Anda di halaman 1dari 7

Cengkeraman Hypermarket di Bisnis Ritel Kamis, 19 Maret 2009 Oleh : Taufik Hidayat Agresivitas pemain yang mengusung konsep

hypermarket kian tak terbendung. Sayang, tiadanya aturan yang jelas dan tegas melahirkan sejumlah persoalan. Sabtu, 17 Januari 2009, pengunjung Emporium Pluit Mall jauh lebih ramai dari hari-hari biasa. Umbul-umbul terlihat mencolok. Pada hari itu, raksasa ritel asal Prancis, Carrefour, meresmikan gerai terbarunya di pusat perbelanjaan yang sebelumnya bernama Mega Mall Pluit itu. Tawaran barang yang lebih lengkap serta potongan harga khusus saat grand opening menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat di sekitar Pluit sehingga mereka pun berbondong-bondong datang ke sana. Sepuluh hari sebelumnya, suasana hampir serupa juga terjadi di Blok M Square, Jakarta Selatan. Ratusan bahkan ribuan orang menyerbu pusat belanja yang dulu bernama Aldiron Plaza itu. Biang keladinya masih sama: Carrefour. Dia membuka gerai baru guna menggantikan gerai lama di Ratu Plaza yang terpaksa ditutup beberapa waktu sebelumnya. Agresif? Merajalela? Entahlah, bagaimana sebutannya. Yang pasti, sejak pertama kali hadir tahun 1998, Carrefour telah menggurita ke berbagai kota di seluruh Indonesia. Tak kurang dari 45 gerai telah dibukanya. Bahkan, dalam tiga tahun terakhir, Carrefour telah menambah 23 gerai baru atau 25 gerai baru jika ditambah dengan gerai yang diresmikan pada awal 2009 ini. Luar biasa, bukan? Carrefour bukan satu-satunya pemain yang sangat agresif dalam menggarap bisnis ritel modern di Indonesia. Tiga pemain lain yang juga mengusung konsep hypermarket, yaitu Hypermart, Giant dan Makro, tak kalah agresif. Hypermart contohnya. Walau hadir lebih lambat dibanding pemain lain, gerai hypermarket besutan PT Matahari Putra Prima Tbk. ini terbilang sangat agresif. Baru hadir tahun 2004, sekarang mereka telah memiliki 44 gerai di berbagai kota di Indonesia, dengan Jabodetabek sebagai pasar utama. Sedikit berbeda dari Carrefour dan Hypermart, pemain lain yang juga mengusung konsep hypermarket, Giant, belakangan terlihat sedikit mengerem ekspansinya. Giant yang dikeloha PT Hero Supermarket Tbk. hingga saat ini baru memiliki 27 gerai. Padahal, jaringan ritel hasil kerja sama Hero dengan Dairy Farm (Malaysia) ini hadir lebih dulu ketimbang Hypermart, yaitu sejak 2003. Sementara itu, Makro kini sedang bermetamorfosis. Makro adalah pionir pusat perkulakan modern di Indonesia. Masuk pada awal 1990-an, peritel di bawah naungan SHV Holdings,

perusahaan asal Belanda, ini sempat berjaya karena eksklusivitasnya -- hanya mereka yang memiliki kartu anggota yang bisa berkunjung ke gerainya. Namun, belakangan Makro justru terseok di tengah euforia bisnis ritel yang menjadi-jadi selama sepuluh tahun terakhir. Pertumbuhan gerai Makro terhenti di angka 19. Dan puncaknya, tahun lalu kepemilikan PT Makro Indonesia pun berpindah ke tangan raksasa ritel asal Korea Selatan, Lotte Mart. Di bawah manajemen PT Lotte Shopping Indonesia, diperkirakan pertumbuhan Makro akan kembali digenjot. Dana Rp 9 triliun pun sudah disiapkan untuk menambah 26 gerai baru hingga tahun 2013. Penambahan sekitar 26 gerai baru akan menjadikan jumlah seluruh gerai yang akan dimiliki dan dikelola oleh Lotte Mart di Indonesia akan menjadi 45 buah sampai 2013. Ini merupakan salah satu strategi kami untuk menjadi peritel nomor 1 di Indonesia dan Asia, tutur Moon Young Pyo, Presiden Direktur PT Lotte Shopping Indonesia. Pesatnya pertumbuhan gerai hypermarket di Tanah Air tak lain karena konsep hypermarket ternyata cukup diterima konsumen, khususnya masyarakat perkotaan. Maklum, hypermarket menawarkan item barang dalam jumlah yang sangat besar: lebih dari 40 ribu. Sehingga hanya dengan mengunjungi satu tempat, konsumen bisa mendapatkan semua kebutuhannya, mulai dari sayur- mayur hingga barang-barang elektronik. Apalagi, setiap pemain di bisnis ini pun menjanjikan harga yang bersaing dibandingkan dengan pasar tradisional atau pasar modern dengan konsep lain, seperti supermarket dan minimarket. Selain itu, kenyamanan dan harga yang pasti juga membuat konsumen bisa menikmati aktivitas belanja. Maklum, bagi sebagian besar konsumen, berbelanja merupakan salah satu bentuk rekreasi. Buktinya, omset masing-masing pemain yang mengusung konsep ini terus meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan data yang berhasil dikumpulkan SWA dari berbagai sumber, tahun lalu Carrefour mencetak omset Rp 18 triliun, sementara Hypermart Rp 9 triliun. Berdasarkan data AC Nielsen, pangsa pasar modern market terus meningkat dari tahun ke tahun. Hasil audit ritel yang dilakukan terhadap 55 kategori produk (termasuk rokok) menunjukkan, hingga November 2008 pangsa pasar modern market sudah berada pada angka 20,2%. Padahal, tahun 2002 pangsa pasarnya baru 17,1%. Jika kita berkaca pada data tersebut, porsi pasar modern memang masih jauh tertinggal dibanding pasar tradisional. Namun, khusus untuk produk kemas bermerek, pasar modern telah mengambil porsi yang lebih besar ketimbang pasar tradisional. Masih berdasarkan data AC Nielsen, hingga 2007 saja, pasar modern telah mengambil porsi 52% dari total penjualan produk fast moving consumer goods. Boleh jadi, hal yang sama akan terjadi pula pada kategori-kategori lain. Pengelola jaringan hypermarket juga sangat cerdik dalam membaca situasi. Sadar bahwa konsep hypermarket baru diterima oleh masyarakat kota, mereka pun mengepung wilayah perkotaan. Dari total 130 lebih gerai hypermarket, lebih dari 50%-nya berada di Jabodetabek.

Walau secara kasat mata pertumbuhan gerai hypermarket di Indonesia tergolong cukup fantastis, jika dibandingkan dengan negara lain, seperti Cina, jumlah tersebut masih belum ada apaapanya. Total hypermarket di Negeri Tirai Bambu itu mencapai 710 gerai -- Carrefour memiliki 109 cabang dan Wal-Mart 96 cabang. Demikian pula sebaran ritel modern di Indonesia, menurut Noel Trinder, CEO Bisnis Makanan Matahari (MFB) PT Matahari Putra Prima Tbk.,, masih tertinggal jauh dibandingkan dengan negara-negara lain. Pasar modern di Singapura sudah meraih sebaran 90%, Malaysia 51% dan Thailand 48%, sedangkan saat ini di Indonesia baru 36%. Secara total pasar modern penguasaannya masih kecil sekali, ujarnya menepis anggapan bahwa hypermarket telah merajai bisnis ritel di Indonesia. Ungkapan Noel dibenarkan Irawan D. Kadarman, Direktur Corporate Affairs PT Carrefour Indonesia. Dia mengatakan, secara nasional, sebaran pasar modern, khususnya hypermarket, masih jauh dibandingkan dengan pasar tradisional. Kalau bicara share, skalanya harus nasional. Kalau di Jabodetabek, feasible brand Carrefour memang terlihat besar. Itu membuat orang salah persepsi. Di luar Jabodetabek, masih kata Irawan, Carrefour hanya memiliki 16 gerai, yaitu di Medan (satu gerai), Palembang (1), Bandung (4), Yogyakarta (1), Semarang (1), Surabaya (5), Malang (1), Denpasar (1) dan Makassar (1). Gerai terbanyak ada di DKI: 19. Sama halnya dengan Carrefour, gerai Hypermart dan Giant juga masih terpusat di Jabodetabek, lebih spesifik lagi di Jakarta. Jadi, tak mengherankan, di Ibu Kota sering kita jumpai gerai hypermarket yang berdekatan, bahkan berhadap-hadapan. Dan yang lebih aneh lagi, banyak gerai hypermarket yang berlokasi tepat di pusat kota, seperti Giant Plasa Semanggi, Carrefour ITC Kuningan atau Hypermart JaCC. Kondisi ini sebenarnya muncul karena tak ada aturan yang jelas tentang izin lokasi ritel modern di Indonesia. Menurut pengamat bisnis ritel, Hidayat, di luar negeri, seperti di Prancis, untuk wilayah permukiman, bila secara historisnya adalah kota, di daerah tersebut itu hanya boleh ada convinience store. Adapun hypermarket ada di pinggir kota dan di tengah kota hanya boleh ada swalayan, luasnya pun tidak boleh lebih dari 1.000 m2. Di sini, hypermarket bebas buka di tengah kota. Dan sebagian besar memang ada di tengah kota, kata Hidayat. Mengapa hypermarket ada di tengah kota? Menurut Komisaris Hotel Sahid Jaya itu, dari awalnya sudah salah. Tahun 1996, ia pernah menguraikan pengertian hypermarket, bahwa luasnya minimal 20 ribu m2 dan menjual barang sampai jenis furnitur dan sepeda motor. Di Indonesia luas 4-5 ribu m2 saja sudah disebut hypermarket. Padahal, yang seluas itu namanya

supermarket. Sekarang siapa yang memberi izin Carrefour di Lebak Bulus dan di Mangga Dua kalau bukan pemerintah, kata mantan Direktur SDM dan Humas Matahari Dept Store itu. Kuncinya ada di sini, zoning. Perencanaan kotanya sudah salah dari awal, katanya tandas. Apa yang disampaikan Hidayat memang benar. Hingga saat ini, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah tidak memiliki aturan khusus yang mengatur tentang zoning pasar. Baik peraturan presiden maupun peraturan menteri yang dikeluarkan tidak spesifik mengatur hal itu. Seperti diungkap Gunaryo, Sesdirjen Departemen Perdagangan RI, Perpres 112/2007 dan Permendag No. 53/2008 memang tidak menyebutkan berapa jarak yang pasti, misalnya antara pasar modern dan permukiman/pasar tradisional. Gunaryo menjelaskan, dalam permendag tersebut memang tidak ada ketentuan mengenai bagaimana seharusnya letak pasar di suatu tempat. Karena, hal itu juga tergantung pada tipologi masing-masing kota/daerah di Indonesia, dan antara satu daerah dengan daerah lain tidak dapat disamakan. Kondisi memang telanjur kacau. Lantas, perlukah bisnis ritel modern ini ditata ulang? Menurut Irawan, peraturan tentang lokasi hypermarket yang harus berada di pinggir kota tidak relevan lagi. Kalau kota seperti Jakarta, pinggir kota itu di mana sih? Jika dikatakan Depok atau Bekasi sebagai pinggir kota, itu kan wilayah sendiri, sudah bukan DKI Jakarta, dan mereka (Depok atau Bekasi) juga punya pinggir kotanya sendiri. Irawan menjelaskan, pihaknya selalu memenuhi syarat-syarat mutlak dalam membuka cabang baru. Selain itu, Carrefour pun memiliki kriteria yang harus dipenuhi. Yaitu, lokasi yang strategis. Kalau berada di pinggir kota, mesti memperhatikan infrastruktur, jumlah penduduk, tingkat pendapatan penduduk sekitar, ketersediaan sumber daya manusia, ketersediaan pemasok (setempat) dan, yang pasti, mendapat izin dari pemerintah setempat. Jika demikian adanya, bola kini ada di tangan setiap pemda. Seperti diungkapkan Gunaryo, sebenarnya dua tahun setelah dikeluarkannya UU No. 26/2007 tentang Tata Ruang, pemda wajib menerbitkan perda terkait dengan rencana tata ruang dan aturan zona (zone regulation). Jadi, pasar tradisional dan pasar modern itu beroperasi di bawah perizinan kabupaten/kota masingmasing. Tugas pemda masing-masing kabupaten/kota adalah menerjemahkan peraturan tersebut sesuai dengan kondisi di wilayah masing-masing, ujarnya. Jika pemda tidak segera membuat aturan main yang jelas, niscaya ke depan kondisi akan makin semrawut. Pasalnya, ekspansi usaha para pemain bisnis ritel modern belum akan berhenti. Tiaptiap pemain akan terus membuka gerai baru, termasuk di Jabodetabek yang sudah sangat semrawut.

Hiu Kurniawan, AVP Perencanaan Strategis & Analis Bisnis MFB PT Matahari Putra Prima Tbk., menyebutkan bahwa jumlah hypermarket di Indonesia saat ini masih sangat minim. Di Tanah Air saat ini perbandingannya 2 juta kapita per hypermarket, sedangkan di Thailand 450 ribu kapita per hypermarket. Idealnya kita membutuhkan sekitar 1.000 gerai hypermarket, kata Hiu. Dalam aturan mainnya sekarang, tidak ada jarak tertentu, tapi dikembalikan ke pembagian zona dalam tata kota. Menurut Hiu, pemda harus membuat tata kota, mana jalan utama, jalan secondary dan jalan arterinya. Dalam hal ini, ritel sejenis Hypermart dan Carrefour hanya boleh ada di jalan utama dan jalan arteri. Semua aturannya kembali ke standar internasional, sesuai dengan perencanaan, diatur tentang mana daerah komersial, daerah sekolah, daerah residensial, dan sebagainya. Itu yang harus didefinisikan oleh pemda, paparnya. Sayangnya, Dinas Tata Kota beberapa wilayah seperti Bekasi, Depok dan Tangerang enggan memberikan tanggapan kala SWA mempertanyakan hal ini. Hanya Kepala Dinas Tata Kota Pemda DKI Wiriatmoko yang bersedia menanggapi. Menurutnya, perizinan pendirian hypermarket bukan tanggung jawab Dinas Tata Kota, melainkan Biro Perekonomian. Kami hanya mengatur dari segi kawasan komersialnya, katanya menegaskan. Dinas Tata Kota DKI cuma mengatur mengenai gedung-gedung dengan tujuan komersial. Adapun yang mengatur di kawasan gedung tersebut boleh ada mal atau tidak bukanlah Dinas Tata Kota. Mengenai hypermarket, bagian perpasaran yang mengatur, dan bagian itu ada di Biro Perekonomian. Berbagai hal yang tergolong detail mengenai pasar, seperti jarak pasar modern yang harus sekian kilometer dari pasar tradisional, diatur oleh Biro Perekonomian. Kami tidak pernah mengeluarkan aturan atau segala sesuatu tentang hypermarket. Kami hanya mengatur perizinan untuk tujuan komersial, Wiriatmoko menegaskan lagi. Namun dia menginformasikan, ada studi yang menyebutkan bahwa wilayah Jakarta Utara, Selatan dan Pusat telah penuh. Dengan demikian, sebaiknya tidak mendirikan hypermarket di wilayah-wilayah itu. Hypermarket, menurutnya, sebaiknya didirikan di luar kota, tepatnya di jalur-jalur yang bisa diakses dengan tol. Pesatnya pertumbuhan ritel modern ternyata tidak serta-merta memberi dampak positif terhadap bisnis produsen barang. Pasalnya, banyak biaya yang harus ditanggung produsen untuk bisa memajang barangnya di rak-rak ritel modern tersebut. Ada listing fee, support fee, mailer fee, dan biaya-biaya lain. Seorang sumber yang enggan disebut jati dirinya menuturkan, untuk bisa masuk ke Carrefour, dibutuhkan dana sekitar Rp 1 miliar/item produk. Kalau ada ukuran atau rasa (varian) berbeda, biayanya tambah lagi, ujarnya. Kalau dalam jangka waktu tertentu tidak laku, produk kami akan di-delete dari raknya, tidak bisa dipasang lagi. Sementara uang tidak kembali. Biaya dianggap hangus," katanya mengeluhkan.

Tingginya biaya yang diberlakukan pelaku bisnis ritel modern dirasa sangat berat oleh pihak produsen. Terlebih bagi produsen barang-barang recehan. Untuk produk seperti kami, we don't make money di sana, ungkap Hartono Atmadja, Direktur Pengelola Divisi Makanan Garudafood. Akan tetapi, Hartono mengatakan, karena tidak mempunyai pilihan lain, pihaknya harus mengikuti aturan main yang ditetapkan peritel. Pertumbuhan pasar modern sangat signifikan. Saat ini memang pasar tradisional masih lebih besar, tapi jika nanti keadaan berbalik? Kami akan lebih susah lagi kalau tidak sudah mulai dari sekarang, ujarnya. Posisi tawar pemasok di hadapan pengelola hypermarket boleh dibilang memang sangat rendah. Karena itu, berbagai aturan main yang diterapkan pengelola hypermarket mau tak mau akhirnya dituruti. Bahkan, saking kuatnya posisi pengelola hypermarket, pasokan barang ke pasar tradisional pun terpengaruh. Akibatnya, pedagang pasar tradisional harus menjual barang dengan harga yang relatif lebih tinggi ketimbang hypermarket. Beban bagi para pemasok juga bertambah berat karena semua hypermarket kian agresif menawarkan produknya sendiri (private label) dengan dalih untuk membina produsen kecil. Carrefour, contohnya, memiliki ratusan item produk privat yang diberi label Produk Carrefour, Paling Murah, BlueSky dan Harmonie. Demikian pula Hypermart yang mem-branding-kan produknya dengan merek Value Plus, dan Giant lewat merek Giant dan First Choice. Keberadaan produk-produk private label ini juga menjadi salah satu sumber pemasukan bagi pengelola hypermarket. Padahal, mereka sudah punya sumber pendapatan yang sangat beragam, mulai dari margin penjualan, listing fee, sewa gondola sampai cash flow management: mereka memberlakukan masa pembayaran yang relatif lebih lama dibandingkan dengan pasar tradisional, sehingga bisa memperoleh keuntungan dengan memutar kembali uang dari para pemasok. Pemerintah sendiri sebenarnya telah melakukan usaha untuk menata bisnis ritel modern ini. Lewat Keputusan Menteri Perdagangan No. 53, pemerintah mencoba mengatur biaya-biaya yang dibebankan pada para pemasok. Namun, di sisi lain, keberadaan hypermarket tentu menguntungkan bagi konsumen, setidaknya untuk jangka pendek. Konsumen bisa memperoleh barang dengan harga yang relatif lebih murah. Untuk jangka panjang, pesatnya perkembangan hypermarket ini pun bisa merugikan konsumen. Pasalnya, jumlah pemain di segmen ini hanya segelintir, sehingga jika sudah sangat besar, mereka pun bisa menekan konsumen, laiknya mereka menekan pemasok seperti sekarang.

Karena itu, mari kita tunggu aturan main yang lebih konkret dari pemerintah, agar bisnis yang menyerap tenaga kerja cukup besar ini tetap bisa tumbuh tanpa harus merugikan pihak lain.

Reportase: Herning Banirestu, Kristiana Anissa, Moh. Husni Mubarak, Rias Andriati, Sigit A. Nugroho, S. Ruslina dan Tutut Handayan

Anda mungkin juga menyukai