Anda di halaman 1dari 14

1

DRAF SKRIPSI
Nama Nim Fak/Jur Judul : : : : Misbahuddin. S SO.100104024 Syariah/Peradilan Agama Terorisme dalam Perundang-Undangan di Indonesia (Studi Analisis dengan Pendekatan Syariat Islam)

A. Latar Belakang
Hak untuk hidup adalah hak asasi manusia yang paling mendasar bagi seluruh manusia. Hak untuk hidup merupakan bagian dari hak asasi yang memiliki sifat tidak dapat di tawar lagi (non derogable rights).1 Artinya, hak ini mutlak harus di miliki setiap orang, karena tanpa adanya hak hidup, maka tidak ada lagi hak-hak asasi lainnya. Hak tersebut juga menandakan setiap orang memiliki hak untuk hidup dan tidak ada lagi orang lain yang berhak untuk mengambil hak hidup orang lain. Dalam hal ini terdapat beberapa pengecualian seperti untuk tujuan penegakan hukum, sebagaimana yang di atur dalam Article 2 Eropean Convention On Human Rights yang menyatakan: Protection the right of every person to their life. The article contains exceptions for the cases of lawful executions, and deaths as result of the use of force which is no more than absolutely necessary in

I Sriyanto dan Desiree Zuraida, Modul Instrument HAM Nasional, Hak Untuk Hidup, Hak Berkeluarga dan Melanjutkan Keturunan, Serta Hak Mengembangkan Diri (Jakarta:Depertemen Hukum dan HAM RI, Direktorat Jenderal Perlindungan HAM, 2001), h. 1.

defending ones self or others, arresting a suspect or fugitive, and suppressing riots or insurrections.2 Pengecualian terhadap penghilangan hak hidup tidak mencakup pada penghilangan hak hidup seseorang oleh orang lainnya tanpa ada alas hak yang mendasar ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Salah satu contoh penghilangan hak hidup tanpa alas hak adalah pembunuhan melalui aksi teror. Aksi teror jelas melecehkan nilai kemanusian, martabat, dan norma agama. Teror juga telah menunjukkan gerakannya sebagai tragedi hak asasi manusia.3 Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban serta merupakan salah satu ancaman serius terhadap kedaulatan setiap negara karena terorisme sudah merupakan kejahatan yang bersifat internasional yang menimbulkan bahaya terhadap keamanan, perdamaian dunia serta merugikan kesejahteraan masyarakat sehingga perlu dilakukan pemberantasan secara berencana dan berkesinambungan sehingga hak asasi dapat dilindungi dan di junjung tinggi.4 Pernyataan tersebut sejalan dengan tujuan bangsa Indonesia yang termaktub dalam Undang-Undang Dasar 1945 yaitu, Melindungi Segenap Bangsa Indonesia Dan

Seluruh Tumpah Darah Indonesia, Dan Untuk Memajukan Kesejahteraan Umum, Mencerdaskan Kehidupan Bangsa, Dan Ikut Melaksanakan Ketertiban Dunia.5

Eropean Convention On Human Rights, http//En.Wikipedia.Org/Eropean Convention On Human Rights Files (26 Desember 2006). Abdul Wahid Sunardi dan Muhammad Imam Sidik, Kejahatan Terorisme Perspektif Agama, HAM dan Hukum (Bandung:PT. Refika Aditama, 2004), h. 2. Republik Indonesia, Undang-undang R.I. Nomor 1 Tahun 2002, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Paragraf dua. (a). 5 Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, Pembukaan Alinea ke-4.
4 3

Aksi terorisme di Indonesia mencuat ke permukaan setelah terjadinya bom Bali I pada tanggal 12 Oktober 2002, Peristiwa ini tepatnya terjadi di Sari Club dan Peddys Club, Kuta, Bali. Sebelumnya tercatat juga beberapa aksi teror di Indonesia antara lain kasus bom Istiqlal pada tanggal 19 April 1999, bom malam Natal pada tanggal 24 Desember 2002 yang terjadi di dua puluh tiga Gereja, bom di Bursa Efek Jakarta pada September 2000 serta penyanderaan dan pendudukan Perusahaan Mobil Oil oleh Gerakan Aceh Merdeka pada tahun yang sama. Sementara aksi teror lainnya yang masih hangat di bicarakan orang, yang hanya berselang empat hari menjelang digelarnya duel Manchester United versus Indonesia All Star, aksi terorisme kembali terjadi di Tanah Air, setelah empat tahun terakhir pemerintah SBY berhasil meningkatkan stabilitas keamanan dan membawa bangsa ini hidup nyaman tanpa dentuman bom. Kali ini sasarannya lagi-lagi Hotel JW Marriott plus The Ritz-Carlton, Kuningan, Jakarta. Korban tak berdosa pun berjatuhan. Tragedi Jumat Kelabu itu mengindikasikan kepada kita bahwa saat ini tak ada satu pun negara di dunia yang bersih atau bebas dari ancaman terorisme. Maka, pertanyaannya apakah terorisme itu tampaknya tidak layak lagi diungkapkan ke permukaan? karena sudah dijawab dengan fakta empiris bahwa terorisme adalah lawan kemanusiaan, keadaban, dan keragaman. Anggapan terorisme identik dengan kekerasan, pembunuhan, dan penindasan semakin tidak terbantahkan. Di mana terorisme singgah, di situlah korban berjatuhan. Terorisme dan korban ibarat dua sisi

mata uang yang tak bisa dipisahkan. Karenanya, siapa pun akan resah, gelisah, dan gundah-gulana atas perilaku teroris yang mengerikan itu. Mempercayai, mendukung, dan mengesahkan terorisme sama halnya menyetujui adanya tragedi kemanusiaan dalam jumlah yang lebih besar. Lalu, akankah milenium ketiga menjadi era para teroris? Benarkah bahwa terorisme mendapat justifikasi dan legitimasi dari agama, demikian juga jihad? Harus diakui, pasca-tragedi yang menghancurkan gedung WTC, New York, Amerika Serikat, 11 September 2001, muncul suara-suara sumbang yang dialamatkan kepada agama tertentu, yakni Islam. Dengan kata lain, banyak pihak terutama AS yang menuduh bahwa aksi terorisme mendapat justifikasi atau legitimasi dari agama Islam. Menghadapi tudingan dan pandangan negatif tersebut, ada beberapa hal yang cukup signifikan dan mendesak untuk dilakukan. Pertama, perlunya menampilkan wajah agama dengan baik agar agama kita memiliki citra yang baik. Agama mesti dikembalikan ke posisinya sebagai spirit dan moralitas yang akan senantiasa mengusung panji-panji kemanusiaan, keadaban, kemaslahatan kesetaraan, dan keadilan. Sudah saatnya bagi kita untuk memperbaiki citra agama, terutama Islam, yang pada pasca-tragedi 11 September, serta bom London dan Mesir,

direpresentasikan Al-Qaidah dan beberapa kelompok radikal lainnya. Kedua, karena tidak sedikit elite dan masyarakat awam bersikap ekstrem dan eksesif dalam beragama, kini penting bagi kita untuk membangun sikap beragama yang human. Paradigma humanis dalam beragama adalah paradigma nilai, sikap, norma, dan praktek keberagamaan (religiosity) yang mendukung kehidupan tanpa

kekerasan dan damai, meningkatkan keadilan masyarakat, menjunjung tinggi hak asasi manusia, memajukan harmoni antarbudaya, dan kelestarian ekologis. Sikap utama dalam paradigma humanis ini adalah moderasi. Agamawan ataupun awam yang moderat akan cenderung santun dan seimbang. Santun dalam menjalankan agamanya dan interaksi sosial. Seimbang dalam memenuhi kebutuhan material dan spiritual, individual dan sosial, serta dalam berhubungan dengan Tuhan, manusia, dan lingkungan alam. Mereka yang moderat akan menjunjung keadilan dan kearifan dalam bersikap, tidak gampang terhasut, marah, menuduh, ataupun memaksa (coercive). Setiap agama jelas mengajarkan moderasi. Dalam Islam diajarkan, "Tuhan menginginkan kemudahan bagi manusia, bukan kesulitan. Islam mengajarkan Rahmat dan Salam, bukan teror dan perang. Yesus menekankan kasih dan damai. Buddha dan Konghucu mengutamakan keseimbangan antara Yin dan Yang, antara sifat-sifat maskulin dan feminin. Semua agama mengajarkan moderasi dan keseimbangan. Ketiga, perlunya melakukan gerakan dakwah yang menyuguhkan semangat moderasi, toleran, dan damai. Hal ini dilakukan melalui gerakan kultural yang bisa menyadarkan kepada umat bahwa agama tidak pernah mengajarkan tindakan terorisme. Langkah kultural yang bersifat proaktif dan progresif semacam ini penting dilakukan untuk melahirkan citra baru yang lebih baik bagi setiap agama. Gerakan moral nasional yang diprakarsai tokoh-tokoh agama dari berbagai organisasi keagamaan, seperti NU, Muhammadiyah, KWI, PGI, dan sebagainya, bisa dijadikan

langkah kultural untuk mengkampanyekan wajah agama yang humanis, inklusif, dan antiterorisme. Bahwa agama selamanya tak pernah mengajarkan terorisme. Indonesia sebagai negara hukum (rechtstaat) memiliki kewajiban untuk melindungi harkat dan martabat manusia. Demikian pula dalam hal perlindungan warga negara dari tindakan terorisme. Salah satu bentuk perlindungan negara terhadap warganya dari tindakan atau aksi terorisme adalah melalui penegakan hukum, termasuk di dalamnya upaya menciptakan produk hukum yang sesuai. Upaya ini diwujudkan pemerintah dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002, yang kemudian disetujui oleh DPR menjadi Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Diperlukan Undang-Undang ini karena Pemerintah menyadari tindak Pidana terorisme merupakan suatu tindak pidana yang luar biasa (extraordinary crime), sehingga membutuhkan penanganan yang luar biasa juga (extraordinary measures).6 Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 ini selain mengatur aspek materil juga mengatur aspek formil. Sehingga, Undang-Undang ini merupakan Undang-Undang khusus dari kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Dengan adanya undang-undang ini diharapkan penyelesaian perkara pidana terkait dengan terorisme dari aspek materil maupun formil dapat segera dilakukan.

T. Nasrullah, Sepintas Tinjauan Yuridis Baik Aspek Hukum Materil Maupun Formil Terhadap Undang-Undang No. 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Makalah yang disajikan Pada semiloka Indonesia Police Watch bersama POLDA Metropolitan di Jakarta, 29 Maret), h 3.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan Latar Belakang tersebut di atas , maka dapat dirumuskan pokok masalahnya yaitu : Terorisme dalam Perundang-Undangan di Indonesia (Studi Analisis dengan Pendekatan Syariat Islam). Untuk dapat mengerti lebih baik tentang terorisme beserta segenap dampak yang di timbulkannya, maka akan dirumuskan Sub Masalah: 1. Bagaimana pengaturan tentang terorisme dalam perundang-undangan di Indonesia? 2. Bagaimana pandangan Islam terhadap pengaturan terorisme di Indonesia?

C. Hipotesis
Berdasarkan Rumusan Masalah di atas, terdapat dua pokok masalah yang diberikan gambaran jawaban sebagai dugaan jawaban sementara terhadap masalah pokok dimaksudkan untuk memusatkan perhatian dalam meneliti benar tidaknya suatu teori.

Adapun Hipotesis dari permasalahan tersebut adalah: 1. Terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana, menghilangkan ketakutan nyawa tanpa memandang luas, korban dan

menimbulkan

masyarakat

secara

menghilangkan

kemerdekaan seseorang, serta kerugian harta benda, oleh karena itu

Indonesia sebagai negara hukum membuat undang-undang Nomor 15 tahun 2003 tentang tindak pidana terorisme, agar membuat pelaku teror ini menjadi jera dan mendapatkan hukuman sesuai perbuatan yang dilakukannya tentunya sesuai dengan undang-undang dan peraturan yang berlaku. 2. Agama Islam jelas mengajarkan moderasi. Dalam Islam juga diajarkan, "Tuhan menginginkan kemudahan bagi manusia, bukan kesulitan. mengajarkan rahmat dan salam, bukan teror dan perang. Maka dari itu Islam sangat mendukung tindakan pemerintah negara Republik Indonesia yang menginstruksikan kepada Polri dan TNI untuk meningkatkan keseriusan dalam upaya menumpas para teroris tersebut.

D. Pengertian Judul
Judul Skripsi ini adalah: Terorisme dalam Perundang-Undangan di Indonesia (Studi Analisis dengan Pendekatan Syariat Islam). Untuk mempermudah serta menyamakan persepsi antara pembaca dan penulis terhadap judul, maka penulis mengemukakan pengertian: Terorisme adalah: kekerasan atau ancaman kekerasan yang diperhitungkan sedemikian rupa untuk menciptakan suasana ketakutan dan bahaya dengan maksud menarik perhatian nasional atau internasional terhadap suatu aksi maupun tuntutan7.

Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid 16, (Jakarta:PT Cipta Adi Pustaka 1991), h. 270

Undang-Undang adalah: ketentuan atau peraturan-peraturan negara yang di buat oleh pemerintah (Menteri, Badan Eksekutif dsb), disahkan oleh parlemen (Dewan Perwakilan Rakyat, Badan Legislatif) dan di tanda tangani oleh kepala negara (Presiden, Raja) dan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat8. Studi Analisis adalah : kajian, penyelidikan yang menguraikan suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelaah bagian itu sendiri serta hubungan antar bagian untuk memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan9. Syariat Islam adalah: peraturan-peraturan yang ditentukan Allah Swt yang bersumber dari Al-Quran dan hadits10. Jadi pengertian Terorisme dalam Perundang-Undangan di Indonesia (Studi Analisis dengan Pendekatan Syariat Islam). Secara operasional adalah: kajian atau penyelidikan tentang praktek tindak pidana, penggunaan kekerasan yang menimbulkan rasa takut dan praktek-praktek teror, dalam ketentuan dan peraturan yang dibuat oleh pemerintah, dengan menggunakan pendekatan Hukum Islam.

E. Tinjauan Pustaka
Berdasarkan sumber literatur di atas, penulis berinisiatif untuk membahasnya disebabkan belum ada satupun yang pernah menjadikannya sebagai Karya Tulis

Kamus Pusat Pembiaan dan Pengembangan Bahasa, Besar Bahasa Indonesia, Edisi ke-2 Balai Pustaka, h. 990 9 Ibid.,h. 32 10 M. Abdul Mujeb, Th. Mabruri Tholah, dan Syafiah AM, Kamus Istilah Fiqh (Jakarta:PT Pustaka Firdaus 1994)

10

Ilmiyah, meskipun dalam bentuk yang sederhana hal tersebut yang menjadi landasan penulis, sehingga sangat layak untuk dibahas. I Sriyanto dan Desiree Zuraida, Modul Instrument HAM Nasional : Hak Untuk Hidup, Hak Berkeluarga dan Melanjutkan Keturunan, Serta Hak

Mengembangkan Diri. (Jakarta:Depertemen Hukum dan HAM RI, Direktorat Jenderal Perlindungan HAM, 2001).11 Intinya menjelaskan tentang semua warga Negara khususnya Indonesia, berhak untuk memperoleh hak untuk hidup merupakan bagian dari Hak Asasi yang paling mendasar dan tidak dapat di tawar lagi. Convention On Human Rights, http//En.Wikipedia.Org/Eropean Convention On Human Rights Files, diakses 26 Desember 2006. Intinya menjelaskan tentang pentingnya Hak untuk hidup karena tanpa adanya hak hidup tidak akan ada hak-hak yang lain. Abdul Wahid Sunardi dan Muhammad Imam Sidik, Kejahatan Terorisme : Perspektif Agama, HAM dan Hukum (Bandung:PT. Refika Aditama, 2004).12 Intinya adalah, Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban serta merupakan salah satu ancaman serius terhadap kedaulatan setiap Negara karena terorisme sudah merupakan kejahatan yang bersifat Internasional yang menimbulkan bahaya terhadap keamanan.

I Sriyanto dan Desiree Zuraida, Modul Instrument HAM Nasional : Hak Untuk Hidup, Hak Berkeluarga dan Melanjutkan Keturunan, Serta Hak Mengembangkan Diri.11 (Jakarta:Depertemen Hukum dan HAM RI, Direktorat Jenderal Perlindungan HAM, 2001). Abdul Wahid Sunardi dan Muhammad Imam Sidik, Kejahatan Terorisme : Perspektif Agama, HAM dan Hukum (Bandung:PT. Refika Aditama, 2004)
12

11

11

Indonesia, Undang-Undang Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, menjadi UU No. 15, LN. No. 45 Tahun 2003, TLN. No. 4284 penjelasan umum Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Indonesia Undang-Undang Dasar 1945, Pembukaan Alinea ke-4. Melindungi Segenap Bangsa Indonesia dan Seluruh Tumpah Darah Indonesia, dan Untuk Memajukan Kesejahteraan Umum, Mencerdaskan Kehidupan Bangsa, dan Ikut Melaksanakan Ketertiban Dunia. T. Nasrullah, Sepintas Tinjauan Yuridis Baik Aspek Hukum Materil Maupun Formil Terhadap Undang-Undang No. 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Terorisme, Makalah Pada semiloka tentang Keamanan Negara yang di adakan oleh Indonesia Police Watch bersama POLDA Metropolitan Jakarta Raya, 29 Maret. Intinya mempersentasekan tentang solusi dan cara pemberantasan tindak pidana terorisme dan tinjauan hukum dari aspek materil dan formil. Haitsam Al-Kailani, Al-Irhab Yu-Assassu Daulati Namuudzaji Israa-Il diterjemahkan oleh Abdul Muhid: Siapa Teroris Dunia? (Pustaka Al-Kautsar: Jakarta). Intinya menjelaskan tentang terorisme di tinjau dari kacamata hukum Islam.

F. Metode Penelitian

12

Dalam rangka memperoleh hasil yang lebih baik, dan untuk memudahkan penyusunan skripsi ini dikemukakan metode-metode yang digunakan sebagai berikut: 1. Metode Pendekatan a. Pendekatan Yuridis, dimaksudkan untuk mengetahui tentang

Terorisme dalam Perundang-Undangan, terutama dengan pendekatan Syariat Islam. Sebagai salah satu rangka untuk menambah pengetahuan tentang Terorisme itu sendiri. b. Pendekatan Sosiologis adalah, suatu pendekatan yang digunakan dengan mengungkapkan keadaan sosial yang berkenaan dengan permasalahan yang dibahas. 2. Metode Pengumpulan Data Dalam pengumpulan data penulis menggunakan metode library research, yakni suatu cara pengumpulan data dengan cara membaca literatur dan memahaminya serta mengutip buku-buku yang berkaitan dengan pembahasan masalah baik berupa kutipan langsung maupun tidak langsung. a. Kutipan langsung adalah, mengutip literatur dengan cara mengambil data dari buku-buku sesuai dengan konteks aslinya. b. Kutipan tidak langsung adalah, mengutip literatur dengan cara mengubah redaksi atau mengambil intisari sebuah paparan dengan tidak mengurangi makna literatur yang di kutip. 3. Analisis Data Untuk menganalisah data tersebut digunakan beberapa metode yakni:

13

a.

Metode induktif , yakni mengolah data yang bertolak dari satuansatuan yang bersifat khusus kemudian menarik kesimpulan yang bersifat umum.

b.

Metode deduktif, yakni mengolah data dari hal-hal yang bersifat umum selanjutnya mengambil kesimpulan yang bersifat khusus.

c.

Metode Komperatif, setiap yang diperoleh baik yang bersifat khusus maupun bersifat umum, dibandingkan kemudian ditarik suatu kesimpulan yang lebih kuat.

G. Tujuan dan Kegunaan Penulisan


1. Tujuan Penulisan a. Untuk menganalisis data lebih mendalam seputar terorisme dalam perundang-undagan. b. Untuk keseragaman persepsi dalam melihat dan memahami apa sebenarnya teroris itu. 2. Kegunaan Penulisan Penulisan ini di harapkan berguna untuk: a. Sebagai bahan analisa bagi semua pihak dalam pengembangan wacana mengenai terorisme dalam perundang-undangan. b. Sebagai masukan dan bahan pertimbangan bagi penegak hukum, dalam melaksanakan amanah yang diberikan padanya.

14

c. Untuk mengisi dan menambah khasanah intelektual dalam bidang hukum, khususnya bagi mereka yang hendak melakukan penulisan mengenai Terorisme dalam Undang-Undang.
d. Sebagai formasi untuk memenuhi dan melengkapi syarat

dalam

penyelesaian studi untuk memperoleh gelar Sajana Strata Satu (S1) dalam Ilmu Syariah pada Jurusan Peradilan Agama.

Anda mungkin juga menyukai