Anda di halaman 1dari 2

Antara Konservasi In Situ dan Eks Situ

Jumat, 28 Agustus 2009

Program pelestarian satwa-satwa liar Indonesia diawali dengan menginventarisasi dan memonitor potensi yang mencakup distribusi satwa di alam, habitat, pakan, dan ekosistem satwa-satwa itu. Harimau sumatra (Panthera tigris sumatrae), misalnya, yang terseb ar di hampir seluruh Sumatra, kini populasinya diperkirakan tinggal 400 ekor karena adanya fragmentasi habitat dan perubahan tata guna lahan. Akibatnya, dewasa ini, potensi konflik antara harimau dan manusia di Pulau Sumatra semakin besar. Salah satu konflik yang pernah ditangani PHKA adalah konflik antara manusia dan harimau di Aceh. Untuk mengantisipasi jatuhnya korban di kedua belah pihak, dilakukan translokasi harimau dari hutan di Aceh ke Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Lampung. Sebelum harimau dilepaskan, dilakukan kajian terlebih dahulu tentang wilayah distribusinya, ketersediaan pakan, habitat, dan kemungkinan terulangnya lagi konflik. Upaya translokasi tersebut juga merupakan upaya konservasi in situ (di habitatnya), terang Direktur Ditjen PHKA Dephut Harry Santoso. Selain harimau, satwa yang sering berkonflik dengan manusia adalah gajah, salah satunya dari jenis gajah sumatra (Elephas maximus). Populasi gajah sumatra tersebar di beberapa blok hutan di Sumatra, seperti Aceh, Riau, Bengkulu, dan Lampung. Menurut konsultan gajah dari lembaga swadaya masyarakat WWF, Elisabet Purastuti, konflik gajah di Sumatra ditengarai karena daerah jelalah gajah menyempit akibat adanya alih fungsi hutan menjadi perkebunan dan permukiman penduduk. Di wilayah Lampung, misalnya, sebelumnya teridentifikasi 12 kantong (daerah jelajah gajah), kini tinggal tiga kantong saja. Akibatnya, area pencarian makanan gajah semakin menyusut. Gajah pun akhirnya memasuki wilayah penduduk, terutama perkebunan sawit dan sawah yang ditanami padi. Elizabet mengatakan upaya penyelesaian konflik gajahmanusia pernah dilakukan melalui konservasi in situ. Upaya itu memindahkan gajah dari habitat yang telah rusak ke habitat yang lebih kondisinya lebih bagus. Contoh kasus, pada 2007, gajah di Kecamatan Sekincau, Lampung Barat, tinggal empat ekor. Untuk mencegah kematian gajah di wilayah itu, keempat hewan itu dipindahkan ke Kecamatan Bengkunat-masih termasuk wilayah Lampung Barat-yang memiliki kondisi habitat lebih baik. Tidak hanya konservasi secara in situ, laju kepunahan satwa liar juga dapat dilakukan dengan cara konservasi eks situ (di luar habitat asli). Konservasi itu biasanya dilaksanakan oleh lembaga konservasi yang telah memperoleh izin dari Menteri Kehutanan, seperti Taman Safari Indonesia, beberapa kebun binatang, dan Taman Mini Indonesia Indah. Namun, upaya untuk menyelamatkan satwa harus tetap mengacu kepada pedoman IUCN (IUCN Guidelines for Placement of Confiscated Animals). Harry menjelaskan salah satu contoh konservasi eks situ hasil pemonitoran tahun 1990-an adalah konservasi jalak bali liar yang berada di Pulau Bali. Sebaran terluas hewan bernama Latin Leucopsar rothschildi itu antara Bubunan Buleleng sampai ke Gilimanuk. Dari wilayah penyebaran itu, hanya ditemukan lima ekor jalak bali. Dengan jumlah populasi yang terlampau sedikit itu, tidak dimungkinkan dilakukan konservasi in situ. Oleh karena itu, pemerintah memutuskan melakukan konservasi eks situ dengan jalan penangkaran di beberapa lembaga konse rvasi. Kini populasi jalak bali dapat terselamatkan, dan jumlahnya semakin bertambah, ujar Harry. Mengenai konservasi in situ dan eks situ, peneliti dari Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor (IPB), Ani

Madiastuti, mengatakan kedua macam konservasi itu harus dilakukan bersama-sama kalau jumlah sepesiesnya masih memungkinkan. Namun, apabila jumlah spesies yang akan diselamatkan masih melimpah, alangkah baiknya dilakukan konservasi in situ. Pasalnya, melakukan konservasi eks situ bukan perkara mudah dan membutuhkan ahli yang memahami benar kondisi serta perilaku satwa yang akan diselamatkan. Belum lagi ketika spesies akan dilepaskan ke alam, dibutuhkan pengajian terlebih dahulu. Salah satu kajian yang dilakukan misalnya mengenai kemungkinan rusaknya genetika satwa liar akibat proses perkawinan. Hal lain yang juga dipertimbangkan adalah spesies yang telah ditangkarkan atau direhabilitasi biasanya cenderung bersifat manja. Oleh karena itu, banyak kasus upaya penangkaran dan rehabilitasi mengalami kegagalan saat memasuki program pelepasan di alam liar, terang Ani. awm/L-2

Anda mungkin juga menyukai