Anda di halaman 1dari 14

Definisi Arbitrase Menurut blacks Law Dictionary : Arbitration an arrangement for taking an abiding by the judgement of selected persons

in some disputed matter, instead of carrying it to estabilish tribunals of justice, and is intended to avoid the formalities, the delay, the expense and vexation of ordinary litigation. Menurut Pasal 1 angka 1 UndangUndang no.30 tahun 1999 Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar pengadilan umum yang di dasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Pada dasarnya arbitrase dapat berwujud dalam dua bentuk, yaitu : 1. Klausula Arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa ( factum de compromitendo ) 2. Suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa ( Akta Kompromis ) . Sebelum undang-undang arbitrase berlaku, ketentuan mengenai arbitrase diatur dalam pasal 615-651 reglement acara perdata ( RV ). Selain itu, pada penyelesaian pasal 3 ayat 1 undang-undang no.14 tahun 1970 tentang pokok-pokok kekuasaan kehakiman menyebutkan bahwa penyelesaian perkara diluar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui wasiat ( Arbitrase ) tetap diperbolehkan. Sejarah Arbitrase Keberadaan arbitrase sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa sebenarnya sudah lama dikenal meskipun jarang dipergunakan. Arbitrase diperkenalkan di Indonesia bersamaan dengan dipakainya reglement op de rechtsvordering ( RV ) dan Het Herzeine

Indonesich reglement ( HIR ) atau rechtsglement Bitengeewesten (Rbg), karena semula arbitrase ini diatur dalam pasal 615-651 reglement of de rechtsvordering. Ketentuan-ketentuan tersebut sekarang ini sudah tidak laku lagi dengan diundangkannya undangundang no.30 tahun 1999. Dalam undnag-undang no.14 tahun 1970 (tentang pokok-pokok kekuasaan kehakiman) keberadaan arbitrase dapat dilihat dalam penjelasan pasal 3 ayat 1 yang antara lain menyebutkan bahwa penyelesaiaan perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaiaan atau melalui arbitrase tetap diperbolehkan, akan tetapi putusan arbiter hanya mempunyai kekuatan eksekutorial setelah memporbolehkan izin atu perintah untuk di eksekusi dari pengadilan. Objek Arbitrase Objek perjanjian arbitrase (sengketa yang akan diselesaikan diluar pengadilan melalui lembaga arbitrase dan atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa lainnya). Menurut pasal 5 ayat 1 undang-undang undang-undang no.30 dan tahun 1999 (undang-undang arbitrase) dikuasai hanyalah sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak menurut peraturan perundang-undangan sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Adapun kegiatan dalam bidang perdagangan itu antara lain : 1. perniagaan 2. perbankan 3. keuangan 4. penanaman nodal 5. industri 6. hak milik intelektual

Sementara itu pasal 5 ayat 2 undang-undang arbitrase memberikan perumusan negative bahwa sengket-sengketa yang dianggap tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peradilan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian. Sebagaimana diatur dalam KUHPerdata buku III Bab ke-18 pasal 18511854. Jenis-jenis arbitrase Arbitrase dapat berupa arbitrase sementara atau (ad-hoc) maupun arbitrase melalui badan permanent (institusi). Arbitrase adhoc dilaksanakan berdasarkan aturan-aturan yang sengaja dibentuk untuk tujuan arbitrase, misalnya undang-undang no.30 tahun 1999 tentang arbitrase dan alternatif Rules. Pada penyelesaian umumnya sengketa arbitrase atau ad-hoc UNCINTRAL Arbitarion

ditentukan berdasarkan perjanjian yang menyebutkan penunjukan majelis arbitrase serta prosedur pelaksanaan yang disepakati oleh para pihak. Penggunaan arbitrase ad-hoc perlu disebutkan dalam sebuah klausul arbitrase. Arbitrase Institusi adalah suatu lembaga permanent yang

dikelola oleh berbagai badan arbitrase berdasarkan aturan-aturan yang mereka tentukan sendiri. Saat ini dikenal berbagai aturan arbitrase yang di keluarkan oleh badan-badan arbitrase seperti badan arbitrase nasional Indonesia (BANI), atau yang internasional seperti The Rules of Arbitration dari The International Chamber of Comerce (ICC) di Paris, The Arbitration Rules dari The International Center for Settlement of Investment Disputtes (ICSID) di Washington. Badanbadan tersebut mempunyai peraturan dan system arbitrase sendirisendiri.

BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) memberikan standar klausul arbitrase sebagai berikut : Semua sengketa yang timbul dari perjanjian ini, akan diselesaikan dan diputus oleh badan arbitrase nasional Indonesia (BANI) menurut peraturan-peraturan prosedur arbitrase BANI, yang keputusannya mengikat kedua belah pihak yang bersengketa, sebagai keputusan dalam tingkat pertama dan akhir .

Stardar Klausul Arbitrase UNCITRAL (United Nation Comission of International Trade Law) adalah sebagai berikut : Setiap sengketa, pertentangan atau tuntutan yang terjadi atau sehubungan dengan perjanjian ini, atau wan prestasi, pengakhiran atau sah tidaknya perjanjian akan diselesaikan melalui arbitrase sesuai dengan aturan-aturan UNCITRAL . Menurut Priyatna Abdurrasyid, ketua BANI, yang diperiksa pertama kali adalah klausul arbitrase. Artinya ada atau tidaknya, sah atau tidaknya klausul arbitrase, akan menentukan apakah suatu sengketa akan deselesaikan lewat jalur arbitrase. Priyatna menjelaskan bahwa bias saja klausul atau perjanjian arbitrase dibuat setelah sengketa timbul. Keunggulan dan Kelemahan Arbitrase Keunggulan arbitrase dapat disimpulkan melalui penjelasan umum undang-undang no.30 tahun 1999 dapat terbaca beberapa keunggulan penyelesaian sengketa melalui arbitrase dibandingkan dengan pranata peradilan. Keunggulan itu adalah : 1. Kerahasiaan sengketa para pihak terjamin

2. Keterlambatan yang diakibatkan karena hal procedural dan administrasi dapat dihindari 3. Para pihak dapat memilih arbiter yang berpengalaman, memiliki latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, serta jujur dan adil. 4. Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk penyelesaian masalahnya. 5. Para pihak dapat memilih tempat penyelenggaraan arbitrase 6. Putusan arbitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak melalui Para keunggulan prosedur juga sederhana ataupun dapat langsung mengenai bagi duni dilaksanakan. ahli mengemukakan Menurut pendapatnya Subekti arbitrase. professor

perdagangan atau bisnis, penyelesaian sengketa lewat arbitrase atau perwasitan, mempunyai berbagai keuntungan yaitu bahwa dapat dilakukan dengan cepat, oleh para ahli, dan secara rahasia. Sementara HMN Purwosutjipto mengemukakan arti pentingnya peradilan wasit (arbitrase) adalah : 1. Menyelesaikan sengketa dapat dilaksanakan dengan cepat. 2. Para wasit terdiri dari orang-orang ahli dalam bidang yang dipersengketakan, yang diharapkan mampu memberikan putusan yang memuaskan para pihak. 3. Putusan akan lebih sesuai dengan perasaan keadilan para pihak. 4. Putusan peradilan wasit dirahasiakan, sehingga umum tidak mengetahui tentang kelemahan-kelemahan perusahaan yang bersangkutan. Sifat rahasia pada putusan perwasitan inilah dikehendaki oleh para pengusaha. Disamping keunggulan arbitrase seperti tersebut di atas,

arbitrase juga memiliki kelemahan arbitrase. Dari praktek yang berjalan di Indonesia, kelemahan arbitrase adalah masih sulitnya

upaya eksekusi dari suatu putusan arbitrase, padahal pengeturan untuk eksekusi putusan arbitrase nasional maupun internasional sudah cukup jelas. III. keterkaitan antara arbitrase dengan pengadilan A. hubungan arbitrase dan pengadilan lembaga arbitrase masihmemiliki ketergantungan pada pengadlan, misalnya dalam hal pelaksanaan putusan arbitrase. Ada keharusan untuk mendaftarkan putusan arbitrase di pengadilan negri. Hal ini menunjukan bahwa lembaga arbitrase tidak mempunyai upaya pemaksa terhadap para pihak untuk menaati putusannya. Pernanan pengadilan dalam pelanggaran arbitrase berdasar UU arbitrase antara lain menganai penunjukan arbiter atau majelis arbiter dalam hal para pihak tidak ada kesepakatan (pasal 14 (3)) dan dalam hal pelaksanaan putusan arbiter nasional maupun nasional yang dilakukan melalui mekanisme system perdilan yaitu pendataran putusan tersebut dengan menyerahkan salinan autentik putusan. Bagi arbitrase internasional mengambil tempat pengadilan Negri Jakarta Pusat. B. pelaksanaan putusan arbitrase 1. putusan arbitrase nasional pelaksanaan putusan arbitrase nasional di atur dalam pasal 5964 UU No. 30 Tahun 1999. Pada dasarnya para pihak harus melaksanakan putusan secara sukarela. Agar putusan arbitrase dapat di paksakan pelaksanaannya, putusan tesebut harus di serahkan dan di daftarkan pada kepaniteraan pengadilan negri,dengan mendaftarkan dan menyerahkan lembar asli atau salinan autentik putusan arbitrase nasional oleh arbiter atau kuasanya ke panitera pengadilan negeri, dalam waktu 30 (tiga puluh) hari setelah putusan

arbitrase di ucapkan. Putusan arbitrase ini bersifat mandiri, final dan menikat. Putusan arbitrase nasional bersifat mandiri, final dan mengikat (seperti putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap) sehingga ketua pengadilan negeri tidak di perkenankan memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase nasional tersebut. Kewenangan memeriksa yang dimiliki ketua pengadilan negeri, terbatas pada pemeriksaan secara formal terhadap putusan arbitrase nasional yang dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase. Berdasarkan pasal 62 UU No.30 tahun 1999 sebelum memberi perintah pelaksanaan, ketua pengadilan memeriksa dahulu apakah putusan arbitrase memenuhi pasal 4 dan pasal 5 (khusus untuk arbitrase internasional). Bila tidak memenuhi, ketua pengadilan negeri dapat menolak permohonan arbitrase dan terhadap penolakan itu tidak ada upaya hukum apapun. 2. putusan arbitrase Internasional Semula pemerintah tersebut pelaksanaan belanda yang putusan-putusan merupakan konvensi arbitrase peserta di asing di

Indonesia didasarkan pada ketentuan konvensi Jenewa 1927, dan negara konvensi wilayah menyatakan bahwa berlakujuga

Indonesia. Pada tanggal 10 Juni 1958 di New York ditandatangani UN Convention on the Recognition an Enforcement of Foreign Arbitral Award. Indonesia telah mengaksesi konvensi new york tersebut dengan keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981. Pada 1 Maret 1990 Mahkamah Agung mengeluarkan Agung mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung No.1 tahun 1990 tentang tata cara pelaksanaan putusan arbitrase asing sehubungan dengan disahkan konvensi new york 1958. Dengan adanya perma tersebut hambatan bagi pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia seharusnya bisa di

atasi. Tapi dalamprakteknya kesulitan-kesulitan masih ditemui dalam eksekusi putusan arbitrase asing.

C. kewenangan pengadilan memeriksa perkara yang sudah di jatuhkan putusan arbitrasenya lembaga peradilan diharuskan menghormati lembaga arbitrase sebagaimana yang termuat dalam pasal 11 ayat 2 UU No.30 tahun 1999 yang menyatakan bahwa pengadilan negeri tidak berwenang mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak ikut campur tangan dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase. Hal tersebut merupakan prinsip limited court involvement. Dalam prakteknya masih saja ditemukan pengadilan yang menentang, bahkan ketika arbitrase itu sendiri sudah menjatuhkan putusannya. Seperti dalamkasus berikut: Dalam kasus bankers trust company bankers trust international PLC (BT) melawan PT mayora indah Tbk (Mayora), PN Jakarta Selatan tetap menerima Gugatan Mayora (walaupun ada klausul arbitrase didalamnya) dan menjatuhkan putusan No.46/Pdt.G/1999 tanggal 9 Desember 1999, yang memenangkannya Mayora Ketua PN Jakarta Pusat dalam putusan no.001 dan 002/Pdt/Abt.Int/1999/PN.JKT.PST juncto 02/Pdt.P/2000/PNJKT.PST, tanggal 3 Februari 2000, menolak permohonan BT bagi pelaksanaan putusan arbitrase London, dengan alas an pelanggaran ketertiban umum pelanggaran ketertiban umum yang dimaksud adalah bahwa perkara tersebut masih dalamproses peradilan dan belum memiliki kekuatan hokum tetap. Penolakan PN

Jakarta Pusat tersebut dikuatkan oleh putusan Mahkamah Agung no.2 K/Exr/Arb.Int/Pdt2000 tanggal 5 September 2000 Kasus diatas adalah salah satu contoh dimana pengadilan menentang lembaga arbitrase. Sebelumnya telah jelas bahwa pengadilan tidak boleh mencampuri sengketa para pihak yang telah terikat perjanjian arbitrase. Lalu apakah ada alasan0alasan yang dapat membenarkan pengadilan memeriksa perkara para pihak yang sudah terikat perjanjan arbitrase. Lalu apakah ada alas an-alasan yang dapat membenarkan pengadilanmemeriksa perkara para pihak yang sudah teikat dengan klausul arbitrasi?dalam jurisprudensi salah satucontoh sadalah arrest artist de Labourer. Arrest HR 9 February 1923, NJ. 1923, 676, Arrest artist de labourer (dimuat dama Hoentik, hal. 262 dsl.) Persatuan kuda jantan (penggugat) telah mengasuransikan kuda pejantan bernama artist de labourer terhadap suatau penyakit / cacad tertentu yang disebut cornage. Ternyata pada suatu pemeriksaan oleh komisi undang-undang kuda, kuda tersebut dinyatakan di-apkir, karena menderita penyakit cornage. Penggugat menuntut santunan ganti rugi dari perusahaan asuransi. Didalam polis dicantumkan klausula yang mengatakan, bahwa sengketa mengenai asuransi, dengan menyingkirkan oengadilan, akan diputus oleh dewan asuransi perusahaan asuransi, kecuali dewan melimpahkan kewenangan tersebut kepada suatu arbitrage. Dewan asuransi telah memutuskan untuk tidak membayar ganti rugi kepada penggugat. Penggugat mengajukan gugatan dimuka pengadilan. Sudah tentu dengan alasan adanya klausula tersebut diatas, maka tergugat membantah mengemukakan , bahwa pengadilan tidak wenang untuk mengadili perkara ini.

Pengadilan s Gravenhage a.i telah mempertimbangkan : Setelah pengadilan menyatakan dirinya wenang memeriksa perkara tersebut, maka pengadilan menyatakan, bahwa keputusan tersebut didasarkan kepada suatu penyelidikan yang teliti dan bahkan dewan menganggap tidak perlu mendengarkan pihak penggugat, sehingga perjanjian itu tidak telah dilaksanakan dengan iktikad baik. Pengadilan mengabulkan tuntutan uang santunan ganti-rugi sanpai sejumlah uang tertentu, pihak asuransi naik banding. Hof Amsterdam dalamkeputusannya a.l. telah

mempertimbangkan : Bahwa memang benar, bahwa berdasarkan Polis ybs., para pihak sepakat untuk menyerahkan sengketa mengenai asuransi tersebut kepada dewan asuransi perusahaan asuransi. Sekalipun terhadap keputusan dewan, yang diambil dengan tanpa aturan main yang pasti, dan bersifat mutlak, yang dikeluarkan oleh pihak yang tidak netral, mungkin saja ada keberatan-keberatan, namun para pihak telah membuatnya menjadi undang-undang bagi mereka, karena telah terbentuk melalui kesepakatan para pihak, yang tidak ternyata bertentangan dengan ketertiban

Umum atau kesusilaan, sehingga permasalahannya adalah, apakah ketentuan perjanjain itu, oleh dewan, tidak telah dilaksanakan dengan mengenai itidkad baik sebagaimana mana suatu pendapat dari pengadilan Hof, masuk karena dalam Amsterdam, pertanyaan menurut perjanjian, pendapat adalah

pelaksanaan

kewenangan hakim.

Hof,

untuk

menjawab

permasalahan

tersebut,

setelah

mengemukakan patokan, bahwa itikad baik dipersangkakan dan tidak adanya itikad baik harus dibuktikan, telah menerima fakta-fakta yang disebutkan dalam keputusan Dewan sebagai benar, adalah bahwa menurut pendapat Hof keputusan tersebut maksudnya : keputusan Dewan, penjelasan pengadilan adalah tidak sedimikian rupa, sehingga dapat dianggap tidak telah diberikan dengan itikad baik, dan bahwa itikad buruk pada pelaksanaan perjanjian, sepanjang mengenai pengambilan keputusan oleh dewan asuransi, tidak boleh dibuktikan, atas dasar mana Hof menyatakan keputusan dewan asuransi tidak bias dibatalkan oleh hakim dan karenanya membatalkan keputusan pengadilan Amsterdam. Pokok pertanyaan dalam pemeriksaan kasasi ini ternyata adalah, apakah maksud ayat ketiga pasal 1374 BW (pasal 1338 ayat 3) dengan itikad baik dalam pelaksanaan perjanjian harus dinilai dengan patokan, subjektif / suatu sikap batik tertentu dari si pelaksana / objektif / suatu cara pelaksanaan. HR, apakah isi keputusan dewan asuransi, sebagai pelaksanaan dari perjanjian asuransi antara penggugat dengan perusahaan asuransi, memenuhi tuntutan itikad baik, memenuhi kepantasan dan kepatutan menurut ukuran orang normal pada umumnya dalam masyarakat. Dalam Arrest Artist de Labourer ini pengadilan menyatakan berwenang memeriksa karena yang diperiksa bukanlah pokok perkaranya melainkan cara pengambilan keputusannya, apakah dewan asuransi sudah mengambil keputusan berdasarkan itikad baik yang sesuai dengan asas kepatutan dan kepantasan. Itikad baik disini memiliki dua kemungkinan, yaitu itikad baik objektif dan subjektif, dimana Hof dan Hoge Raad kemudian menilai bahwa itikad baik yang objektif lah yang dipakai.

Berdasarkan

pasal

1338

ayat

suatu

perjanjian

harus

didasarkan atas itikad baik. Itikad baik adalah suatu pengertian yang abstrak dan sulit untuk dirumuskan, sehingga orang lebih banyak merumuskannya melalui peristiwa-peristiwa di pengadilan. Itikad baik dalam pelaksanaan perjanjian berkaitan dengan masalah kepatutan dan kepantasan. Perjanjian harus dilaksanakan dengan menafsirkannya agar sesuai dengan kepatutan dan kepantasan, sesuai dengan pasal 1339 BW yang menyatakan bahwa, Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang . Itikad baik dapat dibedakan itikad baik subjektif dan itikad baik objektif. Itikad baik subjektif, yaitu apakah yang bersangkutan sendiri menyadari bahwa tindakannya bertentangan dengan itikad baik, sedangkan itikad baik. Dalam kasus Bankers Trust melawan Mayora sungguh aneh, karena mengetengahkan ketertiban umum sebagai salah satu alasan. Seharusnya PN Jakarta Selatan menolak atau memeriksa perkara tersebut karena bukan merupakan kewenangannya, tidak diajukan atas dasar adanya perbuatan melawan hukum, dan dengan Mayora mengajukan perkara tersebut ke PN Negeri padahal saat itu arbitrase sedang berjalan, menunjukan bahwa Mayora tidak beritikad baik dalam pelaksanaan perjanjian tersebut. Dalam hal ketertiban umum, yang dimaksud ketertiban umum oleh hakim adalah perkara tersbut sedang dalam proses di pengadilan, alasan seperti ini seharusnya tidak bias dijadikan alasan ketertiban umum. Apakah yang telah dilakukan oleh pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah melanggar ketentuan pasal 11 itikad baik objektif adalah kalau pendapat umum menganggap tindakan yang demikian adalah bertentangan dengan

undang-undang no.30 tahun 1999, dan sayangnya Mahkamah Agung menguatkan putusan ini. Ketertiban umum dijadikan dalih untuk menolak keputusan arbitrase. Ketertiban umum sendiri adalah suatu sendi-sendi asasi dari hukum suatu Negara. tideak Undang-undang atau arbitrase pada bagian penjelasannya mendifinisikan membatasi ketertiban

umum. Akibatnya, definisi ketertiban umum dijadikan legitimasi bagi salah satu pihak untuk meminta pembatalah eksekusi dari Pengadilan Negeri. Sulit untuk mengklasifikasikan putusan arbitrase yang bertentangan dengan ketertiban umum, namun dapat digunakan kriteria sederhana sebagai berikut : 1. Putusan arbitrase melanggar prosedur arbitrase yang diatur dalam peraturan perundangan Negara, misalnya kewajiban untuk mendaftarkan putusan arbitrase di pengadilan setempat tidak dilaksanakan. 2. Putusan . 3. Jika salah satu pihak tidak mendapatkan kesempatan untuk didengar argumentasinya sebelum putusan arbitrase dijatuhkan. Ketertiban umum yang dijadikan dalih PN Jakarta Selatan untuk menolak permohonan Bankers Trust tidak termasuk ketertiban umum yang sudah diuraikan di atas. Pengadilan Jakarta Selatan juga telah melakukan kesalahan karena memeriksa isi perkara dan bukan sekedar memeriksa penerapan hukumnya saja seperti dalam Arrest Artist de Labourer. Pada intinya terhadap perkara yang sudah memiliki klausul arbitrase tidak dapat diajukan ke Pengadilan Negeri, dan untuk perkara arbitrase tidak memuat alasan-alasan, padahal peraturan perundang-undangan Negara tersebut mewajibkannya

yang sudah dijatuhkan putusan arbitrasenya tidak bisa diajukan lagi ke pengadilan, kecuali apabila ada perbuatan melawan hukum, sehingga pihak yang dirugikan bisa menggugat ke Pengadilan Negeri atas dasar perbuatan melawan hukum dalam hal pengambilan putusan arbitrase yang tidak berdasar itikad baik. KESIMPULAN Pengadilan tidak berwenang memeriksa kembali perkara yang sudah dijatuhkan putusan arbitrase nya, kecuali apabila ada perbuatan melawan hukum terkati dengan pengambilan putusan arbitrase dengan itikad tidak baik, dan apabila putusan arbitrase itu melanggar ketertiban umum. Peradilan harus menghormati lembaga arbitrase, tidak turut campur, dan dalam pelaksanaan suatu putusan arbitrase masih diperlukan peran pengadilan, untuk arbitrase asing dalam hal permohonan eksekutor ke Pengadilan Negeri. Pada prakteknya walaupun pengaturan arbitrase sudah jelas dan pelaksanaannya sudah bisa berjalan tanpa kendala namun dalam eksekusinya sering mengalami hambatan dari Pengadilan Negeri.

Anda mungkin juga menyukai