Anda di halaman 1dari 6

Osteoporosis Masalah Kesehatan wanita

Resiko osteoporosis pada kesehatan wanita lebih tinggi daripada pria karena, Wanita umumnya massa tulangnya lebih kecil dan proses menopause pada wanita. Osteoporosis penyakit tulang ini sering disebut silent disease juga disebut keropos tulang karena pada saat pengeroposan tulang terjadi sering tanpa adanya keluhan yang berarti. Pasien mengetahui adanya osteoporosis biasanya setelah kondisi cukup parah ditandai gambaran penyakit seperti tubuh yang memendek/bungkuk atau adanya patah tulang. Osteoporosis merupakan penyakit tulang yang ditandai dengan berkurangnya massa tulang, sehingga tulang menjadi rapuh dan resiko terjadinya patah tulang meningkat. Dalam keadaan Fisiologis/normal, tulang kita juga mengalami pengeroposan yang diikuti dengan pembentukan sel-sel tulang baru di bagian tulang yang keropos, sedangkan pada penyakit tulang osteoporosis, pengeroposan tulang terjadi berlebihan dan tidak diikuti proses pembentukan yang cukup sehingga tulang jadi lebih tipis dan rapuh. Type Osteoporosis Osteoporosis primer, adalah jenis Osteoporosis yang tidak diketahui penyebabnya. Osteoporosis sekunder adalah Osteoporosis yang disebabkan oleh penyakit lain, misalnya Hiperparatiroidisme, Diabetes Mellitus tipe 1, Cushing Sindrom, pemakaian obat golongan kortikosteroid dalam jangka waktu lama (pada penderita Asma), obat diuretik (pada penderita hipertensi), obat anti konvulsan , dan lain-lain. Faktor resiko osteoporosis:
1. Wanita. Resiko osteoporosis pada wanita lebih tinggi daripada pria karena, umumnya

2. 3. 4. 5.

massa tulangnya lebih kecil dan proses menopause pada Wanita. Usia. Resiko osteoporosis meningkat 1-2 kali setiap bertambah usia 10 tahun Kebiasaan merokok dan konsumsi minuman beralkohol Ras Asia dan Kaukasia beresiko tinggi untuk mengalami osteoporosis daripada ras Afrika. Genetik. Riwayat osteoporosis atau patah tulang di usia lebih dari;50 tahun pada keluarga juga merupakan faktor resiko osteoporosis.

6. Penyakit kronis seperti diabetes, penyakit hati, ginjal,dapat meningkatkan resiko osteoporosis. 7. Asupan kalsium dan vitamin D yang kurang adalah faktor resiko penting dalam osteoporosis 8. Penggunaan obat-obatan seperti steroid, obat anti kejang (Phenobarbital dan; Phenytoin), antasida yang mengandung aluminium, metotreksat, siklosporin A merupakan faktor resiko osteoporosis karena menyebabkan pengeluaran kalsium dari tulang dalam jumlah banyak. Depresi dan Osteoporosis, Beberapa penelitian membuktikan, terdapat hubungan erat antara depresi dan osteoporosis. Sifat hubungannya timbal balik. Ketidakmampuan penderita osteoporosis memilih coping mechanism yang rasional dalam menghadapi keterbatasannya, akan memicu timbulnya depresi. Sebaliknya, semakin sering seseorang mengalami stres dan depresi,akan memicu disregulasi hormon tubuh, khususnya cortisol yang berpengaruh buruk terhadap osteophenia dan osteoporosis. Pemeriksaan penyakit tulang Osteoporosis Mengukur kepadatan tulang menggunakan alat yang disebut Densitometer X-ray Absorptiometry. Alat ini ada dua jenis yaitu SXA (Single X-ray Absorptiomety) dan DEXA (Dual Energy X-ray Absorptiometry). pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui aktivitas Remodelling tulang yaitu pemeriksaan CTx atau C-Telopeptide dan N-Mid Osteocalcin. CTx atau C-Telopeptide merupakan hasil penguraian tulang yang dilepaskan ke dalam darah sehingga dapat digunakan untuk menilai proses penghancuran tulang. Sedangkan N-Mid Osteocalcin adalah fraksi protein yang dibentuk oleh Osteoblas dan berperan dalam proses pembentukan tulang. Penatalaksanaan penyakit tulang Osteoporosis:

Bisphosphonates digunakan untuk prevensi atau penanganan osteoporosis. Obat ini mengurangi fraktur. Teriparatide Strontium ranelate Vitamin D dan suplemen kalsium

Pencegahan Osteoporosis:

Asupan kalsium cukup Paparan sinar UV B matahari (pagi dan sore) Melakukan olah raga dengan beban Gaya hidup sehat Hindari obat-obatan tertentu; kortikosteroid,

OSTEOPORIS PADA MONOPOUS proses menua merupakan suatu proses normal yang ditandai dengan perubahan secara progresif dalam proses biokimia, sehingga terjadi kelainan atau perubahan struktur dan fungsi jaringan, sel dan non sel. (Widjayakusumah, 1992). Berbagai perubahan fisik dan psikososial akan terjadi sebagai akibat proses menua. Terjadinya perubahan pada semua orang yang mencapai usia lanjut yang tidak disebabkan oleh proses penyakit, menyebabkan kenapa penderita geriatrik berbeda dari populasi lain. (Brocklehurst and Allen, 1987). Penurunan daya ingat ringan, penurunan fungsi pendengaran dan penglihatan (presbiakusis dan presbiopia) bukanlah suatu penyakit. Seringkali memang susah untuk membedakan antara penurunan akibat proses fisologis dengan yang terjadi karena gangguan patologis, misalnya seperti pada osteoporosis dan aterosklerosis. (Martono,2000 ). Banyak perubahan fisiologi yang mempengaruhi status gizi terjadi pada proses penuaan diantaranya adalah penurunan kecepatan basal metabolik ( BMR ) sekitar 2 % / dekade setelah usia 30 tahun. Penurunan sekresi asam klorida, pepsin dan asam empedu yang berpotensi untuk mengganggu penyerapan kalsium, zat besi, seng, protein, lemak dan vitamin yang larut dalam lemak. Dengan menurunnya fungsi biologis sel dan organ, maka daya adaptasi fungsi-fungsi tersebut untuk mengatasi gangguan fisik dan mental juga menurun. Dengan pertambahan usia yang ditandai gejala berkurangnya kemampuan fisik dan mental seseorang, maka beberapa keadaan patologis dapat timbul akibat proses penuaan. Berbagai komplikasi serius dapat timbul akibat adanya perubahan pada beberapa sistem organ dan fungsi metabolik yang disebabkan oleh imobilisasi. Dekubitus, osteoporosis, konstipasi, kelemahan dan perubahan psikologik merupakan beberapa komplikasi akibat imobilisasi. (Kahn, 1998). Osteoporosis menurut etiologinya dapat dikelompokkan dalam osteoporosis primer dan osteoporosis sekunder. Osteoporosis primer adalah yang terjadi pada wanita paska menopause oleh karena proses penuaan. Sedangkan osteoporosis sekunder adalah osteoporosis yang disebabkan oleh berbagai hal antara lain oleh kelainan endokrin, gangguan fungsi hati, ginjal, defisiensi vitamin D, gangguan hematologi, kelainan saluran cerna dan berbagai macam obat-obatan. Osteoporosis sekunder yang salah satu penyebabnya yang paling sering ditemukan adalah glukokortikoid. Hal ini disebabkan oleh karena glukokortikoid dapat mempengaruhi produksi dari prostaglandin E, sintesis insulin like growth factor, 1 (IGF-1) dan transforming growth factor (TGF). Imobilisasi juga akan mengakibatkan keseimbangan kalsium negatif yang merupakan manifestasi peningkatan eksresi kalsium dalam feses dan urin. Perubahan ini berkaitan dengan peningkatan reabsorbsi tulang sekunder akibat posisi berbaring dan kurang penyerapan di usus. Kadar serum 1,25 dihydroxyvitamin D juga berkurang. Selama imobilisasi hormon paratyroid akan meningkat bersamaan dengan kadar alkalin fosfatase selama remobilisasi seiring dengan adanya peningkatan reabsorbsi kalsium. (Seiler, 2000). Pada orang dewasa kira-kira setengah dari alkaline phospatase diperoleh dari tulang dan setengahnya lagi dari hati. Pada osteoporosis aktifitas alkaline phospahatase dalam tulang biasanya meningkat. Pada awal menopause, turn over tulang (formasi atau resorpsi)

meningkat kira-kira 2 kali lipat dan terus meningkat selama beberapa tahun, kemudian mulai menurun. Osteoporosis adalah suatu keadaan berkurangnya massa tulang sedemikian rupa sehingga hanya dengan trauma minimal tulang akan patah. Osteoporosis akan menghilangkan elastisitas tulang sehingga menjadi rapuh dan menyebabkan mudah terjadi patah tulang (fraktur). Menurut Kanis, seorang tokoh WHO dalam bidang osteoporosis, jumlah patah tulang osteoporotik meningkat dengan cepat. Di seluruh dunia pada tahun 1990 terjadi 1,7 juta kasus patah tulang panggul. Angka ini diperkirakan mencapai 6,3 juta pada tahun 2050, seiring dengan semakin tingginya usia harapan hidup. (Hilmy, 2003). Dengan bertambahnya usia terjadi peningkatan kehilangan tulang secara linear. Kehilangan tulang ini lebih nyata pada wanita dibandingkan laki-laki. Tingkat kehilangan tulang ini sekitar 0,5 1 % pertahun dari total berat tulang pada wanita pasca menopause dan pada pria > 80 tahun. (Martono,2000) Pada osteoporosis, penanda bone turn over dapat digunakan untuk memperkirakan kehilangan tulang pada wanita postmenopause, untuk memperkirakan kejadian fraktur osteoporotik dan untuk memantau efikasi pengobatan, terutama terapi anti resorpsi (HRT, bifosfonat dan calsitonin). Bebrapa studi cross-sectional menunjukan bahwa bone turnover meningkat dengan cepat setelah menopaouse, dengan 50 100 % peningkatan osteocalsin dan bone alkalin phosphatase (BAP). Pemeriksaan Bone Mineral Density (BMD) yang diukur pada beberapa tempat berkorelasi dengan bone turn over yang diperkirakan dengan beberapa penanda pada wanita postmenopause (Garnero,P.1999) Di Amerika 26 juta orang usia diatas 50 tahun menderita osteoporosis, 40 % diantaranya mengalami patah tulang karena osteoporosis. 20 juta diantaranya adalah wanita. Dan ini akan membuat beban biaya untuk pengobatan kira-kira 10 juta dolar pertahun (Heimburger,1997). Menurut penelitian di Australia, setiap tahun 20.000 wanita mengalami keretakan tulang panggul dan dalam setahun satu diantaranya meninggal karena komplikasi. Garvan mengatakan bahwa 25 % wanita di negeri Kanguru itu bakal terkena osteoporosis. Hasil studi dari Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Bogor, yang melakukan penelitian dari tahun 1999 2002 pada beberapa Propinsi di Indonesia didapatkan bahwa satu dari lima perempuan mengalami osteoporosis pada usia memasuki 50 tahun. Dan pada lakilaki umur 55 tahun. Kejadian osteoporosis lebih tinggi pada wanita ( 21,74 % ) dibandingkan dengan laki-laki (14,8 %). ( Siswono, 2003 ) Di Asia fraktur tulang pinggul juga merupakan masalah yang cukup banyak dalam masyarakat, 50 % dari kejadian fraktur didunia terjadi di Asia (Campion, 1992). Prevalensi wanita yang menderita osteoporosis di Indonesia pada golongan umur 50 59 tahun yaitu 24 % sedang pada wanita usia 60 70 tahun sebesar 62 %. Hal ini dikaitkan dengan masa menopause pada wanita. Ketika wanita memasuki masa menopause, fungsi ovariumnya menurun akibatnya produksi hormon estrogen dan progesteron berkurang. Kalau kadar estrogen dalam darah turun, maka siklus remodeling tulang berubah dan pengurangan jaringan tulang mulai terjadi. Salah satu fungsi estrogen adalah mempertahankan tingkat remodeling tulang yang normal. Yang sangat terpengaruh

dengan keadaan ini adalah tulang trabekular, karena tingkat turn overnya tinggi.( Lane, 2001). Data pasien baru osteoporosis rawat jalan di RS DR Wahidin Sudirohusodo Makassar selama tahun 2003 adalah 128 orang umur 45 64 tahun, dan 32 orang yang berumur + 65 tahun. Ada beberapa faktor risiko osteoporosis diantaranya genetik, jenis kelamin dan masalah kesehatan kronis, defisiensi hormon, merokok, kurang olah raga serta rendah asupan kalsium. Bila dalam suatu keluarga mempunyai riwayat osteoporosis maka kemungkinan peluang anak mengalami hal yang sama adalah 60-80 %. Dilihat dari jenis kelamin 80 % wanita mengidap osteoporosis. Risiko osteoporosis juga akan meningkat apabila mengidap penyakit kronis. Sedangkan hubungan antara perempuan osteoporosis karena menopause akibat dari penurunan hormon estrogen. (Siswono, 2003). Minum alkohol yang berlebihan dan merokok juga meningkatkan risiko patah tulang dua sampai tiga kali dibandingkan dengan laki-laki yang tidak merokok. Kafein dapat meningkatkan pengeluaran kalsium melalui air seni. Begitu juga dengan minuman soft Drink yang mengandung karbonat dapat menghambat penyerapan kalsium oleh tubuh, ini bisa berakibat osetoporosis. (Siswono, 2003 ). Beberapa hasil riset menyebutkan bahwa masukan kalsium yang tinggi berhubungan secara signifikan terhadap peningkatan massa tulang, sedangkan massa tulang menurun pada orang yang mengkonsumsi alkohol ( P < 0.01 ). Kepadatan mineral tulang lebih baik pada asupan asam lemak tak jenuh ganda (Poliunsaturated acid).(Macdonald,et al, 2004 ). Hal ini juga dipaparkan oleh Tucker, et al 2002, dimana dengan mengatur pola makan yang baik dihubungkan dengan kepadatan mineral tulang. Terano, 2001 menyebutkan bahwa ada hubungan yang positif antara wanita yang tinggal di perkampungan nelayan dengan indeks massa tulang. Kosentrasi serum EPA dan DHA cukup tinggi pada wanita post menopause di perkampungan nelayan dibandingkan dengan wanita seumur yang tinggal di perkotaan. Kosentrasi serum EPA dan DHA mencerminkan suatu masukan ikan sehari-hari yang cukup. Masukan sayur dan buah yang tinggi dapat bersifat melindungi. Penelitian lain menyebutkan bahwa total asupan protein hewani dapat memperbesar risiko patah tulang pinggul pada wanita post menopause (Munger, 1999 ). Sekarang ada hal yang perlu dipertimbangkan untuk melindungi diri dari retak tulang yaitu dengan mengkonsumsi sayuran dan buah yang tinggi dimana Sebastian et al, melaporkan bahwa kalium dapat meningkatkan keseimbangan formasi mineral tulang. (Hegsted, 2001) Beberapa bahan makanan nabati mengandung kalsium yang cukup tinggi, tetapi tidak dapat digunakan secara maksimal karena tingginya kadar oksalat atau phitat. Hal ini terutama terdapat pada bayam, dan bit serta biji-bijian. Didalam diet orang Inggris, oksalat banyak berasal dari teh. Adanya oksalat dalam makanan juga menurunkan ketersediaan magnesium dan besi. Asam oksalit dan fitik menyebabkan mineral-mineral tersebut tidak dapat digunakan oleh karena terbentuknya garam-garam yang tidak larut. (Linder,1992 ) Faktor lain yang mempengaruhi kadar kalsium dalam plasma adalah ratio Ca : P dalam makanan. Idealnya konsumsi kalsium hendaknya dalam kisaran yang sama dengan konsumsi fosfor, rasio P : Ca = 1,5 : 1 mungkin dapat diterima. Tapi rasio yang lebih dari 2 : 1, terutama kalau konsumsi kalsium rendah, akan menyebabkan pengaruh negatif. Makanan yang mempunyai ratio Ca : P tidak baik dapat meningkatkan sekresi hormon paratiroid, yang

bisa menyebabkan demineralisasi tulang. Diperkirakan hal ini mungkin merupakan salah satu faktor penting dalam perkembangan terjadinya osteoporosis, suatu fenomena yang menurunkan kepadatan dan mineralisasi tulang. Ini umum terjadi dengan meningkatnya umur terutama pada wanita menopause. (Linder,1992).

Anda mungkin juga menyukai