Anda di halaman 1dari 5

Pendahuluan Osteoporosis dapat dijumpai tersebar di seluruh dunia dan sampai saat ini masih merupakan masalah dalam

kesehatan masyarakat terutama di negara berkembang. Di Amerika Serikat osteoporosis menyerang 20-25 juta penduduk, 1 diantara 2-3 wanita post-menopause dan lebih dari 50% penduduk di atas umur 75-80 tahun. Masyarakat atau populasi osteoporosis yang rentan terhadap fraktur adalah populasi lanjut usia yang terdapat pada kelompok di atas usia 85 tahun, terutama terdapat pada kelompok lansia tanpa suatu tindakan pencegahan terhadap osteoporosis. Proses terjadinya osteoporosis sudah di mulai sejak usia 40 tahun dan pada wanita proses ini akan semakin cepat pada masa menopause. Sekitar 80% persen penderita penyakit osteoporosis adalah wanita, termasuk wanita muda yang mengalami penghentian siklus menstruasi (amenorrhea). Hilangnya hormon estrogen setelah menopause meningkatkan risiko terkena osteoporosis. Penyakit osteoporosis yang kerap disebut penyakit keropos tulang ini ternyata menyerang wanita sejak masih muda. Tidak dapat dipungkiri penyakit osteoporosis pada wanita ini dipengaruhi oleh hormon estrogen. Namun, karena gejala baru muncul setelah usia 50 tahun, penyakit osteoporosis tidak mudah dideteksi secara dini. Meskipun penyakit osteoporosis lebih banyak menyerang wanita, pria tetap memiliki risiko terkena penyakit osteoporosis. Sama seperti pada wanita, penyakit osteoporosis pada pria juga dipengaruhi estrogen. Bedanya, laki-laki tidak mengalami menopause, sehingga osteoporosis datang lebih lambat. Jumlah usia lanjut di Indonesia diperkirakan akan naik 414 persen dalam kurun waktu 1990-2025, sedangkan perempuan menopause yang tahun 2000 diperhitungkan 15,5 juta akan naik menjadi 24 juta pada tahun 2015.. Definisi Osteoporosis Osteoporosis adalah penyakit metabolisme tulang yang cirinya adalah pengurangan massa tulang dan kemunduran mikroarsitektur tulang sehingga meningkatkan risiko fraktur oleh karena fragilitas tulang meningkat. Osteoporosis adalah berkurangnya kepadatan tulang yang progresif, sehingga tulang menjadi rapuh dan mudah patah. Osteoporosis adalah kelainan di mana terjadi penurunan massa tulang total. Terdapat perubahan pergantian tulang homeostasis normal, kecepatan resorpsi tulang lebih besar dari kecepatan pembentukan tulang, pengakibatkan penurunan masa tulang total. Tulang terdiri dari mineral-mineral seperti kalsium dan fosfat, sehingga tulang menjadi keras dan padat. Untuk mempertahankan kepadatan tulang, tubuh memerlukan persediaan kalsium dan mineral lainnya yang memadai, dan harus menghasilkan hormon dalam jumlah yang mencukupi(hormon paratiroid, hormon pertumbuhan, kalsitonin, estrogen pada wanita dan testosterone pada pria). Juga persediaan Vitamin D yang adekuat, yang diperlukan untuk menyerap kalsium dari makanan dan memasukan ke dalam tulang. Secara progresif, tulang meningkatkan kepadatan sampai kepadatan maksimal (sekitar usia 30 tahun). Setelah itu kepadatan tulang akan berkurang secara perlahan. Jika tubuh tidak mampu mengatur kandungan mineral dalam tulang, maka tulang menjadi kurang padat dan lebih rapuh, sehingga terjadilah osteoporosis. 2. Etiologi Osteoporosis Faktor-faktor yang mempengaruhi pengurangan massa tulang pada usia lanjut:

1. Determinan Massa Tulang 2. Faktor genetik Perbedaan genetik mempunyai pengaruh terhadap derajat kepadatan tulang. Beberapa orang mempunyai tulang yang cukup besar dan yang lain kecil. Sebagai contoh, orang kulit hitam pada umumnya mempunyai struktur tulang lebih kuat/berat dari pacia bangsa Kaukasia. Jacii seseorang yang mempunyai tulang kuat (terutama kulit Hitam Amerika), relatif imun terhadap fraktur karena osteoporosis 3. Faktor mekanis Beban mekanis berpengaruh terhadap massa tulang di samping faktor genetk. Bertambahnya beban akan menambah massa tulang dan berkurangnya beban akan mengakibatkan berkurangnya massa tulang. Dengan perkataan lain dapat disebutkan bahwa ada hubungan langsung dan nyata antara massa otot dan massa tulang. Kedua hal tersebut menunjukkan respons terhadap kerja mekanik Beban mekanik yang berat akan mengakibatkan massa otot besar dan juga massa tulang yang besar. Sebagai contoh adalah pemain tenis atau pengayuh becak, akan dijumpai adanya hipertrofi baik pada otot maupun tulangnya terutama pada lengan atau tungkainya; sebaliknya atrofi baik pada otot maupun tulangnya akan di jumpai pada pasien yang harus istrahat di tempat tidur dalam waktu yang lama, poliomielitis atau pada penerbangan luar angkasa. Walaupun demikian belum diketahui dengan pasti berapa besar beban mekanis yang diperlukan dan berapa lama untuk meningkatkan massa tulang di sampihg faktor genetik 4. Faktor makanan dan hormon Pada seseorang dengan pertumbuhan hormon dengan nutrisi yang cukup (protein dan mineral), pertumbuhan tulang akan mencapai maksimal sesuai dengan pengaruh genetik yang bersangkutan. Pemberian makanan yang berlebih (misainya kalsium) di atas kebutuhan maksimal selama masa pertumbuhan, disangsikan dapat menghasilkan massa tulang yang melebihi kemampuan pertumbuhan tulang yang bersangkutan sesuai dengan kemampuan genetiknya. o Determinan penurunan Massa Tulang i Faktor genetik Faktor genetik berpengaruh terhadap risiko terjadinya fraktur. Pada seseorang dengan tulang yang kecil akan lebih mudah mendapat risiko fraktur dari pada seseorang dengan tulang yang besar. Sampai saat ini tidak ada ukuran universal yang dapat dipakai sebagai ukuran tulang normal. Setiap individu mempunyai ketentuan normal sesuai dengan sitat genetiknya serta beban mekanis den besar badannya. Apabila individu dengan tulang yang besar, kemudian terjadi proses penurunan massa tulang (osteoporosis) sehubungan dengan lanjutnya usia, maka individu tersebut relatif masih mempunyai tulang tobih banyak dari pada individu yang mempunyai tulang kecil pada usia yang sama. i Faktor mekanis Di lain pihak, faktor mekanis mungkin merupakan faktor yang terpenting dalarn proses penurunan massa tulang schubungan dengan lanjutnya usia. Walaupun demikian telah terbukti bahwa ada interaksi panting antara faktor mekanis dengan faktor nutrisi hormonal. Pada umumnya aktivitas fisis akan menurun dengan bertambahnya usia; dan karena massa tulang merupakan fungsi beban mekanis, massa tulang tersebut pasti akan menurun dengan bertambahnya usia.

i Kalsium Faktor makanan ternyata memegang peranan penting dalam proses penurunan massa tulang sehubungan dengan bertambahnya Lisia, terutama pada wanita post menopause. Kalsium, merupakan nutrisi yang sangat penting. Wanita-wanita pada masa peri menopause, dengan masukan kalsiumnya rendah dan absorbsinya tidak bak, akan mengakibatkan keseimbangan kalsiumnya menjadi negatif, sedang mereka yang masukan kalsiumnya baik dan absorbsinya juga baik, menunjukkan keseimbangan kalsium positif. Dari keadaan ini jelas, bahwa pada wanita masa menopause ada hubungan yang erat antara masukan kalsium dengan keseimbangan kalsium dalam tubuhnya. Pada wanita dalam masa menopause keseimbangan kalsiumnya akan terganggu akibat masukan serta absorbsinya kurang serta eksresi melalui urin yang bertambah. Hasil akhir kekurangan/kehilangan estrogen pada masa menopause adalah pergeseran keseimbangan kalsium yang negatif, sejumiah 25 mg kalsium sehari. i Protein Protein juga merupakan faktor yang penting dalam mempengaruhi penurunan massa tulang. Makanan yang kaya protein akan mengakibatkan ekskresi asam amino yang mengandung sulfat melalui urin, hal ini akan meningkatkan ekskresi kalsium. Pada umumnya protein tidak dimakan secara tersendiri, tetapi bersama makanan lain. Apabila makanan tersebut mengandung fosfor, maka fosfor tersebut akan mengurangi ekskresi kalsium melalui urin. Sayangnya fosfor tersebut akan mengubah pengeluaran kalsium melalui tinja. Hasil akhir dari makanan yang mengandung protein berlebihan akan mengakibatkan kecenderungan untuk terjadi keseimbangan kalsium yang negatif i Estrogen. Berkurangnya/hilangnya estrogen dari dalam tubuh akan mengakibatkan terjadinya gangguan keseimbangan kalsium. Hal ini disebabkan oleh karena menurunnya eflsiensi absorbsi kalsium dari makanan dan juga menurunnya konservasi kalsium di ginjal. i Rokok dan kopi Merokok dan minum kopi dalam jumlah banyak cenderung akan mengakibatkan penurunan massa tulang, dan bila disertai masukan kalsium yang rendah. Mekanisme pengaruh merokok terhadap penurunan massa tulang tidak diketahui, akan tetapi kafein dapat memperbanyak ekskresi kalsium melalui urin maupun tinja. i Alkohol Alkoholisme akhir-akhir ini merupakan masalah yang sering ditemukan. Individu dengan alkoholisme mempunyai kecenderungan masukan kalsium rendah, disertai dengan ekskresi lewat urin yang meningkat. Mekanisme yang jelas belum diketahui dengan pasti. Klasifikasi Osteoporosis Di klasifikasi osteoporosis dari penderita. Osteoporosis dibagi 2 , yaitu : Osteoporosis primer Osteoporosis primer berhubungan dengan kelainan pada tulang, yang menyebabkan peningkatan proses resorpsi di tulang trabekula sehingga meningkatkan resiko fraktur vertebra dan Colles. Pada usia dekade awal pasca menopause, wanita lebih sering terkena daripada pria dengan

perbandingan 6-8: 1 pada usia rata-rata 53-57 tahun. Osteoporosis sekunder Osteoporosis sekunder disebabkan oleh penyakit atau sebab lain di luar tulang. Osteoporosis idiopatik Osteoporosis idiopatik terjadi pada laki-laki yang lebih muda dan pemuda pra menopause dengan faktor etiologik yang tidak diketahui.

PENDAHULUAN Osteoporosis (ICD-9CM) merupakan penyakit metabolisme tulang yang ditandai pengurangan massa tulang, kemunduran mikroarsitektur tulang dan fragilitas tulang yang meningkat, sehingga resiko fraktur menjadi lebih besar.1-4 Insiden osteoporosis meningkat sejalan dengan meningkatnya populasi usia lanjut.3 Menurut data statistik National Osteoporosis Foundation, lebih dari 44 juta orang Amerika mengalami osteopenia dan osteoporosis. Di wanita usia 50 tahun, terdapat 30% osteoporosis, 3754% osteopenia, dan 54% beresiko terhadap fraktur osteoporotik.1 Penelitian oleh Darmawan di Semarang5 mendapatkan prevalensi osteoporosis di wanita 14,7%. Angka kejadian osteoporosis yang dilaporkan oleh Roeshadi6 adalah 26% dan terbanyak di kelompok usia 4565 tahun. Pada penelitian oleh Faridin7 diperoleh angka prevalensi osteoporosis di laki-laki 23,3% dan di wanita 32%. Proses ulang model semula (remodelling) merupakan proses mengganti tulang yang sudah tua atau rusak, diawali dengan resorpsi atau penyerapan tulang oleh osteoklas dan diikuti oleh formasi atau pembentukan tulang oleh osteoblas. Keseimbangan proses ini mulai terganggu setelah mencapai umur 40 tahun yaitu kegiatan proses penyerapan lebih tinggi daripada pembentukan, sehingga massa tulang akan mulai menurun. Proses ini akan berlangsung terus, sehingga lama-kelamaan tulang mengalami gangguan metabolisme mineral dan arsitektur tulang yang pada akhirnya akan timbul osteopenia dan kemudian osteoporosis.8 Klasifikasi osteoporosis menurut WHO berdasarkan kepadatan massa tulang atau bone mass density (BMD) dengan menggunakan T-score (angka standar deviasi (SD) di bawah nilai rerata kepadatan massa tulang di orang dewasa muda). Apabila T-score lebih dari -1 dikategorikan normal, antara -1 sampai -2,5 disebut osteopenia, dan kurang dari -2,5 disebut osteoporosis.5,9 Diagnosis osteoporosis dapat dilakukan dengan cara anamnesis, pemeriksaan fisik, dan

pemeriksaan penunjang.2 Pada saat ini bakuan emas untuk diagnosis osteoporosis diperoleh dengan menggunakan teknik Dual Energy X-ray Absorpsiometry (DXA) yang mengukur kepadatan tulang sentral. Kelangkaan dan mahalnya DXA untuk sementara dapat digantikan dengan Alat Ultrasound Densitometry atau Quantitative Ultrasound (QUS) yang harganya lebih murah, mudah dipindahkan, dan tidak terdapat efek radiasi, cara kerjanya cepat dan

L. Raisz, J. Bilezikian, and T. Martin, "Pathophysiology of Osteoporosis," in Principles of Bone Biology (Third Edition). vol. 2, ed: Elsevier, 2008, pp. 1635-1647. T. Martin and G. Rodan, "Coupling of Bone Resorption and Formation during Bone Remodeling," in Osteoporosis (Second Edition), ed, 2001, pp. 361-371.

National Osteoporosis Foundation. Clinician's guide to prevention and treatment of osteoporosis. Washington DC, 2008. Ferri, FF., Osteoporosis in Ferris Clinical Advisor Instant Diagnosis and Treatment. Philadelphia, Mosby, 2004, 6156. 3. Kaniawati, M., Moeliandari, F., Penanda Biokimia untuk Osteoporosis. Forum Diagnosticum Prodia Diagnostics Educational Services. No 1, 2003, 118. 4. Purwanto, Pemeriksaan Laboratorium pada Osteoporosis.Media Laboratoria. Penerbit Ikatan Laboratorium Kesehatan Indonesia. Edisi Agustus 2004, 814. 5. Darmawan, J., Miscellanous Condition: Osteoporosis. In Rheumatic Condition in The Northern Part of Central Java. An Epidemiological Survey, Semarang, 1989, 1738. Thesis. 6. Roeshadi, D., Osteoporosis Ditinjau dari Segi Aktifitas Seluler, dalam Naskah Lengkap Simposium Osteoporosis Up-Date. Denpasar, Bali, 7 Nopember 1994, 113. 7. Faridin, Prevalensi dan Beberapa Faktor Resiko Osteoporosis di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar, Makassar, 2001,13. Thesis. 8. Sambo, AP., Patogenesis Osteoporosis. Kursus dan Pelatihan Metabolisme Kalsium dan Osteoporosis. Perhimpunan Osteoporosis Indonesia (PEROSI), Makassar, 2002, 1624. 9. Adam, JMF., Diagnosis Osteoporosis. Kursus dan Pelatihan Metabolisme Kalsium dan Osteoporosis. Perhimpunan Osteoporosis Indonesia (PEROSI), Makassar, 2002, 2631.

Anda mungkin juga menyukai