Anda di halaman 1dari 26

PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA DALAM KEBEBASAN BERAGAMA

Oleh Kelompok 51

Abstract
The freedom to choose religion is the most important right. Because it is a part of human right. The freedom to choose religion is the right that any of humans must have it and is must not been caged. The religious freedom protected by declaration of human right and also in positive law in Indonesia. But in fact, there is still have problem on implementation on the regulation of religious freedom. That have a effect on religion conflict. The government must be more strict on law enforcement about the regulation of religious freedom. And made changement to regulation that caged the freedom to have a faith on religion. Keyword : religious freedom, religion conflict, religion law enforcement

Abstrak
Kebebasan untuk memilih agama adalah hak yang paling penting. Karena termasuk dari bagian dari hak asasi manusia. Kebebasan untuk memilih agama adalah hak yang harus dimiliki semua orang dan tidak boleh di kekang.
1

Dedi januarto simatupang (081175) Maulana farid (080020) Wawan sugiawan (080461) Friska maria cicilia (070019) Ucu Novitasari (070122) Willy nurapriliana (070047)

Kebebasan beragama dilindungi oleh deklarasi universal hak asas manusia dan juga hokum positif yang ada di Indonesia. Tetapi kenyataannya masih ada permasalahan dalam pelaksanaan peraturan mengenai kebebasan beragama. Yang menyebabkan efek konflik beragama. Pemerintah harus lebih tegas dalam penegakan hukum tentang kebebasan beragama. Dan membuat perubahan terhadap peraturan yang mengekang kebebasan beragama. Kata kunci : kebebasan beragama, konflik beragama, penegakan hukum kebebasan agama

Penanggung jawab : maulana farid


2

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Berbagai kepercayaan dan peribadatan agama sudah menjadi ciri universal daripada masyarakat manusia dan sudah diakui secara umum pula, bahwa semua masyarakat yang dikenal di dunia ini, sampai batas tertentu, bersifat relijius. E. B. Tylor mendefinisikan agama sebagai kepercayaan terhadap adanya wujud-wujud spiritual.2 Sedangkan seorang ahli sosiologi kontemporer dari Amerika, Yinger, menyatakan bahwa agama merupakan sistem kepercayaan dan peribadatan yang digunakan oleh berbagai bangsa dalam perjuangan mereka mengatasi persoalanpersoalan tertinggi dalam kehidupan manusia. Agama merupakan keengganan untuk menyerah kepada kematian, menyerah dalam mengahadapi frustasi, (dan) untuk menumbuhkan rasa permusuhan terhadap penghancuran ikatan-ikatan kemanusiaan.3 Pandangan Yinger menyatakan bahwa agama memberikan kemungkinan kepada manusia untuk berjuang secara berhasil menghadapi kecemasan dan kebencian. Semua orang memiliki ajaran tentang Tuhan Yang Maha Tinggi yang mencipta dan mempertahankan tatanan dunia, dan yang perhatian serta kekuasaannya berada di luar nasib atau asal-usul kelompok manusia tertentu. Agama sebagai suatu sistem nilai dan ajaran memiliki fungsi yang jelas dan pasti untuk pengembangan kehidupan umat manusia yang lebih beradab dan sejahtera.. Dalam sejarah peradaban manusia, manusia terutama dalam kelompok telah memiliki suatu kekuatan hidup yang didasarkan pada daya pikirnya untuk mempercayai adanya suatu kekuatan spiritual yang bersifat magis. Manusia pada awalnya memeluk suatu agama yang bersifat komunal artinya hanya pada aspek keanggotaan manusia dalam suatu komunitas masyarakat dimana manusia tersebut bertempat. Namun seiring dengan peradaban kehidupan manusia yang terus berkembang, maka muncul berbagai kelompok yang memiliki suatu
2 3

Betty R. Scharf, Sosiologi Agama, Ed. Kedua, Prenada Media, Jakarta, hal. 34. Ibid, hal. 35.

kepercayaan yang berbeda satu sama lain dalam satu wilayah tertentu, dalam hal tersebut berkembang pada keadaan kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam konfigurasi ketatanegaraan, maka kebebasan beragama mempunyai posisi yang penting. Karena dalam satu wilayah kenegaraan terdapat berbagai kelompok individu dengan kepercayaannya masing-masing, sehingga perlu adanya suatu jaminan atas pengakuan agama pada diri seseorang sebagai penduduk, agar negara dapat berjalan beriringan secara damai. Kebebasan beragama merupakan hak setiap individu sebagai manusia untuk memilih agama yang dipercayainya. Indonesia sebagai negara hukum menjamin kebebasan agama bagi para penduduknya, prinsip kebebasan beragama telah tercatat sebagai bagian dari hak-hak sipil warga negara (civil rights) yang wajib dijamin dan dilindungi oleh negara. Jaminan hukum dan undang-undang dimaksud adalah, Pertama, Pasal 28 (e) ayat 1 dan 2 UUD 1945 (hasil amandemen) yang menyebutkan bahwa: 1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali; 2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya. Hal ini masih diperkuat lagi oleh Pasal 29 yang berbunyi: 1) Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa; 2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. Maka jelaslah secara konstitusional negara Indonesia mengakui akan hak bagi para penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing, karena negara Indonesia bukan negara komunis yang memaksakan kehendak pada para penduduknya, dalam hal ini kaitannya mengenai kehendak untuk memeluk
4

agama. Melainkan negara Indonesia adalah negara demokratis yang mengakui dan memberikan hak-hak kepada warganya sebagai individu yang bebas. Kekuatan hukum lain yang menyatakan kebebasan memeluk agama bagi penduduk Indonesia terdapat pula pada Undang-undang (UU) RI No. 39 tahun 1999 tentang Hak-hak Asasi Manusia (HAM), terutama Pasal 22 dan juga pada UU No. 12 tahun 2005 tentang pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik). Dengan meratifikasi ICCPR tersebut, Indonesia berarti terikat untuk menjamin: Hak setiap orang atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama serta perlindungan atas hak-hak tersebut (Pasal 18); Hak orang untuk mempunyai pendapat tanpa campur tangan pihak lain dan hak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat (Pasal 19); Persamaan kedudukan semua orang di depan hukum dan hak semua orang atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi (Pasal 26); dan tindakan untuk melindungi golongan etnis, agama atau bahasa minoritas yang mungkin ada di negara pihak [negara yang terlibat menandatangani kovenan internasional tersebut] (Pasal 27). Kebebasan beragama dalam pandangan Hak Asasi Manusia (HAM) mempunyai posisi yang kompleks. Kebebasan agama sering dipandang sebagai fasilitator bagi kepentingan proteksi manusia sebagai Homo Sapiens. Kebebasan agama memungkinkan manusia mengembangkan kepribadian intelektual dan moralnya sendiri, menentukan sikap terhadap kekuatan-kekuatan alam dan supranatural, dan membentuk hubungannya dengan sesama makhluk. Normanorma itu berkisar dari doa yang diucapkan dalam kesendirian hingga partisipasi aktif dalam kehidupan politik suatu negara. Menurut Ifdhal Kasim kebebasan beragama muncul sebagai Hak Asasi Manusia yang paling mendasar dalam instrumen-instrumen politik nasional dan internasional, jauh sebelum berkembangnya pemikiran mengenai perlindungan sistematis untuk hak-hak sipil dan politik. Namun, pada praktiknya, jaminan atas prinsip kebebasan beragama dalam sistem perundang-undangan di Indonesia masih belum terimplementasi dengan baik. Dalam hal ini, negara (pemerintah) tidak memiliki keinginan politik (political will) yang kuat untuk menciptakan situasi dan kondisi yang kondusif
5

bagi kehidupan beragama yang bebas, toleran dan saling menghargai antara satu pemeluk agama dengan lainnya. Bahkan negara masih membiarkan terjadinya kontradiski hukum dan perundang-undangan terkait dengan prinsip kebebasan beragama. 1.2 Rumusan Masalah : a) Kebebasan beragama sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia b) Dasar legalitas kebebasan beragama pada umumnya khususnya di Indonesia c) Keberlangsungan jaminan HAM dalam hal ini mengenai kebebasan beragama di Indonesia
d) Peran serta pemerintah Indonesia dalam mengatasi konflik terhadap

kebebasan agama di wilayah negaranya. 1.3 Tujuan penelitian Penelitian dilakukan untuk mengetahui berbagai kondisi tentang pemberian hak atas kebebasan beragama, selain itu untuk mengetahui sejauh mana pengamalan Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia yang pada sila pertama mencakup pada kebebasan para penduduk Indonesia untuk memeluk agamanya masing-masing dalam turut sertanya untuk menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, untuk mengetahui pula bagaimana kebebasan beragama di Indonesia itu dapat berjalan sesuai dengan konstitusi Republik Indonesia yakni Undang-undang Dasar 1945, dan sejauh mana peran Indonesia ikut serta dalam pemberlakuan konvensi internasioanl mengenai kebebasan beragama.

Penanggung jawab : wawan sugiawan


6

PEMBAHASAN

2.1 Tinjauan Pustaka Agama telah menjadi suatu ciri universal pada diri manusia, agama tidak bisa dipaksakan pada seseorang karena agama adalah suatu hal yang bersifat sakral untuk dipilih setiap individu manusia. Selanjutnya berbicara mengenai Kebebasan beragama maka dalam pandangan Hak Asasi Manusia (HAM) mempunyai posisi yang kompleks. Kebebasan agama sering dipandang sebagai fasilitator bagi kepentingan proteksi manusia sebagai Homo Sapiens. Dalam hal ini kebebasan agama memungkinkan manusia mengembangkan kepribadian intelektual dan moralnya sendiri, menentukan sikap terhadap kekuatan-kekuatan alam dan supranatural, dan membentuk hubungannya dengan sesama makhluk. Namun, pada perkembangannya masih banyak timbul suatu permasalahan mengenai tidak bebasnya seseorang untuk memeluk agamanya masing-masing serta melakukan peribadatan sesuai dengan ajaran agamanya. Ini jelas tidak hanya menyangkut permasalahan akan agama semata melainkan lebih pada pelanggaran atas hak asasi manusia. Hal ini lah yang perlu dikaji mengenai sejauh mana kompleks permasalahn tersebut terjadi dan sejauh mana pengaruh kekuatan masing-masing landasan hukum positif yang ada. Setelah dipaparkan mengenai pemahaman akan pentingnya kebebasan beragama, kemudian perlu diketahui mengenai pengakuan atas hak setiap individu di dunia ini berhak memilih dan memeluk agamanya, bisa terlihat dalam PIAGAM MADINA mengenai pengakuan golongan lain di luar agama islam dan perlakuan sama atasnya. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) pasal 2 mengenai kebebasan atas hak dasar manusia salah satunya untuk memilih agama tanpa terkecuali. International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik). Dimana Indonesia telah meratifikasi dalam UU No. 12 tahun 2005 tentang pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik). Bahwa dalam beberapa pasal
7

menyebutkan mengenai penjaminan atas kebebasan beragama, yakni sebagai berikut: Pasal 18 : Hak setiap orang atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama serta perlindungan atas hak-hak tersebut. Pasal 19: Hak orang untuk mempunyai pendapat tanpa campur tangan pihak lain dan hak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat. Pasal 26: Persamaan kedudukan semua orang di depan hukum dan hak semua orang atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi. Pasal 27: Tindakan untuk melindungi golongan etnis, agama atau bahasa minoritas yang mungkin ada di negara pihak. Republik Indonesia sebagai bagian dari masyarakat juga dalam konstitusi Negara yakni Undang-undang Dasar 1945 dalam pasal Pasal 28 (e) ayat 1 dan 2 UUD 1945 (hasil amandemen) yang menyebutkan bahwa: 1. Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali; 2. Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya. Hal ini masih diperkuat lagi oleh Pasal 29 yang berbunyi: 1. Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa; 2. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. Lalu dilanjutkan dengan diterbitkannya Undang-undang Republik

Indonesia No. 39 tahun 1999 tentang Hak-hak Asasi Manusia (HAM), pasal 22 yang berbunyi :
8

1. Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. 2. Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masingmasing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Setelah dibahas mengenai landasan hukum mulai dari adanya Piagam Madina sebagai awal mula dari sejarah adanya pemahaman mengenai hak asasi manusia lalu sampai pada adanya konvensi internasional yang diratifikasi kedalam undang-undang di Indonesia sebagai hukum positif yang mengakui dan menjamin mengenai kebebasan beragama, selanjutnya dalam pembahasan kali ini kami akan paparkan mengenai beberapa contoh mengenai konflik yang terjadi mengenai keberlangsungan atas pengakuan hak untuk bebas memilih dan memeluk agama di Indonesiaa. Dalam perkembangannya telah diketahui bahwa terhadap beragama diwarnai berbagai masalah dan hambatan, kami ambil contoh pada konflik di daerah Poso, pada masa Pemerintahan Megawati, Hamzah Haz selaku Wapres memperoleh tugas tambahan, yaitu mengusahakan perdamaian bagi daerah konflik lain. Daerah yang dimaksud ialah Kabupaten Poso dengan ibu kotanya yang bernama sama di propinsi Sulawesi Tengah. Kabupaten tersebut hampir seluruhnya beragama Protestan dengan beberapa kampung Islam di daerah pesisir dan sejumlah pendatang beragama Katolik di kota Poso. Bupati Poso selalu beragama Protestan, sampai beberapa tahun terakhir ini seorang Muslim diangkat untuk menduduki jabatan tersebut. Dan sejak itu dominasi mulai dirintis oleh golongan Muslim dengan mengisi jabatan-jabatan penting dengan orang-orang mereka. Orang Kristen merasa didiskriminasi, karena baik Pemda maupun polisi dan pengadilan, hampir semuanya sudah berada di tangan golongan Islam. Akhirnya, pertengkaran antara anak-anak muda yang sifatnya hanya sepele memicu konflik yang berkepanjangan. Sejak tahun 1999 banyak rumah Muslim dan 54 kampung Kristen dirusak. Angka korban di kedua belah pihak menyebut 235 jiwa. Namun kemungkinan besar angka sebenarnya jauh lebih tinggi dari itu. Ada 21 gereja Kristen yang dirusak dan kebanyakannya hancur total. Mengenai jumlah mesjid yang dirusak tidak diperoleh keterangan. Hingga kini tiga gembong
9

Kristen telah diseret ke pengadilan dan telah dihukum mati dan 200 pengikutnya telah mendapat hukuman penjara. Pihak Kristen merasa tidak adil, karena provokator utama pihak Muslim, yang merupakan adik lelaki dari Bupati hanya mendapat hukuman 2 tahun penjara. Sementara itu diskriminasi terhadap kelompok Kristen berjalan terus. Di antara beberapa ratus pegawai negeri baru hanya sedikit yang beragama Kristen. Juga pembunuhan berlangsung terus. Tampaknya jelas, bahwa konflik ini tidak akan dapat diselesaikan oleh Pemda setempat. Yang perlu diperhatikan ialah, para misionaris di masa lalu telah berhasil membujuk orang-orang Islam pindah agama. Demikianlah alasan yang disebut dalam seruan mereka. Mereka tidak mau tahu, bahwa penduduk wilayah itu sebelum pindah ke agama Kristen, menganut agama suku dan bukan agama Islam. Pimpinan laskar yang berkedudukan Di Yogyakarta secara tegas mengatakan, akan menolak setiap usaha perdamaian, karena menurut pendapat mereka usaha tersebut hanya merupakan niat pemerintah untuk menutup-nutupi kegagalannya dalam mengusut kejahatankejahatan yang telah dibuat terhadap umat Islam. Sesuai pengalaman di Maluku, maka golongan Kristen mengkhawatirkan hal terjelek yang akan terjadi, apabila para anggota Laskar Jihad dapat beroperasi di kabupten Poso. Adapun konflik-konflik lain yang terjadi di wilayah Indonesia di antaranya: Di propinsi Aceh di ujung Barat Laut wilayah Indonesia GAM, yang didirikan pada tahun 1976, melanjutkan dan mengintensifkan perlawanan rakyat Aceh, yang dulu melawan kekuatan kolonial Belanda dan kini menentang Negara Kesatuan Indonesia. Dalam pertempuran-pertempuran sengit melawan pasukan Indonesia telah terjadi pembantaian yang menelan korban ribuan orang termasuk penduduk sipil. Selain itu banyak pelanggaran HAM yang dilakukan oleh kedua belah pihak. Dalam konflik yang telah berlangsung bertahun-tahun ini, agama tidak main peranan, karena dalam propinsi ini Islam sangat berdominasi. Konflik disebabkan oleh tuntutan mutlak para pemberontak untuk mendirikan negara merdeka yang terpisah dari Indonesia. Selama tahun 1998 ada 6 gereja di propinsi Aceh yang dirusak 38. Pada tanggal 20 Juli 1998 di kabupaten Kuta Serangan di Aceh Tengah, empat gereja Protestan dibakar habis dan pada tanggal 31 Agustus
10

1998 di Lhokseumawe, Banda Aceh sebuah gereja Metodist dan lagi sebuah gereja Batak terkena lemparan batu sehingga rusak berat. Semua indikasi mengatakan, bahwa kedua kejadian tersebut bersifat lokal dan terbatas, karena sejak itu tidak lagi terjadi gangguan terhadap gereja. Di propinsi Papua (Irian Jaya) sejak bertahun-tahun terjadi pelanggaran HAM berat oleh pihak TNI terhadap penduduk setempat yang kebanyakan beragama Kristen. Hingga kini pemerintah Indonesia tidak bersedia untuk mengijinkan diadakannya sebuah referendum untuk menentukan kemerdekaan wilayah tersebut. Dalam pertikaian ini pihak Gereja tidak menjadi sasaran aksi kekerasan. Namun ada bahaya, bahwa kekecewaan penduduk setempat dapat berubah menjadi sifat agresif dan menimbulkan aksi kekerasan terhadap para pendatang yang jumlahnya besar dan hampir semuanya beragama Islam, sehingga konflik dapat mengambil bentuk pertikaian antar agama. seberapa jauh tuntutan para pemimpin Gereja Protestan kepada pemerintah pusat, untuk bertindak sebagai instansi netral dalam menegakkan keadilan, akan dapat dipenuhi. Di pihak Muslim kini Laskar Jihad mempersiapkan diri untuk beroperasi di kabupaten Poso. Bagi mereka hal ini merupakan sebuah konflik agama, Karena Di propinsi-propinsi Kalimantan Barat dan Tengah pada tahun-tahun terakhir ini terjadi pembantaian yang mengerikan antara penduduk asli Dayak dan suku Melayu di satu pihak melawan kaum pendatang yang berasal dari Madura. Aksiaksi kekerasan berdarah ini mengikuti tradisi perang antar suku. Di sini jelas terlihat, bahwa telah terjadi konflik antar suku dan bukan antar agama, karena yang melawan orang Madura yang beragama Islam itu bukan hanya orang Dayak, yang mayoritasnya beragama Kristen, tetapi juga orang Melayu yang beragama Islam. Hal ini tampak dari terlindungnya mesjid-mesjid dari aksi pengrusakan pada saat terjadi pembakaran kampung-kampung. Pelanggaran terhadap kebebasan beragama ini menimbulkan reaksi pemerintah selaku penjamin kebebasan beragama. Sikap pemerintah pusat di Jakarta menanggapi aksi kekerasan terhadap kelompok- kelompok agama
11

minoritas seperti pengrusakan gereja dan pelanggaran HAM di daerah-daerah konflik, bersifat mengambang. Pemerintah menyesalkan kejadian- kejadian tersebut dan mengundang para wakil semua agama untuk membicarakan bersama masalah konflik. Pemerintah sendiri menolak dengan tegas aksi-aksi kekerasan tersebut. Namun orang berkesan, bahwa tindakan pemerintah lebih bersifat simbolik, karena hingga kini pemerintah belum pernah mengambil tindakan nyata untuk melindungi warganegaranya. Pemerintah setempat bereaksi bermacammacam. Beberapa di antaranya seperti Sultan Yogyakarta bertindak dengan tegas untuk menjaga ketertiban umum dan dengan demikian melindungi kelompokkelompok agama minoritas. Namun secara keseluruhan kesan yang diperoleh ialah, bahwa pemerintah daerah tidak sepenuhnya menggunakan wewenang yang dimiliki dalam menghadapi kelompok-kelompok yang menggunakan aksi kekerasan. Pantas dipertanyakan, seberapa jauh peran lembaga-lembaga penegak hukum dalam menanggulangi krisis yang telah melanda seluruh negeri. Jawaban yang diperoleh atas pertanyaan tersebut sangat mengecewakan. Pada umumnya orang berkeyakinan, bahwa di Indonesia tidak berlaku lagi kedaulatan hukum. Belum pernah sebelumnya dasar moral dari negara hukum menjadi begitu rusak seperti sekarang, karena para hakim dengan mudah dapat dibeli seperti halnya para politisi. Sering kita mendengar, bahwa di pengadilan tidak mungkin diambil keputusan yang adil, apakah itu menyangkut pelanggaran HAM atau ketidakadilan terhadap golongan agama atau dalam penanganan perkara-perpara kara lain seperti yang menyangkut skandal korupsi. Sering dikatakan, bahwa proses pengadilan tidak memberi harapan apapun untuk berhasil. Situasi seperti ini disebabkan, karena biasanya dengan uang orang dapat mempengaruhi keputusan hakim. Disamping itu banyak hakim yang merasa takut atas reaksi terhadap keputusannya. Kalau massa dapat digerakkan untuk menakutnakuti orang, maka sebuah perkara, umpamanya mengenai gereja-gereja yang dirusak, tidak akan diajukan lagi. Apabila penilaian pesimistis semacam ini mengenai sistem hukum di Indonesia benar, maka kelompok-kelompok minoritas yang terancam aksi kekerasan tidak dapat berharap banyak dari lembaga pengadilan.

12

Tuntutan kebebasan beragama di Indonesia : a) Pemerintah Indonesia dihimbau supaya dengan segera mengambil langkah-langkah nyata, untuk memulihkan perdamaian yang adil di Maluku dan di kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Syarat utama untuk menghentikan konflik ialah ditariknya Laskar Jihad yang hingga kini dengan kekerasan menghalangi setiap usaha perdamaian antara pihakpihak yang bertikai. b) Pemerintah Indonesia dengan segera harus membantu orang-orang Kristiani di Maluku, yang dengan kekerasan menjadi korban pemaksaan masuk agama Islam, supaya mereka memperoleh kembali kebebasan dan hak-haknya. c) Aparat keamanan Indonesia harus segera menghentikan skandal

pengrusakan ratusan gereja dan prasarana gereja lainnya, serta menghukum para pelaku dan pendukung kejahatan tersebut. d) Kelompok-kelompok minoritas agama sangat memerlukan kebebasan untuk mendirikan rumah ibadat, supaya umat dapat menjalankan ibadat agamanya seperti dijamin oleh konstitusi negara.

Penangung jawab : willy, wawan, farid, dedi


13

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan menngunakan penelitian hukum normatif. Dengan menggunakan metode penelitian deskriftif yaitu suatu metode untuk mendeskipsikan atau menggambarkan dari suatu peristiwa yang yang terjadi guna memberika data yang seteliti mungki tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya.4

3.2 Pendekatan Penelitian Metode pendekatan yang dipergunakan dalam melakukan penelitian adalah metode yuridis normatif, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti data atau bahan kepustakaan. Yang merupakan data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier.

3.3 Sumber Data Sumber data diambil dari data sekunder, yaitu data yang tidak langsung diambil, tidak terikat dengan ruang dan waktu, dan dibuat oleh penelitian terdahulu. Yang terdiri dari :
1) Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat.5 2) Bahan Hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan

penjelasan menegenai bahan hukum primer.6

4 5 6

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI: Jakarta, 1986, hal 10. Ibid, hal 52. Ibid.

14

3) Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum yang memberikan

petujuk maupun penjelasan terhadap bahn hukum primer dan sekunder.7

3.4 Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan. 3.5 Alat pengumpulan data Untuk memperoleh data awal berupa teori-teori yang relevan dengan masalah yang diteliti dikemukakan inventarisasi data sekunder berupa undangundang yang berkaitan dengan penelitian, buku-buku, literature lainnya.

3.6 Analisa Data Data-data yang diperoleh, dianalisis dengan menggunakan metode analisis kualitatif, yaitu suatu metode yang bertitik tolak dari norma-norma, asas-asas dan ketentuan hukum positif yang kemudian dianalisis secara kualitatif dengan tidak menggunakan rumus maupun angka.

Ibid.

15

Penanggungjawab : Friska maria cicilia

HASIL DAN ANALISIS

Sepintas lalu tampak bahwa semua instrumen perundang-undangan di atas tidak memiliki persoalan pada hak sipil mengenai kebebasan beragama. Ketertiban sosial, misalnya, bahkan sangat diperlukan untuk penegakan hukum. Hanya pada kondisi di mana hukum dihormatilah kebebasan beragama bisa tercapai. Dan hanya pada kondisi normal dan stabillah penegakan hukum bisa diwujudkan. Laporan indeks kebebasan beragama yang dilakukan sejumlah lembaga beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa persoalan kebebasan beragama justru bermula dari pendefinisian mengenai ketertiban, keamanan, dan moral sosial, juga beberapa kali dengan alasan untuk melindungi hak-hak kebebasan orang lain. Sejumlah kasus kriminalisasi terhadap kelompok minoritas dan agamaagama baru justru terjadi di atas argumen bahwa keyakinan kelompok-kelompok tersebut telah meresahkan warga dan berpotensi menimbulkan konflik sosial. UU No. 1/PNPS/1965 secara nyata digunakan dalam sejumlah bentuk kriminalisasi atas kebebasan beragama. Kasus-kasus seperti Lia Eden, Ahmadiyah, Salat Bersiul dan semacamnya dijatuhi hukuman pidana berdasarkan UU ini. Dan yang lebih mengerikan adalah bahwa UU ini telah digunakan oleh sejumlah elemen masyarakat untuk melakukan kekerasan tanpa memperoleh tanggapan serius dari
16

negara (tidak diproses secara hukum). Dengan demikian, pencegahan keonaran atau anarkhi yang menjadi semangat UU ini sama sekali tidak tercipta dalam penerapannya. Yang terjadi justru UU ini menjadi alat legitimasi bagi terciptanya rasa tidak aman untuk menjalan agama dan keyakinan pribadi. Akibat lebih jauh terhadap adanya sejumlah instrumen UU yang diskriminatif adalah keterlibatan negara secara konsisten dalam kegiatan diskriminasi dan pelanggaran hak kebebasan beragama. Sejumlah data indeks kebebasan beragama yang ditunjukkan oleh sejumlah lembaga menyatakan bahwa negara sangat aktif dalam melakukan atau terlibat dalam kegiatan pelanggaran hak atas kebebasan beragama. Setara Institute merilis temuan bahwa dari 291 tindakan pelanggaran kebebasan beragama tahun 2009, 139 di antaranya dilakukan oleh negara. Wahid Institute melaporkan ada 35 kasus pelanggaran kebebasan beragama dan/atau keyakinan yang dilakukan oleh negara sepanjang tahun 2009. Moderat Moslem Society mengidentifikasi 22 dari 59 kasus intoleransi sepanjang 2009 dilakukan oleh pemerintah. Sementara Center for Religious & Cross-cultural Studies (CRCS) mengidentifikasi sejumlah kasus di mana negara juga terlibat aktif seperti persoalan seputar rumah ibadah dan Ahmadiyah. Temuan-temuan ini semakin mempertegas bahwa negara tidak hanya absen di dalam perlindungan hak-hak kebebasan beragama, melainkan juga secara aktif melakukan tindakan pelanggaran kebebasan beragama. Aktivitas negara melanggar kebebasan beragama tersebut dilakukan dalam bentuk tindakan aktif (by commission) dan pembiaran (by omission). Yang mengejutkan adalah bahwa tindakan aktif di mana aparatus negara berinisiatif melakukan pelanggaran sangat dominan. Dari 139 pelanggaran negara yang dilaporkan oleh Setara, 101 di antaranya dilakukan dalam bentuk keterlibatan aktif (by commission). Kondisi semacam ini sangat merisaukan. Negara yang absen dalam perlindungan hak atas kebebasan beragama menjadi pintu gerbang pelbagai bentuk tindakan kekerasan dan diskriminatif terhadap penganut-penganut agama minoritas. Hal ini berkali-lipat menjadi lebih buruk ketika ternyata negara tidak sekedar absen memberi perlindungan, melainkan juga secara aktif melakukan tindakan pelanggaran. Pantauan yang dilakukan oleh Setara Institut dalam tiga
17

tahun terakhir menunjukkan grafik yang bergerak naik. Meski lebih banyak pelanggaran yang terjadi pada tahun 2008 di banding tahun 2009, namun jika ditarik garis dari tahun 2007 sampai 2009, maka akan ditemukan trend pelanggaran yang menaik. Melihat fakta-fakta hukum yang ada, tampaknya kelompok-kelompok minoritas masih tetap harus dirundung malang dalam jangka waktu yang lama. Salah satu sumber petaka diskriminasi, UU No. 1/PNPS/1965, memang sedang dibahas oleh Mahkamah Konstitusi. Tetapi belum lagi MK memberi keputusan, Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) baru sedang disusun dan diusulkan untuk ditetapkan. RUU ini secara terperinci mengurai pembatasan kebebasan beragama. kebebasan beragama kini terancam terkubur. Aksi menghalangi orang sembahyang atau merusak tempat ibadah tidak pernah ditindak tegas oleh penegak hukum. Pemerintah bahkan membiarkan munculnya rekomendasi yang menindas suatu agama atau kepercayaan. Padahal hak warga atas kebebasan beragama jelas dijamin oleh konstitusi. Itu sebabnya negara perlu menjamin kebebasan memeluk agama dan beribadat menurut agamanya. UUD 1945 pun melindungi hak warga untuk beragama atau meyakini sebuah kepercayaan. Indonesia juga telah meratifikasi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia lewat Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999. Di situ ditegaskan lagi jaminan negara atas kebebasan beragama dan berkeyakinan. Bahkan negara kita sudah mengesahkan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik melalui UU Nomor 12 Tahun 2005, yang juga menjamin hal yang sama. Semua aturan itu seolah hanya macan kertas. Kenyataannya, pelanggaran terhadap kebebasan beragama masih sering berlangsung. Masalah utama mengenai kebebasan beragama di Indonesia, menurut Prof. Dawam adalah Tidak adanya pengertian yang benar tentang Agama, terutama oleh pemerintah. Agama didefinisikan sebagai suatu doktrin yang percaya pada Tuhan yang berpribadi, Nabi, Kitab Suci, dsb. Definisi ini jelas merupakan definisi yang diambil dari kacamata/pandangan orang beragama Islam (atau Kristen-ed). Sila pertama Pancasila sendiri jelas mengakomodasi: KeTuhanan Yang Maha Esa, bukan Percaya pada Tuhan Yang Berpribadi atau Personal.
18

Berkaitan dengan konflik poso yang melibatkan pelanggaran terhadap kebebasan beragama tindakan di luar perikemanusiaan antara kelompok masyarakat yang berbeda agama. Apabila dianalisa secara mendalam akan dapat disimpulkan, bahwa perbedaan agama memang dapat berperan, terutama dalam memobilisir massa, namun bukan merupakan penyebab sebenarnya dari konflik tersebut. Berikut ini akan diberikan secara singkat saja sebab-musabab yang sangat rumit dari masalah tersebut. Pihak Kristen Protestan secara tradisionil menempati posisi penting di jajaran Pemda dan dalam birokrasi pendidikan dan kesehatan. Pendidikan modern yang secara intensip dibangun oleh semua golongan Kristen di seluruh Indonesia termasuk Maluku, telah memberi kepada kaum elitnya suatu keunggulan untuk menduduki posisi-posisi politik di propinsi tersebut setelah ditinggalkan oleh pihak Belanda. Setelah penumpasan RMS tahun 1950 Presiden Soekarno secara Politis bertindak bijaksana dengan tidak mengutak-utik posisi orang-orang Kristen Protestan. Maka dari itu, pihak Kristen selalu menempati posisi Gubernur dan Pangdam. Selanjutnya Soekarno membangun daerah itu melalui proyekproyek nasional32. Namun dalam dekade-dekade berikutnya keadaan ini mengalami perubahan, karena Soeharto lebih mengharapkan dukungan dari golongan Islam. Golongan Kristen digusur dari kedudukan-kedudukan penting di pemerintahan dan tidak ada lagi Gubernur dan Pangdam yang beragama Kristen. Ditambah lagi pengaruh kaum pendatang Muslim yang secara ekonomis lebih berhasil. Kelompok ini menguasai perdagangan kecil dan cepat sekali menyekolahkan anak-anaknya dengan baik, sehingga bagi mereka terbuka kesempatan untuk mendapat posisi di masyarakat. Di samping itu telah terjadi satu perubahan mendasar dalam komposisi penduduk menurut asal-usul, sejak pemerintah pusat menjadikan Pulau Seram di Maluku Tengah sebagai daerah transmigrasi. Kebanyakan transmigran yang beragama Islam meninggalkan lokasi transmigrasi dan pindah ke kota. Di sana peningkatan kepadatan penduduk mempersulit situasi sosial ekonomi dan mudah menimbulkan konflik antar warga. Berbeda dengan golongan Kristen Protestan yang diuntungkan oleh orangorang Belanda yang Calvinis, para penduduk Muslim
19

di Maluku beroposisi terhadap penjajah yang beragama Kristen dan segala bentuk manifestasi pengaruhnya. Sebagaimana halnya di daerah lain di Indonesia, kelompok Muslim lama sekali menolak pendidikan modern yang berorientasi ke Barat dan dengan demikian mengambil posisi defensif terhadap golongan Kristen, yang tidak merasa takut terhadap kebudayaan Barat. Sehubungan dengan itu, mudah dimengerti mengapa golongan Islam merusak universitas-universitas yang didominir golongan Kristen di Ambon. Kerenggangan antara kedua kelompok itu menjadi jelas apabila orang mengingat, bahwa di Pulau Saparua dekat Ambon masih ada kaum tua-tua adat Islam yang hingga kini tidak melupakan, bahwa dalam abad ke-17 setelah kalah melawan Belanda, sebagian tanah mereka dibagikan kepada kampung-kampung tetangga yang beragama Kristen dan bersekutu dengan pihak Belanda. Hingga kini mereka tetap menuntut kembali tanah mereka Sikap pemerintah pusat di Jakarta menanggapi aksi kekerasan terhadap kelompok-kelompok agama minoritas seperti pengrusakan gereja dan pelanggaran HAM di daerah-daerah konflik, bersifat mengambang. Pemerintah menyesalkan kejadian-kejadian tersebut dan mengundang para wakil semua agama untuk membicarakanbersama masalah konflik. Pemerintah sendiri menolak dengan tegasaksi-aksi kekerasan tersebut. Namun orang berkesan, bahwa tindakan pemerintah lebih bersifat simbolik, karena hingga kini pemerintah belum pernah mengambiltindakan nyata untuk melindungi warganegaranya.Pemerintah setempat bereaksi bermacam-macam. Beberapa di antaranyaseperti Sultan Yogyakarta bertindak dengan tegas untuk menjaga ketertiban umum dan dengan demikian melindungi kelompok-kelompok agama minoritas. Namun secara keseluruhan kesan yang diperoleh ialah, bahwa pemerintah daerah tidak sepenuhnya menggunakan wewenang yang dimiliki dalam menghadapi kelompok-kelompok yang menggunakan aksi kekerasan. Pantas dipertanyakan, seberapa jauh peran lembaga-lembaga penegak hukum dalam menanggulangi krisis yang telah melanda seluruh negeri. Jawaban yang diperoleh atas pertanyaan tersebut sangat mengecewakan. Pada umumnya orang berkeyakinan, bahwa di Indonesia tidak berlaku lagi
20

kedaulatan hukum. Belum pernah sebelumnya dasar moral dari negara hukum menjadi begitu rusak seperti sekarang, karena para hakim dengan mudah dapat dibeli seperti halnya para politisi. Sering kita mendengar, bahwa di pengadilan tidak mungkin diambil keputusan yang adil, apakah itu menyangkut pelanggaran HAM atau ketidakadilan terhadap golongan agama atau dalam penanganan perkara-per kara lain seperti yang menyangkut skandal korupsi. Sering dikatakan, bahwa proses pengadilan tidak memberi harapan apapun untuk berhasil. Situasi seperti ini disebabkan, karena biasanya dengan uang orang dapat mempengaruhi keputusan hakim. Disamping itu banyak hakim yang merasa takut atas reaksi terhadap keputusannya. Kalau massa dapat digerakkan untuk menakut-nakuti orang, maka sebuah perkara, umpamanya mengenai gereja-gereja yang dirusak, tidak akan diajukan lagi. Apabila penilaian pesimistis semacam ini mengenai sistem hukum di Indonesia benar, maka kelompok-kelompok minoritas yang terancam aksi kekerasan tidak dapat berharap banyak dari lembaga pengadilan. Polisi tidak bertindak, demikian sering dilaporkan. Rupanya polisi belum siap dengan tugas barunya sebagai penanggungjawab tunggal atas keamanan dalam negeri. Dan polisi rupanya belum berpengalaman dalam menghadapi massa yang beringas. Seringkali polisi ragu-ragu untuk bertindak tegas, karena di masa lalu dituduh melanggar HAM. Apabila melihat luas wilayah Indonesia dan begitu banyaknya daerah konflik, maka jelas, bahwa polisi kekurangan personil. Disamping itu polisi kekurangan peralatan dan tidak mempunyai logistik yang efektif, kecuali Brimob. Gaji polisi juga tidak tinggi, terutama bagi mereka yang berpangkat rendah, sehingga kurang memberi motivasi mengabdi sepenuhnya. Memperhatikan semua faktor-faktor ini, maka sulit untuk mengharapkan, bahwa polisi akan melakukan tugasnya dengan baik dalam penyidikan perkara dan melindungi kelompok minoritas. Dan mengenai keterlibatan TNI. Dulu dasar ideologi TNI ialah Pancasila. Dengan sangat tegas dan keras TNI menindak segala macam gerakan ekstremis. Secara formal hal tersebut kini juga masih berlaku. Namun TNI tidak lagi merupakan sebuah kesatuan yang monolitik. Terdapat perbedaan di antara berbagai kelompok didalam tubuh TNI. Di samping itu, TNI juga kurang digaji dan kurang alat perlengkapan. Namun demikian, TNI mempunyai struktur
21

komando yang teratur rapih sejajar dengan semua tingkat pemerintahan sipil, mulai dari pusat hingga tingkat desa. TNI juga mempunyai jaringan intelejensi yang menjangkau seluruh wilayah negara. Oleh karena banyaknya pelanggaran HAM di masa silam dan banyak dari padanya yang sama sekali tidak diselesaikan dengan tuntas, maka TNI telah kehilangan reputasinya di kalangan rakyat. Berdasarkan tuntutan politik, kini TNI harus mengkonsentrasikan dirinya pada pertahanan negara serta mengembangkan profesionalismenya. Di kalangan publik dan terutama di antara para aktivis mahasiswa TNI sangat ditentang, terutama dalam hubungan dengan dwifungsi TNI, yang menyangkut peran politik TNI di dalam negeri. Hal ini mendorong TNI untuk mencari dukungan di kalangan masyarakat luas. Di kelompok-kelompok Islam tertentu kelihatannya mereka terbuka untuk bekerja-sama. Dari sini dapat ditarik kesimpulan, bahwa ada ikatan kerjasama antara beberapa golongan di dalam tubuh TNI dengan kelompok-kelompok Islam garis keras. Oleh karena itu bukannya tidak mungkin, bahwa ada aparat keamanan yang tidak mencegah tindakan kelompok-kelompok fanatik

22

Penanggung jawab : Ucu novitasari

PENUTUP

4.1 Kesimpulan Berdasarkan apa yang telah dipaparkan pada pembahasan sebelumnya mengenai kebebasan beragama dan permasalahannya, kesimpulan :
1. Bahwa pelaksananaan kebebasan beragama merupakan suatuhal yang

maka dapat ditarik

urgent untung direalisasikan, karena kebebasan beragama merupakan hak setiap individu sebagai manusia yang memiliki Hak Asasi Manusia.
2. Indonesia sebagai negara hukum menjamin kebebasan agama bagi para

penduduknya, prinsip kebebasan beragama telah tercatat sebagai bagian dari hak-hak sipil warga negara (civil rights) yang wajib dijamin dan dilindungi oleh negara. Jaminan hukum dan undang-undang dimaksud adalah, Pertama, Pasal 28 (e) ayat 1 dan 2 UUD 1945 (hasil amandemen), kemudian diatur pula dalam (UU) RI No. 39 tahun 1999 tentang Hak-hak Asasi Manusia (HAM), terutama Pasal 22 dan juga pada UU No. 12 tahun 2005 tentang pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik).
23

3. Meskipun kebebasan beragama telah menjadi suatu hal yang universal

diatur dan dilindungi oleh setiap Negara pada khususnya Indonesia, namun berbagai permasalah permasalahan yang menggangu penegakan kebebasan beragama tetap banyak terjadi sebagaimana apa yang telah penulis paparkan mengenai berbagai konflik yang terjadi.
4.2 Saran

1. Perlunya peningkatan peran pemerintah dalam upaya penegakan kebebasan beragama melalui pengimplementasian aturan yang telah ada secara maksimal dan bila perlu diatur pula aturan tambahan demi tegaknya kebebasan beragama.
2. Perlunya peran para ulama. Pendeta, dan tokoh masyarakat dalam

memberikan pendidikan agama yang benar dan berupaya memberi nasihat kepada masyarakat mengenai pentingnya menjaga hubungan baik antar umat beragama.

24

Penanggung jawab : Dedi januarto simatupang

DAFTAR PUSTAKA

. Betty R. Scharf, Sosiologi Agama, Ed. Kedua, Prenada Media: Jakarta,

Masyhur Effendi, HAM dalam Dimensi/Dinamika Yuridis, Sosial, Politik, Ghalia Indonesia: Jakarta, 2007.

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI: Jakarta, 1986.

Situs : Islamlib.com Lsaf.org Missio.com


25

26

Anda mungkin juga menyukai