http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Keistimewaan_dan_...
(Dialihkan dari Sejarah Keistimewaan dan Pemerintahan Prop. DIY) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) adalah prov insi tertua kedua di Indonesia setelah Jawa Timur, yang dibentuk oleh pemerintah negara bagian Indonesia. Prov insi ini juga memiliki status istimewa atau otonomi khusus. Status ini merupakan sebuah warisan dari zaman sebelum kemerdekaan. Kesultanan Yogyakarta dan juga Kadipaten Paku Alaman, sebagai cikal bakal atau asal usul DIY, memiliki status sebagai Kerajaan v asal/Negara bagian/Dependent state dalam pemerintahan penjajahan mulai dari VOC , Hindia Perancis (Republik Bataav Belanda-Perancis), India Timur/EIC (Kerajaan Inggris), Hindia Belanda (Kerajaan Nederland), dan terakhir Tentara Angkatan Darat XVI Jepang (Kekaisaran Jepang). Oleh Belanda status tersebut disebut sebagai Zelfbestuurende Lanschappen dan oleh Jepang disebut dengan Koti/Kooti. Status ini membawa konsekuensi hukum dan politik berupa kewenangan untuk mengatur dan mengurus wilayah [negaranya] sendiri di bawah pengawasan pemerintah penjajahan tentunya. Status ini pula yang kemudian juga diakui dan diberi payung hukum oleh Bapak Pendiri Bangsa Indonesia Soekarno yang duduk dalam BPUPKI dan PPKI sebagai sebuah daerah bukan lagi sebagai sebuah negara[1].
Daftar isi
1 Periode I: 1945 - 1946 1.1 Sambutan Proklamasi di Yogyakarta (18/19-08-1945) 1.2 Sidang PPKI Membahas Daerah Istimewa (19-08-1945) 1.3 Dekrit Resmi Kerajaan Untuk Berintegrasi kepada RI (Sept 1945) 1.4 Pemerintahan dan Wilayah Kerajaan di Yogyakarta (1945-1946) 1.5 Penyelenggaraan Pemerintahan Sementara Yogyakarta (1945-1946) 1.6 Penyusunan RUU Pokok Pemerintahan Yogyakarta (1945-1946) 2 Periode II:1946 - 1950 2.1 Pembentukan DIY oleh Kerajaan di Yogyakarta (1946) 2.2 Penyelenggaraan Pemerintahan DIY (1946-1948) 2.3 Pemda Kota Yogyakarta (1947-1950) 2.4 UU Pemerintahan Daerah 1948 (1948-1949) 3 Periode III: 1950 - 1965 3.1 Landasan Hukum Pembentukan DIY (1950-1951) 3.1.1 Pembentukan DIY (1950) 3.1.2 Pembentukan Kabupaten dan Kota (1950-1951) 3.2 Penyelenggaraan Demokrasi di DIY (1950an) 3.2.1 Pemilu Lokal (Tingkat Daerah) Pertama (1951) 3.2.2 Pemisahan dan Pembagian Urusan Pemerintahan Keraton dengan Pemda DIY(1950an) 3.3 Era Otonomi Daerah Seluas-luasnya (1957-1965) 3.3.1 Implementasi UUDS 1950 (1957-1965) 3.3.2 Penyatuan Wilayah (1957-1958) 3.3.3 Pasca Dekrit Presiden (1959-1965) 4 Periode IV: 1965-1998 4.1 Pengaturan DIY Pada Masa Pergolakan (1965-1974) 4.2 Pengaturan DIY Pada Masa Orde Baru (1974-1998) 4.3 Wafat Sultan HB IX (1988) dan Sri Paduka PA VIII (1998) 5 Periode V: 1998-sekarang (2008) 5.1 Penyelenggaraan Pemerintahan DIY Pada Masa Peralihan (1998-sekarang[2008]) 5.1.1 Pro Kontra Suksesi Gubernur I (1998) 5.1.2 Pengaturan DIY Pada Masa Reformasi I (1999-2004) 5.1.3 Pengusulan RUU Keistimewaan (2002) 5.1.4 Pro Kontra Suksesi Gubernur II (2003) 5.1.5 Pengaturan DIY Pada Masa Reformasi II (2004-sekarang[2008]) 5.2 Peristiwa-Peristiwa terkini 5.2.1 Pernyataan Pengunduran Diri Sultan HB X 5.2.2 Ambiguitas Sikap Masyarakat DIY 5.2.3 RUU Keistimewaan dan Pro Kontra Suksesi Gubernur III (2008) 5.2.4 Substansi istimewa bagi Daerah Istimewa Yogyakarta 6 Daftar Bacaan 6.1 Buku 6.2 Peraturan Perundang-undangan 6.3 Surat Kabar Harian 7 Draf RUU Keistimewaan DIY 8 Catatan kaki 9 Lihat pula
Lam bang Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
1 of 8
03/12/2010 9:52
http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Keistimewaan_dan_...
Kooti memang sangat sulit dipecahkan sehingga Panitia Kecil PPKI tersebut tidak membahasnya lebih lanjut dan menyerahkannya kepada beleid Presiden. Akhirnya dengan dukungan Mohammad Hatta, Suroso, Suryohamijoyo, dan Soepomo, kedudukan Kooti ditetapkan status quo sampai dengan terbentuknya Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah. Pada hari itu juga Soekarno mengeluarkan piagam penetapan kedudukan bagi kedua penguasa tahta Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman[4].Piagam tersebut baru diserahkan pada 6 September 1945 setelah sikap resmi dari para penguasa monarki dikeluarkan[6].
Sedang wilayah kekuasaan Kadipten Paku Alaman meliputi [4]: 1. Kabupaten Kota Paku Alaman dengan bupatinya KRT Brotodiningrat, 2. Kabupaten Adikarto dengan bupatinya KRT Suryaningprang. Kabupaten-kabupaten tersebut tidak memiliki otonomi melainkan hanya wilayah administratif. Bupati-bupati yang mengepalai masing-masing kabupatennya disebut dengan Bupati Pamong Praja[6]. Mereka juga mengepalai birokrasi kerajaan yang disebut dengan Abdi Dalem Keprajan. Birokrasi kerajaan inilah yang akan menjadi tulang punggung utama Kabupaten dan Kota di DIY sampai tahun 1950.
Wilayah DIY (D.I. Kasultanan dan D.I Paku Alaman) beserta Kab/Kota dalam lingkungannya pada 1945
2 of 8
03/12/2010 9:52
http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Keistimewaan_dan_...
Pertimbangan[2].
Pembagian DIY menjadi kabupaten-kabupaten dan kota yang berotonomi diatur dengan UU No. 15 Tahun 1950 (BN 1950 No. 44) dan UU No. 16 Tahun 1950 (BN 1950 No. 45). Kedua undang-undang tersebut diberlakukan dengan PP No. 32 Tahun 1950 (BN 1950 No. 59). Menurut undang-undang tersebut DIY dibagi menjadi kabupaten-kabupaten Bantul (beribukota Bantul), Sleman (beribukota Sleman), Gunung Kidul (beribukota Wonosari), Kulon Progo (beribukota Sentolo), Adikarto (beribukota Wates), dan Kota Besar Yogyakarta. Untuk alasan efisiensi, pada tahun 1951, kabupaten Adikarto yang beribukota Wates digabung dengan kabupaten Kulon Progo yang beribukota Sentolo menjadi Kabupaten Kulon Progo dengan ibu kota Wates. Penggabungan kedua daerah ini ditetapkan oleh UU Nomor 18 Tahun 1951 (LN 1951 No. 101). Semua UU mengenai pembentukan DIY dan Kabupaten dan Kota di dalam lingkungannya, dibentuk berdasarkan UU 22/1948.
Wilayah DIY beserta pembagian Kab/Kota di lingkungannya tahun 1951
Pada tahun 1951 Yogyakarta menyelenggarakan pemilu pertama dalam sejarah Indonesia. Pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota legislatif di Daerah Istimewa dan Kabupaten. Pemilu dilangsungkan dalam dua tahap, tidak secara langsung. Pemilih memilih electors yang kemudian electors memilih partai (Selo Sumardjan 1962, hal 101). Komposisi DPRD didominasi dari Masyumi (18 kursi dari total 40 kursi), sisanya dibagi oleh enam parpol lainnya[2]. Tercatat dua parpol lokal yang mengikuti pemilu ini yaitu PPDI dan SSPP[2]. Sementara itu kekuasaan eksekutif tetap dijalankan oleh Dewan Pemerintah Daerah yang beranggotakan lima orang yang dipilih oleh dan dari DPRD sesuai dengan tingkatannya. Untuk tingkatan Daerah Istimewa, selain lima orang tersebut, Dewan Pemerintah juga diisi oleh kedua raja (Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII). Namun keduanya tidak bertanggung jawab kepada DPRD melainkan langsung kepada Presiden. Pemisahan dan Pembagian Urusan Pemerintahan Keraton dengan Pemda DIY(1950an) Perubahan yang cukup penting[12], pasca UU 3/1950 adalah perubahan wilayah. Wilayah birokrasi eksekutif yang menjadi DIY adalah wilayah Negara Gung yang dibagi 3 kabupaten yakni Kota, Kulonprogo dan Kori dan kemudian menjadi 4 kabupaten 1 kota[12]. Sejak 1945 birokrasi ini pula yang menjadi tulang punggung birokrasi DIY (lihat periode I di atas). Dengan kata lain Birokrasi Pemda DIY sebenarnya merupakan pengembangan dari Kanayakan yang memerintah Nagari Dalem (dahulu dikepalai oleh Pepatih Dalem )[2]. Sementara wilayah Mancanegara, yang tidak dikuasai Belanda tetapi dikelola dengan sistem bagi hasil, menjadi wilayah RI dengan pernyataan singkat [dari Sultan HB IX]: Saya cukup berkuasa di bekas wilayah Negara Gung saja. Sehingga wilayah-wilayah: Madiun, Pacitan, Tulung Agung, dan Trenggalek yang dikenal sebagai Metaraman dilepas ke Republik Indonesia[12].
3 of 8
03/12/2010 9:52
http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Keistimewaan_dan_...
Wilayah Karaton (Keraton/Istana) menjadi sempit. Sultan HB IX sebagai pemimpin birokrasi kebudayaan terbatas hanya di Cepuri Keraton. Tugas kepangeranan yang dalam masa Belanda dan Jepang ada gaji cukup untuk membina lingkungan, namun dengan UU No 3/1950 (setelah resmi menjadi Daerah Istimewa), para pangeran di Kesultanan tidak ada kedudukan. Yang menjadi gubernur adalah Sultan, tapi keluarga pangeran tidak ada kaitan dengan birokrasi. Inilah penjelasan bahwa DIY juga B U K A N merupakan monarki konstitusi [12]. Pada dasarnya, kedua birokrasi ini semula dipimpin oleh Sultan HB IX. Namun karena sedang menjabat sebagai menteri sampai 1952, beliau tidak dapat aktif menjadi Kepala Daerah. Oleh karena itu bagian Kepatihan dipimpin oleh Sri Paduka PA VIII sedangkan bagian Keraton yang disebut Parentah Hageng Karaton dipimpin oleh GP Hangabehi [2]. Proses pemisahan antara negara (Nagari Dalem) dan istana (Karaton Dalem) tidak mulus begitu saja. Terdapat keberatan-keberatan yang datang baik dari kalangan istana maupun partai politik yang duduk di parlemen lokal. Walaupun demikian setelah memakan waktu akhirnya Pemerintahan Nagari Dalem berubah menjadi Pemerintahan Daerah Istimewa dan Karaton (Keraton) Dalem tetap dikelola oleh Dinasti Hamengku Buwono.
4 of 8
03/12/2010 9:52
http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Keistimewaan_dan_...
Sultan HB IX hanya sepuluh tahun memangku kembali sebagai Gubernur/Kepala Daerah Istimewa. Pada 1988, Beliau wafat di Amerika Serikat saat berobat. Sultan Hamengku Buwono IX tercatat sebagai Gubernur terlama yang menjabat di Indonesia antara 1945-1988 dan Raja Kesultanan Yogyakarta terlama antara 1940-1988. Pemerintah Pusat tidak mengangkat Sultan Hamengku Buwono X (HB X) sebagai Gubernur Definitif melainkan menunjuk Sri Paduka Paku Alam VIII, Wakil Gubernur/Wakil Kepala Daerah Istimewa, sebagai Penjabat Gubernur/Kepala Daerah Istimewa[23]. Pada saat reformasi, tanggal 20 Mei 1998, sehari sebelum pengunduran diri presiden terdahulu (former president) Presiden Soeharto, Sultan HB X bersama-sama dengan Sri Paduka PA VIII mengeluarkan sebuah maklumat yang pada pokoknya berisi "ajakan kepada masyarakat untuk mendukung gerakan reformasi damai, mengajak ABRI (TNI/Polri) untuk melindungi rakyat dan gerakan reformasi, untuk menjaga persatuan dan kesatuan, dan mengajak masyarakat untuk berdoa bagi Negara dan Bangsa". Maklumat tersebut dibacakan di hadapan masyarakat dalam acara yang disebut Pisowanan Agung[23]. Beberapa bulan setelahnya beliau menderita sakit dan meninggal pada tahun yang sama. Sri Paduka Paku Alam VIII tercatat sebagai wakil Gubernur terlama (1945-1998) dan Pelaksana Tugas Gubernur terlama (1988-1998) serta Pangeran Paku Alaman terlama (1937-1998).
Peristiwa-Peristiwa terkini
Pernyataan Pengunduran Diri Sultan HB X Di tengah silang pendapat masyarakat mengenai keistimewaan DIY, pada 7 April 2007, Sultan HB X mengeluarkan pernyataan bersejarah[32] lewat orasi budaya pada perayaan ulang tahunnya yang ke-61, yang pada intinya tidak bersedia lagi menjabat sebagai Gubernur DIY setelah masa jabatannya selesai tahun 2008[33]. Pernyataan Sultan HB X itu mendapat tanggapan dari berbagai pihak. Sofian Effendi [34] (rektor UGM pada saat itu) menyampaikan bahwa keraton memang tidak perlu ikut kegiatan dalam pemerintahan sehari-hari, Sultan atau Keraton harus harus di atas itu tetapi keuangan keraton harus dijamin anggaran daerah. Sedangkan keistimewaan DIY menurutnya dapat meniru kesultanan di Malaysia atau sistem monarki parlementer Inggris. Sementara itu Purwo Santoso[34] pakar otda UGM menilai sebagai langkah positif bagi perkembangan demokrasi dan tidak menyalahi keistimewaan. Bagi Roy Suryo[35] pakar telematika yang juga kerabat Paku Alaman pernyataan Sultan HB X merupakan sabdo pandhito ratu dan memerlukan penelaahan lebih lanjut. Roy berharap keistimewaan DIY tidak dirusak dengan adanya pilkada. Herry Zudianto[36] (Walikota Yogyakarta) tidak setuju keraton dan raja dipisahkan sama sekali dari sistem pemerintahan.
Prov. DIY tahun 2007 beserta Kab/Kota di lingkungannya
Warga Bantul [37] siap menggelar Pisowanan Agung untuk meminta kejelasan tentang pernyataan Sultan serta menyampaikan aspirasi agar Sultan HB X tetap bersedia memimpin. Para lurah yang tergabung dalam Asosiasi Pemerintahan Desa Indonesia juga akan menemui Sultan untuk menyampaikan keberatan[36]. Akhirnya pada 18 April 2007, Sultan HB X menegaskan kembali untuk tidak menjadi Gubernur DIY dalam Pisowanan Agung yang dihadiri sekitar 40.000 warga Yogyakarta[38]. Ambiguitas Sikap Masyarakat DIY
5 of 8
03/12/2010 9:52
http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Keistimewaan_dan_...
Sebuah jajak pendapat yang dilakukan oleh Kompas[38] pada 13 April 2007 menunjukkan 74,9% responden setuju jika jabatan Gubernur di pegang oleh kerabat Keraton Yogyakarta. Persentase ini lebih besar dari pada responden yang setuju dipegang oleh Masyarakat Umum (63,5%) maupun oleh Kerabat Pura Paku Alaman (59,1%). Terlihat dalam jajak pendapat ambiguitas sikap masyarakat Yogyakarta. Senada dengan itu jajak pendapat yang dilakukan oleh PSPA selama bulan maret (sebelum statement dikeluarkan) menunjukkan 70,3 persen responden menyetujui jika Gubernur DIY dipilih secara langsung[39]. Dalam sebuah jajak pendapat berseri yang dilakukan oleh Kompas [40] pada 21-22 Desember 2006 dan 13 April 2007 menyangkut persepsi masyarakat mengenai nilai keistimewaan DIY terjadi sebuah pergeseran. Pada Desember 2006 keberadaan Sultan Yogyakarta sebagai gubernur masih menjadi hal utama yang menentukan keistimewaan DIY (32,2%) disusul oleh keberadaan keraton, pusat kebudayaan dan seniman, kota pariwisata (27,7%). Setelah pernyataan ketidaksediaan Sultan sebagai gubernur pada April 2007 porsi terbesar ditunjukkan oleh Nilai historis DIY yang berperan dalam sejarah perjuangan bangsa (41,4%; sebelumnya hanya 15,7%) disusul oleh keberadaan Sultan sebagai gubernur (32,0%; sebelumnya 32,2%). Sedangkan opsi keberadaan keraton melorot menempati urutan empat (7,6%). RUU Keistimewaan dan Pro Kontra Suksesi Gubernur III (2008) Untuk mengakomodir keistimewaan DIY yang tidak jelas arahnya, PAH I Dewan Perwakilan Daerah membentuk Tim Kerja yang diketuai oleh Subardi (anggota DPD perwakilan DIY) untuk menjaring aspirasi [41]. Sementara itu Depdagri mempercayakan Jurusan Ilmu Pemerintahan (JIP) FISIPOL UGM untuk menyusun RUU Keistimewaan (RUUK) yang telah memaparkan hasilnya di depan DPRD DIY pada 14 Juni 2007[42]. Akhirnya pada 2 Juli 2007 diadakan uji sahih RUUK[43]. Sebagai narasumber dalam ujisahih tersebut adalah wakil Kraton GBPH Joyokusumo[44], tim RUU JIP Bambang Purwoko, Dosen FH UGM Aminoto dan Ketua Tim Perumus Naskah Akademik dan PAH I DPD RI Jawahir Thontowi. Dalam uji sahih terungkap bahwa pihak keraton tidak menginginkan adanya sebuah lembaga baru, cukup dua lembaga: Keraton beserta Puro di satu kelompok dan Pemda (pemprov dan DPRD) di kelompok satunya. Walaupun Depdagri menarget sebelum akhir 2007 RUU Keistimewaan DIY sudah diserahkan kepada DPR[45], namun kenyataannya sampai Juni 2008 RUU Keistimewaan masih terkatung-katung di Setneg dan Depkumham[46]. Sementara itu DPD telah melangkah lebih jauh dengan mengesahkan RUU Perubahan Ketiga UU No 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan DIY [47]. RUU ini sudah diterima oleh Bamus DPR dan telah disetujui pada 6 Maret 2008 dalam surat bernomor TU.04/1871/DPR RI/III/2008 serta telah diserahkan ke Komisi II DPR untuk dibahas[46]. Sementara itu di daerah terjadi pergolakan terkait RUU Keistimewaan maupun pro kontra suksesi Gubernur Yogyakarta. Pada 25 Maret 2008 sekitar 10 ribu orang dari berbagai kabupaten di DIY menggelar Sidang Rakyat di halaman Gedung DPRD DIY. Acara tersebut pada intinya dimaksudkan untuk menyerukan agar DPRD DIY segera menyelenggarakan Rapat Paripurna Khusus untuk membuat keputusan politik sesuai aspirasi masyarakat DIY dan menolak Rancangan Undang-undang Keistimewaan (RUUK) yang bertentangan dengan aspirasi masyarakat[48]. Sehari sebelumnya tanggal 24 juga terjadi aksi masa yang serupa. Menindak lanjuti berbagai aksi masa baik yang mendukung penetapan (baca: kubu konserv atif) maupun yang mendukung pemilihan gubernur (baca: kubu liberal) Rapat Gabungan Pimpinan DPRD DIY pada 10 April 2008 sepakat untuk menggelar Rapat Paripurna Dewan yang direncanakan digelar 17 April 2008[49]. Setelah sempat tertunda DPRD DIY memutuskan membentuk Panitia Khusus (Pansus) Akselerasi (percepatan) Keistimewaan Yogyakarta. Keputusan tersebut diambil dalam Rapat Paripurna (Rapur) DPRD DIY yang dipantau utusan Departemen Dalam Negeri pada 23 April 2008[50]. Secara substansi, terkait kepemimpinan DIY, Pansus sudah sepakat mengangkat kembali Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Sri Paduka Paku Alam IX sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY periode 2008-2013. Namun substansi RUUK belum selesai dirumuskan[51]. Sementara itu Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat menolak bicara soal usulan materi RUU Keistimewaan DIY. Selain ingin tetap berada di tengah, juga posisi kraton sudah tunduk pada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Selain itu Sultan menegaskan, sejak Maklumat 5 September 1945, posisi kraton sudah menjadi bagian dari republik. Karena itu, kraton akan tunduk dengan perundang-undangan. Terkait dengan RUUK, memang bisa muncul pro dan kontra. Namun demikian aspirasi masyarakat harus dapat diperhatikan, karena kedaulatan ada di tangan rakyat[52]. Pansus Percepatan RUU Keistimewaan DPRD DIY akhirnya menyelesaikan tugasnya pada 30 Juni 2008 dengan penyampaian laporan di hadapan Rapat Paripurna DPRD. Rapat Paripurna DPRD DIY pun menyepakati (dengan catatan) rekomendasi Pansus menjadi Keputusan Politik Dewan yang antara lain mendesak Pemerintah Pusat agar menetapkan Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Sri Paduka Paku Alam IX sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY 2008-2013 dan agar mempercepat pembahasan RUU Keistimewaan DIY [53][54]. Akhirnya RUU Keistimewaan DIY diserahkan oleh Pemerintah (Depdagri) kepada DPR RI pada pertengahan Agustus 2008 untuk dibahas[55]. Sementara itu pihak Keraton Yogyakarta (baca: keluarga keraton/adik-adik Sultan) juga menyiapkan dan mengirimkan draf RUU Keistimewaan DIY kepada DPR RI sebagai bahan masukan di samping berbagai draf yang ada[56]. Substansi istimewa bagi Daerah Istimewa Yogyakarta Substansi istimewa bagi Daerah Istimewa Yogyakarta dapat dilihat dalam kontrak politik antara Nagari Kasultanan Yogyakarta & Kadipaten Puro Pakualaman dengan Pemimpin Besar Rev olusi Soekarno sebagaimana dituangkan dalam Pidato Penobatan HB IX, 18 Maret 1940; Piagam Kedudukan Sri Sultan Hamengku Buwono IX & Sri Paduka Pakualam VIII tanggal 19 Agustus 1945; Amanat 5 September 1945; Amanat 30 Oktober 1945; Amanat Proklamasi Kemerdekaan NKRI-DIY, 30 Mei 1949; Penjelasan pasal 18,UUD 1945; Pasal 18b (ayat 1 & 2), UUD NKRI 1945; Pasal 2, UU NO. 3/1950; Amanat Tahta Untuk Rakyat, 1986. Subtsansi Istimewa bagi Daerah Istimewa Yogyakarta terdiri dari tiga hal : Pertama, Istimewa dalam hal Sejarah Pembentukan Pemerintahan Daerah Istimewa (sebagaimana diatur UUD 45, pasal 18 & Penjelasannya mengenai hak asal-usul suatu daerah dalam teritoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbestuurende-landschappen & v olks-gemeenschappen serta bukti - bukti authentik/fakta sejarah dalam proses perjuangan kemerdekaan, baik sebelum maupun sesudah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 hingga sekarang ini dalam memajukan Pendidikan Nasional & Kebudayaan Indonesia; Kedua, Istimewa dalam hal Bentuk Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta yang terdiri dari penggabungan dua wilayah Kasultanan & Pakualaman menjadi satu daerah setingkat prov insi yang bersifat kerajaan dalam satu kesatuan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (sebagaimana disebutkan dalam Amanat 30 Oktober 1945, 5 Oktober 1945 & UU No.3/1950); Ketiga, Istimewa dalam hal Kepala Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta yang dijabat oleh Sultan & Adipati yang bertahta (sebagaimana amanat Piagam Kedudukan 19 Agustus 1945 yang ditulis secara lengkap nama, gelar, kedudukan seorang Sultan & Adipati yang bertahta sesuai dengan angka urutan bertahtanya). Polemik keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta ini makin berlarut - larut disebabkan oleh : 1.manuver politik Sultan yang bertahta terkait konv ensi pencalonan Presiden PEMILU 2004 & PEMILU 2009 karena Status Istimewa bagi DIY yang telah melekat sejak tahun 1945 dijadikan bargaining power secara kelembagaan, sementara itu sultan yang bertahta tidak memiliki bargaining position dalam percaturan politik secara nasional. 2.setiap produk undang - undang yang mengatur tentang pemerintah daerah (UU No. 5/1969, UU 5/1974, UU No. 22/99, UU No. 32/2004) tidak mampu menjangkau, mengatur dan melindungi hak asal - usul suatu daerah sebagaimana diamanatkan oleh Undang - undang Dasar 1945, pasal 18 & penjelasannya maupun amanat UUD 1945 (hasil amanademen), pasal 18 b (ayat 1 & 2. 3.pemahaman posisi serta substansi bagi Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia belum dipahami secara utuh dan benar oleh penerus tahta Kasultanan & Pakualaman (pasca HB IX & PA VIII) maupun oleh penerus tahta kepresidenan (pasca Soekarno & Hatta) maupun oleh masyarakat luas. 4.ketidak pahaman para penerus & pengisi kemerdekaan karena perubahan orientasi tata pemerintahan dari geo-cultural (ranah kebudayaan) yang bernama Nusantara menjadi geo-politics (ranah politik) yang bernama Indonesia sebagaimana disebutkan dalam Bhineka Tunggal Ika belum dioperasionalisasikan secara yuridis formal dalam tata kehidupan sosial masayarakat & pemerintahan NKRI. 5.perpindahan orientasi politik atau mazhab politik berdirinya negara dengan Sistim Continental menjadi Anglo Saxon dalam pelaksanaan pemerintah pasca Reformasi semakin mengkacaukan sistim & hukum tata negara Indonesia, hal ini dibuktikan dengan adanya amandemen UUD 1945 tanpa melalui Referendum sebagaimana diamanatkan oleh UU No. 10/1985 dan perubahan sistim demokrasi dari Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan menjadi sistim pemilihan langsung & ternyata Pilihan Langsung ini lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya karena secara diam - diam telah terbukti bertentangan dengan sila ke IV Pancasila. 6.proses demokratisasi di Daerah Istimewa Yogyakarta masih terus bergulat dan berlangsung sesuai dinamika politik lokal yang menekankan substansi demokrasi (musyawarah untuk mencapai mufakat), sehingga sampai dengan detik ini belum melaksanakan Pilgub & Pilwagub secara langsung karena memang Posisi Gubernur DIY adalah wakil pemerintah pusat (bertanggung-jawab langsung kepada presiden), sebagaimana halnya Camat yang melakukan tugas medewewind (tugas pembantuan) dan tidak masuk ranah desentralisasi sebagaimana walikota, bupati, lurah yang dipilih secara langsung oleh rakyat.
Daftar Bacaan
Buku
6 of 8
03/12/2010 9:52
http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Keistimewaan_dan_...
1. Selosoemardjan, ed (1962). Social Changes in Jogjakarta. New York: Cornell Univ ersity Press. 2. A. Ariobimo Nusantara, ed (1999). Sri Sultan Hamengku Buwono X: meneguhkan tahta untuk rakyat. Jakarta: Grasindo. ISBN 979-669-570-7. 3. P.J. Suwarno (1994). Hamengku Buwono IX dan Sistem Birokrasi Pemerintahan Yogyakarta 1942-1974: sebuah tinjauan historis. Yogyakarta: Kanisius. ISBN 979-497-123-5. 4. Saafroedin Bahar et. al., ed (1993). Risalah Sidang BPUPKI-PPKI 29 Mei 1945-19 Agustus 1945. Edisi kedua. Jakarta: Sekretariat Negara RI. ISBN 979-8300-00-9. 5. Soedarisman Poerwokoeoemo (1984). Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Gadjah Mada Univ ersity Press. 6. Heru Wahyukismoyo (2004). Keistimewaan jogja vs Demokratisasi. Bayu Indra Grafika=Yogyakarta. ISBN 979-8680-73-X. 7. Heru Wahyukismoyo (2008). Merajut Kembali Pemikiran Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Dharmakaryadhika Publisher=Yogyakarta. ISBN 978-979-1885-003.
Peraturan Perundang-undangan
1. UUD 1945 pertama (sebelum perubahan) dan UUD 1945 kedua (setelah perubahan) 2. Peraturan Perundang-undangan tentang Pembentukan DIY Beserta Kabupaten dan Kota dalam Lingkungannya (UU 3/1950; UU 15/1950; UU 16/1950; UU 19/1950; PP 31/1950; PP 32/1950; UU 18/1951; UU Drt 5/1957; UU 14/1958). 3. Peraturan Perundang-undangan tentang Pemerintahan Daerah (UU 22/1948; UU 1/1957; PenPres 6/1959; UU 18/1965; UU 5/1974; UU 22/1999; dan UU 32/2004).
Catatan kaki
1. 2. 3. 4. 5. ^ a b Saafrudin Bahar et. al. (ed), 1993 ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q PJ Suwarno, 1994 ^ Achiel Suyanto, 2007 ^ a b c d e f g Joyokusumo, 2007 ^ Pasal 18 UUD Indonesia yang pertama yang disahkan sehari sebelumnya berbunyi: Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa. ^ a b c d e f g h i j k Soedarisman P, 1984 ^ Daerah-daerah yang mempunyai hak-hak asal-usul dan di zaman sebelum Republik Indonesia mempunyai pemerintahan sendiri yang bersifat istimewa, dengan undang-undang pembentukan yang termaksud dalam ayat (3) dapat ditetapkan sebagai daerah istimewa yang setingkat dengan Provinsi, Kabupaten, atau Desa yang berhak mengatur dan mengurus rumah-tangganya sendiri. (Pasal 1 ayat (2) UU No 22/1948) ^ (5) Kepala Daerah Istimewa diangkat oleh Presiden dari keturunan keluarga yang berkuasa di daerah itu di zaman sebelum Republik Indonesia dan yang masih menguasai daerahnya, dengan syarat-syarat kecakapan, kejujuran dan kesetiaan, dan dengan mengingat adat istiadat di daerah itu. (6) Untuk Daerah Istimewa dapat diangkat seorang Wakil Kepala Daerah Istimewa dengan mengingat syarat-syarat tersebut dalam ayat (5). Wakil Kepala Daerah Istimewa adalah anggota Dewan Pemerintah Daerah. (Pasal 18 ayat (5) dan (6) UU No 22/1948) ^ Tentang dasar pemerintahan di daerah istimewa adalah tidak berbeda dengan pemerintahan di daerah biasa; kekuasaan ada ditangan rakyat (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah). Yang berbeda ialah tentang angkatan Kepala Daerahnya. Juga yang mengenai angkatan Wakil Kepala Daerah, jikalau ada dua daerah istimewa dibentuk menjadi satu menurut Undang-undang Pokok ini, maka perlulah diadakan Wakil Kepala Daerah dari keturunan Raja dari salah satu daerah yang digabungkan tadi. Tingkatan daerah istimewa sama dengan tingkatan daerah biasa. Hasil penyelidikan itu akan menentukan apakah Daerah Istimewa itu masuk tingkat Provinsi, Kabupaten, atau Desa. Djikalau masuk tingkatan Kabupaten, maka Daerah Istimewa ini masuk ke dalam lingkungan Prov insi biasa. (Petikan Penjelasan umum UU No 22/1948 sub 29 dan 30) ^ Yang dimaksud dalam pasal 1 ayat (2) ialah yang pada zaman pemerintahan Hindia Belanda dinamakan Zelfbestuurende landschappen. Karena daerahdaerah itu menjadi bagian pula dari Negara Republik Indonesia maka daerahdaerah istimewa itu diatur pula dan cara pemerintahannyapun diatur sama dengan lain-lain daerah, berdasarkan kedaulatan rakyat. Ke-istimewaan peraturan untuk daerah istimewa hanya mengenai Kepala Daerahnya ditentukan bahwa Kepala (Wakil Kepala) Daerah Istimewa diangkat oleh Pemerintah dari keturunan keluarga yang berkuasa di daerah itu. Sesudah berlakunya undang-undang pokok ini maka daerah-daerah istimewa dulu dapat dibentuk menjadi daerah biasa otonom atau daerah istimewa otonom; lain kemungkinan tidak ada. (Petikan Penjelasan pasal 1 UU No 22/1948) ^ (1) Daerah yang meliputi daerah Kesultanan Yogyakarta dan daerah Paku Alaman ditetapkan menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta. (2) Daerah Istimewa Yogyakarta adalah setingkat dengan Provinsi. (Pasal 1 ayat (1) dan (2) UU No 3 Tahun 1950) ^ a b c d e Joyokusumo dalam Kedaulatan Rakyat 03 Juli 2007 ^ Pembentukan Daerah Swatantra, demikian pula Daerah Istimewa termaksud dalam pasal 2 ayat (2), termasuk perubahan wilayahnya kemudian, diatur
10.
6. 7.
8.
11.
9.
12. 13.
7 of 8
03/12/2010 9:52
http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Keistimewaan_dan_...
dengan Undang-undang. (Pasal 3 UU No 1/1957) 14. ^ (1) Kepala Daerah Istimewa diangkat dari calon yang diajukan oleh DPRD dari keturunan keluarga yang berkuasa di zaman sebelum Republik Indonesia dan yang masih mengusai daerahnya, dengan memperhatikan syarat-syarat kecakapan, kejujuran, kesetiaan serta adat istiadat dalam daerah itu, dan diangkat dan diberhentikan oleh: a. Presiden bagi Daerah Istimewa tingkat I. (2) Untuk Daerah Istimewa dapat diangkat calon yang diajukan oleh DPRD, seorang Wakil Kepala Daerah Istimewa yang diangkat dan diberhentikan oleh penguasa yang yang mengangkat/memberhentikan Kepala Daerah Istimewa, dengan memperhatikan syarat-syarat tersebut dalam ayat (1). (3) Kepala dan Wakil Kepala Daerah Istimewa karena jabatannya adalah berturut-turut menjadi Ketua serta anggota dan Wakil Ketua serta anggota Dewan Pemerintah Daerah. (Petikan Pasal 25 ayat (1), (2), dan (3) UU no 1/1957) 15. ^ Kepala Daerah Istimewa tidak dipilih oleh dan dari anggota DPRD melainkan diangkat oleh Pemerintah Pusat. Jadi keistimewaannya dari suatu Daerah Istimewa masih tetap terletak dalam kedudukan Kepala Daerahnya. Karena Kepala Daerah Istimewa ini diangkat oleh penguasa Pemerintah Pusat yang berwajib maka: a. ia tidak dapat ditumbangkan oleh DPRD, sedangkan: b. mengenai gaji dan segala emolumenten ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. (Petikan Penjelasan Umum Ad 4 UU No 1/1957) 16. ^ Propinsi/Daerah Istimewa setingkat Propinsi dan Kabupaten/Daerah Istimewa setingkat Kabupaten yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri berdasarkan UU RI No 22 tahun 1948 tidak perlu dibentuk lagi sebagai Daerah Swatantra akan tetapi sejak berlakunya UU ini berturut-turut menjadi Daerah Tingkat ke I/Daerah Istimewa Tingkat I dan Daerah Tingkat ke II/Daerah Istimewa Tingkat II termaksud dalam UU ini. (Petikan Pasal 73 ayat (1) UU No 1/1957) 17. ^ (1) Kepala Daerah Istimewa diangkat dari keturunan keluarga yang berkuasa menjalankan pemerintahan daerah itu di zaman sebelum Republik Indonesia dan yang masih berkuasa menjalankan pemerintahan di daerahnya, dengan memperhatikan syarat-syarat kecakapan, kejujuran, kesetiaan pada Pemerintah Republik Indonesia serta adat istiadat dalam daerah itu dan diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. (2) Untuk Daerah Istimewa dapat diadakan seorang Wakil Kepala Daerah Istimewa, yang diangkat dan diberhentikan dengan memperhatikan syarat-syarat tersebut dalam ayat (1) pasal ini. (Pasal 6 ayat (1) dan (2) PenPres No 6/1959) 18. ^ Pada saat berlakunya UU ini, maka: Daerah tingkat I dan Daerah Istimewa Yogyakarta yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri berdasarkan UU No 1 tahun 1957 serta Daerah Istimewa Aceh berdasarkan Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia No. 1/Missi/1959 adalah Provinsi termaksud dalam pasal 2 ayat (1) sub a UU ini. (Pasal 88 ayat (1) sub a UU No 18/1965) 19. ^ Daerah-daerah swapraja yang de facto maupun de jure dinyatakan hapus. (Petikan Pasal 88 ayat (3) UU No 18/1965) 20. ^ Sifat istimewa suatu daerah berlaku terus hingga dihapuskan. Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta yang sekarang, pada saat berlakunya UU ini, adalah Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, yang tidak terikat pada jangka waktu masa jabatan dimaksud dalam pasal 17 ayat (1) dan pasal 21 ayat (5). (Petikan Pasal 88 ayat (2) sub a dan b UU No 18/1965) 21. ^ Daerah yang bersifat istimewa disebut Daerah Istimewa. Karena itu, maka sebutan Daerah Yogyakarta dan sebutan Daerah Istimewa Aceh berlaku terus hingga dihapuskan atau diganti dengan peraturan-peraturan perundangan yang sah. Pada saatnya diharap bahwa status atau sifat istimewa bagi Yogyakarta dan Aceh akan hapus. (Petikan Penjelasan pasal 1 dan 2 UU No 18/1965) 22. ^ Pada saat berlakunya UU ini: Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta yang sekarang adalah Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah menurut UU ini dengan sebutan Kepala Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta dan Wakil Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta, yang tidak terikat pada ketentuan masa jabatan, syarat, dan cara pengangkatan bagi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah lainnya. (Pasal 91 sub b UU No 5/1974) 23. ^ a b c Ariobimo Nusantara (ed), 1999 24. ^ Pengakuan keistimewaan Provinsi Istimewa Yogyakarta didasarkan pada asal-usul dan peranannya dalam sejarah perjuangan nasional, sedangkan isi keistimewaanya adalah pengangkatan Gubernur dengan mempertimbangkan calon dari keturunan Sultan Yogyakarta dan Wakil Gubernur dengan mempertimbangkan calon dari keturunan Paku Alam yang memenuhi syarat sesuai UU ini. (Petikan Penjelasan Pasal 122 UU No 22/1999) 25. ^ Keistimewaan untuk Prov insi Daerah Istimewa Aceh dan Provinsi Daerah
26.
27. 28.
29.
30.
31.
32.
33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43. 44.
45. 46. 47. 48. 49. 50. 51. 52. 53. 54. 55. 56.
Istimewa Yogyakarta, sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 5 Tahun 1974, adalah tetap dengan ketentuan bahwa penyelenggaraan pemerintahan Prov insi Istimewa Aceh dan Provinsi Istimewa Yogyakarta didasarkan atas UU ini. (Pasal 122 UU No 22/1999) ^ Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-undang. (Pasal 18B ayat (1) UUD 1945[kedua/setelah perubahan 1-4]) ^ a b c HB X dalam Kedaulatan Rakyat 23 Mei 2007 ^ Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-undang. (Pasal 2 ayat (8) UU No 32/2004) ^ Yang dimaksud satuan-satuan pemerintahan yang bersifat khusus adalah daerah yang diberi otonomi khusus, sedangkan daerah istimewa adalah Daerah Istimewa Aceh dan Daerah Istimewa Yogyakarta. (Penjelasan Pasal 2 ayat (8) UU No 32/2004) ^ (1) Ketentuan dalam UU ini berlaku bagi Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Prov insi Papua, dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarata sepanjang tidak diataur secara khusus dalam UU tersendiri. (2) Keistimewaan untuk Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 22 Tahun 1999, adalah tetap dengan ketentuan bahwa penyelenggaraan pemerintahan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta didasarkan pada UU ini. (Pasal 226 ayat (1) dan (2) UU No 32/2004) ^ Yang dimaksud dengan UU tersendiri adalah UU Nomor 34 tentang Daerah Khusus Ibukota Jakarta, UU Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, jo UU Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. (Penjelasan pasal 226 ayat (1) UU No 32/2004) ^ Pernyataan bersejarah Sultan: "Selanjutnya setelah saya pertimbangkan secara mendalam dengan laku spiritual memohon petunjuk-Nya, maka saya harus mengambil ketegasan Sikap Spiritual Kultural yang saya tuangkan dalam sebuah Pernyataan Sejarah, sebagai berikut: 1. Dengan tulus ikhlas saya menyatakan tidak bersedia lagi menjabat sebagai Gubernur/Kepala Daerah Prov insi DIY pada purna masa jabatan tahun 2003-2008 nanti. 2. Selanjutnya saya titipkan masyarakat DIY kepada Gubernur/Kepala Daerah Provinsi DIY yang akan datang." (Kompas Yogyakarta 9 April 2007) ^ HB X, 2007 ^ a b Kompas 09 April 2007 ^ Kompas Yogyakarta 09 April 2007A ^ a b Kompas Yogyakarta 09 April 2007C ^ Kedaulatan Rakyat 09 April 2007 ^ a b Kompas Yogyakarta 19 April 2007 ^ Kedaulatan Rakyat 19 April 2007 ^ Kompas Yogyakarta 20 April 2007 ^ Kompas Yogyakarta 10 April 2007 ^ Kedaulatan Rakyat 15 Juni 2007 ^ Kedaulatan Rakyat 03 Juli 2007 ^ Joyokusumo atau selengkapnya Gusti Bendoro Pangeran Hario Joyokusumo yang lebih sering disapa Gusti Joyo adalah salah seorang Rayi Dalem (Adik Raja). Ia adalah Penghageng Kawedanan Hageng Panitrapura Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat, Pejabat Tinggi di Lembaga Tinggi Keraton Yogyakarta (lihat pemisahan Istana dan Negara di atas). Selain itu beliau adalah anggota DPR RI (masa bakti 1999-2004 dan 2004-2009) mewakili DIY dan berasal dari Partai Golkar. ^ Kedaulatan Rakyat 31 Agustus 2007 dan Kedaulatan Rakyat 22 September 2007 ^ a b Kedaulatan Rakyat 18 Juni 2008 ^ Kedaulatan Rakyat 20 September 2007 ^ Kedaulatan Rakyat 26 Maret 2008 ^ Kedaulatan Rakyat 11 April 2008 ^ Kedaulatan Rakyat 24 April 2008 ^ Kedaulatan Rakyat 2 Juni 2008 ^ Kedaulatan Rakyat 7 Juni 2008 ^ Siaran tunda TVRI lokal Yogyakarta, Rabu 2 Juli 2008 ^ Situs Pemprov DIY "DPRD DIY: Tetapkan HB X dan PA IX Sebagai Gub. dan Wagub DIY 2008-2013; Sultan: Terserah Saja Itu Aspirasi" ^ Kedaulatan Rakyat 21 Agustus 2008 ^ Kedaulatan Rakyat 2 dan 4 September 2008
Lihat pula
Daftar provinsi di Indonesia sepanjang masa Sejarah pemerintahan daerah di Indonesia Diperoleh dari "http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Daerah_Istimewa_Yogyakarta" Kategori: Sejarah Yogyakarta Halaman ini terakhir diubah pada 05:27, 29 September 2010. Teks tersedia di bawah Lisensi Atribusi/Berbagi Serupa Creativ e Commons; ketentuan tambahan mungkin berlaku. Lihat Ketentuan Penggunaan untuk lebih jelasnya. Kebijakan priv asi Tentang Wikipedia Penyangkalan
8 of 8
03/12/2010 9:52