Anda di halaman 1dari 27

POLITIK HUKUM NASIONAL INDONESIA DALAM ERA REFORMASI

Oleh

Maruarar Siahaan.*

Pendahuluan.

Kata “politik hukum” sering sekali menimbulkan kebingungan, disebabkan kesan yang
timbul dari adanya perkataan politik didepan hukum tersebut. Undang-undang sebagai bagian
yang membentuk hukum, kerap dipersoalkan, apakah dia merupakan produk hukum atau
produk politik. Politik sendiri, sering dipahami sebagai proses pembentukan kekuasaan di
masyarakat yang mengambil bentuk dalam proses pembuatan keputusan, khususnya dalam
negara. Politik juga dikatakan sebagai satu seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan baik secara
konstitusional maupun inkonstitusional. Dalam definisi yang beragam, dikatakan juga bahwa
politik adalah segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaa kebijakan publik.
Politik hukum merupakan terjemahan dari istilah rechtspolitiek. Politiek mengandung arti beleid
(policy) atau kebijakan. Oleh karena itu politik hukum sering diartikan sebagai pilihan konsep
dan asas sebagai garis besar rencana yang menentukan arah, bentuk maupun isi hukum yang
akan diciptakan. Politik hukum adalah legal policy atau kebijakan tentang arah hukum yang
akan diberlakukan oleh negara untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan, yang dapat
mengambil bentuk sebagai pembuatan hukum baru dan sebagai pengganti hukum yang lama.1

Jikalau politik hukum dilihat sebagai proses pilihan keputusan untuk membentuk
kebijakan dalam mencapai tujuan negara yang telah ditentukan, maka jelas pilihan kebijakan
demikian akan dipengaruhi oleh berbagai konteks yang meliputi nya seperti kekuasaan politik,
legitimasi, sistem ketatanegaraan, ekonomi, sosial dan budaya.2 Hal itu berarti bahwa politik
hukum negara selalu memperhatikan realitas yang ada, termasuk realitas politik internasional
dan nilai-nilai yang dianut dalam pergaulan bangsa-bangsa. Politik hukum sebagai satu proses
pembaruan dan pembuatan hukum selalu memiliki sifat kritis terhadap dimensi hukum yang
bersifat ius constitutum dan ius constituendum, karena hukum harus senantiasa melakukan
penyesuaian dengan tujuan yang ingin dicapai masyarakat, sebagaimana telah diputuskan.

*Mantan Hakim Mahkamah Konstitusi R.I.,sekarang Chairman, Center for Indonesian Constitutional Jurisprudence
(CIC.Jure).
1
Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, LP3ES, 2006, hal 5.
2
Lawrence M. Friedman menyatakan bahwa hukum mengandung tiga komponen, yaitu substansi atau materi
hukum, struktur atau aparatur hukum, dan budaya hukum.

1
Karenanya politik hukum selalu dinamis, dimana hukum bukan merupakan lembaga yang
otonom, melainkan kait berkait dengan sektor-sektor kehidupan lain dalam masyarakat.3

Seperti diutarakan sering muncul pertanyaan, apakah undang-undang sebagai bagian dari hukum,
merupakan produk politik atau produk hukum. Meskipun perbedaan paham tentang hal tersebut tidak
jarang ditemukan, jelas bahwa sesuai dengan kondisi dan konteks yang mengitari hukum kompleks,
maka jelas bahwa proses politik merupakan hal yang niscaya terjadi dalam pembentukan undang-
undang. Dalam hal demikian menjadi terang bahwa politik akan sangat mempengaruhi pembentukan
4
undang-undang melalui konfigurasi kekuatan politik dalam pengambilan keputusan secara demokratis
di lembaga pembuat undang-undang.

Untuk dapat memahami politik hukum tersebut secara lebih jelas dari pengalaman kita,
dapat dirujuk Ketetapan-Ketetapan MPR tentang pembentukan Garis-Garis Besar Haluan
Negara (GBHN) berdasar kewenangan MPR berdasarkan UUD 1945 sebelum perubahan. TAP
MPR Nomor II sampai Tahun 1998, dalam pertimbangannya menyatakan bahwa MPR
mempunyai tugas konstitusional untuk menetapkan GBHN sebagai rangkaian program
pembangunan yang berlangsung terus menerus untuk mewujudkan tujuan nasional
sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. GBHN tersebut harus memberi
kejelasan arah bagi perjuangan negara dan rakyat Indonesia agar dapat mewujudkan keadaan
yang diinginkan dalam rangka kelanjutan yang berjangka panjang, sehingga secara bertahap
dapat mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia.GBHN disusun dan dituangkan secara sistematis
dalam kebulatan hubungan yang menyeluruh.5

RUANG LINGKUP POLITIK HUKUM.

Ruang lingkup kajian politik hukum meliputi aspek yang luas, akan tetapi dalam
kesempatan ini pembicaraan terbatas pada beberapa wilayah tertentu, sesuai dengan maksud
dan tujuan yang dapat dipahami dari segi pengguna instrumen ini. Satjipto Rahardjo
menguraikan beberapa pertanyaan yang timbul dalam studi politik hukum yang meliputi
pertanyaan tentang :

a. Tujuan apa yang hendak dicapai dengan sistem hukum yang ada;
b. Cara-cara apa yang paling baik untuk mencapai tujuan negara;
c. Kapan waktunya hukum dirubah dan bagaimana perubahan itu sebaiknya dilakukan;

3
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal 352.
4
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia,LP3ES 1998, hal 1.
5
Pertimbangan konsiderans dalam TAP MPR tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang berlaku secara
standar.

2
d. Dapatkah dirumuskan suatu pola yang mapan dalam proses pemilihan tujuan dan cara
untuk mencapai tujuan tersebut.6

Moh. Mahfud merinci ruang lingkup domain politik hukum secara lebih mengena dan lebih
tepat dengan maksud dan tujuan kita, yaitu :

1. Tujuan Negara atau masyarakat Indonesia yang di idamkan sebagai orientasi politik
hukum, termasuk penggalian nilai dan dasar tujuan negara sebagai pemandu politik
hukum;
2. Sistem hukum nasional yang diperlukan untuk mencapai tujuan itu, serta faktor-faktor
yang mempengaruhinya;
3. Perencanaan dan kerangka pikir dalam perumusan kebijakan hukum;
4. Isu nasional dan faktor-faktor yang mempengaruhinya;
5. Pemagaran hukum dengan prolegnas dan judicial review, legislative review. 7

Dalam kerangka pembicaraan kita tentang politik hukum sebagai arah dalam pembangunan
hukum untuk mencapai tujuan negara yang telah ditentukan, persoalannya adalah memahami
dasar dan tujuan negara yang dibentuk tersebut, yang terjadi melalui kepakatan atau konsensus
nasional oleh para pendiri negara. Dasar dan tujuan negara demikian, akan ditemukan dalam
konstitusi, sebagai satu kesepakatan umum (general consensus). Disamping meletakkan tujuan
dan dasar negara yang dibentuk, maka suatu konstitusi biasanya dimaksudkan untuk mengatur
tiga hal penting, yaitu: (a) menentukan pembatasan kekuasaan organ-organ negara, (b)
mengatur hubungan antara lembaga-lembaga negara yang satu dengan yang lain, dan (c)
mengatur hubungan kekuasaan antara lembaga-lembaga negara dengan warganegara.8

Undang-Undang Dasar 1945 Sebelum dan Sesudah Perubahan.

Ketika kemerdekaan Indonesia sedang dalam persiapan, dan para pemimpin pergerakan
merundingkan seperti apa dasar negara yang hendak dibangun itu, maka kita dapat melihat
dalam Pembukaan UUD 1945, tujuan dibentuknya Negara Republik Indonesia yang merdeka
dalam alinea keempat yaitu :

1. Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia;

6
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT Citra Aditya Bakti, Bandung 2000, hal 352.
7
Moh. Mahfud, Membangun Politik Hukum…op.cit hal 16.
8
Jimly Asshidiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme, Sekretariat Jenderal & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi,
2006, hal 29.

3
2. Memajukan kesejahteraan umum;
3. Mencerdaskan kehidupan bangsa
4. Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan Kebangsaan
Indonesia.

Untuk mencapai tujuan negara yang telah diletakkan tersebut, maka dibentuk pula suatu
Undang-Undang Dasar Negara Indonesia dalam susunan Negara Republik Indonesia yang
didasarkan pada lima sila (Pancasila) :

1. Ke Tuhanan yang Maha Esa;


2. Kemanusiaan Yang Adil dan beradab;
3. Persatuan Indonesia;
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan
5. Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.9

Untuk dapat memahami dasar negara tersebut dalam konteks sekarang ini, kita tentu
harus kembali mencerna pemikiran-pemikiran yang berkembang dalam rapat-rapat Badan
Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). 10 Dengan memahami proses terbentuknya
kesepakatan yang dicapai tentang dasar Negara yang akan dibentuk pada tahun 1945 tersebut
dengan segala pergulatan pemikirannya, kita akan lebih mampu menghayati perkembangan
yang kita alami sekarang, yang sesungguhnya menyangkut komitmen, implementasi dan
perwujudan Panca Sila sebagai dasar negara dan Pandangan Hidup Bangsa.

Sebagai dasar negara, falsafah dan pandangan hidup serta pedoman bernegara, berbangsa
dan bermasyarakat, juga dasar negara, Pancasila menjadi sumber dari segala sumber politik
hukum dan cita-hukum (rechtsidee) yang termuat dalam norma dasar negara
(Staasfundamentalnorm) dan menjadi moralitas konstitusi serta yang akan mendasari arah
9
Pembukaan UUD 1945.
10
Pengumuman Panglima Bala Tentara Dai Nippon di Jawa, Saiko Sikikan, mengumumkan rencana pembentukan
badan untuk menyelidiki usaha-usaha persiapan kemerdekaan, tanggal 1 Mart 1945, dan pada tanggal 29 April
1945 dengan Maklumat Gunseikan (Komandan Angkatan Darat Jepang) dibentuklah Dokuritu Ziunby Tyosa Kai,
yang dikenal sebagai BPUPK. (Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, Latar Belakang,
Proses, dan Hasil Pembahasan, Buku I, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008, h. 10. ).

4
pembentukan hukum semua peraturan perundang-undangan yang diciptakan sebagai
penjabaran Undang-Undang Dasar 1945. Yang menjadi persoalan sekarang adalah bagaimana
Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, tujuan dibentuknya negara dan norma-norma
konstitusi tentang hak asasi manusia dan hak warganegara, yang dimuat konstitusi secara
operasional memberi landasan, tujuan dan arah politik hukum yang harus dikembangkan untuk
mencapai tujuan bernegara yang ditentukan sebagai hasil konsensus nasional.
Perubahan UUD 1945 yang berlangsung sejak tahun 1999 sampai dengan Tahun 2002,
memang secara mendasar memberi dampak yang luar biasa pada UUDS 1945, sehingga banyak
yang menuduh bahwa UUD 1945 tersebut setelah tahun 2002 bukan lagi UUD 1945 yang
dibentuk para pendiri negara pada tahun 1945, melainkan merupakan UUD Negara Republik
Indonesia Tahun 2002 yang sangat berbeda.11 Meskipun harus diakui bahwa perubahan yang
dilakukan tidak sempurna, tetapi perubahan yang dilakukan juga memiliki dasar yang cukup
berdasarkan pengalaman kita sendiri. Memang perubahan yang terjadi sangat mendasar.
Jumlah ketentuan yang ada dalam UUD 1945 sebelum perubahan terdiri dari 71 butir ketentuan
yang dimuat dalam 37 Pasal, tetapi dengan Perubahan Pertama sampai dengan Perubahan
Keempat jumlahnya berubah menjadi 199 butir ketentuan, sehingga 174 butir ketentuan
diantaranya merupakan substansi ketentuan baru, dan hanya 25 butir ketentuan yang tidak
mengalami perubahan. Itu berarti perubahan UUD 1945 yang terjadi mencakup 300 % dari
isinya.12

Meskipun demikian, perubahan yang terjadi untuk mengatasi kelemahan UUD 1945
sebelum perubahan yang oleh Bung Karno disebut sebagai Undang-Undang Dasar ‘Kilat” yang
dapat dirubah setelah keadaan memungkinkan, dapat dibenarkan. Apalagi dengan komitment
atas kesepakatan yang dirumuskan sebelum perubahan UUD 1945 dilakukan, yaitu :

1. Tidak mengubah Pembukaan UUD 1945.


2. Tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

11
Dimyati Hartono, menuliskan bahwa amandemen telah merusak konsepsi nasional dan menjadi sumber
terjadinya disintegrasi konsepsi nasional dan disintegrasi bangsa dan negara. (Problematik & Solusi Amandemen
Undang-Undang Dasar 1945, Penerbit PT Gramedia Utama, Jakarta 2009, hal 157)
12
Jimly Asshidiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, PT. Bhuana Ilmu Populer,
Kelompok Gramedia 2007, hal. 115.

5
3. Mempertegas Sistem Pemerintahan Presidensial
4. Penjelasan UUD 1945 ditiadakan serta hal-hal normatif dalam Penjelasan dimasukkan ke
dalam Pasal-Pasal
5. Perubahan dilakukan dengan cara adendum.13

Dengan demikian dalam kerangka pembicaraan politik hukum, maka secara mendasar
pengertian politik hukum sebagai arah pembentukan hukum yang menjadi alat untuk
mencapai tujuan negara yang ditentukan dalam UUD 1945, tetap relevan dan tidak
berubah. Di inkorporasikannya hak-hak asasi manusia secara komprehensif dalam Bab XA
UUD 1945 setelah perubahan kedua, justru mempertegas dasar dan tujuan yang menjadi
sumber politik hukum Indonesia, karena prinsip dan norma hak asasi manusia tersebut
melengkapi dan megelaborasi sila-sila Pancasila secara lebih kongkrit untuk menjadi norma
konstitusi.

Pancasila Sebagai Dasar Negara dan Pandangan Hidup Bangsa.

Lima sila dalam Pancasila, sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa, sejak
reformasi mengalami pelemahan, karena dianggap sebagai bagian dari orde baru yang gagal
membangun Indonesia berdasarkan konsep yang dirumuskan Pancasila sebagai cita negara
(staatsidee) dan cita hukum (rechtsidee). Oleh karenanya sejak reformasi, banyak orang
mencoba secara perlahan mengesampingkan Pancasila sebagai dasar negara. Tetapi dalam
banyak peristiwa menyangkut melemahnya penghayatan akan keberagaman kultural, suku,
etnis dan agama yang terjadi di tengah-tengah masyarakat Indonesia sampai dengan akhir-
akhir ini, kita merasakan perlunya merevitalisasi Pancasila tersebut sebagai dasar negara, yang
akan merekatkan kita sebagai bangsa. Demikian pun dalam politik hukum yang dianut,
revitalisasi Pancasila tersebut perlu dilakukan. Pidato Obama di depan mahasiswa Universitas
Indonesia, seolah mengkritik atau sekedar mengingatkan kita akan harta terpendam yang
cenderung kita lupakan.

13
Sekretariat Jenderal MPR-RI, Panduan Dalam Memasyarakatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 : Latar Belakang, Proses dan Hasil Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, Jakarta, 2003, hal. 25. Juga dikutip Jimly Asshidiqie, ibid hal 97.

6
Sebagai falsafah dan ideologi negara yang merupakan cita-hukum dan cita negara
(rechtsidee en staatsidee), Pancasila merupakan sekumpulan nilai-nilai yang dianut dan yang
menjadi pedoman, inspirasi, dan penerang jalan menuju tujuan negara. Karena itu Pancasila
memiliki fungsi kritis terhadap semua kebijakan publik yang diambil, baik dalam bentuk
peraturan perundang-undangan untuk menata ketertiban masyarakat, maupun terhadap
program-program sosial, ekonomi, dan budaya yang perlu untuk mencapai tujuan negara.
Pancasila merupakan kaidah penuntun dalam politik hukum nasional sehingga hukum nasional
harus dikembangkan mengarah pada (a) menjaga integrasi bangsa, baik dari aspek ideologi
maupun teritori; (b) didasarkan pada upaya membangun demokrasi dan nomokrasi sekaligus;
(c) didasarkan pada upaya membangun keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia; dan (d)
didasarkan pada prinsip toleransi beragama yang berkeadaban. Pancasila adalah sumber
materiil tertinggi yang menentukan materi muatan dalam pembentukan hukum serta sebagai
tolok ukur filosofis dalam pengujian konstitusionalitas norma hukum. 14

Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemajemukan, dan Konsensus

Sebagai satu sumber politik hukum dalam kerangka menetapkan arah perkembangan dan
pembentukan hukum untuk mencapai tujuan negara, sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam
masyarakat yang yang serba majemuk, baik dalam budaya, etnis, suku, adat dan terutama agama,
pengalaman kita bernegara sejak lama merupakan hal yang masih menunjukkan perbedaan sikap
dengan apa yang menjadi konsensus dalam proses persiapan kemerdekaan Indonesia pada tahun
1945.

Masyarakat majemuk yang hendak dipersatukan dalam kesatuan, keseimbangan, dan


keselarasan yang serasi seperti dicerminkan dalam “Bhinneka Tunggal Ika” mengalami
hambatan mendasar, jika dialog berkelanjutan secara toleran untuk membangun konsensus tidak
dilakukan. Sila Pertama Pancasila boleh jadi justru menjadi hambatan yang besar jika

14
Kesimpulan Kongres Pancasila di Yogyakarta 30 Mei – 1 Juni 2009, mengenai “Negara Hukum Dalam Perspektif
Pancasilan”, dalam Proceeding Kongres Pancasila, Pancasila Dalam Berbagai Perspektif”, Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2009, hal. 56.

7
pendekatan yang dilakukan, seperti yang berulang-ulang dikemukakan oleh Eka Darmaputera,
adalah pendekatan “ini atau itu”. 15

Pancasila yang diterima dan diamanatkan para pendiri republik ini sebagai dasar negara, tidak
menjadikan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara agama, dan tidak juga sebagai
negara sekuler. Ketuhanan Yang Maha Esa tidak mendorong ke arah pilihan “Tuhan agama ini”
atau “Tuhan agama itu”. Konsensus yang dicapai adalah memberi ruang dan tempat bagi semua
penganut agama dengan agamanya masing-masing tanpa kehilangan kebebasannya.

Jika pendekatan yang diterapkan adalah “bukan ini dan bukan itu” maka semua akan
memperoleh tempat dalam wadah negara yang majemuk ini. Toleransi sebagai ruang atau
atmosfir yang memayungi semua unsur dalam semangat Bhinneka Tunggal Ika memberi
kebebasan bagi semua untuk mengembangkan diri, sejauh tidak menghilangkan kebebasan
agama komponen lainnya. Ini harus menjadi konsensus bersama. Dalam atmosfir seperti ini,
kebijakan publik yang inklusif didasarkan pada kesamaan kepentingan dan tujuan, dimana semua
komponen yang ada diharapkan bersedia membatasi diri masing-masing.16

Kebijakan publik yang inklusif berdasar Pancasila, khususnya sila Ketuhanan Yang Maha
Esa, dalam pendekatan “bukan ini dan bukan itu” yang sangat saya setujui, seharusnya
menghasilkan konsensus dimana politik hukum dan segala kebijakan berdasarkan kepentingan
dan tujuan yang sama, akan selalu mengalir dari jawaban atas pertanyaan penentu: yaitu apakah
kebijakan publik yang diputuskan bertentangan dengan agama/kepercayaan tertentu sebagai
komponen dalam “payung” sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Dan bukan dari pertanyaan apakah
suatu ajaran agama memberi perintah tertentu untuk menjabarkan kebijakan publik. Sepanjang
kebijakan publik yang diputuskan tidak bertentangan dengan hak serta kebebasan orang lain
dalam mengembangkan dan menjalankan ibadah menurut agama/kepercayaannya, dan
merupakan pemenuhan tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral dan nilai agama,
itulah ruang toleransi dalam kebersamaan serta keselarasan dari sila Ketuhanan Yang Maha Esa
dan Pancasila. Determinant demikian timbul karena kelima sila Pancasila merupakan satu
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain, yang membentuk maknanya secara utuh.

15
Eka Dharma Putera, Pancasila, Identitas & Mdernitas BPK Gunung Mulia, 1997
16
Ibid.

8
Dari catatan pandangan Muhammad Nasir dan Kasman Singodimejo tentang pertemuan
pendapat yang hanya mungkin dicapai dengan mengetahui secara tepat pendapat dan ide yang
harus dipertemukan, kita memperoleh penegasan bahwa dialog merupakan keniscayaan.
Toleransi dirumuskan sebagai ruang atau atmosfir dimana konfrontasi ide-ide dan pemikiran
dimungkinkan. Toleransi tanpa konfrontasi bukanlah toleransi. 17

Masalahnya, satu pendekatan yang tepat dalam menafsirkan Pancasila untuk dapat
disepakati sebagai payung yang cukup besar bagi realitas kemajemukan Indonesia yang
berimplikasi pada pemaknaan Ketuhanan Yang Maha Esa yang dapat disepakati semua
komponen bangsa, haruslah menjadi konsensus bersama. Secara politik dan hukum yang ilmiah,
keputusan yang dilakukan haruslah menggambarkan dan merujuk dasar negara dan pandangan
hidup bangsa sebagai sumber legitimasi yang konstitusional. Jabaran rechtsidee sebagai orientasi
nilai Pancasila yang termuat dalam Pembukaan UUD’45 dan yang menjadi norma-norma
konstitusi, seharusnya mendasari segala kebijakan publik dan politik hukum yang dirumuskan.
Sistem norma yang dibangun harus menjadi satu kesatuan sistem yang utuh dan serasi dengan
pandangan hidup, filosofi, dan nilai-nilai yang menjadi ideologi bangsa dan negara dalam
Pancasila yang telah disepakati. Secara kritis, semua kebijakan publik dapat dilihat dari tolok
ukur sila-sila Pancasila.

Sebagai perbandingan kita dapat melihat bagaimana Pancasila itu dijabarkan dalam
kebijakan publik dan politik hukum oleh Machfud MD, dengan mengatakan bahwa

“Tujuan negara tersebut harus diraih oleh negara sebagai organisasi tertinggi bangsa Indonesia
yang penyelenggaraannya didasarkan pada lima dasar negara (Pancasila) yaitu Ketuhanan
Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan dan Keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia. Pancasila ini juga dapat memandu politik hukum nasional dalam
berbagai bidang. Sila “ Ketuhanan Yang Maha Esa” menjadi landasan politik hukum yang
berbasis moral agama; sila “Kemanusiaan yang adil dan beradab” menjadi landasan politik
hukum yang menghargai dan melindungi hak-hak asasi manusia yang non-diskriminatif; sila
“Persatuan Indonesia” menjadi landasan politik untuk mempersatukan seluruh unsur bangsa
dengan berbagai ikatan primordialnya masing-masing; sila “Kerakyatan Yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan” menjadi landasan politik hukum
yang meletakkan kekuasaan dibawah kekuasaan rakyat (demokratis); dan sila “Keadilan Sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia” menjadi landasan politik hukum dalam hidup bermasyarakat
17
Ibid.

9
yang berkeadilan sosial sehingga mereka yang lemah secara sosial ekonomis tidak ditindas oleh
mereka yang kuat secara sewenang-wenang”.18

Program Legislatif Nasional (Prolegnas).

Dengan tidak adanya lagi Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang memuat arah
yang dituju untuk mencapai tujuan bernegara yang ditentukan, maka politik hukum Indonesia
seharusnya akan dimuat dan ditemukan dalam program legislatif nasional, sebagai instrumen
yang disusun dan dibentuk sebagai arah dan cara untuk mencapai tujuan negara yang
ditentukan melalui bidang hukum dan regulasi bidang-bidang lainnya. Program legislasi
nasional (prolegnas) adalah instrumen perencanaan program pembentukan undang-undang.
Secara lokal juga seharusnya dilakukan perumusan politik hukum melalui instrumen porgram
legislatif yang yang berskala lokal yang disebut program legislatif daerah (prolegda). 19

Prolegnas merupakan kerja bersama antara DPR dengan Pemerintah, yang dikoordinasi
oleh DPR melalui alat kelengkapan DPR yang menangani bidang legislasi. Dipihak lain juga
Pemerintah, yang berhak mengajukan inisiatif RUU, menyusun juga prolegnas yang
dikoordinasikan oleh Menhukham.20 Dalam kenyataan, tampak bahwa Prolegnas sebagai
sebagai sebuah instrumen pengarah dalam pembangunan dan pembentukan hukum belum
memenuhi standar sebagai satu politik hukum yang menggambarkan arah kedepan yang
dilakukan berdasarkan satu analisis kebijakan yang disusun atas dasar tujuan dan dasar/falsafah
negara, melainkan baru merupakan satu daftar keinginan (wish list), karena yang muncul baru
sebatas judul RUU, yang kadang-kadang mengalami duplikasi, di mana dua RUU judulnya
sama.21 Di tingkat daerah persoalan kualitas peraturan daerah sangat buruk, sehingga harus

18
Moh. Machfud MD, Membangun Politik Hukum… op.cit . hal 17-18.
19
Pasal 1 angka 9 dan 10 jo. Pasal 15 dan 16 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan.
20
Ibid.
21
Harian Kompas tanggal 15 November, 2010.

10
dibatalkan oleh Pemerintah Pusat, karena bertentangan dengan Undang-Undang diatasnya,
melanggar HAM dan bersifat diskriminatif.22

Hirarki Peraturan Perundang-Undangan Dan Pengujian Undang-Undang terhadap Undang-


Undang Dasar.

Teori Hans Kelsen tentang penjenjangan norma, telah dimuat menjadi hukum positif
dalam sistim hukum Indonesia dengan pemuatannya dalam UU 10 tahun 2004, yang
menempatkan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara, dan Undang-
Undang Dasar Tahun 1945 merupakan hukum dasar dalam jenjang peraturan perundang-
undangan.23 Setiap norma harus bersumber pada norma yang berada diatasnya, dan
validitasnya juga ditentukan oleh norma yang berada diatasnya. Demikian berlangsung secara
berjenjang dari norma yang terendah sampai pada puncaknya terletak hukum dasar. Satu
norma tidak boleh bertentangan dengan norma yang berada diatasnya yang menjadi sumber
validitasnya. Inkonsistensi yang terjadi dapat mengakibatkan kebatalan dari norma yang lebih
rendah tersebut. Oleh karenanya tiap norma yang lebih tinggi yang akhirnya bersumber pada
Undang-Undang Dasar sebagai hukum tertinggi, memiliki fungsi kritis atau pengujian atas
konsistensi dan kesesuain norma yang berada dibawahnya, baik itu dilakukan melalui
mekanisme pengujian oleh legislatif, executif atau secara khusus oleh badan peradilan sebagai
kekuasaan kehakiman.

Jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan yang dikenal dan ditentukan oleh
Undang-Undang dan praktek terdiri dari :

1.Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah pengganti undang-undang;

3. Peraturan Pemerintah;

4. Peraturan Presiden;

22
Menteri Kehakiman, sebagaimana dikutip Harian kompas Tanggal 15 November 2010.
23
Pasal 2 dan Pasal 3 ayat (1) UU 10/2004

11
5. Peraturan Daerah.24

Judicial review atau secara lebih spesifik constitutional review sebagai lembaga hukum
untuk melakukan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, merupakan
konsepsi hukum yang mengalami sejarah panjang dalam sistem-sistem hukum yang berbeda.
Bentuk pokok berdasarkan gagasan tentang adanya hierarki norma hukum yang menempatkan
norma dasar sebagai hukum tertinggi dalam sistem norma, mengendalikan dan menjadi sumber
legitimasi peraturan di bawahnya yang dibentuk sebagai konkretisasi norma dasar tersebut.
Semua norma-norma yang validitasnya dapat ditelusuri kepada satu norma dasar dan norma
dasar yang sama membentuk satu sistem norma-norma, merupakan sebuah tertib normatif.
Norma dasar tersebut merupakan sumber validitas yang sama bagi semua norma yang
termasuk dalam tertib yang sama dan merupakan alasan validitas yang sama bagi keberlakuan
norma.25 Ketertiban hidup bermasyarakat dan bernegara memerlukan adanya hukum yang
berkembang dari kesadaran manusia sendiri demi tatanan yang menjamin nilai-nilai yang
dianggap perlu dalam mencapai tujuan kehidupan bersama dan tujuan kehidupan secara
individual.

Manusia sebagai mahluk sosial hanya dapat mewujudkan kehidupannya dalam


kebersamaan dengan orang lain dengan menjamin kehidupan bersama serta memberi tempat
bagi orang per orang dan kelompok untuk mempertahankan diri dan memenuhi kebutuhan
hidupnya dalam rangka mencapai tujuan bersama. Untuk itu diperlukan hukum yang mengatur
sehingga konflik kepentingan dapat dicegah, dan tidak menjadi konflik terbuka, yang semata-
mata diselesaikan atas dasar kekuatan atau kelemahan pihak-pihak yang terlibat.26

Sejak proklamasi kemerdekaan Indonesia, juga telah dinyatakan bahwa negara Indonesia
yang akan dibentuk adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan
kekuasaan semata-mata (machtsstaat).27 Hal tersebut dimaknai bahwa dalam ketertiban hidup
bermasyarakat dan bernegara, semua tindakan yang dilakukan, baik oleh penyelenggara negara
24
Pasal 7 ayat (1) UU 10/2004.
25
Hans Kelsen, Pure Theory of Law, (Berkeley-Los Angles-London: University of California Press, 1967) hal.
26
Franz Magnis Suseno, Etika Politik, Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern (Jakarta: Gramedia, 1988) hal. 77.
27
Penjelasan UUD 1945 sebelum perubahan.

12
maupun individu dalam hubungan satu sama lain dan dengan masyarakat, harus selalu
didasarkan dan berpedoman pada hukum. Hukum tersebut tersusun dalam satu pertingkatan.
Artinya peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kedudukannya menjadi sumber
peraturan perundang-undangan yang lebih rendah dan peraturan perundang-undangan yang
lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Hans Kelsen
mengemukakannya dalam teorinya yang klasik Stufenbau des Rechts sebagai berikut:

“The relation existing between a norm which governs the creation or the
content of another norm and the norm which is created can be presented in a
spatial figure. The first is the “superior” norm; the second the “inferior”. If one
views the legal order from this dynamic point of view, it does not appear, as it
does from the static point of view, as a system of norms of equal rank, standing
one beside the other, but rather as hierarchy in which the norms of the
constitution from the top most stratum. In this functional sense, ‘constitution’
means those norms that determine the creation, and occasionally to some
extent the content, of the general legal norms which in turn govern such
individual norms as judicial decisions.”28

Hubungan antara satu norma dengan peringkat yang lebih tinggi dengan
norma yang lebih rendah (misalnya antara konstitusi dengan undang-undang yang
dibuat sesuai dengan konstitusi) juga berarti bahwa di dalam norma yang lebih tinggi
tersebut ditemukan dasar keabsahan aturan yang lebih rendah. Satu norma hukum
tercipta dengan cara yang ditentukan oleh norma hukum lainnya. Ini disebut sebagai
prinsip dinamis yang sempurna dan merupakan prinsip validitas yang khas bagi hukum
positif. Norma umum itu menjadi sah karena dibentuk sesuai dengan konstitusi, dan
keabsahan konstitusi diperoleh dari norma dasar (grundnorm) yang bertanggungjawab
atas kesatuan tertib hukum yang tidak dapat diterangkan sumber keabsahannya serta

28
Hans Kelsen, What Is Justice? Justice, Law, and Politics in The Mirror of Science, op.cit., hal. 279.

13
hanya dilihat sebagai sesuatu yang telah ada sebelumnya (presupposed by juristic
thinking, the hypothetical basic norm).29

Konstitusi Amerika yang diratifikasi oleh negara-negara bagian pada tahun


1787, menyebut secara jelas bahwa Konstitusi Amerika Serikat merupakan hukum
tertinggi yang mengikat eksekutif, legislatif, dan judikatif serta setiap pejabat publik
harus bersumpah terlebih dahulu untuk mendukung dan mempertahankan konstitusi
tersebut.30 Indonesia menyebutnya secara lebih khusus dalam Undang-Undang Nomor
10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dengan
menyatakan bahwa UUD 1945 merupakan hukum dasar dalam peraturan perundang-
undangan dan Undang-Undang Dasar tersebut ditempatkan pada posisi teratas dalam
hierarki peraturan perundang-undangan.31 Hierarki yang sama sebelumnya sudah
ditetapkan,32 meskipun dengan pengaturan yang berubah dan belum disertai dengan
pedoman yang lebih terinci.

Hierarki peraturan perundang-undangan dengan UUD 1945 sebagai hukum


tertinggi akan mengendalikan konsistensi aturan yang lebih rendah dan harus dipatuhi
oleh pembuat undang-undang di semua tingkat kewenangan. Dalam hal terjadi
inkonsistensi dan pelanggaran terhadap prinsip hierarki perundang-undangan yang
berlaku, tidak selalu dapat diidentifikasi secara kasat mata dan segera. Tetapi
inkonsistensi maupun pelanggaran prinsip demikian akan menggerakkan mekanisme
kontrol yang inherent dalam prinsip hierarki tersebut dan menjadi kewajiban
konstitusional dari pemegang kekuasaan eksekutif, legislatif, dan judikatif untuk
memberi akibat hukum pada norma hukum yang inkonstitusional dalam batas
kewenangannya. Pada tahap terakhir perbaikan harus dilakukan oleh rakyat melalui

29
Ibid, hal. 222.
30
Article VI (2) (3) of the US Constitution.
31
Pasal 3 ayat (1) juncto Pasal 7 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.
32
Ketetapan MPRS Nomor III/MPRS/ 1966 dan Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000.

14
pemilihan wakil-wakil yang lebih patuh pada konstitusi untuk melakukan perubahan
peraturan perundang-undangan yang lebih serasi dengan konstitusi.33

Tiap tindakan yang lahir dari kewenangan yang didelegasikan oleh sumber
yang lebih tinggi adalah batal, jika tindakan atau regulasi yang dilahirkan, bertentangan
dengan sumber yang lebih tinggi tersebut. Karenanya tidak satu undang-undang pun
yang merupakan hasil dari pelaksanaan wewenang yang berasal dari konstitusi yang
bertentangan dengan konstitusi dapat dipandang sah. Kekuasan rakyat yang terjelma
dalam konstitusi merupakan kekuasaan tertinggi sehingga manakala kehendak pembuat
UU bertentangan dengan konstitusi, kehendak rakyat yang terjelma dalam konstitusi
adalah yang berlaku.34

Lahirnya Lembaga Judicial Review

Konstitusi Amerika Serikat sesungguhnya tidak memberikan secara eksplisit


kewenangan kepada Supreme Court untuk menguji konstitusionalitas undang-undang.
Akan tetapi prinsip konstitusi sebagai hukum tertinggi sedemikian rupa tegas disebut
dalam Konstitusi Amerika dan didukung oleh sumpah jabatan pejabat publik untuk
mempertahankan konstitusi dalam menyelenggarakan kekuasaan negara. Hal ini
menyebabkan konsekuensi prinsip konsistensi dalam hierarki perundang-undangan yang
berlaku terbangun secara internal (built-in) dalam sistem hukum yang dianut dan
beroperasi sebagai satu mekanisme yang diterima dalam praktik, meskipun tidak
dengan sendirinya. Hak uji materiil yang tumbuh dan berkembang dari prinsip konstitusi
tersebut, pertama kali diperkenalkan atau diterapkan dalam putusan besar hakim pada
masa John Marshall yang menjabat sebagai Ketua Supreme Court, ketika mengadili
perkara Marbury vs Madison pada tahun 1803. William Marbury, pada saat-saat akhir
sebelum Pemerintahan Thomas Jefferson diangkat sebagai Hakim tetapi ketika
Pemerintahan telah beralih kepada Thomas Jefferson, surat keputusannya tidak sempat
diserahkan oleh pemerintah yang lama kepada pemerintah yang baru. Marbury

33
James Madison dalam The Federalist Papers, Mentor Books, 1961, hal. 286.
34
Alexander Hamilton, op.cit., hal. 468.

15
menggugat berdasar undang-undang tentang kekuasaan kehakiman (judiciary act) tahun
1789. Berdasarkan undang-undang tersebut, Supreme Court sesungguhnya berhak
mengeluarkan writ of mandamus yang memberi wewenang untuk memerintahkan agar
surat keputusan pengangkatan tersebut diserahkan. Supreme Court tidak menggunakan
wewenang tersebut, namun justru membatalkan judiciary act karena dipandang
bertentangan dengan konstitusi. Marshall melihatnya sebagai kasus yang mengandung
kesempatan unik untuk merebut kewenangan judicial review. Ketika publik melihat ke
arah lain, dengan cara yang menentang bahaya Marshall bergerak ke arah lain dengan
membatalkan judiciary act tersebut.35

Meskipun konstitusi Amerika Serikat tidak mengatur hal tersebut secara tegas,
Supreme Court menganggap hal itu adalah tugas pokoknya yang ditafsirkan dari
konstitusi. Dari pandangan tentang tugas pokok yang demikian, kemudian berkembang
pengertian bahwa Supreme Court merupakan pengawal konstitusi yang
bertanggungjawab menjamin agar norma dasar yang terkandung dalam konstitusi agar
sungguh-sungguh ditaati dan dilaksanakan.36

Sejak putusan tersebut, lembaga judicial review menyebar ke seluruh dunia


dan dipandang sebagai fungsi dan tugas pelaku kekuasaan kehakiman untuk menjaga,
mengawal, dan melindungi konstitusi. Gagasan ini didasarkan pada prinsip negara
hukum, pemisahan kekuasaan, dan perlindungan hak asasi manusia. Perlindungan
konstitusional diperlukan sebab kekuasaan negara dapat saja dengan berbagai dalih
atau alasan melakukan campur tangan ke dalam kehidupan privat warga. Oleh
karenanya perilaku kolektif negara selalu cenderung meniadakan kepentingan
masyarakat secara individual.37

Indonesia menyatakan dengan tegas merupakan negara berdasarkan


kedaulatan rakyat, yang dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar (constitutional

35
Erwin Chemerinsky, Constitutional Law, Principles, and Policies (New York: Apsen Law and Business, 1977) hal. 38.
36
Jimly Asshidiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, Cet. I (Jakarta: Konstitusi Press, 2005)
hal. 23.
37
Jimly Asshiqie dan Achmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi di Sepuluh Negara (Jakarta: Konpress, 2006) hal. 8-9.

16
democracy) dan negara hukum (rechtsstaat). Artinya semua tindakan negara maupun
warga negara didasarkan pada hukum yang ada yang dibentuk dan dipengaruhi dengan
persetujuan rakyat.38 Negara hukum yang demikian harus memberikan jaminan bahwa
hukum dibangun dan ditegakkan menurut prinsip demokrasi karena prinsip supremasi
hukum dan kedaulatan hukum berasal dari kedaulatan rakyat. 39

Pemikiran dan fungsi kekuasaan kehakiman yang terkandung dalam putusan


Marshall dalam Marbury vs Madison di atas melahirkan pembaharuan hukum. Di benua
Eropa mulai berkembang pemikiran bahwa lembaga atau wewenang Mahkamah Agung
semacam itu mungkin berguna juga di Eropa. Tetapi sebenarnya perkembangan yang
terjadi secara berbeda di Eropa Barat timbul karena jasa Hans Kelsen (seorang sarjana
hukum yang sangat berpengaruh pada abad ke-20) yang diminta untuk menyusun
sebuah konstitusi bagi Republik Austria yang muncul dari puing Kekaisaran Austro-
Hungarian tahun 1919. Seperti halnya Marshall, Kelsen juga berpendapat bahwa
konstitusi harus diperlakukan sebagai seperangkat norma hukum yang superior (lebih
tinggi) dari undang-undang dan harus ditegakkan. Tetapi dalam transisi kekuasaan yang
terjadi pada masa itu, Kelsen mengakui adanya ketidakpercayaan yang luas terhadap
kemampuan hakim dari badan peradilan untuk melaksanakan tugas penegakan
konstitusi. Oleh karena itu, Kelsen merancang mahkamah khusus yang terpisah dari
peradilan umum untuk mengawasi undang-undang dan membatalkannya jika ternyata
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar.40

Judicial Review di Indonesia.

Indonesia kemudian mengikuti pemikiran Hans Kelsen dan merupakan negara


ke-78 yang membentuk MK sebagai lembaga kekuasaan kehakiman yang berdiri sendiri
(terpisah dan berada di samping Mahkamah Agung).41 Hal tersebut diwujudkan dalam
Perubahan Ketiga UUD 1945 pada tanggal 9 November tahun 2001. Pasal 24C ayat (1)

38
Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945.
39
Jimly Asshidiqie dan Ahmad Syahrizal, op.cit., hal. 9.
40
Herman Schwartz, op. cit., hal. 13. Bandingkan dengan ibid. hal. 18.
41
Jimly Asshidiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, op.cit., hal. 18.

17
UUD 1945 mengadopsi sistem dan mekanisme judicial review tersebut, dan dengan UU
MK dibentuklah MK dengan salah satu kewenangannya melakukan pengujian
konstitusionalitas undang-undang. Dua tugas pokok dalam uji konstitusionalitas undang-
undang (constitutional review) yaitu:

a. Menjamin berfungsinya sistem demokrasi dalam hubungan pertimbangan peran


(interplay) antara cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan lembaga peradilan
(judiciary). Constitutional review dimaksudkan untuk mencegah terjadinya
penyalahgunaan kekuasaan oleh satu cabang kekuasaan; dan
b. Melindungi setiap individu warga negara dari penyalahgunaan kekuasaan negara
yang merugikan hak-hak fundamental mereka yang dijamin oleh konstitusi.42
Sebenarnya ide atau gagasan tentang kewenangan seperti ini pernah muncul
dalam rapat-rapat Dokuritu Ziunby Tyosa Kai (Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia/BPUPKI) ketika membicarakan pembentukan Undang-Undang
Dasar Indonesia Merdeka pada tahun 1945. Ketika itu, Moh. Yamin mengemukakan
perlunya kewenangan “membanding undang-undang”, meskipun dengan dasar
pengujian yang berbeda. Dikatakannya bahwa akan ada satu balai agung atau
mahkamah tinggi, dan mahkamah itu ialah suara balai agung yang di dalamnya ada
mahkamah adat, mahkamah Islam, mahkamah sipil, dan mahkamah kriminal.
Mahkamah inilah yang setinggi-tingginya sehingga dalam membanding undang-undang,
suatu balai agung ini yang akan memutuskan apakah undang-undang yang diundangkan
sejalan dengan hukum adat, syari’ah, dan Undang-Undang Dasar.43 Gagasan ini sangat
ditentang oleh Soepomo karena dianggap sebagai paham liberal yang tidak cocok
digunakan dalam negara dengan paham integralistik yang berdasarkan paham

42
Ibid, hal. 10.
43
R.M. A.B. Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945 (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, 2004) hal. 279.

18
kekeluargaan, sehingga pada waktu itu tidak disetujui oleh rapat. 44 Soepomo menolak
gagasan itu karena Indonesia yang masih muda, belum siap untuk itu. 45

Pengujian konstitusionalitas undang-undang yang dipersyaratkan dalam


negara hukum dan demokrasi tersebut dilimpahkan kewenangannya kepada MK.
Sebelum lahirnya MK melalui Perubahan Ketiga UUD 1945, hakim hanya berwenang
untuk menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap
undang-undang. Lembaga pengujian ini tidak melakukan penilaian terhadap
konstitusionalitas norma peraturan perundang-undangan yang diuji, melainkan - dengan
menggunakan istilah Jimly Ashidiqie - hanya merupakan pengujian tentang legalitas
norma. Pengujian peraturan perundang-undangan demikian diadopsi dalam Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman. Sementara
itu, tuntutan dan gagasan untuk mengatur wewenang pengujian undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar, yang merupakan kewenangan badan peradilan telah
sejak lama menguat dan telah sering diwacanakan. Namun dalam masa Pemerintahan
Orde Baru, gagasan semacam itu dipandang sebagai rongrongan terhadap kekuasaan
pemerintahan yang kuat, sehingga baru setelah reformasi gagasan tersebut dapat
menjadi kenyataan.

Sri Sumantri membagi “hak menguji” tersebut atas (i) hak menguji formal (formele
toetsingsrecht) dan (ii) hak menguji materiil (Materiele toetsingsrecht). Hak menguji formal
adalah wewenang untuk menilai, apakah satu produk legislatif seperti undang-undang misalnya
terjelma melalui formalitas atau cara-cara (prosedur) sebagaimana ditentukan/diatur dalam
peraturan perundang-undangan. Yang diuji adalah tata cara pembentukan suatu undang-
undang dan lembaga yang membentuknya.46 Hak menguji materiil adalah wewenang
menyelidiki dan kemudian menilai apakah isi atau materi muatan suatu peraturan peraturan
perundang-undangan sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya.
Jimly Asshidiqie mengemukakan bahwa uji formil akan memeriksa konstitusionalitas undang-

44
Ibid.
45
Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), sebagaimana dikutip dalam Jimly
Asshidiqie dan Ahmad Syahrizal, op.cit.
46
Sri Sumantri, Hak Uji Materil di Indonesia, Bandung, PT. Alumni, 1977, hal 18.

19
undang dari segi procedure atau tata cara pembuatan yang diharuskan Undang-Undang Dasar
dan dari segi kelembagaan (institutional) yang berhak untuk menyusun, membentuk, dan
mengesahkan.47

Indonesia Negara Berdasarkan Kedaulatan Rakyat Berdasar konstitusi dan Negara Hukum
Yang Demokratis.

Reformasi yang menghasilkan empat tahap perubahan UUD 1945 telah membawa dampak
perubahan besar dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Sistem yang diadopsi merupakan
sesuatu yang sangat baru bagi Indonesia, dalam arti terbentuknya penataan kekuasaan negara
secara berbeda dari konsep dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 (UUD 1945) sebelum perubahan. Organisasi kekuasaan negara yang bersifat horizontal
fungsional telah menggantikan bentuk yang vertikal hierarkis. Dalam konfigurasi kekuasaan
yang vertikal hierarkis, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai lembaga negara
tertinggi berada di puncak susunan kekuasaan. Kedaulatan adalah di tangan rakyat, namun
dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR. Majelis ini dianggap sebagai penjelmaan seluruh rakyat
yang sepenuhnya melaksanakan kedaulatan rakyat yang merupakan pemegang kedaulatan
tertinggi.48

Perubahan Ketiga UUD 1945 menghasilkan pergeseran ke arah susunan kekuasaan


yang bersifat horizontal fungsional, yang berarti kedudukan lembaga-lembaga negara menjadi
setara. Masing-masing lembaga negara sebagai penyelenggara kekuasaan negara melakukan
pengawasan secara fungsional terhadap lembaga negara lainnya. Perubahan yang dilakukan
bertujuan untuk menyempurnakan aturan dasar penyelenggaraan negara secara demokratis
dan modern, antara lain melalui pemisahan dan/atau pembagian kekuasaan yang lebih tegas,
sistem checks and balances yang lebih ketat dan transparan serta pembentukan lembaga-

47
Jimly Asshidiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi R.I. 2006), hal 62-63.
48
Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 sebelum perubahan beserta Penjelasannya.

20
lembaga negara yang baru untuk mengakomodasi perkembangan kebutuhan bangsa dan
tantangan zaman.49

Kedaulatan rakyat yang sebelumnya dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR sebagai


perwujudan seluruh rakyat, setelah Perubahan Ketiga UUD 1945, dilaksanakan menurut
Undang-Undang Dasar.50 Hal itu berarti MPR tidak lagi menjadi lembaga negara tertinggi yang
dalam kedudukannya sebagai penjelmaan seluruh rakyat bertugas memberikan mandat kepada
penyelenggara negara lainnya. Sebaliknya, penyelenggara negara yang diberi mandat tidak lagi
mempunyai kewajiban untuk memberikan pertanggungjawaban pelaksanaan mandat tersebut
kepada MPR. Dengan demikian, MPR hanya menjadi salah satu lembaga negara di antara
lembaga negara lainnya yang memiliki kedudukan setara tetapi dengan tugas, kewenangan, dan
fungsi yang berbeda.

Pernyataan bahwa Indonesia ialah negara yang berdasarkan hukum (rechtsstaat) dan
tidak berdasarkan kekuasaan belaka (machtsstaat) serta pemerintahan berdasar atas sistem
konstitusi (hukum dasar) dan tidak bersifat absolutisme, sebagaimana termuat dalam
Penjelasan UUD 1945 sebelum perubahan, telah dimuat menjadi materi norma dalam batang
tubuh UUD 1945 hasil perubahan.51 Hal demikian dapat dilihat sebagai pergeseran dari sistem
supremasi parlemen (MPR merupakan lembaga tertinggi negara) menjadi sistem supremasi
konstitusi (konstitusi ditempatkan sebagai hukum yang tertinggi). Dengan demikian konstitusi
menjadi sumber legitimasi dari peraturan perundang-undangan yang dibentuk dan berlaku.

Pernyataan bahwa kedaulatan di tangan rakyat yang dilaksanakan berdasarkan


Undang-Undang Dasar dan pernyataan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum, dapat
dilihat sebagai pendirian yang tegas bahwa prinsip penyelenggaraan negara secara demokratis
didasarkan pada konstitusi (constitutional democracy). Demikian pula negara hukum yang

49
Sekretariat Jenderal MPR R.I., Panduan Dalam Memasyarakatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, Latar Belakang, Proses dan Hasil Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR R.I. 2003) hal. 16.
50
Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 hasil perubahan.
51
Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 hasil perubahan. Di tengah proses pembahasan perubahan UUD 1945, Panitia Ad Hoc I
menyusun kesepakatan dasar berkaitan dengan perubahan yang akan dilakukan, yang mencakup lima hal, antara lain tidak akan
dilakukan perubahan atas Pembukaan UUD 1945 dan meniadakan penjelasan UUD 1945 tersebut, tetapi memasukkan hal-hal
normatif dalam Penjelasan menjadi bagian dari batang tubuh dalam pasal-pasal. (Sekretariat Jenderal MPR R.I., op.cit., hal. 25.).

21
dianut adalah bersifat demokratis (democratische rechtstaat), yang diartikan bahwa proses
pembentukan hukum berlangsung dengan partisipasi warga negara.

Ada tiga ciri utama yang menandai prinsip supremasi konstitusi, yaitu: (i) pembedaan
antara norma hukum konstitusi dan norma hukum lainnya; (ii) keterikatan pembuat undang-
undang terhadap Undang-Undang Dasar; dan (iii) adanya satu lembaga yang memiliki
kewenangan untuk menguji konstitusionalitas undang-undang dan tindakan hukum
pemerintah.52 Meskipun ciri tersebut merupakan ciri yang dikenal dalam sistem negara lain,
akan tetapi hal itu juga merupakan ciri yang diterima dan diakui secara universal di negara-
negara yang menganut sistem pemerintahan yang demokratis berdasar konstitusi. Namun
demikian diadopsinya prinsip supremasi kontitusi dalam perubahan UUD 1945 sudah barang
tentu menimbulkan banyak permasalahan yang tidak dapat dilihat secara sederhana.

Masalah utama yang dihadapi adalah bagaimana menjamin bahwa prinsip supremasi
konstitusi tersebut dipatuhi sehingga terdapat konsistensi dan harmonisasi dalam pembuatan
peraturan perundang-undangan dan penyusunan kebijakan negara dengan menempatkan UUD
1945 sebagai hukum tertinggi. Hal tersebut meliputi bentuk kelembagaan yang diberi tugas
untuk menegakkan prinsip supremasi konstitusi tersebut serta bagaimana mekanisme
pelaksanaannya.

Sebagai jawaban atas permasalahan tersebut, dalam Perubahan Ketiga UUD 1945 telah
diatur keberadaan sebuah Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai bagian dari cabang kekuasaan
kehakiman, yang salah satu kewenangannya adalah melakukan pengujian undang-undang
terhadap UUD 1945. Lembaga dan mekanisme yang diadopsi berbeda dengan sistem yang
dikenal di Amerika Serikat, melainkan lebih menganut model Kelsen. Di dalam model Kelsen,
kewenangan khusus untuk melakukan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang
Dasar tidak merupakan bagian dari kewenangan mahkamah agung. Indonesia membentuk
sebuah Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai lembaga yang berdiri sendiri atau terpisah dari
Mahkamah Agung (MA).

52
Jutta Limbach, The Concept of the Supremacy of the Constitution, dalam “The Modern Law Review”, Vol. 64, No.
1, Januari 2001, hal. 3.

22
Pembentukan Mahkamah Konstitusi sebagai special tribunal yang terpisah dari
Mahkamah Agung, dalam sejarah hukum merupakan konsepsi yang dibangun oleh Hans Kelsen
ketika diminta menyusun sebuah konstitusi bagi Republik Austria pada awal abad ke-20.53
Konsep tersebut kemudian menyebar secara cepat di dunia dan Indonesia turut mengadopsi
MK model Kelsen tersebut pada saat berlangsungnya transisi pemerintahan dari sistem otoriter
menuju sistem demokrasi.

Keberadaan MK telah menciptakan pembagian kekuasaan atau pemisahan kekuasaan


yang memungkinkan adanya proses saling mengawasi dan saling mengimbangi di antara
cabang-cabang kekuasaan negara yang ada atau lazim disebut dengan mekanisme checks and
balances. Hal itu tampak terutama dari salah satu kewenangan yang dilimpahkan kepada MK
untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Pengujian ini baik secara
formal (formele toetsing), yaitu menguji keabsahan kelembagaan yang membuat, bentuk, dan
tatacara atau prosedur pembentukan undang-undang maupun pengujian secara materil
(materiele toetsing), yaitu untuk menguji konsistensi dan kesesuaian substansi materi undang-
undang, baik pasal, ayat atau bagian undang-undang dengan prinsip dan jiwa UUD 1945.54
Kewenangan tersebut merupakan salah satu dari empat kewenangan lainnya yang diberikan
UUD 1945 kepada MK.

Bentuk kewenangan lain sebagai bagian mekanisme checks and balances adalah peran MK
dalam proses pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden yang diatur dalam UUD 1945
Perubahan. Mekanisme pemberhentian tersebut melibatkan lembaga-lembaga negara
pemegang kekuasaan negara secara bersama yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), MK, dan
MPR. Hal tersebut merupakan upaya untuk mengimplementasikan kesejajaran kedudukan
lembaga negara dan bersifat saling mengawasi. 55 Keterlibatan beberapa lembaga negara dalam

53
Herman Schwartz, The Struggle For Constitutional Justice in Post Communist Europe, 2002, hal 13.
54
Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 berbunyi: “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa
kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Udang Dasar, memutus pembubaran partai politik,
dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”.
55
Mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden secara umum diatur dalam Pasal 7A dan 7B UUD
1945. Sedangkan pengaturan mekanisme/prosedur beracara harus diatur dalam peraturan internal masing-masing lembaga
terkait. Misalnya prosedur di DPR harus sesuai dengan Peraturan Tata Tertib DPR yang berlaku. Demikian pula prosedur
beracara tentang pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus sesuai dengan Peraturan Mahkamah Konstitusi yang

23
mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah untuk melakukan
pengujian secara konstitusional yuridis terhadap kesahihan dalil-dalil dugaan yang disimpulkan
DPR secara politik sebagai hasil investigasi yang dilakukan berdasarkan fungsi pengawasan yang
dimilikinya. Adanya mekanisme saling mengawasi dalam penyelenggaraan kekuasaan demikian,
menggambarkan kehendak untuk mewujudkan kesejajaran atau keseimbangan (balances)
dalam kedudukan antara Presiden dengan DPR. Pada satu sisi, Presiden tidak dapat
membekukan dan/atau membubarkan DPR56, sedangkan di sisi lain DPR tidak dapat
membekukan dan/atau memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden, kecuali dengan
mekanisme yang telah diatur dalam Konstitusi.

Mekanisme Checks and Balances Dan Politik Hukum.

Pergeseren fungsi legislasi yang tadinya merupakan kewenangan Pemerintah bersama


DPR, dan dalam perubahan pertama UUD 1945 menjadikan DPR sebagai pemegang kekuasaan
membuat undang-undang, yang dibahas bersama dengan Presiden, untuk mendapat
persetujuan bersama, namun tetap bahwa Presiden mempunyai hak inisiatif untuk mengajukan
RUU.57 Dengan Pasal 24C ayat (1) yang dijabarkandengan Undang Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang salah satu wewenang utamanya adalah menguji
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945, jikalau MK berpendapat bahwa undang-
undang yang dibentuk DPR dengan persetujuan Presiden tersebut bertentangan dengan UUD
1945, maka undang-undang tersebut dapat dibatalkan atau dinyatakan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat. Pembatalan undang-undang tersebut oleh MK melalui apa yang
disebut dengan judicial review, sesungguhnya diartikan bahwa MK telah membentuk hukum
yang baru, karena dengan pernyataak bahwa satu undang-undang tidak mempunyai kekuatan
hukujm mengikat lagi, maka norma tersebut harus dikeluarkan dari sistem hukum yang berlaku.

Hakim konstitusi dalam fungsi demikian bertindak sebagai negative legislator.


Itu artinya hakim dan putusan-putusannya berfungsi melaksanakan pengawasan dan

telah ditetapkan. (Pada 31 Desember 2009 MK telah menetapkan Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 21 Tahun 2009
tentang Pedoman Beracara dalam Memutus Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Mengenai Dugaan Pelanggaran oleh Presiden
dan/atau Wakil Presiden).
56
Pasal 7C UUD 1945 menyatakan “Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR”.
57
Pasal 20 Aat (1) jo Pasal 5 ya (1) UD1945.

24
penyeimbangan dalam penyelenggaraan kekuasaan negara khususnya terhada pembuat
undang-undang sebagai positive legislator. Kelsen menyatakan bahwa ”The annulment of a law
is legislative function, an act – so to speak – of negative legislation. A court which is competent
to abolish laws – individually or generally – functions as a negative legislator”.58

Putusan hakim konstitusi sebagai negative legislator mengikat secara umum baik
terhadap warga negara maupun lembaga-lembaga negara sebagai penyelenggara kekuasaan
pemerintahan. Akibatnya semua organ penegak hukum, terutama pengadilan terikat untuk
tidak menerapkan lagi hukum yang telah dibatalkan tersebut. 59 Putusan yang bersifat final dan
memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dalam sidang pleno yang terbuka untuk
umum menyebabkan materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian undang-undang ataupun
undang-undang secara keseluruhan tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat. Hal
tersebut membawa implikasi atau akibat hukum yang sama dengan diundangkannya satu
undang-undang yaitu bersifat erga omnes. Itu berarti bahwa putusan tersebut mengikat
seluruh warga negara, pejabat negara, dan lembaga negara. 60

Perubahan UUD 1945 yang dilakukan pada masa reformasi, memang di motivasi
ketiadaan pengawasan dan checks and balances pada masa orde baru, yang menyebabkan UUD
1945 tidak dijadikan sebagai satu tolok ukur dalam menilai konsmtitusionalitas norma, sehingga
meskipun tata-urut peraturan perundang-undangan pada dasarnya sama yang dianut sekarang
dalam UU 10/2004 dan sama-sama meletakkan UUD 1945 sebagai hukum tertinggi dalam sistim
hukum nasional yang berlaku, namun dalam praktek, penyimpangan yang terjadi berlangsung

58
Hans Kelsen, General Theory Theory of Law and State (New York: Russel & Russel, 1973) hal. 268.
59
Ada yang meragukan bahwa tidak disebutnya Putusan MK bersifat final dan mengikat, melainkan hanya final
sebagai putusan pada tingkat pertama dan terakhir, menyebabkan putusan final belum tentu dianggap mengikat oleh institusi-
institusi di luar MK, sehingga para pejabat tidak terikat oleh Putusan MK tersebut dan tidak wajib melaksanakannya. (Achmad
Syahrizal, Problematik Implementasi Putusan MK, Journal Konstitusi Volume 4 Nomor 1, Maret 2007, hal. 123). Pendapat
tersebut kurang tepat, karena berdasarkan Pasal 47 UU MK, putusan tingkat pertama dan terakhir yang final tersebut
memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan bersifat erga omnes. Akibat
hukum putusan tersebut berarti mengikat semua pihak, baik pihak dalam perkara maupun institusi negara lainnya. Kurangnya
sosialisasi dan pemahaman akan akibat hukum yang timbul, menjadi penyebab tidak dirasakannya implementasi putusan
tersebut juga merupakan kewajiban konstitusional untuk dilaksanakan.
60
Erga Omnes (Latin: in relation to everyone) istilah yang sering dipergunakan dalam hukum untuk menjelaskan hak-
hak atau kewajiban yang berlaku terhadap semua pihak. Misalnya satu hak milik merupakan hak yang bersifat erga omnes, oleh
karenanya dapat dilaksanakan dan ditegakkan terhadap setiap orang jika terjadi pelanggaran terhadap hak tersebut. Suatu hak
yang bersifat erga omnes yang didasarkan pada undang-undang dapat dibedakan dari satu hak yang timbul atas dasar
perjanjian atau kontrak, yang hanya dapat dilaksanakan terhadap para pihak dalam perjanjian tersebut (inter partes).

25
tanpa kontroldan sanksi. Pengawasan dan sanksi demikian hanya dimungkinkan jika terdapat
satu badan peradilan atau kekuasaan kehakiman yang independen dan tidak memihak yang
dapat memberi penyelesaian apabila terjadi sengketa atau perselisihan dalam menafsirkan apa
rah dan bagaimana menjabarkan cara mencapai tujuan dan arah tersebut dalam perundang-
undangan yang dibuat.

Baik Mahkamah Konstitusi mapun Pembuat Undang-Undang, keduanya melihat dan


merujuk kepada UUD 1945 untuk menafsirkan makna norma yang terkandung dalam hukum
dasar dan menemukan bentuk dan cara yang tepat untuk mewujudkan tujuan yang ditentukan
tersebut. Tetapi ketika terjadi pembatalan satu undang-undang, karena dipandang
bertentangan dengan sumber legitimasi dalam norma yang berada dipuncak yaitu konstitusi,
maka kedua lembaga tersebut menyatakan bahwa mereka mendasarkan diri pada UUD 1945
sebagai hukum tertinggi. Hal ini menunjukkan bahwa merupakan hal yang sangat biasa jika
terjadi perbedaan tafsir atas UUD 1945 dan karenanya masing-masing mempunyai pandangan
yang berbeda tentang bagaimana cara yang sesuai untuk mencapainya ketika dirumuskan
dalam peraturan perundangan untuk mewujudkan kebijakan dimaksud. Namun pembagian
fungsi dan peletakan kontrol atas politik hukum yang dirumuskan pembuat undang-undang,
sebagai keputusan politik tentang sistem yang kita tentukan, maka kata akhir diserahkan
kepada MK, untuk mengadili perselisihan yang terjadi dalam satu putusan MK yang bersifat
final dan mengikat.

Saling mengawasi dan saling mengimbangi seperti ini, merupakan satu cara untuk
mencegah terjadinya penyalah gunaan wewenang dan pelanggaran hak asasi manusia dan hak
warganegara, sedemikian rupa sehingga tidak terjadi tindakan penguasa yang sewenang-
wenang, tanpa sanksi. Sifat Indonesia sebagai negara hukum yang demokratis dimana proses
pembuatan peraturan perundang-undangan berlangsung secara demokratis dalam arti
partisipasi warganegara yang menentukan, dapat dilihat kepada standing mereka yang boleh
mengajukan Undang-Undang yang dianggap merugikan hak konstitusional warganegara.
Disamping kesatuan masyarakat hukum adat, sebagai pihak yang dapat mengajukan
permohonan pengujian undang –undang kepada MK menonjolkan karakter khas masyarakat

26
Indonesia, namun juga perseorangan warga negara yang diperbolehkan untuk menguji undang-
undang yang merugikan hak konstitusional warga negara, menunjukkan nilai dan harkat
martabat manusia warganegara Indonesia, yang boleh di dengar suaranya dalam proses
pembentukan hukum dan peraturan perundang-undangan.

Hal itu juga dapat diartikan bahwa meskipun satu undang-undang telah disetujui bersama
oleh DPR dan Presiden, misalnya dengan suara terbanyak, namun jikalau dapat dibuktikan
bawah undang-undang tersebut mengandung norma yang bertentangan dengan hak asasi
manusia, bertentangan dengan dasar negara dan tujuan dibentuknya negara secara merugikan
terhadap hak konstitusional seorang warganegara, MK dapat menyatakan undang-undang yang
disetujui bersama tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat atau batal. Bentuk
saling mengawasi demikian, juga dapat dikatakan sebagai satu gotong royong secara dialektis
dalam merumuskan politik hukum dan penyusunan kebijakan publik yang bersumber dari
kesepakatan bersama dalam konstitusi. Dalam suasana yang lebih bersifat kekeluargaan,
mekanisme tersebut merupakan cara untuk saling mengingatkan bahwa dasar dan tujuan
negara yang menjadi kesepakatan bersama para pendiri negara, dapat ditemukan maknanya
dalam satu kerja yang bersifat sinergis.

Jakarta, 19 November 2010.

27

Anda mungkin juga menyukai