Anda di halaman 1dari 4

Produk Makanan Wajib Gunakan Label Halal Penulis: Erlangga Djumena | Kamis, 28 Mei 2009 | 14:37 WIB KOMPAS/RIZA

FATHONI Beragam produk mulai dari makanan, minuman, kosmetik, hingga produk investasi yang bersertifikasi halal dipamerkan dalam Indonesia International Halal Exhibition 2008 di Balai Kartini, Jakarta. JAKARTA, KOMPAS.com Ketua Komisi VIII DPR Hasrul Azwar menegaskan, dalam Rancangan Undang-Undang Jaminan Produk Halal (RUU-JPH) semua industri dan dunia usaha yang bergerak pada produk makanan di Tanah Air diwajibkan untuk menggunakan sertifikasikasi berlabel halal. RUU-JPH yang sedang dibahas di DPR sekarang ini diharapkan akan menjamin mutu makanan yang dikonsumsi masyarakat secara luas. "Sekarang DPR masih membahas RUU itu untuk disyahkan menjadi undang-undang," kata Hasrul Azwar yang didampingi beberapa anggota DPR kepada wartawan di Jakarta, Kamis (28/5). Dia mengatakan, bila RUU-JPH itu sudah disyahkan menjadi UU, semua industri dan dunia usaha makanan wajib untuk menggunakan sertifikasikasi berlabel halal. Bagi produk usaha makanan yang tidak menggunakan atau memalsukan merek label halal, akan dikenakan sanki hukum, yaitu hukuman pidana kurungan selama dua tahun dan denda materi sebesar Rp 1 miliar. Label halal itu sebetulnya sudah dilakukan di beberapa negara, antara lain Malaysia, Australia, Inggris, dan beberapa negara bagian di Amerika Serikat, sedangkan di Indonesia masih dalam pembahasan oleh anggota legislatif. Makanan yang berlabel halal sekarang ini sudah banyak diminati oleh masyarakat luas, baik Muslim maupun non-Muslim karena kebersihan dan mutu makanan itu sudah terjamin. Tujuan UU-JPH ini adalah untuk melindungi mutu makanan yang akan dikonsumsi oleh masyarakat karena selama ini banyak sekali asumsi bahwa produk makanan yang beredar di pasaran luas diduga banyak menggunakan bahan yang tidak halal. Setelah UU-JPH ini diberlakukan, pemerintah akan menindaklanjutinya dengan peraturan pemerintah dan membentuk lembaga resmi sebagai pengelolanya. Lembaga itu nantinya akan dilengkapi dengan tenaga dari berbagai disiplin ilmu, antara lain dokter, pakar biologi, dan dari Majelis Ulama Indonesia. Untuk mengeluarkan sertifikasi halal, katanya, terlebih dahulu harus melalui berbagai tahapan pemeriksaan tenaga ahli, yakni Balai Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) dan instansi kesehatan.

Makanan yang akan disertifikasi itu sebelumnya diperiksa secara medis, mulai dari bahan baku, produksi, pengolahan, sampai ke pemasarannya. Setelah jenjang pemeriksaan itu dilakukan, baru diberikan label halal. Ratusan jenis makanan yang akan dilabel halal itu nantinya antara lain produk makanan kaleng, abon, dan berbagai jenis kosmetik. MUI Terapkan Sistem Jaminan Halal Penulis: Yurnaldi | Rabu, 4 Maret 2009 | 17:56 WIB JAKARTA, RABU Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) terus melakukan sosialisasi Sistem Jaminan Halal (SJH) kepada perusahaan-perusahaan, guna menjamin terlaksananya kesinambungan produksi halal. SJH penting karena masa berlakunya sertifikat halal hanya dua tahun. Apalagi MUI tidak dapat mengawasi setiap saat. "SJH dapat diterapkan pada berbagai jenis industri seperti pangan, obat, kosmetik dalam skala besar dan kecil serta kemungkinan untuk industri berbasis jasa seperti transportasi, swalayan, atau distribusi produk-produk industri," kata Vice Director Bidang Sistem Jaminan Halal (SJH) LPPOM MUI, Lukmanul Hakim, seusai memberikan workshop SJH di PT Nestle Indonesia, Rabu (4/3) di Jakarta. Oleh karena sudah menerapkan SJH, Direktur Eksekutif LPPOM MUI Muhammad Nadratuzzaman Hosen menyerahkan sertifikat Sistem Jaminan Halal kepada President Director PT Nestle Indonesia, Peter Vogt. Lukmanul mengakui, selama ini banyak pertanyaan masyarakat, apakah MUI dapat menjamin konsistensi produksi halal dari produk yang telah mendapat sertifikat halal MUI. Sebab, perubahan sangat mungkin terjadi. Walaupun MUI tidak dapat mengawasi setiap saat, dengan SJH perusahaan pemegang sertifikat halal dapat menjaga kesinambungan proses produksi halal sehingga produk yang dihasilkan dapat dijamin kehalalannya, sesuai dengan aturan yang digariskan LPPOM MUI. Yang menjadi fokus dari sistem yang disusun dan dilaksanakan perusahaan pemegang sertifikat halal adalah sistem manajemen halal dan standar produk halal. Struktur organisasi sistem produksi halal disebut sebagai Tim Auditor Halal Internal. Sistem Manajemen Halal mengelola seluruh fungsi dan kegiatan dalam memproduksi produk halal. Muhammad Nadratuzzaman Hosen menjelaskan, walaupun ada Tim Auditor Halal Internal, setiap perusahaan berkewajiban memberikan laporan sekali enam bulan. Dan sewaktu-waktu MUI akan melakukan inspeksi mendadak, tanpa pemberitahuan sebelumnya. SJH secara teknis dirinci dalam Standard Operating Procedures untuk tiap bagian terkait di perusahaan, misalnya sistem pembelian, bagaimana memilih bahan baru, supplier baru. Sistem produksi: pemisahan peralatan untuk produksi halal dan nonsertifikasi halal, prosedur pembersihan peralatan, dan lain-lain. MUI mewajibkan perusahaan pemegang sertifikat halal MUI untuk menyusun dan mengimplementasikan sistem produksi dan operasi perusahaan yang dapat menjamin kehalalan produk yang disebut sebagai Sistem Jaminan Halal, tandasnya.

SJH diterbitkan jika perusahaan telah mendapatkan status SJH dengan kategori A tiga kali berturut-turut. Masa berlalu sertifikat SJH satu tahun. Namun, pada perpanjangan sertifikat halal berikutnya, tidak diperlukan audit di lokasi sepanjang tidak ada perubahan bahan, teknologi proses atau pabrik. "Audit dilakukan hanya pada aspek administrasi/dokumentasi. Pada tahap ini masa berlaku sertifikat SJH adalah dua tahun dan akan dievaluasi untuk perpanjangannya. SJH diterapkan, antara lain, untuk memberikan jaminan dan ketenteraman batin bagi masyarakat. Mencegah terjadinya kasus-kasus yang terkait dengan penyimpangan yang menyebabkan ketidakhalalan produk terkait dengan sertifikat halal. Meningkatkan kepercayaan konsumen atas kehalalan produk yang dikonsumsinya," jelas Muhammad. Presdir Peter Vogt mengatakan, dengan telah didapatnya sertifikat SJH, PT Nestle Indonesia akan selalu berkomitmen mengikuti dan menghormati semua peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, termasuk mematuhi peraturan produk halal. "Sesuai dengan prinsip-prinsip bisnis korporat, Nestle bertujuan untuk membuat dan memasarkan produk-produk dengan menciptakan nilai tambah secara terus-menerus, termasuk memenuhi kebutuhan konsumen akan nutrisi, cita rasa, keamanan, dan kualitas yang dapat dipercaya," katanya. Kewajiban Sertifikasi Halal Berpotensi Rugikan UMKM Penulis: Caroline Damanik | Selasa, 25 Agustus 2009 | 15:21 WIB KOMPAS.com/Caroline Damanik Kamar Dagang dan Industri (Kadin) menyatakan keberatan terhadap sifat mandatori sertifikasi halal yang termuat dalam pembahasan RUU Jaminan Produk Halal di DPR RI. Seperti disampaikan Wakil Ketua Kadin Bidang Kebijakan Publik, Perpajakan dan Kepabeanan Sistem Fiskal dan Moneter Hariyadi Sukamdani (kedua dari kanan) di Menara Kadin Indonesia, Selasa (25/8), sifat mandatori RUU ini dapat merugikan usaha kecil dan menengah. JAKARTA, KOMPAS.com Pembahasan RUU Jaminan Produk Halal memasuki tahap akhir. Tanggal 15 September merupakan batas akhir pembahasan RUU ini di gedung Dewan. Arahnya, seperti ditangkap oleh perwakilan Kamar Dagang dan Industri (Kadin), RUU ini akan mewajibkan para pengusaha makanan dan minuman, kosmetik, obat, dan rekayasa genetik untuk memperoleh sertifikasi halal atas seluruh produknya. Wakil Ketua Kadin Bidang Kebijakan Publik, Perpajakan dan Kepabeanan Sistem Fiskal dan Moneter Hariyadi Sukamdani mengatakan, RUU ini berpotensi merugikan dunia usaha, terutama bagi segmen usaha mikro kecil dan menengah. "Ada semangat membuat RUU ini menjadi suatu kewajiban atau mandatori. Ini menurut kami berlebihan dalam arti kata, apa yang kita pahami sekarang, proses labelisasi sifatnya sukarela dan dilakukan menyeluruh di dunia. Jadi konsekuensi dari mandatori akan menyulitkan usaha, utama sektor kecil dan menengah," tutur Hariyadi dalam keterangan pers di Menara Kadin Indonesia, Selasa (25/8).

Proses sertifikasi halal selama ini bersifat voluntary. Perusahaan secara sukarela mendaftarkan diri untuk memperoleh sertifikasi dan menyatakan produknya halal sebagai nilai tambah dan untuk meraih pasar khusus, seperti pasar Muslim. Biaya yang dikeluarkan untuk sertifikasi sekitar Rp 1-Rp 2 juta. Namun, pembiayaan kajian menuju sertifikasi itu juga menjadi tanggungan perusahaan, antara lain terkait peralatan dan ahli yang berkompetensi. Jika RUU ini bersifat mandatori maka akan menambah beban pembiayaan, terutama bagi industri kecil dan menengah. Belum lagi kerumitan yang harus terjadi karena ketidaksinkronan dengan UU lain, seperti UU Pangan, UU Paten dan Perlindungan Konsumen, UU Kesehatan, dan UU Rahasia Dagang. Ketua Tim Halal Kadin Soeroso Natakusuma mengatakan, selama ini baru sekitar 8.000 produk yang sudah disertifikasi halal dan sebagian besar adalah produk industri menengah dan besar. "Karena persyaratannya tidak mudah. Nah, kalau itu menjadi wajib, bagaimana menengah kecil, itu sulit bagi mereka. Memang ada solusi yang kecil akan dibiayai, paling sertifikasinya saja bisa. Tapi bagaimana dengan orang, peralatan dan proses menuju sertifikasi? Siapa yang membiayai?" tandas Soeroso. Yang terakhir, jika RUU ini nanti diberlakukan secara mandatoris, seluruh produk yang beredar juga akan ditarik untuk disertifikasi halal. Hariyadi mengatakan, nantinya akan terjadi antrean panjang pendaftaran sertifikasi halal.

Anda mungkin juga menyukai