Anda di halaman 1dari 4

Sebuah cerita tentang sekolah para binatang di daerah terpencil di belahan bumi Andalas.

Raja Hutan mengumumkan tentang dibukanya sebuah sekolah yang mempunyai status "DISAMAKAN" dengan Manusia.. Maka para jawara sejati dari beberapa ksatria binatang terpilih untuk memasuki sekolah tersebut. Beberapa dari mereka Ada yang pandai berenang, menyelam dan mempunyai kemampuan Amfibi, yaitu si-lentur dan lincah yang bernama KODOK. Ada jago terbang, menukik, menyambar, dan bersalto di udara yaitu si perkasa ELANG. si jago lari dan si lincah KANCIL dan TUPAI si jago memanjat dan loncat di pepohonan. Suatu hari, guru-guru pilihan dari sekolah ini mengadakan ujian kompetensi untuk beberapa mata pelajaran yang dianggap paling penting dalam peta persaingan global, dan hasil ujian kompetensi ini akan sangat mudah bisa ditebak,yaitu :

Pelajaran berenang Pelajaran Terbang Pelajaran memanjat

: Kodok dapat nilai 100, yang lain tidak : Hanya Elang yang mendapat nilai 100, yang lain tidak : nilai 100 untuk Tupai, dan mengecewakan untuk peserta yang lain

Pelajaran lari kencang, sprint :, nilai 100 Untuk kancil yang lain tidak bagus

Melihat hasil ujian kompetensi ini, si guru yang pernah belajar di dunia manusia ingin membuat revolusi pendidikan di negeri para binatang, maka dari hasil lobby-lobby nya dengan para petinggi kerajaan binatang berhasillah si guru menelorkan kurikulum standar, supaya status "DISAMAKAN" tidak membuat malu para selebriti politik binatang Maka ditetapkanlah kurikulum standar NILAI KELULUSAN RATA RATA ADALAH angka 60 di setiap mata perlajaran. Mulailah guru binatang itu memaksa kodok latihan terbang setiap hari. Memaksa elang harus mendapatkan nilai 60 untuk pelajaran berenang dan menyelam. Mengajari tupai setiap hari untuk terbang dan berlari,dan memaksa kancil harus bisa menyelam untuk mendapatkan nilai standar kelulusan.

Hari ini, saya akan berbicara tentang standar nilai kelulusan.

Saya percaya bahwa nilai standar kelulusan selalu memunculkan masalah dalam dunia pendidikan kita

Saya mulai mengenali standar nilai kelulusan(SNK) ketika saya duduk di bangku SMP kelas IX. Waktu itu para siswa akan dihadapkan pada Ujian Akhir Nasional (UAN) dengan standar nilai kelulusan yang di berlakukan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) . Nilai kelulusan UAN adalah 3.5 dari rata-rata nilai yang diujiannasionalkan, yaitu matematika, B. Indonesia dan B. Inggris. Menurut saya dengan hadirnya UAN menjadikan saya lebih semangat dalam belajar agar dapat lulus ujian. Tetapi di sisi lain UAN menjadikan mentalitas saya turun. UAN malah menjadi beban dengan NSK 3.5 dalam kelulusan saya di sekolah . Saya Takut jika tidak lulus meskipun saya telah belajar sungguh-sungguh. Ketika itu saya hampir pesimis. Hal ini pun dialami oleh teman-teman saya. Mereka takut jika sampai tidak lulus. Akhirnya berkat usaha yang maksimal saya dapat lulus ujian dengan hasil yang memuaskan. Tetapi saya merasa sedih ketika ada teman saya yang tidak lulus, tidak disangka padahal dia termasuk anak yang pintar. Akhirnya saya berfikir Apakah dengan adanya SNK dalam UAN merupakan cara yang paling tepat dalam memperbaiki dunia pendidikan kita?

Pendidikan merupakan kebutuhan fundamental tidak hanya untuk individual namun juga untuk bangsa dan negara. Pendidikan sampai kapan pun masih relevan dan diperlukan untuk menuju kehidupan yang lebih manusiawi. Namun, sistem pendidikan di negeri ini masih kurang representatif untuk semua golongan. Hal itu dibuktikan dengan sistem UAN yang diberlakukan untuk murid Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas masih bersifat diskriminatif dan mementingkan aspek intelektual semata. Padahal kesuksesan siswa tidak hanya diukur dari nilai tinggi semata, namun juga memperhitungkan aspek mentalitas dan spiritualitas yang ada pada siswa tersebut. Mengamati batas standar nilai minimal UAN kelulusan siswa 5,5 tahun 2010, tentu mengesampingkan aspek lain dari sebuah keberhasilan dalam dunia pendidikan. Siswa dibebani dengan nilai minimal tentu mereka akan mengejarnya demi sebuah kelulusan. Bagi siswa yang mendapatkan salah satu mata pelajaran yang diujikan kurang dari nilai yang telah disepakati Departemen Pendidikan Nasional Dan Kebudayaan, maka harus rela duduk di kelas satu tahun

lagi. Sedangkan kemampuan siswa yang berada di daerah pedesan belum tentu sama dengan siswa yang tinggal di perkotaan mengingat kesenjangan fasilitas pendidikan masih tajam. Di sisi lain, kemampuan siswa terhadap semua mata pelajaran yang diujikan tidak sama dalam menguasainya. Misalnya seorang siswa untuk mata pelajaran sejarah mendapatkan nilai 9.0 sedangkan untuk mata pelajaran ekonomi hanya mendapatkan 5,4 maka siswa tersebut dinyatakan tak lulus. Fenomena tersebut sebenarnya tidak menyelesaikan masalah, malah memunculkan masalah baru. Tujuan menaikkan standar nilai kelulusan untuk mendorong siswa rajin belajar dan meningkatkan mutu pendidikan nasional namun usaha-usaha untuk meraih nilai yang distandarkan jauh dari tujuan pendidikan yang mengarah kejujuran. Ternyata semakin nilai standar minimal UAN dinaikkan maka semakin tinggi pula tingkat ketidakjujuran dalam UAN. Banyak guru yang mengorbankan nilai-nilai kejujuran hanya karena membantu siswa meraih nilai yang distandarkan. Tentu kita tidak hanya menuding tindakan seorang guru yang melakukan ketidakadilan namun hubungan emosional antara seorang guru dan siswa perlu dipertimbangkan mengingat jika di sekolah tempat mengajar banyak siswanya yang tidak lulus. maka sekolah akan mendapat nama yang tak baik di mata masyarakat, bahkan tidak akan dipercaya lagi kualitas pendidikannya. Di media televisi kita tak jarang mengekspos bentukbentuk kecurangan yang dilakukan oleh pelaku pendidikan. Dengan demikian, justru siswa kreatif dalam membuat kecurangan UAN dalam berbagai cara yang dilakukannya. Misalnya siswa dengan membuat catatan kecil, bekerja sama dengan teman lainnya atau memperoleh bocoran soal sebelum ujian diselenggarakan. Hal itu dilakukan untuk memperoleh sebuah kelulusan, padahal pertanggungjawaban setelah lulus lebih realistis, siswa akan dihadapkan dunia yang penuh dengan persaingan di luar yang lebih ketat. Jika siswa akan melanjutkan jenjang pendidikan yang lebih tinggi maka diperlukan kompetisi untuk meraihnya dan mampu bersaing dengan siswa-siswa dari sekolah lain, dan jika siswa memilih memasuki dunia pekerjaan, maka keahlian yang dimiliki harus bisa dipertanggungjawabkan secara realistis. Tujuan dari pendidikan seharusnya bisa membebaskan dari bentuk-bentuk keterasingan justru dengan adanya standar nilai kelulusan menghapuskan nilai-nilai yang lebih esensial bahkan semakin memenjarakan siswa dari keterbelengguan. Tujuan siswa sekolah hanya untuk sebuah kelulusan belaka dan rela melakukan tindakan-tindakan yang tidak rasional sekalipun.

Sebenarnya saya ingin menegaskan bahwa pemerintah perlu mempertimbangkan kembali UAN sebagai tolak ukur untuk menentukan kelulusan siswa dengan adanya standar nilai kelulusan karena kalau untuk menilai layak atau tidaknya siswa lulus, sepertinya masing-masing guru mata pelajaran yang mengajar di kelas, lebih tahu dan lebih mengerti tentang tingkat kompetensi keilmuan yang dimiliki oleh masing-masing siswanya. Bukankah sebelum dilaksanakannya UAN, masing-masing siswa telah diuji dengan berbagai model ujian, seperti ujian bulanan, ujian tengah semester, ujian akhir semester atau ujian akhir sekolah. Seharusnya hasil-hasil ujian seperti itu bisa dijadikan sebagai pertimbangan atau setidaknya dapat membantu kelulusan siswa. Jadi tidak hanya berpatokan pada penilaian hasil UAN semata.

Anda mungkin juga menyukai