Anda di halaman 1dari 14

Saat aku beranjak dewasa,aku mulai mengenal sedikit kehidupan yang menyenangkan, merasakan kebahagiaan memiliki wajah yang

tampan, kebahagiaan memiliki banyak pengagum di sekolah, kebahagiaan karena kepintaranku yang dibanggakan banyak guru. Itulah aku, tapi satu yang harus aku tutupi, aku malu mempunyai seorang ibu yang BUTA! Matanya tidak ada satu. Aku sangat malu, benarbenar malu. Aku sangat menginginkan kesempurnaan terletak padaku. Aku ingin menjadi yang terbaik, tak ada satupun yang cacat dalam hidupku juga dalam keluargaku. Saat itu ayah yang menjadi tulang punggung kami sudah dipanggil terlebih dahulu oleh yang Maha Kuasa. Tinggallah aku anak semata wayang yang seharusnya menjadi tulang punggung pengganti ayah. Tapi semua itu tak kuhiraukan. Aku hanya mementingkan kebutuhan dan keperluanku saja. Sedang ibu bekerja membuat makanan untuk para karyawan di sebuah rumah jahit sederhana. Pada suatu saat ibu datang ke sekolah untuk menjenguk keadaanku. Karena sudah beberapa hari aku tak pulang ke rumah dan tidak menginap di rumahku. Karena rumah kumuh itu membuatku muak, membuat kesempurnaan yang kumiliki manjadi cacat. Akan kuperoleh apapun untuk menggapai sebuah kesempurnaan itu. Tepat di saat istirahat, salah satu guru yang berpapasan denganku di kantin sekolah memanggilku. Hocky Nawawie Kau kedatangan tamu! ucap guru yang berpapasan denganku itu. Siapa Bu? Lihat saja ke ruang tamu sekolah! Perintah guru itu segera kulaksanakan. Aku berjalan melewati lorong-lorong kelas yang sedang ramai. Anak-anak sepantarku sedang asyik-asyiknya menikmati hidup yang semu ini. Beberapa menit kemudian sampailah aku di depan pintu ruang tamu sekolah. Kulihat sosok wanita tua sedang duduk. Bajunya pun bersahaja rapih dan sopan. Itulah ibu ku yang mempunyai mata satu. Dan yang selalu membuat aku malu. Hockyyyyyyy Ibu memanggilku. Mau ngapain ibu ke sini? Ibu datang hanya untuk mempermalukan aku! Beberapa anak-anak yang sedang berjalan di depan ruang tamu sekolah melihat ke dalam ruangan yang menjadi neraka bagiku. Bentakkan dariku membuat dirinya ingin segera bergegas pulang. Dan itulah memang yang kuharapkan. Ibu pun bergegas keluar dari sekolahku. Karena kehadirannya itu aku benar-benar malu, sangat malu. Sampai beberapa temanku berkata dan menanyakan. Hocky. IBU MU MATANYA SATU YAH? Terasa suntikan yang mematikan mendapat pertanyaan seperti itu, aku hanya melewatinya dengan wajah sinis. Beberapa bulan kemudian aku lulus sekolah dan diterima di sebuah Institut Negeri di Singapura. Aku mendapatkan beasiswa yang ku incar, kukejar dan aku ternyata berhasil mendapatkannya. Dengan bangga kubusungkan dada pada orang-orang yang sempat menghinaku. Aku berangkat pergi merantau ke Singapura tanpa memberi tahu Ibu karena bagiku itu tidak perlu. Aku hidup untuk diriku sendiri. Persetan dengan Ibuku. Seorang yang selalu mnghalangi kemajuanku. Karena aku MALU. Di Singapura, aku menjadi mahasiswa terpopuler karena kepintaranku. Aku telah sukses dan pada suatu saat aku menikah dengan seorang gadis Indonesia yang menetap di Singapura. Singkat cerita aku menjadi seorang yang sukses, sangat sukses. Tempat tinggalku sangat mewah, aku mempunyai satu anak perempuan berusia tiga tahun dan aku sangat menyayanginya. Bahkan aku menjaminkan nyawa untuk putriku itu. 10 tahun aku menetap di Singapura, belajar dan membina rumah tangga dengan harmonis dan nyaris sama sekali aku tak pernah memikirkan nasib ibuku. Ibu yang telah melahirkanku ke dunia ini, membuatku berpijak di dunia. Sedikit pun aku tak rindu padanya, aku tak mencemaskannya. Aku BAHAGIA dengan kehidupan ku sekarang. Hingga pada suatu hari, putri sulungku sedang asyik bermain di depan pintu. Tiba-tiba datang seorang wanita tua renta dan sedikit kumuh menghampirinya. Dan kulihat dia adalah Ibu, Ibuku datang ke Singapura. Entah untuk apa dan dari mana dia mendapatkan ongkos. Seketika saja Ibu ku usir. Dengan enteng aku mengatakan: HEY, PERGILAH KAU. KAU

MEMBUAT ANAKKU TAKUT! Dan tanpa membalas perkataan kasarku, Ibu lalu tersenyum, MAAF KALAU BEGITU SAYA SALAH ALAMAT Tanpa merasa terhunus, aku masuk ke dalam rumah. Sempat istri menanyakan siapa yang datang dan kumarahi, dan aku menjawab PENGEMIS . Beberapa bulan kemudian datanglah sepucuk surat undangan reuni dari sekolah SMA ku, SMA N 1 BREBES. Aku pun datang untuk menghadirinya dengan beralasan pada istriku bahwa aku akan dinas ke luar negeri. Singkat cerita, tibalah aku di kota kelahiranku. Tak lama hanya ingin menghadiri pesta reuni dan sedikit menyombongkan diri yang sudah sukses ini. Berhasil aku membuat seluruh teman-temanku kagum pada diriku yang sekarang ini. Satu hal yang kutakutkan, mereka menanyakan ibu ku yang memalukan itu, karena matanya yang BUTA. Tapi untung saja tak ada sepatah kalimat IBU yang menghantar padaku. Reuni selesai. Sebelum pulang ke Singapura, aku ingin melihat keadaan rumahku di desa kecil bernama Pebatan. Tak tau perasaan apa yang membuatku melangkah untuk melihat rumah kumuh dan wanita tua itu. Sesampainya di depan rumah itu, tak ada perasaan sedih atau bersalah padaku, bahkan aku sendiri jijik melihatnya. Dengan rasa tidak berdosa, aku memasuki rumah itu tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Ku lihat rumah ini begitu berantakan bak kapal pecah yang baru saja terjun dan berhamburan ke tanah. Aku tak menemukan sosok wanita tua di dalam rumah itu, entahlah dia ke mana tapi aku merasa beruntung tak menemuinya. Bergegas aku keluar dan tiba-tiba salah satu tetangga dekat rumahku mengenaliku. Hocky? akhirnya kau datang juga. Ibu mu telah meninggal dunia dua minggu yang lalu OH Hanya perkataan itu yang bisa keluar dari mulutku. Tak tau mengapa tak ada tetesan air mata. Jangakan tetesan air mata, sedikit rasa sedih saja tak aku rasakan saat mendengar ibuku meninggal. Ini, sebelum meninggal, Ibumu memberikan surat ini untukmu Ibu-ibu yang menghampiriku segera bergegas pergi. Ku buka lembar surat yang sudah kucal itu. Untuk anakku Hocky yang sangat Aku cintai, Demi Tuhan yang menggenggam nyawaku, yang menguasai ruhku, yang mencintaiku seperti aku mencintaimu walau kau sangat membenciku. Anakku Hocky, Ibu tahu kau akan datang ke acara Reuni yang diadakan oleh sekolahmu. Sejujurnya ibu sangat merindukanmu, teramat dalam sehingga setiap doaku pada Tuhan pemilik arsy! Aku meminta ampunan untukmu nak. Asal kau tau saja Hocky anakku tersayang, mata yang membuat mu malu ini ada di salah satu dari matamu. Waktu kau kecil, kau dan Ayah mu mengalami kecelakaan yang hebat, tetapi Ayah tidak terluka apa-apa sedangkan mata kananmu mengalami kebutaan. Aku tak tega anak tersayangku ini hidup dan tumbuh dengan mata yang cacat maka aku berikan satu mataku ini untukmu. Ya .. salah satu matamu adalah mataku. Kau melihat dengan mataku nak, dan aku bangga padamu karena kau bisa meraih apa yang kau inginkan dan cita-citakan. Do akanlah aku diterima di sisiNya. Saat aku menulis surat ini, aku yakin maut sudah mengetuk pintu kehidupanku. Ibumu tercinta Bak petir di siang bolong yang menghantam seluruh saraf-sarafku, Aku terdiam! tubuhku bergetar keras, air mataku sungguh tak kuasa ku bendung. Ya Allah Ya Robb...............

KISAH hidupku dimulai dari sini, dari jalan setapak menuju keramaian lalu lalangnya kendaraan. Kehidupanku tergantung dengan orang - orang disekelilingku, hanya Panas, dingin dan sebuah gitar yang bisa menemani hari - hariku. Keras lembutnya kehidupan telah kurasakan dengan penuh keceriaan. Ibuku seorang tenaga kerja di luar negeri, ayahku kabur karena jadi buronan polisi, kini tinggal aku bersama adik kecilku di kota yang hiruk pikuk. Usiaku memang belum matang untuk mencari sesuap nasi, tapi apa daya, ini adalah takdir hidupku sendiri. Inilah kehidupanku, kehidupan menjadi seorang anak jalanan. Yang tidur beralaskan koran dan dikelilingi tumpukkan kotak - kotak, terkadang tidur di depan toko orang. Aku rela gak bersekolah, dan fokus mencari nafkah untuk makan aku dan adikku. Aku selalu mendapat diskriminasi dari anak jalanan dewasa, pukulan mereka kerap kurasakan jika aku tidak memberi uang kepada mereka. Setiap ada penertiban gepeng, aku selalu berlarian bersama anak jalanan lainnya sambil menahan air mata mencoba menghindar dari petugas. Hidup di jalanan memang keras.Aapa yang aku lihat dan aku jalani ini bukanlah jalan hidup yang aku inginkan dan belum pantas aku terima di usiaku yang masih belia ini. Diinjak, dicaci, dimaki, dibotaki, dan lalu aku dilepas begitu saja sama geng hijau. Di lain waktu, kejadian itu terjadi lagi menimpaku dan kawan-kawanku . Dimana keadilan itu? Dan apakah mereka buta hukum, walaupun aku gak bersekolah, tapi aku tahu bahwa di Undang -Undang Dasar Negara ini bahwa anak-anak dilindungi negara, termasuk aku dan anak - anak jalanan lainnya. Tapi kenapa para petugas penertiban melakukan hal yang berbeda dengan apa yang tertera di undangundang negara ini? Aku mau ngadu ke Lembaga Perlindungan Anak, tapi karena keterbatasan jarak dan pengetahuanku, niat itu aku urungkan. Dalam hati kuberdoa, "Biar tuhan yang maha adil membalasnya!" Buat apa orang-orang mengadakan pesta pemilu dengan mengeluarkan uang jutaan rupiah agar bisa menarik simpati masyarakat. Buat apa ada pergantian Walikota, Gubernur dan Presiden, tapi kehidupan kami, anak jalanan tidak berubah bahkan cenderung tidak diperhatikan.Janji-janji manis saat kampanye tak terwujud ketika sudah berhasil duduk di kursi empuk jabatan. Bagiku, tidak dianggap sama orang-orang kaya tidaklah menjadi masalah, aku ikhlas menghadapi cobaan hidup ini. Aku harus kuat, dengan gitar kecil usangku. Hidup tetap berjalan, aku tidak boleh gampang meyerah mencari nafkah, dari lampu merah satu ke lampu merah lainnya. Dari rumah makan pinggir jalan hingga ke rumah makan lainnya. Aku tetap bisa senyum sambil

memetikkan gitar dan bernyanyi sambil menahan perihnya hidup yang kujalani ini. Bagi anak-anak seusiaku, banyak yang tidak tahu tentang arti kehidupan dan kerasnya hidup. Kebanyakan mereka hanya bisa main dirumah dengan mainan kesayangannya, meminta uang jajan, mendapatkan kasih sayang kedua orang tuanya, dan punya kesempatan yang lebih baik dari kami. Mereka bisa belajar di bangku sekolah, sedangkan kami hanyalah pengalaman yang menjadi guru kami.

Pagi hari, biasanya sarapan pagi bersama keluarga, sedangkan aku dan adikku harus bergegas pergi dari tempat kami tidur, karena takut disiram sama yang punya tempat. Mencari tempat berteduh lainnya yang lebih aman. Kadang kami terpaksa mengemis sekadar untuk menganjal perut yang sejak malamnya belum terisi. Siangnya aku pergi lagi ke lampu merah untuk mengamen untuk makan siang kami, syukur-syukur dapat rezeki hingga makan malam. Tak banyak yang bisa aku hasilkan dari usaha mengamenku. Memang jalanan bukanlah dunia kami, dunia anak. Tapi siapa yang harus kami tuntut? kenapa kami ada di jalanan? kami hanyalah anak-anak yang baru belajar hidup. Yang kami dapatkan hanya panas dari teriknya matahari dan penat yang selalu menggantung ditubuh kurusku. Kami butuh hangatnya pelukan seorang ibu, dan teman-teman yang mengisi hari-hariku. Andai aku pandai baca tulis, akan aku kirimi surat setiap pekan untuk bapak Walikota, Gubernur, dan Presiden tentang kehidupan kami sehari - hari. Tapi apa daya, dari kecil aku tidak pernah menikmati bangku sekolah, mengenakan seragam putih merah dan belajar bersama teman-teman. Kami juga punya cita-cita, tapi bagaimana mau tercapai jika pemerintah hanya memperhatikan sebagian masyarakat saja? Andai kami diberi kesempatan untuk bersekolah hingga lulus kuliah. Dan berhasil menggapai cita-cita, jadi Insinyur, Dokter, Pilot, Pengusaha, Tentara, Polisi, Walikota, Gubernur, mungkin juga jadi Presiden. Aku akan berusaha menjadi orang yang berguna bagi siapa saja tanpa pandang bulu dan jika aku seorang Presiden akan aku sembuhkan orang-orang di negara ini yang sedang dilanda penyakit haus akan harta dan jabatan

suatu hari, seorang wanita memberikan tantangan kepada kekasihnya untuk hidup tanpa dirinya selama satu hari . tidak akan ada komunikasi apapun di antara mereka selama satu hari itu . sang wanita berkata pada kekasihnya, "kalau kamu bisa melewati tantangan itu, aku akan mencintai kamu selamanya" . kekasihnya pun menyetujuinya . dia tidak tidak menghubungi sang wanita dengan cara apapun selama satu hari itu . tanpa mengetahui bahwa sang wanita hanya memiliki waktu 24 jam untuk hidup . karena sang wanita terkena kanker otak yang sudah tidak mungkin bisa di tolong .

keesokan harinya, sang kekasih datang ke rumah sang wanita untuk merayakan keberhasilannya itu melewati tantangan yang di berikan oleh sang wanita . air matanya pun tiba tiba menetes pada saat dia melihat sang wanita sudah terbaring kaku tak berdaya dengan surat di tangannya yang tertulis, "KAMU BERHASIL SAYANG . BISAKAH KAMU MELAKUKAN ITU SETIAP HARI UNTUK AKU ? AKU CINTA KAMU . SELAMAT TINGGAL" .

Ibu, izinkan aku membasuh luka ini dengan rembesan keringat dari pori-pori tubuhmu Hatiku telanjur cedera oleh pecahan masa lalu yang terpisah dan terkucil dari laju-laju usiaku Kalaupun napasmu tak bisa lagi kusesap, kupinta doamu sampai perburuanku usai, juga munajatmu ketika lahadku berhiaskan nisan emas. **** Empat peluru ini mungkin bisa membebaskanku dari beban dan tekanan jiwa akibat ulah mereka. Tapi setelah itu, tiga embrio akan menelanjangi pikiran sempit keturunanku kelak . Yang tebersit kini adalah bagaimana agar semua tak pernah muncul ke dunia ataupun bereinkarnasi dengan menjalani cerita yang sama. Ron, tolong kasih surat ini ke Ibu. Tak perlu ada alasan. Sekarang aku tak tahu lagi apa yang ada di pikiranmu, Dit. Kau akan tahu isi pikiranku setelah Ibu menerima dan membaca surat ini. Ini, kuberi uang untuk ongkos ke desa. Lalu, bagaimana denganmu? Tak perlu khawatir. Semua akan baik-baik saja. Aku tak mau kau tertangkap juga karena aku. **** Dodi dan peluru pertama. Sebuah gedung tua tak berpenghuni di pinggiran kota. Jauh dari hiruk-pikuk dan kebisingan pabrik yang kadang memekakkan telinga. Juga kerumunan orang yang berlalu-lalang dengan garis hidup teratur ketika berada di seberang umur. Mentari saat itu semakin tua oleh senja. Tapi ia tak menolongku ketika insiden itu terjadi. Atau rimbunan pohon yang setia menunggu hujan, lantaran dibuat dahaga sepanjang tahun oleh bejatnya perilaku manusia terhadap alam. Juga terhadapku ketika aku dibiarkan tergantung dengan kepala di bawah, di pohon dekat sekolah. Ini hanya sepenggal kisah pertama tentang ketertarikanku mengulang saat-saat menjadi korban pertama dari peradaban manusia tak berotak. Aku hanya mengubah sosok korban itu dengan sang pelaku yang kini ada di tanganku.

** SENSOR ** kau, Dit! Lepasin aku! Polisi bakal dateng buat nangkep kamu! Jangan harap kamu bisa lari! Ya, polisi bakal dateng ke sini. Tapi bukan buat nangkep aku, justru buat bungkus mayat kamu di dalam plastik jenazah, ujarku, tenang. Tampak wajah ketakutan Dodi setelah mendengar perkataanku. Matanya melotot, napasnya tak beraturan, juga keringat bercucuran di pori-pori kulitnya. Tenang saja. Ini takkan sakit. Bukankah dulu waktu kau menggantungku di pohon kau tak merasakan apa yang aku alami? Kali ini hal itu akan terulang. Tapi mungkin yang tidak akan merasakan sakit sekarang adalah aku, kataku. Dit, jangan Dit, plis aku minta maaf Dit. Aku ngaku salah, Dit... Dit... Diiitttt! **** Seorang pria berusia sekitar 25 tahun ditemukan tewas mengenaskan dalam keadaan tergantung dengan luka tembak di alat vitalnya dan luka gorok di lehernya. Diduga korban dibunuh oleh pelaku yang belum diketahui identitasnya. Sampai saat ini polisi masih menyisir tempat kejadian dan melakukan penyelidikan. Adapun mayat korban telah dimasukkan ke dalam plastik jenazah dan akan dibawa ke rumah sakit setempat. Berdasarkan keterangan para saksi, mereka mengaku tiba-tiba mendengar bunyi seperti ledakan yang kemungkinan suara senjata api yang berasal dari dalam gedung tua ini. Demikian Kabar Terkini TV News, saya Aulia Maya. Sampai jumpa satu jam mendatang. **** Ical dan peluru kedua. Kepakan sayap burung itu selalu membuatku menitikkan tetes-tetes kehidupan 10 tahun silam. Sampai saat ini bahkan aku tak berani memandang sore dalam beranda. Setiap senja datang, amarah itu menyerang. Dan berangsur pergi ketika tangan ini memuaskan hasrat pikiran. Hal kedua yang ada pada 10 tahun silam adalah tubuhku menggigil di sebuah sungai dalam keadaan tanpa sehelai benang pun. Udara bahkan semakin menusuk tulang ini ketika rintihan dan ratapan mewakili ketidakberdayaanku.

Pukul 00.00, hal itu terulang. Ical terduduk di sebuah kursi dengan tangan terikat dan mata tertutup. Juga tanpa sehelai benang pun. Lepasin gue!!!! Arrggghh!! Halo, Cal. Masih kenal aku? Siapa di situ? Lepasin gue! Toloooong!!! Sssstt... percuma kamu teriak. Cuma Tuhan yang bisa dengar teriakanmu, selain aku. Siapa kamu! Apa kamu ingat, sepuluh tahun lalu, kamu dan Dodi pernah membawaku ke sebuah sungai. Kalian menyiksaku, melepas semua pakaianku, lalu membuangku ke sungai. Apa kamu ingat juga, saat itu aku meraung-raung seperti orang gila. Sedangkan kalian hanya tertawa. Adit? Kamu apa-apaan, Dit? Lepasin, Dit! Kamu udah gila! Ya, sampe sekarang, aku memang masih gila. Itu juga karena kalian. Sampai sekarang pun aku masih kecewa dengan cuaca. Udara saat ini tak membantuku menusuk tulang Ical. Dia juga tak tampak kedinginan. Sial! Trus mau kamu apa, Dit?? Mauku sekarang adalah, masa-masa itu terulang... dan mungkin bisa lebih dari itu. Tapi tenang, aku tak akan sampai menyiksamu. Dit, aku bukan orang kayak gitu lagi sekarang. Aku udah punya istri dan anak. Tenang. Nanti ucapan terakhirmu akan aku sampaikan kepada mereka. Pelan-pelan kudekap kepala Ical dari belakang, lantas kudekatkan mulutku ke telinganya. Sekarang, ucapkan kata terakhirmu, bisikku sambil menyentuhkan sebuah pistol di kepala Ical dan membuka sehelai kain yang menutupi matanya. Apa maksud kamu, Dit? Napas Ical mulai terengah-engah ketika tahu bahwa aku menempelkan sebuah pistol di kepalanya. Aku mulai merasakan detak jantung itu berpacu melawan deru mobil-mobil yang melintas di jalan. Cepat katakan! teriakku. Kamu nggak bisa lakuin ini, Dit. Tolong aku, Dit. Aku punya anak dan istri, ujar Ical sambil terisak dan menutup matanya. Kalau kamu nggak mau ucapkan, istri dan anakmu yang akan aku bikin kayak gini. Oke... oke..., ujar Ical, pasrah. Perlahan aku melepaskan dekapanku dan menjauhkan pistol itu dari kepala Ical. Via... Lisa... A...a...yah akan segera pulang. A...yah kangen sama kalian, ucap Ical, terbatabata. Bagus. Tapi simpan ucapan itu sampai mereka menyusulmu. ****

Penemuan mayat kembali terjadi. Kali ini seorang pria yang diperkirakan berusia 26 tahun tewas dalam keadaan mengambang tanpa busana dan terikat di sebuah kursi. Diduga korban dibunuh lantaran di kepalanya terdapat luka tembak. Belum diketahui penyebab dan motif pembunuhan ini. Sampai berita ini diturunkan, polisi masih melakukan olah tempat kejadian perkara. Warga yang berkerumun di lokasi pun tak ada yang tahu persis kapan peristiwa ini terjadi. Selain itu, tak ada saksi yang bisa dimintai keterangan.

KUPU-KUPU DI TENGAH SAMUDERA

Perlahan-lahan kakiku yang sudah lelah menyusuri selokan Mataram diiringi hujan gerimis siang itu. Sabtu 13.06 aku telah berdiri di tempat pemberhentian bis kota. Hari itu adalah jadwal aku pulang kampung dari kesibukan kuliah yang rutin aku lakukan dua minggu sekali. Gerimis berubah menjadi tetes air yang cukup membuat bajuku basah, pak sopir memberhentikan busnya di depan pintu masuk stasiun Tugu. Aku berlari menuju stasiun. Perjalanan pulangku pun dilanjutkan. Aku naik kreta ke stasiun Balapan Solo. Dari Solo aku langsung naik bus menuju Tawangmangu kota kecamatanku. Dari Tawangmangu aku harus naik ojek agar sampai di desa aku. Sekitar 4 jam berlalu aku sudah mulai memasuki gapura kampungku. Langkah-demi langkah aku berjalan menuju rumahku. Layaknya seorang artis tetangga-tetangga banyak yang menyapa. Maklum, aku adalah anak desa yang dapat merasakan bangku kuliah di Yogyakarta. Rumahku yang sederhana sudah mulai terlihat, aku semakin semangat melangkahkan kakiku. Semakin dekat mulai nampak seorang wanita berkerudung putih usang sedang duduk di kursi kayu kecil meghadap ke barat sambil memecah batu. Tak berapa lama terpancar sinar kebahagiaan dari wajah sayunya melihat anak laki-lakinya pulang. Segera ku ulur simpul senyum terindah yang hanya ku persembahkan untuk orang yang paling kucintai di dunia ini. Wanita itu bagiku adalah kupu-kupu di tengah samudera. Kupu-kupu yang berjuang mencari daratan untuk mencapai sebuah tujuan mulia. Beliau adalah ibu dari lelaki muda ini. Saniyem adalah nama yang kakekku berikan pada beliau 41 tahun silam 2 Januari 1970. Beliau adalah Kartini bagi keluarganya. Beliau adalah ibu paling tangguh di dunia sepanjang masa. Kenapa hiperbola ini aku gambarkan pada beliau akan kita ketahui pada lanjutan cerita ini. Beliau bukan perempuan yang mengharumkan bangsa ini, beliau juga bukan aktivis yang berjuang untuk masyarakat, bukan ketua organisasi, bukan pula perempuan terkenal yang sering lalu-lalang di layar televisi. Beliau hanya seorang Ibu yang melarang

anaknya bernuat jelek dan menyuruh anaknya berbuat kebaikan. Beliau hanya seorang Ibu yang berjuang dan berharap anak-anaknya dapat menjadi orang yang berguna bagi bangsa dan agama suatu saat kelak. Segera setelah itu kujabat tangannya. Tiba-tiba mata hatiku menangis karena yang kurasakan adalah tangan yang kasar berlapis tanda-tanda kerja keras. Akan tetapi wajahku berusaha menampakkan wajah segembira mungkin. Apa kabar nak ? kata yang keluar pertama dari kedua bibir beliau.

Selanjutnya kami terlibat obrolan kecil membahas bagaimana kuliahku, bagaimana kesehatanku, bagaimana keadaan di sana. Hal yang sama juga aku tanyakan kepada Ibuku. Kami adalah keluarga kecil yang bahagia. Bapakku seorang petani lahan kering yang berpenghasilan paspasan. Ibuku bekerja buruh di toko besi dan memecah batu pada sore harinya. Aku mempunyai seorang adik yang duduk di bangku kelas X SMA. Kedua orang tuaku bekerja keras untuk menghidupi keluarga dan menyekolahkan anak-anaknya. Dalam cerita ini yang lebih aku angkat adalah Ibuku, dan apa saja yang berkaitan dengan perjuangan beliau. Waktu sudah menunjukkan pukul 19.34 Aku dan Ibu baru saja melaksanakan ibadah bersama. Adikku sedang sibuk dengan PRnya sedangkan Bapak belum pulang. Tidak lepas dari tempat kami beribadah, rasa rinduku pada beliau mulai terobati dengan obrolan-obrolan ringan yang kembali terjadi di antara kami. Aku merasa sangat bahagia sekali. Setengah jam lewat obrolan kami semakin seru dan dengan bahasa Jawa beliau mulai bercerita pada masa-masa dimana aku masih kecil dan perjuangan beliau. Beliau menceritakan bahwa, saat itu aku baru bisa berjalan. Bapak sedang merantau ke luar kota mencari nafkah. Harta yang kami punya Cuma seekor kambing betina dan anaknya yang masih kecil. Pada hari itu, sampai sore beliau belum mencarikan rumput untuk kambing kami padahal sore itu terjadi hujan deras disertai angin. Namun demi 2 ekor kambing yang kami punya beliau nekad menggendong aku untuk mencari rumput. Anak yang baru bisa berjalan beliau letakkan di teras balai desa sendirian. Sedangkan beliau sendiri mencari rumput di tengah sawah saat hujan deras disertai angin lebat, belum lagi petir yang menyambar-nyambar. Cerita yang lain, saat itu kira-kira aku baru berusia 2 tahun. Pada masa kecil Ibu suka mengajak aku ke ladang. Ladang kami berjarak kira-kira 5 kilometer dari rumah melewati lembah dan beberapa bukit. Hingga pada suatu saat Aku dan Ibu pulang dari ladang sudah menjelang petang. Kami berjalan menyusuri jalan setapak menuju rumah. Setelah menyusuri semak dan menuruni lereng maka sampailah kami di tepi sungai. Tapi apa yang terjadi? di depan kami mengalir sungai yang sedang banjir mengalir sangat deras. Nampaknya terjadi hujan lebat di daerah hulu. Ibu yang menggendong aku mulai resah. Bersama aliran sungai terangkut batang-batang kayu menunjukkan betapa derasnya aliran sungai waktu itu. Hari semakin larut, jika mengambil jalan memutar maka harus kembali ke ladang sedangkan langit semakin gelap. Tidak mungkin jika kami harus menyusuri hutan pada langit yang sudah hitam. Jika

menyeberang sungai, nyawa adalah taruhannya. Tapi akhirnya beliau membuat satu keputusan yang sangat beresiko. Beliau berfikir, seandainya kami kalah dengan arus maka kami akan mati berdua. Berbekal letak batu-batu yang sudah dihafal beliau segera memanggul aku di pundaknya. Beliau berdoa dan mulai melangkah. Sekuat tenaga beliau melawan arus setapak demi tapak menginjak batu. Air mata pun tak kuasa beliau bendung. Di tengah arus tersebut (ada lanjutannya gan..baca tulisan di bawah ini ya!)

Tenang, damai, sendu, pilu, yang selalu aku rasakan disaat menyambut mentari pagi dan sampai menghilang wajah bulan. Senyum kecil yang tak pernah menyeringai, membuatku bersemangat dalam mencari helai demi helai kertas untuk segelas susu. Mardi , itulah namaku. Aku memikul 3 suap nasi dan segelas susu. Istriku Arum , anakku Saidan , dan anakku yang masih kecil Saidin . Aku berkerja menjadi seorang kuli bangunan, 200 ribu kudapat dalam dua minggu. Saidan sedang mengenyam bangku sekolah madrasah kelas 6 SD dekat pinggiran pegunungan. Ia sangat rajin dalam belajar, tidak seperti diriku ini, hanya mampu menggapai kelas 3 SD. Aku sangat beruntung mendapatkan istri secantik arum yang dimana pendidikannya sampai D3 di salah satu universitas Kota kembang, memang beruntung dan suatu keajaiban bisa mempersunting arum. Miris dan sebelah mata orasng tua arum memandang pendidikan sampai kelas 3 SD. Berjuang keras, itulah jalanku satu-satunya. Sendok tembok dan sebuah cangkul menjadi teman hidupku dalam mencari uang. Aku selalu suka disaat matahari terbit, karna matahari membuat diriku sadar bahwa mencari uang tidak hanya menghasilkan uang, tapi keringat yang bercucuran yang membuatku paham akan arti uang yang aku gunakan. Bersama keluargaku, sangat menikmati dan mensyukuri apa yang ada. Kaya?!, hanyalah sumpah serapah bagiku, aku tak pernah memikirkan hal itu, seperti ini adanya aku merasa nyaman. Nanti saja kalau hidupku mulai tak nyaman baru aku berpikir untuk menjadi kaya!. Pada siang itu ketika aku sedang memahat kayu, cuaca sangat buruk. Awan begitu mendung seakan kehitamannya tak pernah padam. Separuh kilat mulai menunjukan taringnya dalam biru yang menjadi padam. Aku hanya teringat pada anakku saidin yang sedang tertidur lelap dalam kepulasan setiap matahari memperlihatkan kerupawanan corak. Seperti biasanya kala siang itu sangat berbeda, matahari sudah tidak rupawan lagi. Cuaca kala itu tidak sedikitpun diperdulikan oleh temanku yang lain, mereka hanya memikirkan sendok tembok dan sebuah batako. Bila terjadi hujan, mereka memasang terpal yang lebar, dan pekerjaanpun dilanjutkan sampai jarum jam menunjuk pada arah senja. Secara perlahan hujan mulai turun, terpal pun langsung dibentangkan. Aku tidak membantu mereka memasang terpal, tapi aku melangkahkan kaki menuju rumah. Yang terbayang di gejolak jiwa hanyalah wajah saidin, dan aku ingin sekali memeluk dia saat itu juga. Ocehan-ocehan yang terngiang disaat itu yang kudengar hanyalah berisi uang, uang, uang, dan sudah tak butuh uang. Aku tak peduli dengan semua ocehan itu, aku hanya ingin memeluk anakku. Pecat?!, tak aku hiraukan juga. Hujan, hujan mulai membesar ditiap langkahku. Daun pisang berjejeran disetiap pinggiran-pinggiran jalanku, keinginan mengambil selembarpun aku tak ingin. Aku hanya ingin segera memeluk anakku

saidin. Ternyata angin mulai melebarkan ketangguhannya disela-sela hujan menimpa kepalaku, Kian deras, kian menakutkan. Aku pun berhenti sejenak mencari tempat beratap untuk sekejap mengedipkan mata. Terlihat di ujung sana air secara perlahan menggumpal dan terus melaju tanpa terhentikan. Aku segera bergegas mencari tempat yang lebih tinggi, dengan maksud melihat batas akhir gumpalan air itu. Tepat aku berdiri di atas pohon besar yang tinggi dan kokoh, beberapa rumah dari desaku hanyut terbawa aliran air yang begitu deras. Aku hanya bisa diam dan melihat, betapa bodohnya diriku ini. Sampai ketika aku melihat ada seorang anak kecil yang seumur dengan anakku saidin terbawa hanyut derasnya air itu. Tanpa panjang pikir aku terjun kebawah dengan mengikatkan sebuah akar ke badan. Ketika aku merangkul anak itu, rasa kaget menyelimuti setelah pandanganku tertuju pada muka anak tersebut. Aku angkat dan membawanya ke atas pohon tempat aku melihat anakku itu yang terhanyut oleh air. Aku bertaya, sayang, kemana yang lain?! , dia tidak menjawab, bahkan melihatku juga tidak. Teriakanku makin kencang di sisi telinga anakku, SAYANGGGGG . Ini bapak, apa kamu tidak mengenal lagi bapakmu?. Nak, kenapa kau tidak menyahut, bapak bekerja dengan kerasnya hanya untuk membeli susu buat kamu nak, kenapa kau tetap tidak menjawaban sahutan bapak. Aku menunggu air hujan sampai reda di atas pohon bersama anakku saidin yang menjadi bisu. Tiap detik, aku selalu memanggil namanya, dan dia tetap terkulai kaku tidak menjawab dan tidak pernah menatapku. Seluruh desaku hancur tak tersisa, mungkin anak dan istriku sudah tak bisa lagi bertemu denganku. Kebahagianku terenggut sudah hanya dikarnakan hujan deras. Begitu mudahnya istriku yang kudapat bagaikan mimpi menghilang begitu saja, apalagi anak pertamaku pergi tanpa meninggalkan pesan. Hujan pun akhirnya reda, aku tak kuasa melihat kebawah dan melihat sekitar, mungkin ini hanya sekedar mimpi, itulah yang kubayangkan saat ini. Sampai akhirnya, aku tak berani turun kebawah, entah kenapa dan kenapa. Aku selalu takut bila menginjakkan kaki di atas tanah. Kugendong anakku saidin dengan sebuah akar yang merambat pada tiap batang pohon. Aku tau anakku telah mati, tapi bagiku jiwanya masih hidup dan masih terasa dalam hati. Gelap pun tiba, aku kedinginan apalagi anakku. Aku ikatkan anakku pada sebuah batang kayu. Daundaun beserta batangnya pada pohon ini, kupatahkan satu persatu, kugunakan sebagai alas tidurku bersama anakku untuk malam ini. Ketika matahari mulai muncul, aku terbangun dan menatap anakku, ia tetap tidak bicara dan membuka mata. Aku mulai mematahkan dahan-dahan pada pohon ini satu persatu, sampai akhirnya aku membuat sebuah rumah kecil yang terbuat dari ranting dan dahan pohon. Perutku terasa lapar, dan aku tak tahu bagaimana caranya aku bisa mendapatkan makanan. Tak jauh dari pohon ini, ada pohon kelapa yang mungkin aku bisa mengambilnya. Aku mulai menyambungkan dahan-dahan pohon ini dan ku ikat dengan akar. Baju yang kupakai harus kulepas demi mendapatkan kelapa, ku ikatkan di ujung dahan yang telah aku sambung. Secara perlahan aku membentangkan dahan ini untuk menggapai pohon kelapa itu. Menjelang siang, begitu kerasnya terdengar suara mobil dan sirine ambulans di bawah sana. Aku tak tau apa yang sedang mereka lakukan, aku hanya berpikir, kenapa suara-suara itu tidak terdengar disaat hujan reda pada tengah malam. Ada beberapa orang yang berteriak dibawah sana, memintaku turun kebawah, mereka berkata, apakah bapak bisa turun kebawah , kami bermaksud akan menolong bapak. Apakah anak yang bersama bapak itu masih hidup .!!! Aku hanya menjawab, dia anakku saidin, dia masih hidup dan aku tak sudi turun kebawah, inilah

rumahku yang sekarang, sebaiknya kalian pergi dari sini, bila kalian nekat memanjat pohon ini, tak segan aku akan meloncat kebawah dari atas sini . Saya tak butuh bantuan kalian, bantu saja mayat-mayat yang tergeletak dibawah sana. Orang-orang itu tak mau berhenti berteriak, makin lantang suaranya, tanpa panjang lebar aku lemparkan sebatang kayu dari atas dan sebuah kelapa yang kosong tanpa isi. Mereka masih tetap bersuara, aku langsung berdiri tegak dan berteriak, pergi kalian, klo kalian tidak pergi, kalian akan dapatkan mayat seorang pria yang akan jatuh dari atas sini bersama anak kecilnya , dan jangan berani-beraninya kalian kembali lagi kesini, saya masih bisa mengurus hidup saya dan anakku sendiri di atas sini. Suara orang-orang itu mulai lenyap dari pendengaranku, mungkin mereka berpikir aku sudah gila, mereka tidak menghiraukanku, mereka tau anak yang kugendong ini sudah mati, dan mereka berpikir takan rugi kehilangan satu nyawa, lebih baik mereka mencari orang-orang yang masih selamat. Seminggu berlalu, warna kulit anakku lebih pucat padam dan badanku pun tercium aroma busuk yang tak pernah aku siram oleh air. Aku tidak gila, aku masih waras, tapi aku masih takut untuk menginjakkan kaki di atas tanah. Kejadian itu membuatku kehilangan hati dan pikiranku menjadi kosong. Layaknya seekor burung yang selalu berada di atas, apapun yang harus terjadi, semuanya harus terjadi di atas. Rumah pohon ini merupakan tempat singgahku dan segalanya bagiku, terkadang aku melamun seharian penuh, mungkin hanya diriku yang selamat dari kejadian itu. Setiap menjelang siang aku selalu membentangkan dahan-dahan kayu untuk mengambil kelapa, aku ambil dalam sehari hanya satu dan hari selanjutnya pun aku ambil lagi satu. Setiap malam menjelang tidur, aku selalu menyanyikan sebuah lagu nina bobo untuk anakku, biasanya setiap habis menyanyikan lagu itu, anakku lansung mencium keningku, dan aku membalas dengan senyuman. Selang dua minggu setelah kejadian itu, aku tak merasakan lagi getaran jiwa anakku, aku terdiam dan menangis. Apa yang harus aku lakukan? menginjakkan kaki di atas tanah pun aku tak berani, tapi anakku? Apa yang harus aku lakukan? Kusiramkan air kelapa keseluruh badannya, biar dia bisa terbangun, tapi apa hasilnya, anakku tetap terlelap dan tak pernah membukakan mata. Kupeluk dengan eratnya seluruh badan anakku, biar aku merasakan apa yang sedang dia rasakan. sayang, sampai kapan kau akan begini, bapak akan menjagamu selalu . Aku selalu menunggu anakku tersenyum manis tanpa menyeringai setiap hari, itu yang selalu ingin kulihat dikala aku membuka mata. Selintas, aku membayangkan istriku dan anakku saidan, arum yang selalu setia menemaniku dikala aku pulang kerja dengan segelas kopi yang ia bawa dan saidan yang selalu aku lihat rajin duduk di meja belajar dengan memegang buku yang selalu ia baca tanpa merasa bosan. Di rumah pohon ini, semua itu tak ada, yang ada hanya hatiku terasa padam dan aku tak pernah merasakan lelah. Tepat matahari berada di atas, ada beberapa orang yang membujukku untuk turun kebawah. Mereka berkata mardi, sampai kapan kau akan berada di atas sana?, apa kau tidak merasa kasihan dengan jasad anakmu yang selalu kau peluk dan kau gendong. Tempatkanlah anakmu ditempat yang layak, sesudah itu, silahkan kau menetap di pohon ini sampai tua . Aku tak ingin melepaskan anakku, aku selalu ingin bersamanya. Aku bertanya kepada anakku, sayang, apakah kamu sedang bersama ibumu dan kakakmu? , apakah kamu rindu pada bapakmu ini?, apakah kau mau ada bapakmu ini disampingmu selalu! .

Orang-orang dibawah sana tanpa henti-hentinya membujukku untuk turun kebawah bersama anakku. Tanpa merasa bersalah, aku berdiri tegap sambil menggendong anakku dirumah pohon ini, aku berkata kepada orang-orang dibawah sana, terima kasih kalian semua masih memperdulikanku dan anakku, tadi sejenak aku bertnaya kepada anakku, dan ia menjawab, ingin selalu berada disampingku, aku senang dan bahagia mendengar perkataan itu . Dengan memeluk erat anakku, aku terjun kebawah sambil berkata, arum, saidan, tunggu, bapak akan menemui kalian bersama si kecil saidin .

Anda mungkin juga menyukai