Anda di halaman 1dari 1

6

ebenarnya masalah NAPZA (Narkotika Alkohol Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya) di Indonesia sudah mencuat sejak tahun 1970-an, saat Indonesia menghadapi masalah dengan morn yang banyak mengambil korban kaum muda. Beralih dari morn, tahun 1980-an diwarnai dengan permasalahan beragam pil koplo, termasuk rohypnol, nipam, mogadon, dan lainnya. Obat-obatan ini bila disalahgunakan, cenderung menimbulkan kerusuhan dan kecenderungan berkelahi. Bersama dengan itu, kita terutama mulai melihat kerapnya tawuran terjadi di antara pelajar. Saat itu, sudah tentu masyarakat Indonesia masih sangat awam dalam urusan terkait NAPZA. Seolah, masalah NAPZA hanya urusan segelintir orang dan bukan urusan kita. Tak heran bila langkahlangkah yang diambil saat itu untuk mengatasi masalah tawuran pelajar tak dikaitkan dengan penanganan NAPZA. Bisa diibaratkan bahwa kita seolah memberikan minyak telon kepada orang yang kena diabetes. Penanganannya jauh dari tepat karena diagnosanya juga tidak tepat. Memang, saat itu kita belum banyak tahu soal NAPZA sehingga bisa dimaafkan. Duapuluh tahun lalu banyak anggota masyarakat kita belum mengenal langsung pengguna atau pecandu NAPZA. Tidak seperti di zaman sekarang. Dari sepuluh orang yang Anda kenal, besar kemungkinannya satu di antara mereka sudah pernah berhadapan langsung dengan pecandu NAPZA baik pernah mencicipinya, ada anggota keluarganya yang kena, atau temannya. Dan kalaupun tidak mengenal pecandu NAPZA secara langsung, banyak di antara kita yang kerap menonton berita di media melihat penangkapan bandar NAPZA dan pemakainya. Penjara kita kini penuh dengan pecandu NAPZA. Penggunaan NAPZA di Indonesia memang kian mengkhawatirkan. Banyak kaum muda yang direnggutnya. Penelitian BNN dengan Puslitkes Universitas Indonesia tahun 2006-2007 menemukan bahwa dari 3,2 juta pengguna NAPZA di Indonesia, 1,1 juta diantaranya pelajar dan mahasiswa. Lebih jauh lagi, dari 1,1 juta pengguna NAPZA kalangan pelajar dan mahasiswa, 40% diantaranya adalah pelajar SLTP, 35% pelajar SLTA, dan 25% mahasiswa. Sejak penelitian terakhir itu, jumlah pengguna dan penyalahguna NAPZA bukan tidak mungkin meningkat terus. Di YAKITA, yayasan nirlaba yang menangani perawatan dan pemulihan para pecandu, ditemukan bahwa dari mereka yang dijangkau lewat Drop In Center YAKITA di Bogor, 90% menggunakan NAPZA pertama kali di bawah usia 20 tahun. 54% berpendidikan tingkat SMA dan 26% tingkat SMP. Sekitar 60% menyuntik sebelum berusia 20 tahun, sementara 32% lainnya menyuntik di usia 20-24 tahun. Tak heran bila HIV/AIDS meningkat beriringan dengan kian maraknya penggunaan

No. 29 THN. VII

Edisi November - Desember 2009

NAPZA di kalangan kaum muda, khususnya di antara mereka yang menyuntik atau berhubungan seks dengan pengguna NAPZA suntik. Menurut data Departemen Kesehatan RI hingga Juni 2009, dari 17.699 kasus AIDS di Indonesia saat ini, 3% diantaranya adalah mereka yang berusia 15-19 tahun, sementara 50% adalah pada mereka yang berusia 20-29 tahun. Dari 17.699 kasus yang ada tersebut, sekitar 42% terkena dari jarum suntik saat menggunakan NAPZA dan 49% memperoleh HIV lewat hubungan seks. Anda boleh bertanya mengapa? namun hal ini bukan soal yang mudah untuk dijawab. Berbeda dari banyak anggapan awam, kebanyakan kaum muda kita menggunakan NAPZA bukan karena desakan bandar, melainkan karena teman-teman mereka sendiri. Namun mengapa mereka mengambil risiko? Jawabnya sederhana. Mereka tidak punya informasi, dan masih membutuhkan waktu untuk mengembangkan kemampuan menilai risiko jangka panjang. Penelitian menunjukkan bahwa bagian otak depan (prefrontal cortex) yang bertanggung jawab dalam pengambilan keputusan, menentukan prioritas, menimbang risiko, kemampuan penilaian dan analisa, belum sepenuhnya berkembang di masa remaja. Bagian prefrontal cortex tersebut baru dapat sepenuhnya bekerja saat seseorang mencapai usia 24-25 tahun. Hal ini juga yang menjelaskan mengapa remaja kerap melakukan hal-hal berisiko yang mungkin dianggap mengerikan oleh orang dewasa. Hal ini bisa diperparah dengan penyalahgunaan NAPZA di usia remaja. Penelitian Michael D. De Bellis, professor psikiatri dan ilmu perilaku, sekaligus direktur Program Penelitian Perkembangan Otak Sehat di Duke University menemukan bahwa remaja 13-21 tahun penyalahguna alkohol misalnya, mempunyai prefrontal cortex yang lebih kecil. Bagian putih prefrontal cortex otak mereka juga lebih kecil volumenya dibanding anak muda yang tidak menggunakan apapun. Artinya, kemampuan mereka untuk menganalisa segala sesuatu juga menjadi terkendala dibandingkan anak muda lain yang tidak menyalahgunakan alkohol. Orangtua yang menggunakan alkohol perlu mempertimbangkan juga sikap mereka terhadap alkohol dan bagaimana ini berdampak pada anak karena kebiasaan orangtua kerap ditiru anak. Remaja, juga perlu berpikir dulu sebelum menggunakan alkohol bila tak ingin merusak daya kerja otaknya. Sekolah punya peran strategis untuk membahas bahaya-bahaya terkait NAPZA, AIDS dan bahkan beragam masalah lain yang dapat mengancam jiwa siswa mereka saat ini dan di masa depan. Ini

bisa dilakukan lewat beragam kegiatan, dan perlu melibatkan orangtua dan siswa sendiri. Kita menginginkan siswa pintar dan berumur cukup panjang untuk dapat berkarya demi kebanggaan sekolah dan bangsa. Langkah yang diambil PENABUR dengan Tim NAPZA sekolah misalnya, merupakan langkah tepat. Namun tak berhenti di situ saja. Sekolah dapat membahas soft skills terkait pencegahan penggunaan NAPZA, HIV dan beragam masalah lain yang terkait pengambilan keputusan hidup yang kurang tepat di masa remaja. Untuk berdampak, sudah tentu usaha ini harus dilakukan secara kontinu dan bukan untuk didengar sekali saja. Pendekatan holistik baru bisa terjadi, bila pesan yang sama diperoleh dari berbagai sumber untuk menegaskan hal yang sama. Air yang menetes setetes demi setetes pun dapat membolongi batu, bukan? Dunia pendidikan dimaksudkan untuk mempersiapkan pelajar menghadapi tantangan. Kita berharap, siswa kelak berkembang menjadi manusia bermasa depan cerah. Tetapi karena tantangan zaman selalu berubah dari masa ke masa, dunia pendidikan pun tidak dapat statis. Ia dituntut cepat tanggap terhadap perubahan dan kebutuhan yang ada di sekitarnya. Ilmu berubah, sesuai perubahan ilmu pengetahuan dan teknologi. Penyebab kematian remaja juga berubah dari zaman ke zaman. Dunia pendidikan yang cepat tanggap pada masalah dan tantangan, dan tepat dalam menanggapi tantangan, baru dapat mengatakan dirinya sebagai sekolah berwawasan.

YAKITA yang kerap bekerjasama dengan PENABUR dalam pendidikan terkait NAPZA menemukan, banyak di antara anak-anak yang masuk ke YAKITA adalah anak-anak yang cukup pandai. Mereka kerap ikut beragam les yang dipaksakan orangtua mereka saat mereka masih kecil. Tetapi mengapa mereka menjadi pecandu? Sederhana. Ada bedanya antara IQ dengan EQ. Mereka pandai, bukan selalu matang secara emosional. Mereka terjerumus penggunaan NAPZA karena ingin tahu dan tidak mampu menolak ajakan teman. Mereka tak tahu masalah NAPZA dan AIDS. Mereka menganggap bahwa tak ada salahnya mencoba. Namun apa yang bisa kita katakan kalau karena itu saat mereka terkena AIDS? Meski nilai di sekolah tinggi, mereka tidak smart untuk menghindari perilaku risiko. Keputusan hidup yang salah menjerumuskan mereka ke dalam masalah NAPZA, juga seks, dan AIDS. Sebagai pihak yang menangani para pecandu NAPZA, pengalaman YAKITA dengan para pecandu yang masuk ke YAKITA menegaskan bahwa orangtua mempunyai peranan terpenting dalam mencegah penggunaan NAPZA karena kedekatan emosional

anak dengan orangtua. Dari orangtua anak membutuhkan teman mengobrol yang juga dapat menanamkan nilainilai sebagai perisai. Mereka membutuhkan bantuan memikirkan beragam jalan keluar dari situasisituasi sulit. Ini diikuti peran teman sebaya yang memberikan dukungan positif. Sementara, dari pihak guru mereka lebih membutuhkan informasi dan cara untuk ikut berpartisipasi dalam kegiatan positif yang dapat mengembangkan keterampilan dan juga kepedulian mereka akan dunia disekitarnya. Sayangnya, banyak sekolah yang enggan memberikan informasi mengenai NAPZA dan AIDS kepada anak didiknya karena cemas dianggap sekolahnya bermasalah. Orangtua enggan mengizinkan anaknya mengikuti kegiatan lain di luar skolastik karena takut nilai anak di sekolah melorot. Sebaya enggan menegur teman yang memakai karena takut dianggap usil. Hasilnya? Anak yang mungkin dapat nilai tinggi di sekolah, namun memakai NAPZA untuk melepas stress dan akhirnya juga terkena AIDS. Sekolah, mendadak berhadapan dengan banyak kasus siswa dengan NAPZA karena tidak mencegahnya sebelum masalah berkembang. Siswa kehilangan teman-teman mereka kepada NAPZA dan kepada AIDS. Kita perlu mengembangkan remaja yang bukan hanya secara intelektual pandai, namun juga smart dalam menghadapi tantangan kehidupan. Mereka harus diberdayakan agar dapat menghindari ranjau-ranjau kehidupan yang dapat merusak bahkan dapat mencabut nyawa mereka. Untuk itu, peran serta semua pihak dibutuhkan. Dan kerangka yang mendukung pengembangan kemampuankemampuan ini sudah tentu perlu dibina dan didukung oleh dunia pendidikan yang memang misinya adalah mendidik.

========================== Joyce S.H. Djaelani Gordon, Dra.psi YAKITA, Pusat Perawatan & Pemulihan Pecandu Narkoba Bogor, Aceh, Semarang, Surabaya, Bali, Kupang, Jayapura yakita@cbn.net.id - Tel. 0251 8243 077 ==========================

Anda mungkin juga menyukai