica Layang-layang api Ptilinopus porphyreus Walik Kepala Ungu Hypothymis azurea Kehicap Ranting Pycnonotus Cucak Gunung Ictinaetus malayensis Elang hitam bimaculatus Iole virescens Brinji gunung Pycnonotus symplex Merbah corok-corok Lalage nigra Kapasan kemiri Pygninotus plumosus Merbah Belukar Lanius cristatus Bentet coklat Pygnonotus aurigaster Cucak Kutilang Lanius schach Bentet Kelabu Pygnonoyus goavier Mermah cerukcuk Lonchura Bondol Jawa Rhapidhura Kapinis Jarum kecil leucogastroides leucopygialis Lonchura maja Bondol Haji Rhinomyias olivacea Sikatan rimba dada Lonchura punculata Bondol peking coklat Lophozosterops Opior Jawa Rhipidura euryura Kipasan Bukit javanicus Rhipidura javanica Kipasan Belang Loriculus pusillus Serindit Jawa Rhipidura phoenicura Kipasan Ekor Merah Macropygia emeliana Uncal Buau Saxicola caprata Decu Belang Macropygia ruficeps Uncal Kouran Seisercus grammiceps Cikrak muda Malacocincla sepiarium Pelanduk semak Sitta azurea Munguk Loreng Megalaima armillaris Takur Sitta frontalis Munguk Beledu Megalaima corvina Takur Bututut Spilornis cheela Elang ular Bido Megalaima javensis Takur Tulungtumpuk Spizaetus bartelsi Elang Jawa Megalaima lineata Takur Bultok Spizaetus cirrhatus Elang Brontok Megalurus palustris Cica Koreng Jawa Stachyris grammiceps Tepus dada putih Motacilla flava Kicuit Kerbau Stachyris melanothorax Tepus pipi perak Muscicapa sibirica Sikatan Streptopelia chinensis Tekukur biasa Myiophoneus glaucinus Ciung Batu Kecil Sturnus contra Jalak suren Napothera epilepidota Berencet berkening Surniculus lugubris Kedasi Hitam Nectarinia jugularis Burung madu Sriganti Tephrodornis gularis Jingjing Petulak Oriolus chinensis Kepudang kuduk hitam Tesia superciliaris Tesia Jawa Oriolus xanthonotus Kepudang hutan Todirhamphus chloris Cekakak Sungai Orthotomus cuculatus Cinenen gunung Treron grissicauda Punai Penganten Orthotomus ruficeps Cinenen Kelabu Turnix sylvatica Gemak Tegalan Orthotomus sepium Cinenen Jawa Zoothera citrina Anis merah Orthotomus sutoris Cinenen pisang Zosterops montanus Kacamata gunung Pachycephala Kancilan Emas Zosterops palpebrosus Kacamata Biasa pectoralis Parus major Gelatik batu kelabu Keterangan jumlah di Merapi 150 Jenis. Di olah oleh BB Setyawan KIBC dari data pengamatan Yayasan Kutilang Indonesia

Pengamatan Burung di alam bebas.......


Mengidentifikasi, memperhatikan perilaku, dan mencatat tipe habitat burung adalah bagian dari kegiatan pengamatan burung atau yang lebih dikenal sebagai birdwatching. Pengamatan burung tidaklah harus di hutan, tapi bisa dilakukan mulai dari tepi pantai, gurun pasir, perkotaan, kebun, pemukiman, halaman rumah, rawa, danau, telaga, sawah, hingga ke kaki gunung. Dari hasil catatan para hobiis pengamat burung (birdwatcher) inilah, banyak peneliti menjadikannya sebagai dasar penelitian pada bidang ornithology dan dituangkan dalam bentuk tulisan ilmiah. Coba saja jika anda mencatat adanya koloni bersarang burung Gereja erasia (Passer montanus) didekat rumah, bisa menjadi topik yang menarik. Apalagi jika informasi yang diberikan lebih detail lagi, bisa jadi tema penelitian baru. Seperti apakah sang burung sedang bersarang, perilaku kawin, jenis materi sarang, jenis predatornya, dsb. sunda besar (sumatera, jawa, kalimantan dan bali), panduannya menggunakan buku yang disusun John Mackinnon dkk, terbitan tahun 2000. Jika mengamati di alam, selain membutuhkan buku panduan lapangan, sebaiknya juga menggunakan alat bantu optik, yaitu binokuler dan monokuler beserta tripotnya. Alat-alat optik tersebut akan sangat membantu kita dalam mengamati detail burung, sehingga ciri-ciri khas dari seekor burung dapat terlihat jelas. Kamera dengan lensa tele juga akan sangat berguna bagi yang ingin mendokumentasikan burung kalau suka fotografi. Nah, biasanya birdwatcher menyukai tantangan yang lebih, keinginan untuk mengetahui keanekaragaman jenis-jenis burung yang lain semakin besar. Sehingga kita bisa berekspansi ke lokasi-lokasi lainnya. Yang paling disukai biasanya adalah ke hutan, dimana sebagian besar burung memang bertempat tinggal disana, baik bersarang, berlindung, mencari makan dan beristirahat atau hanya melintas. Di wilayah Yogyakarta, hutan di Taman Nasional Merapi-Merbabu lereng selatan masih menjadi lokasi favorit untuk pengamatan burung, dengan jumlah total sekitar 150 jenis. Beda dengan dengan pengamatan di hutan Mangunan, Bantul, yang hanya ditemukan 14 jenis dalam sehari pengamatan. Padahal kondisi hutan di wilayah ini masih tergolong baik tetapi sulit sekali menemukan burung berkeliaran di kawasan ini, mungkin ada ketidakseimbangan pada habitatnya. Kalau ingin mendapatkan jenis-jenis tertentu yang bukan di hutan bisa juga pergi keperkotaan. Sebagai contoh, burung gelatik jawa (Padda oryzivora) yang menurut cerita petani seringkali datang ke sawah saat panen tiba, kini tidak lagi terlihat. Tetapi dari pengamatan YKI sejak tahun 2006, burung berstatus vulnerable di IUCN itu terlihat berkembang biak di atap hotel melia purosani, tepat di tengah-tengah kota Jogjakarta. Lalu ada koloni cangak abu (Ardea cinerea) dan kowak malam kelabu (Nyticorax

Gambar : burung di sekitar kita (dok. Agus, YKI)

Proses pengamatan dimulai dengan mengidentifikasi jenis burung, bisa dimulai dari lingkungan sekitar kita biasa beraktifitas. Mengidentifikasi sendiri sudah cukup mengasyikan, karena kita dituntut untuk memperhatikan detail dari bentuk maupun warna si burung, yang kemudian kita cocokkan dengan buku panduan lapangan. Untuk berlatih megidentifikasi, saya disarankan anda untuk pergi ke pasar burung terdekat, lalu bandingkanlah burung yang ada dengan gambar di buku panduan. Pasar Ngasem bisa menjadi lokasi belajar mengidentifikasi burung-burung kawasan

nyticorax) di kawasan arboretum kampus Universitas Gadjah Mada (UGM). Kemudian ada juga raja udang meninting (Alcedo meninting) yang asik menukik saat menangkap ikan di danau lembah UGM. Tentu saja untuk bisa mengetahui hal-hal itu diperlukan kejelian, ketelitian dan kesabaran dalam pengamatan, apa lagi di tengah kota. Beberapa lokasi pengamatan burung yang lain di seputaran Jogja ada di muara sungai progo (pantai trisik), rawa pagak (purworejo), dan rawa jombor (klaten), banyak jenis burung-burung pantai dan burung air yang ditemukan di kawasan ini. Kawasan hutan wanagama (gunung kidul), dan cagar alam sermo (kulon progo) juga asyik untuk perngamatan burung. Dari data YKI, jumlah spesies burung yang ada di wilayah DIY dan sekitarnya diketahui sebanyak 270 jenis. Yang berarti 16 % dari sebanyak 1598 jenis yang ada di Indonesia. Sebagai tambahan informasi Indonesia memiliki 17 % dari jumlah spesies burung diseluruh dunia. Dimana 372 diantaranya hanya ada di wilayah Indonesia (endemik). Hal ini menjadikan indonesia merupakan wilayah terpenting kedua di dunia setelah Brasil dengan hutan amazonnya yang memiliki jumlah jenis burung terbanyak di dunia.

Gambar: Pengamatan burung (Dok. Agus, YKI)

Mengingat hal tersebut sangat disayangkan jika penduduk Indonesia terus menjadikan burung sebagai alat kenikmatan sesaat, dengan mengkonsumsi dan menjadikannya sebagai hewan peliharaan. Sedangkan fungsi lain dari burung tidak (belum) dimaksimalkan, contohnya sebagai penghias taman-taman kota dan kawasan wisata. Dan langkah pertama untuk memulainya, dengan menjadi pengamat burung. Selamat birdwatching. (Oka Dwi Prihatmoko)

Profile Lembaga
Yayasan Kutilang Indonesia adalah lembaga non profit yang bergerak di bidang konservasi burung dan habitatnya. Visi kami adalah Kelestarian Satwa Burung dan Kesejahteraan Masyarakat. Misi kami adalah mengembangkan inovasi konservasi satwa burung dan keanekaragaman hayati Indonesia berbasiskan riset, best practices serta peningkatan partisipasi dan kemandirian masyarakat. Yayasan Kutilang Indonesia menerima keanggotaan dan membutuhkan dukungan dari masyarakat yang peduli terhadap lingkungan dan bersepakat dengan visi dan misi kami untuk melestarikan burung dan habitatnya bagi kesejahteraan umat manusia. Jika anda berminat bergabunglah dengan kami....

Redaksi Buletin Kabar Burung Online diterbitkan oleh divisi Informasi, Outreach dan Membership Yayasan Kutilang Indonesia. Penanggung Jawab: Ketua Yayasan Kutilang Indonesia. Tim Redaksi: Wawan, Arif, Naring, Oka. Foto: Swiss, Imam Bionic, Adhy M, Naring, Wawan KIBC. Gambar : Agus Pri. Alamat Redaksi : Jl. Tegal Melati, No. 64 A, Jongkang, Sleman. Telp/fax: (0274)865569. Email: kutilangindonesia@yahoo.com atau kabarburung@yahoo.com . Redaksi Kabar Burung Online menerima tulisan, foto untuk diterbitkan dan kami menerima kritik dan saran untuk perbaikan media Kabar Burung ke depan

Anda mungkin juga menyukai