Anda di halaman 1dari 2

SIKANCIL ANAK NAKAL (Part Three)

Oleh : Edi Sopandi Saepudin, SP

Kancil apa khabarmu di hotel prodeo sana, kuharap kau baik-saja sebaik khabar untukmu ini, rupanya kau tidak sendirian kawan, ada teman karib satu spesies denganmu yang berasal dari golongan bedebah. Dia terpeleset dan jatuh, dia dijauhi, dibuang, terbuang dan kemudian lari. Jujur aku katakan, dia masih satu level dibawahmu, namun jika kulihat peranan dirinya, tak jauh beda denganmu, dalam beberapa hal dia malah memegang peran kunci, hal yang sama dari kalian adalah samasama pion yang dibuang. Satu hari aku bertandang untuk kuli ketempat asal nenek moyangmu, kunikmati danau indah nun jauh disana, dan seperti biasa aku memancing. Aku membahas urusan memancing ini karena aku ingat kata-katamu tentang ikan teri dan ikan kakap, kau sebutkan dirimu yang masih berukuran teri, mjeskipun tentu saja di danau itu tidak ada teri. Halo kancil, kudengar teman karibmu yang satu ini, lebih buruk memiliki nasib, dan nyanyiannya tak tanggung-tanggung menyinggung sang raja. Entah dia nekad atau mau bunuh diri, atau dia sendiri kena fitnah, entah lah. Yang pasti, di jaman dimana kita tinggal, kau mengaku sebagai ikan teri dalam permainan, dan aku hanya sekedar jelata dalam keramaian. Ada sebuah pepatah mantan raja dari sebuah negara super power yang dijuluki beruang merah, Jadilah ikan besar dikolam yang kecil,... ini tentu bukan tentang dirimu, tetapi tentang dirinya, tentang karibmu yang bedebah. Sering aku merenung, betapa permainan panggung ini, sungguhsungguh kasar dan tidak menunjukkan kualitas intelektual. Ketika tataran jaman telah sampai pada tingkat imajinasi nun jauh lebih tinggi dari ilmu pengetahuan, skenario yang diciptakan dibelakang pangung untuk ditampilkan menjadi sebuah tontonan, sungguh menggelikan. Barangkali, ketika tataran moralitas telah semakin menurun, maka etika dan kesantunan yang merupakan benteng yang tersisa dari nilainilai feodalisme kemanusiaan, semakin pula terpinggirkan. Ketika ritualitas keagamaan telah kehilangan essensinya, maka kemudian yang muncul adalah generasi manusia yang munafik, sebuah generasi manusia yang sopan dan santun, rajin melakoni ritual keagamaan, tapi tidak memiliki moralitas sebagai insan. Tengoklah di negeri kita, negeri para bedebah ini, bahkan uang zakat mereka sikat, tengoklah, nun di seberang lautan sana, bagaimana bangsa-bangsa biang dari para bedebah, berlaku dan bertindak tanduk, sungguh bertolak belakang antara apa yang diucapkan dengan apa yang dilakukan. Bagaimana kesantunan feodalisme yang diagung-agungkan sebagai HAM, mereka injak dan mereka lecehkan dalam bentuk tindakan. Kita kembali ke ranah negara kita, negara para bedebah ini, kancil, masihkah kau duduk manis di situ? Ketika kerabatmu menambah bait

pada nyanyiannya, tak urung segerombolan biang bedebah kebakaran jenggot, kemudian bertingkah nyinyir. Sudaramu berkicau tentang mahalnya harga sebuah jabatan, saudaramu melempar untaian benang sehingga terserabut dan tercerai berai di tontonan khalayak ramai. Ada beberapa biang bedebah yang aku yakin segera jatuh, ada beberapa biang bedebah yang dengan tebal muka melengos membuang muka, sembari sibuk menutupi boroknya yang tersingkap, manakala sekumpulan burung bangkai dan kaum lintah berebut menyeruak diantara keramaian, bukan hanya sekedar cari celah untuk mematuk dan menghisap, lebih dari itu, ikut serta bak pahlawan beramai menggebuk. Sementara biang bedebah ain segera sembunyi dibalik pintu dengan mata nanar, mengincar kursi, mengincar posisi, cukuplah si pembeli royal yang jatuh, aku cukup tunggu muntahan saja, tentu demikian gumannya, dengan taring, tanduk dan ekor yang semakin panjang mencuat. Kancil, di alunan waktu yang menemanimu di hotel prodeo sana, di buaian jaman dan segala pertunjukannya yang masih dapat kau tonton dan nikmati, tetaplah berjuang. Aku cukup suka pada episode yang satu ini, aku berdoa, usahlah dia kembali dari negeri para singa, usahlah dia kecele seperti dirimu, cukuplah kau saja kancil yang telah tertipu. Aku bahkan punya saran bagi saudaramu satu ini, nyumput sing buni dina liang cocopet, sebuah kata majemuk dalam bahasa Sunda. Sebuah ungkapan tentang lubang yang paling sulit dicari, sebuah lubang yang berada diantara dua papan lantai berimpit, bukan cuma sulit dicari, lebih dari itu sulit dijangkau, dalam bahasa kekinian, lubang itu mungkin bernama FERANCIS. Betapapun aku miris mengatakan ini, betapa aku juga merasa jadi orang kejam karena harus mengatakan ini, suka atau tidak suka, harus aku katakan, maafkanlah aku. Terakhir. Mudah mudahan semua benar dan dia sampaikan dalam kejujuran, saudaramu satu ini. sepertinya ingin bicara apa adanya, semoga saja dia adalah satu dari sekian manusia jujur di hingarbingarnya jaman kemunafikan ini, bravo kancil. Bandung, 08 Juli, 2011 Penulis.

Anda mungkin juga menyukai