Anda di halaman 1dari 8

HUKUM WANITA HAID BERDZIKIR DAN MEMBACA AL-QUR'AN Oleh Syaikh Mushthaha Al-Adawi http://www.almanhaj.or.

id/content/931/slash/0 HUKUM MEMBACA AL-QUR'AN BAGI ORANG JUNUB, WANITA HAID DAN NIFAS http://www.almanhaj.or.id/content/2419/slash/0 Oleh Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat "Artinya : Dari Ibnu Umar, dari Nabi Shallallahu `alaihi wa sallam beliau bersabda, "Janganlah perempuan yang haid dan orang yang junub membaca sedikit pun juga dari (ayat) Al-Qur'an." Dalam riwayat yang lain, "Janganlah orang yang junub dan perempuan yang haid membaca sedikit pun juga dari (ayat) Al-Qur'an" DLA'IF Dikeluarkan oleh Tirmidzi (no. 121). Ibnu Majah (no. 595 dan 596). AdDaruquthni (1/117) dan Baihaqiy (1/89), dari jalan Ismail bin Ayyaasy dari Musa bin Uqbah dari Naafi, dari Ibnu Umar (ia berkata seperti di atas) Berkata Imam Bukhari, "Ismail (bin Ayyaasy) munkarul hadits (apabila dia meriwayatkan hadits) dari penduduk Hijaz dan penduduk Iraq" [1] Saya berkata : Hadits di atas telah diriawayatkan oleh Ismail bin Ayyaasy dari Musa bin Uqbah seorang penduduk Iraq. Dengan demikian riwayat Ismail bin Ayyaasy dla'if. Imam Az-Zaila'i di kitabnya Nashbur Raayah (I/195) menukil keterangan Imam Ibnu Adiy di kitabnya Al-Kaamil bahwa Ahmad dan Bukhari dan lain-lain telah melemahkan hadits ini dan Abu Hatim menyatakan bahwa yang benar hadits ini mauquf kepada Ibnu Umar (yakni yang benar bukan sabda Nabi Shallallahu `alaihi wa sallam akan tetapi hanya perkataan Ibnu Umar). Berkata Al-Hafidzh Ibnu Hajar di kitabnya Talkhisul Habir (1/138) : Di dalam sanadnya ada Ismail bin Ayyaasy, sedangkan riwayatnya dari penduduk Hijaz dla'if dan di antaranya (hadits) ini. Berkata Ibnu Abi Hatim dari bapaknya (Abu Hatim), "Hadits Ismail bin Ayyaasy ini keliru, dan (yang benar) dia hanya perkataan Ibnu Umar". Dan telah berkata Abdullah bin Ahmad dari bapaknya (yaitu Imam Ahmad ia berkata), "(Hadits) ini batil, "Beliau mengingkari (riwayat) Ismail. Sekian dari AlHafidz Ibnu Hajar. Hadits yang lain dari jalan Ibnu Umar "Artinya : Dari jalan Abdul Malik bin Maslamah (ia berkata) Telah menceritakan kepadaku Mughirah bin Abdurrahman, dari Musa bin Uqbah dan Naafi, dari Ibnu Umar, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam, "Tidak boleh bagi orang junub membaca sedikitpun juga dari (ayat) Al-Qur'an"

DLA'IF. Diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni (1/117) Al-Hafidz Ibnu Hajar telah melemahkan riwayat di atas disebabkan Abdul Malik bin Maslamah seorang rawi yang dla'if (Talkhisul Habir 1/138) Hadits yang lain dari jalan Ibnu Umar. "Artinya : Dari seorang laki-laki, dari Abu Ma'syar, dari Musa bin Uqbah, dari Naafi, dari Ibnu Umar, dari Nabi Shallallahu `alaihi wa sallam beliau bersabda, "Perempuan yang haid dan orang yang junub, keduanya tidak boleh membaca sedikitpun juga dari (ayat) Al-Qur'an" DLA'IF. Diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni (1/117) Saya berkata : Riwayat ini dla'if karena : Pertama : Ada seorang rawi yang mubham (tidak disebut namanya yaitu dari seorang laki-laki). Kedua : Abu Ma'syar seorang rawi yang dla'if. Hadits yang lain dari jalan Jabir bin Abdullah. "Artinya : Dari jalan Muhammad bin Fadl, dari bapaknya, dari Thawus, dari Jabir, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam, "Tidak boleh bagi perempuan yang haid dan nifas (dalam riwayat yang lain : Orang yang junub) membaca (ayat) Al-Qur'an sedikitpun juga (dalam riwayat) yang lain : Sedikitpun juga dari (ayat) Al-Qur'an)" MAUDLU, Diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni (2/87) dan Abu Nua'im di kitabnya AlHilyah (4/22). Saya berkata : Sanad hadits ini maudhu (palsu) karena Muhammad bin Fadl bin Athiyah bin Umar telah dikatakan oleh para Imam ahli hadits sebagai pendusta sebagaimana keterangan Al-Hafidz Ibnu Hajar di Taqrib-nya (2/200). Dan di kitabnya Talkhisul Habir (1/138) beliau mengatakan bahwa orang ini matruk. Ketika hadits-hadits diatas dari semua jalannya dla'if bahkan hadits terakhir maudlu, maka tidak bisa dijadikan sebagai dalil larangan bagi perempuan haid dan nifas dan orang yang junub membaca Al-Qur'an. Bahkan telah datang sejumlah dalil yang membolehkannya. Pertama : Apabila tidak ada satu pun dalil yang sah (shahih dan hasan) yang melarang perempuan haid, nifas dan orang yang junub membaca ayat-ayat Al-Qur'an, maka hukumnya dikembalikan kepada hukum asal tentang perintah dan keutamaan membaca Al-Qur'an secara mutlak termasuk perempuan haid, nifas dan orang yang junub. Kedua : Hadits Aisyah ketika dia haid sewaktu menunaikan ibadah haji. "Artinya : Dari Aisyah, ia berkata : Kami keluar (menunaikan haji) bersama Nabi Shallallahu `alaihi wa sallam (dan) kami tidak menyebut kecuali haji. Maka ketika kami sampai di (satu tempat bernama) Sarif aku haid. Lalu Nabi Shallallahu `alaihi

wa sallam masuk menemuiku dan aku sedang menangis, lalu beliau bertanya, "Apa yang menyebabkanmu menangis?" Jawabku, "Aku ingin demi Allah kalau sekiranya aku tidak haji pada tahun ini?" Jawabku, "Ya" Beliau bersabda, "Sesungguhnya (haid) ini adalah sesuatu yang telah Allah tentukan untuk anak-anak perempuan Adam, oleh karena itu kerjakanlah apa-apa yang dikerjakan oleh orang yang sedang haji selain engkau tidak boleh thawaf di Ka'bah sampai engkau suci (dari haid)" Shahih riwayat Bukhari (no. 305) dan Muslim (4/30) Hadits yang mulia ini dijadikan dalil oleh para Ulama di antaranya amirul mu'minin fil hadits Al-Imam Al-Bukhari di kitab Shahih-nya bagian Kitabul Haid bab 7 dan Imam Ibnu Baththaal, Imam Ath-Thabari, Imam Ibnul Mundzir dan lain-lain bahwa perempuan haid, nifas dan orang yang junub boleh membaca Al-Qur'an dan tidak terlarang. Berdasarkan perintah Nabi Shallallahu `alaihi wa sallam kepada Aisyah untuk mengerjakan apa-apa yang dikerjakan oleh orang yang sedang menunaikan ibadah haji selain thawaf dan tentunya juga terlarang shalat. Sedangkan yang selainnya boleh termasuk membaca Al-Qur'an. Karena kalau membaca Al-Qur'an terlarang bagi perempuan haid tentu Nabi Shallallahu `alaihi wa sallam telah menjelaskannya kepada Aisyah. Sedangkan Aisyah saat itu sangat membutuhkan penjelasan dari Nabi Shallallahu `alaihi wa sallam apa yang boleh dan terlarang baginya. Menurut ushul "mengakhirkan keterangan dari waktu yang dibutuhkan tidak boleh. Ketiga : Hadits Aisyah. "Artinya : Dari Aisyah, ia berkata, "Nabi Shallallahu `alaihi wa sallam biasa berdzikir atas segala keadaannya" [Hadits shahih riwayat Muslim (1/194 dan lain-lain] Hadits yang mulia ini juga dijadikan hujjah oleh Al-Imam Al-Bukhari dan lain-lain imam tentang bolehnya orang yang junub dan perempuan haid atau nifas membaca Al-Qur'an. Karena Nabi Shallallahu `alaihi wa sallam berdzikir kepada Allah atas segala keadaannya dan yang termasuk berdzikir ialah membaca Al-Qur'an. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala. "Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Adz-Dzikra [2] (Al-Qur'an) ini, dan sesungguhnya Kami jugalah yang akan (tetap) menjaganya" [Al-Hijr : 9] "Dan Kami turunkan kepadamu Adz-Dzikra (Al-Qur'an) supaya engkau jelaskan kepada manusia apa yang diturunkan kepada mereka dan agar supaya mereka berfikir" [An-Nahl : 44] Keempat : Surat Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam kepada Heracleus yang di dalamnya berisi ayat Al-Qur'an sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dan lain-lain. Hadits yang mulia inipun dijadikan dalil tentang bolehnya orang yang junub membaca Al-Qur'an. Karena sudah barang tentu orang-orang kafir tidak selamat dari janabah, meskipun demikian Nabi Shallallahu `alaihi wa sallam menulis surat kepada mereka yang didalamnya terdapat firman Allah. Kelima : Ibnu Abbas mengatakan tidak mengapa bagi orang yang junub membaca AlQur'an (Shahih Bukhari Kitabul Haidh bab 7).

Jika engkau berkata : Bukankah telah datang hadits bahwa Nabi Shallallahu `alaihi wa sallam tidak membaca Al-Qur'an ketika janabah? Saya jawab : Hadits yang dimaksud tidak sah dari hadits Ali bin Abi Thalib dengan lafadz. "Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam keluar dari tempat buang air (wc), lalu beliau makan daging bersama kami, dan tidak ada yang menghalangi beliau sesuatupun juga dari (membaca) Al-Qur'an selain janabah: DLA'IF. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 229), Tirmidzi (no 164), Nasa'i (1/144), Ibnu Majah (no. 594), Ahmad (1/83, 84, 107 dan 124), Ath-Thayaalis di Musnad-nya (no. 94), Ibnu Khuzaimah di Shahih-nya (no. 208), Daruquthni (1/119), Hakim (1/152 dan 4/107) dan Baihaqiy (1/88-89) semuanya dari jalan Amr bin Murrah dari Abdullah bin Salimah dari Ali, marfu (Rasulullah shallallahu `alaihi wa salam berbeda seperti diatas) Hadits ini telah dishahihkan oleh Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Hakim, Adz-Dzahabi, Ibnu Sakan, Abdul Haq, Al-Baghawiy dan Syaikhul Imam Ahmad Muhammad Syakir di takhrij Tirmidzi dan takhrij musnad Ahmad. Dan hadits ini telah didlaifkan oleh jama'ah ahli hadits dan inilah yang benar- Insya Allah di antaranya oleh Syu'bah, Syafi'iy, Ahmad, Bukhari, Baihaqiy, Al-Mundziriy, An-Nawawi, Al-Khathaabiy dan Syaikhul Imam Al-Albani dan lain-lain. Berkata Asy-Syafi'iy, "Ahli hadits tidak mentsabitkan (menguatkan)nya". Yakni, ahli hadits tidak menguatkan riwayat Abdullah bin Salimah. Karena Amr bin Murrah yang meriwayatkan hadits ini Abdullah bin Salimah sesudah Abdullah bin Salimah tua dan berubah hafalannya. Demikian telah diterangkan oleh para Imam di atas. Oleh karena itu hadits ini kalau kita mengikuti kaidah-kaidah ilmu hadits, maka tidak ragu lagi tentang dla'ifnya dengan sebab di atas yaitu Abdullah bin Salimah ketika meriwayatkan hadits ini telah tua dan berubah hafalannya. Maka bagaimana mungkin hadits ini sah (shahih atau hasan)!. Selain itu hadits ini juga tidak bisa dijadikan dalil larangan bagi orang yang junub dan perempuan yang haid atau nifas membaca AlQur'an, karena semata-mata Nabi Shallallahu `alaihi wa sallam tidak membacanya dalam junub tidak berarti beliau melarangnya sampai datang larangan yang tegas dari beliau. Ini kalau kita takdirkan hadits di atas sah, apalagi hadits di atas dla'if tentunya lebih tidak mungkin lagi dijadikan sebagai hujjah atau dalil! Meskipun demikian menyebut nama Allah atau membaca Al-Qur'am dalam keadaan suci (berwudlu) lebih utama yakni hukumnya sunat berdasarkan hadits shahih di bawah ini. "Artinya : Dari Muhaajir bin Qunfudz, sesungguhnya dia pernah datang kepada Nabi Shallallahu `alaihi wa sallam dan beliau sedang buang air kecil (kencing), lalu ia memberi salam kepada beliau akan tetapi beliau tidak menjawab (salam)nya sampai beliau berwudlu. Kemudian beliau beralasan dan bersabda : "Sesungguhnya aku tidak suka menyebut nama Allah (berdzikir) kecuali dalam keadaan suci (berwudlu)" [Hadits shahih riwayat Abu Dawud dan lain-lain]

[Disalin dari buku Tiga Hukum Bagi Perempuan Haid Dan Junub (Menyentuh/Memegang Al-Qur; Membacanya Dan Tinggal Atau Diam Di Masjid, Penulis Abdul Hakim bin Amir Abdat, Penerbit Darul Qolam] _________ Footnotes [1]. Saya nukil dari Baihaqiy dengan ringkas yang menukil dari Bukhari [2]. Adz-Dzikra adalah salah satu nama dari nama-nama Al-Qur'an _________________________________ Hukum dan Masail Haid http://akhwat.web.id/muslimah-salafiyah/fiqh-ibadah/hukum-dan-masail-haid/ Kesepuluh : Bolehnya Wanita Haid Berdzikir Kepada Allah Dan Membaca Al Qur'an Al Imam Bukhari dalam Shahih-nya (nomor 971) meriwayatkan dengan sanadnya sampai kepada Ummu `Athiyah radhiallahu `anha, ia berkata : "Kami dulunya diperintah untuk keluar (ke lapangan shalat Ied, pent.) pada Hari Raya sampai-sampai kami mengeluarkan gadis dari pingitannya dan wanita-wanita haid. Mereka ini berada di belakang orang-orang (yang shalat), mereka bertakbir dan berdo'a dengan takbir dan doanya orang-orang yang hadir. Mereka mengharapkan berkah hari tersebut dan kesuciannya." (Diriwayatkan juga oleh Muslim nomor 10 : `Shalat Iedain') `Aisyah radhiallahu `anha berkata : "Aku datang ke Makkah dalam keadaan haid. Dan aku belum sempat Thawaf di Ka'bah dan Sa'i antara Shafa dan Marwah. Maka aku adukan hal itu kepada Rasulullah Shallallahu `Alaihi Wa Sallam, beliau bersabda : "Perbuatlah sebagaimana yang dilakukan seorang yang berhaji, hanya saja jangan engkau Thawaf di Ka'bah sampai engkau suci (dari haid)." (HR. Bukhari nomor 1650 dan Muslim nomor 120/ Kitab Al Hajj) Dua hadits di atas memberi faedah bahwa wanita haid disyariatkan untuk berdzikir kepada Allah Ta'ala, dan Al Qur'an termasuk dzikir sebagaimana Allah berfirman : "Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Adz Dzikir (Al Qur'an) dan Kami-lah yang akan menjaganya." (Al Hijr : 9) Apabila seorang yang berhaji dibolehkan membaca Al Qur'an maka demikian pula bagi wanita haid, karena yang dikecualikan dalam larangan Nabi Shallallahu `Alaihi Wa Sallam kepada `Aisyah yang sedang haid hanyalah Thawaf. Permasalahan membaca Al Qur'an bagi wanita haid ini memang ada perselisihan di kalangan ulama. Ada yang membolehkan dan ada yang tidak membolehkan. Abu Hanifah berpendapat bolehnya wanita haid membaca Al Qur'an dan ini merupakan pendapat yang masyhur dalam madzhab Syafi'i dan Ahmad, dan pendapat

ini yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah. Mereka mengatakan : "Asal dalam perkara ini adalah halal. Maka tidak boleh memindahkan kepada selainnya kecuali karena ada larangan yang shahih yang jelas." Adapun jumhur Ahli Ilmu berpendapat tidak boleh bagi wanita haid untuk membaca Al Qur'an, akan tetapi boleh baginya untuk berdzikir kepada Allah. Mereka ini mengkiaskan (atau menyamakan) haid dengan junub, padahal sebenarnya tidak ada pula dalil yang melarang orang junub untuk membaca Al Qur'an. Yang kuat dalam hal ini adalah pendapat yang pertama, dan ini bisa dilihat dalam Majmu' Fatawa 21/460 dan Syarhuz Zad 1/291. (Nukilan dari Syarh Umdatul Ahkam karya Abu Ubaidah Az Zaawii, murid senior Asy Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadhi'i) Asy Syaikh Mushthafa Al Adhawi dalam kitabnya Jami' Ahkamin Nisa' (1/183-187) membawakan bantahan bagi yang berpendapat tidak bolehnya wanita haid membaca Al Qur'an dan di akhir tulisannya beliau berkata : "Maka kesimpulan permasalahan ini adalah boleh bagi wanita haid untuk berdzikir kepada Allah dan membaca Al Qur'an karena tidak ada dalil yang shahih yang jelas dari Rasulullah Shallallahu `Alaihi Wa Sallam yang melarang dari hal tersebut bahkan telah datang dalil yang memberi faedah bolehnya (wanita haid) membaca Al Qur'an dan berdzikir sebagaimana telah lewat penyebutannya, Wallahu A'lam." Kesebelas : Hukum Menyentuh Mushaf Bagi Wanita Haid Al Hafidh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (1/502) menyatakan bolehnya wanita haid membawa Al Qur'an dan ini sesuai dengan madzhab Abu Hanifah. Berbeda dengan pendapat jumhur yang melarang hal tersebut dan mereka menyatakan bahwa membawa Al Qur'an dalam keadaan haid mengurangi pengagungan terhadap Al Qur'an. Berkata Asy Syaikh Mushthafa Al Adawi : "Mayoritas Ahli Ilmu berpendapat wanita haid tidak boleh menyentuh mushaf Al Qur'an. Namun dalil-dalil yang mereka bawakan untuk menetapkan hal tersebut tidaklah sempurna untuk dijadikan sisi pendalilan. Dan yang kami pandang benar, Wallahu A'lam, bahwasannya boleh bagi wanita haid untuk menyentuh mushaf Al Qur'an. Berikut ini kami bawakan dalil-dalil yang digunakan oleh mereka yang melarang wanita haid menyentuh Al Qur'an. Kemudian kami ikutkan jawaban atas dalil-dalil tersebut (untuk menunjukkan bahwasanya wanita haid tidaklah terlarang untuk menyentuh mushaf, pent.) : 1) Firman Allah Ta'ala : "Tidaklah menyentuhnya kecuali mereka yang disucikan." (Al Waqi'ah : 79) 2) Sabda Nabi Shallallahu `Alaihi Wa Sallam : "Tidaklah menyentuh Al Qur'an itu kecuali orang yang suci." (HR. Ath Thabrani. Lihat Shahihul Jami' 7880. Al Misykat 465) Jawaban atas dalil di atas :

Pertama : Mayoritas Ahli Tafsir berpendapat bahwa yang diinginkan dengan dlamir (kata ganti) dalam firman Allah Ta'ala : ((Laa Yamassuhu)) adalah `Kitab Yang Tersimpan Di Langit'. Sedangkan ((Al Muthahharun)) adalah `Para Malaikat'. Ini dipahami dari konteks beberapa ayat yang mulia : "Sesungguhnya dia adalah Qur'an (bacaan) yang mulia dalam kitab yang tersimpan, tidaklah menyentuhnya kecuali Al Muthahharun (mereka yang disucikan)." (Al Waqi'ah : 77-79) Dan yang menguatkan hal ini adalah firman Allah Ta'ala : "Dalam lembaran-lembaran yang dimuliakan, yang ditinggikan lagi disucikan, di tangan para utusan yang mulia lagi berbakti (yakni para malaikat, pent.)." (Abasa : 13-16) Inilah pendapat mayoritas Ahli Tafsir tentang tafsir ayat ini. Pendapat Kedua : Tentang tafsir ayat ini bahwasannya yang dimaukan dengan Al Muthahharun adalah kaum Mukminin, berdalil dengan firman Allah : "Hanyalah orang-orang musyrik itu najis." (At Taubah : 28) Dan dengan sabda Nabi Shallallahu `Alaihi Wa Sallam : "Sesungguhnya orang Muslim itu tidak najis." (HR. Bukhari nomor 283 dan Muslim nomor 116) Dan Nabi Shallallahu `Alaihi Wa Sallam melarang bepergian dengan membawa mushaf ke negeri musuh, karena khawatir jatuh ke tangan mereka. (HR. Muslim dari Ibnu Umar radhiallahu `anhuma) Pendapat Ketiga : Bahwasannya yang dimaukan dengan firman Allah (yang artinya) : "Tidaklah menyentuhnya kecuali mereka yang disucikan." (Al Waqi'ah : 79) adalah tidak ada yang dapat merasakan kelezatannya dan tidak ada yang dapat mengambil manfaat dengannya kecuali orang-orang Mukmin. Namun adapula Ahli Tafsir (walaupun sedikit) yang berpendapat dengan pendapat keempat, bahwa : "Yang dimaksudkan dengan Al Muthahharun adalah mereka yang disucikan dari dosa-dosa dan kesalahan. Dan yang kelima : Al Muthahharun adalah mereka yang suci dari hadats besar dan kecil. Sisi keenam : Al Muthahharun adalah mereka yang suci dari hadats besar (janabah). Mereka yang membolehkan wanita haid menyentuh mushaf memilih sisi yang pertama, dengan begitu tidak ada dalil dalam ayat tersebut yang menunjukkan larangan bagi wanita haid untuk menyentuh Al Qur'an. Sedangkan mereka yang melarang wanita haid menyentuh Al Qur'an memilih sisi kelima dan keenam. Dan

telah lewat penjelasan bahwa mayoritas ahli tafsir menafsirkan Al Muthahharun dengan malaikat. Dalil Kedua : Tidak aku dapatkan isnad yang shahih, tidak pula yang hasan, bahkan yang mendekati shahih atau hasan untuk hadits yang dijadikan dalil oleh mereka yang melarang wanita haid menyentuh Al Qur'an. Setiap sanad hadits ini yang aku dapatkan, semuanya tidak lepas dari pembicaraan. Lantas apakah hadits ini bisa terangkat kepada derajat shahih atau hasan dengan dikumpulkannya semua sanadnya atau tidak? Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat, Asy Syaikh Albani rahimahullah menshahihkannya dalam Al Irwa' (91/158). Bila hadits ini dianggap shahih sekalipun, maka pengertiannya sebagaimana pengertian ayat yang mulia di atas. (Jami' Ahkamin Nisa' 1/187-188) Asy Syaikh Al Albani rahimahullah sendiri ketika menjabarkan hadits di atas beliau menyatakan bahwa yang dimaksud dengan `thahir' adalah orang Mukmin baik dalam keadaan berhadats besar atau hadats kecil ataupun dalam keadaan haid. Wallahu A'lam.

Anda mungkin juga menyukai