Anda di halaman 1dari 19

PERKEMBANGAN ISLAM ASIA TENGGARA

Pendahuluan George Coedes dianggap sebagai le doyen dari studi sejarah kuno Asia Tenggara. Arkeolog Prancis inilah yang menemukan kembali (1913) kemaharajaan Sriwijaya, setelah sekian abad terlupakan dalam sejarah. Coedes juga salah seorang pendekar utama dalam menemukan berbagai aspek dari sejarah purbakala di daratan (mainland) Asia Tenggara. Harry Benda yang semasa hidupnya adalah Guru Besar Sejarah Asia Tenggara di Yale University, mencoba menemukan struktur sejara Asia Tenggara, dengan mencara landasan yang paling awal dari dinamika sejarah. Benda pun tampil dengan gagasan untuk membagi Asia Tenggara atas tiga wilayah kultural, yang sekaligus bisa dilihat pula sebagai landasan kultural dari dinamika sejarah, ia berkesimpulan bahwa sebagian besar dari kawasan ini boleh disebut sebagai Indianized Sotheast Asia, Asia Tenggara yang telah di-India-kan seperti Indonesia. Daerah kedua ialah Sinicized Sootheast Asia, yang telah di-Cina-kan, yang dimaksud ialah Vetnam atau orang-orang Vetnam. Dan yang ketiga, Hispanized Southeast Asia, yang di-Spanyol-kan yaitu Filipina. Sejak beberapa tahun terakhir, sejumlah pengamat dunia Islam atau islamicist di luar negeri memberikan analisis dan komnetar yang positif tentang perkembangan Islam di Asia Tenggara, Khususnya Indonesia dan Malaysia. Karakter terpenting Islam di Asia Tenggara misalnya, watak yang lebih damai, ramah, dan toleran. Watak Islam seperti ini diakui banyak pengamat atau orentalis di masa lalu. Di antaranya, Thomas W. Arnold, dengan buku klasiknya, The Preaching of Islam (1950) yang menyimpulkan bahwa penyebaran dan perkembangan history Islam di Asia Tenggara berlansung secara damai; dalam istilah Arnold disebut sebagai penetration pacifigure. Penyebaran Islam secara damai di Asia Tenggara berbeda dengan ekspansi Islam di banyak wilayah Timu Tengah, Asia Selatan, dan Afrika yang oleh sumber-sumber Islam di Timur Tengah disebut fath, yakni pembebasan, yang sering melibatkan kekuatan militer. Meskipun futuh di kawasan-kawasan yang disebutkan terakhir ini tidak selamanya berupa pemaksaan penduduk setempat untuk memeluk Islam, akhirnya wilayah-wilayah ini mengalami Arabisasi yang lebih intens. Sebaliknya, penyebaran Islam di Asia Tenggara tidak pernah disebut sebagai futuh yang disertai kehadiran kekuatan militer Muslim dari luar. Hasilnya, Asia Tenggara sering disebut sebagai wilayah Muslim yang the last Aribicized paling kurang mengalami Arabisasi. ISLAMISASI ASIA TENGGARA Sejarah Islam di Asia Tenggara, khususnya pada masa awal, luar biasa galau dan rumitnya. Kegalauan dan kerumitan ini bukan hanya disebabkan oleh kompleksitas di sekitar sosok Islam itu sendiri sebagaimana direfleksikan oleh kaum Muslimin di kawasan ini, baik melalui histiografi maupun dlam praktek kehidupan sehari-hari, melainkan juga karena pengkajian-pengkajian sejarah Islam dengan berbagai aspeknya si AsiaTenggara. Penetrasi Islam di Asia Tenggara secara kasar dapat ke dalam tiga tahap. Tahap pertama dimulai dengan kedatangan Islam yang kemudian di ikuti dengan kemerosotan, akhirnya keruntuhan kerajaan Majapahit pada kurun abad ke-14 dan ke15. tahap kedua sejak datang dan mapannya kekuasaan kolonialis Belanda di

Indonesia, Inggris di semananjung Malaya dan Spanyol di Filipina sampai awal abad ke-19.sedangkan tahap ketiga bermula pada awal abad ke-20 dengan terjadinya liberalisasi kebijaksanaan pemerintah kolonial, terutama Belanda di Indonesia. Dalam tahap-tahap ini proses islamisasi Asia Tenggara sampai mencapai tingkat seperti sekarang. Dalam tahap pertama penetrasi Islam masih relatif terbatas di kota-kota pelabuhan. Tetapi dalam waktu yang tidak terlalu lama, islm mulai menempuh jalannya memasuki wilayah-wilayah pesisir lainnya dan pedesaan. Islam dalam tahap ini sangat diwarnai aspek tasawuf atau mistik ajaran Islam, meski tidak berarti aspek hukum terabaikan sama sekali. Hal ini karena islam tasawuf yang datang ke Nusantara, dengan segala pemahaman dan penafsiran mistisnya terhadap Islam, dalam beberapa segi tertentu cocok dengan latar belakang masyarakat setempat yang dipengaruhi aksetisme hindu-Budha dan sinkretisme kepercayaan lokal. Pada tahap pertama ini, islam tidak lansung secara merata diterima oleh lapisan terbawah masyarakat. Pada abad ke-18 lembaga-lembaga Islam yang vital seperti meunasah di Aceh, surau di Minangkabau dan Semenanjung Malaya, pesantren di Jawa dan lembaga-lembaga semacamnya mulai mapan, meskipun kebanyakan masih tetap merupakankubu-kubu terkuat tasawuf. Dan lembaga-lembaga Islam semacam ini telah tumbuh menjadi institusi aupra-desa, yang mengatasi kepemimpinan kesukuan, sistem adat tertentu, kedaerahan dan lainnya. Secara alamiah mereka tumbuh menjadi lembaga-lembaga islam yang Universal, yang menerima guru dan murid tanpa memandang latar belakang suku, daerah dan semacamnya, sehingga mereka mampu membentuk jaringan kepemimpinan intelektual dan praxis keagamaan dalam berbagai tingkatan. Proses islamisasi dan intensifikasi kesadaran keislaman yang tidak dapat dimundurkan itu semakin menemukan momentumnya, berbagai ahli telah mencoba menjelaskan mengapa Islam mampu hadir sebagai agama yang dianut mayoritas penduduk Nusantara dengan mengemukakan berbagai teori. Sebagian ahli menyatakan bahwa para pedagang Muslim yang datang ke Asia Tenggara memperkanalkan Islam guna mendapatkan keunggulan ekonomi dan politik di kalangan masyarakat pribumi. Sejajar dengan teori di atas ialah adanya anggapan bahwa kehadiran kolonial justru yang meransang terjadinya proses islamisasi dan intensifikasi di kawasan ini. Identifikasi kolonial sebagai penjajah kafir membuka jalan lebih hebat bagi Islam untuk secara tegar tampil sebagai satu-satunya wadah yang mampu memberikan identitas diri dan menjadi faktor integratif masyarakat pribumi yang terbelah oleh berbagai faktor sosial dan kultur itu dalam menghadapi pembatasan yang dilakukan kolonial. Tindakan kekerasan atau berbagai pembatasan yang dilakukan oleh kolonialis, diluar harapan mereka, justru mempercapat proses kristalisasi kehadiran Islam sebagai simbol perlawanan, atau seperti kata Legge, sebagai mekanisme pertahanan diri (defence mechanisme) penduduk lokal dalam menghadapi penindasan para penjajah. PERADABAN ISLAM DI ASIA TENGGARA Perbincangan tentang kompatibilitas atau sebaliknya inkompatibilitas kebudayaan atau lebih luas, peradaban Islam dengan tantangan dunia modern-indutrial telah banyak dibicarakan orang. Kaum modernis Muslim, dengan berbagai bentuk ramifikasinya beragumen dengan cukup kuat bahwa terdapat kompatibilitas yang tingi antara Islam dan Islamicate meminjam istilah Hodgson dengan dunia modernindustrial. Posisi peradaban Islam vis-a-vis dunia saintifik-teknologikal dan industrial dewasa ini

memang cukup problematik. Mengikuti argumen Gellner, dari empat peradaban tulis dunia, kelihatannya hanya Islam yang dapat mempetahankan keimanan praindustrialnya. Keimanan Kristen telah ditafsir ulang bahkan diobrak-abrik unuk disesuaikan dengan perkembangan saintifik-teknologikal dan industrial. Kemunculan dan perkembangan Islam di Dunia indo-Melayu menimbukan transformasi kebudayaan-peradaban lokal. Menurut grunnebaum transformasi kebudayaan-peradaban Indo-Melayu itu dalam banyak hala hampir sama dengan konversi masyarakat Arab ke dalam Islam. Mengunakan istilah religious revolution Reid menggambarkan terjadinya transformasi kebudayaan-peradaban di wilayah indoMelayu dari sistem keagamaan lokal kepada sistem keagamaan Islam, lengkap dengan berbagai bentuk pengejawantahan kebudayaan-peradabannya. Konversi massal masyarakat Indo-Melayu kepada Islam terjadi berbarengan dengan apa yang disebut oleh Reid sebagai masa perdgangan (the age of commerce), masa ketika Asia Tenggara mengalami trade boom karena meningkatnya posisi Nusantara dalam perdagangan Timur-Barat. Kota-kota di wilayah pesisir muncul dan berkembang menjadi pusat-pusat perdagangan, kekayaan, dan kekuasaan. Kebudayaan-peradaban Islam di dunia indo-Melayu, dibangun berdasarkan beberapa perkembangan historis penting, yang mencakup karakteristik, seperti kosmopolitanisme, apreasiasi terhadap kekayaan, kekuasaan, literasi, dan inklusivisme neosufisme. Semua karakteristik ini lebih banyak kaitannya dengan high Islam dari pada low Islam. Jika karakteristik ini dikembangkan kembali dunia IndoMelayu dapat membangun peradaban saintifik teknologikal dan industrial serta survive di tengah pertarungan global yang kina keras dn kompetitif di masa sekarang dan mendatang.

PERKEMBANGAN ISLAM DI INDONESIA


A. Awal Masuknya Islam di Indonesia

Ketika Islam datang di Indonesia, berbagai agama dan kepercayaan seperti animisme, dinamisme, Hindu dan Budha, sudah banyak dianut oleh bangsa Indonesia bahkan dibeberapa wilayah kepulauan Indonesia telah berdiri kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu dan Budha. Misalnya kerajaan Kutai di Kalimantan Timur, kerajaan Taruma Negara di Jawa Barat, kerajaan Sriwijaya di Sumatra dan sebagainya. Namun Islam datang ke wilayahwilayah tersebut dapat diterima dengan baik, karena Islam datang dengan membawa prinsip-prinsip perdamaian, persamaan antara manusia (tidak ada kasta), menghilangkan perbudakan dan yang paling penting juga adalah masuk kedalam Islam sangat mudah hanya dengan membaca dua kalimah syahadat dan tidak ada paksaan. Tentang kapan Islam datang masuk ke Indonesia, menurut kesimpulan seminar masuknya Islam di Indonesia pada tanggal 17 s.d 20 Maret 1963 di Medan, Islam masuk ke Indonesia pada abad pertama hijriyah atau pada abad ke tujuh masehi. Menurut sumber lain menyebutkan bahwa Islam sudah mulai ekspedisinya ke Nusantara pada masa Khulafaur Rasyidin (masa pemerintahan Abu Bakar Shiddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib), disebarkan langsung dari Madinah. B. Cara Masuknya Islam di Indonesia Islam masuk ke Indonesia, bukan dengan peperangan ataupun penjajahan. Islam berkembang dan tersebar di Indonesia justru dengan cara damai dan persuasif berkat kegigihan para ulama. Karena memang para ulama berpegang teguh pada prinsip Q.S. al-Baqarah ayat 256 : Artinya : Tidak ada paksaan dalam agama (Q.S. al-Baqarah ayat 256)

Adapun cara masuknya Islam di Indonesia melalui beberapa cara antara lain ; 1. Perdagangan Jalur ini dimungkinkan karena orang-orang melayu telah lama menjalin kontak dagang dengan orang Arab. Apalagi setelah berdirinya kerajaan Islam seperti kerajaan Islam Malaka dan kerajaan Samudra Pasai di Aceh, maka makin ramailah para ulama dan pedagang Arab datang ke Nusantara (Indonesia). Disamping mencari keuntungan duniawi juga mereka mencari keuntungan rohani yaitu dengan menyiarkan Islam. Artinya mereka berdagang sambil menyiarkan agama Islam. 2. Kultural Artinya penyebaran Islam di Indonesia juga menggunakan media-media kebudayaan, sebagaimana yang dilakukan oleh para wali sanga di pulau jawa. Misalnya Sunan Kali Jaga dengan pengembangan kesenian wayang. Ia mengembangkan wayang kulit, mengisi wayang yang bertema Hindu dengan ajaran Islam. Sunan Muria dengan pengembangan gamelannya. Kedua kesenian tersebut masih digunakan dan digemari masyarakat Indonesia khususnya jawa sampai sekarang. Sedang Sunan Giri menciptakan banyak sekali mainan anak-anak, seperti jalungan, jamuran, ilir-ilir dan cublak suweng dan lain-lain. 3. Pendidikan Pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan yang paling strategis dalam pengembangan Islam di Indonesia. Para dai dan muballig yang menyebarkan Islam diseluruh pelosok Nusantara adalah keluaran pesantren tersebut. Datuk Ribandang yang mengislamkan kerajaan Gowa-Tallo dan Kalimantan Timur adalah keluaran pesantren Sunan Giri. Santri-santri Sunan Giri menyebar ke pulau-pulau seperti Bawean, Kangean, Madura, Haruku, Ternate, hingga ke Nusa Tenggara. Dan sampai sekarang pesantren terbukti sangat strategis dalam memerankan kendali penyebaran Islam di seluruh Indonesia. 4. Kekuasaan politik Artinya penyebaran Islam di Nusantara, tidak terlepas dari dukungan yang kuat dari para Sultan. Di pulau Jawa, misalnya keSultanan Demak, merupakan pusat dakwah dan menjadi pelindung perkembangan Islam. Begitu juga rajaraja lainnya di seluruh Nusantara. Raja Gowa-Tallo di Sulawesi selatan melakukan hal yang sama sebagaimana yang dilakukan oleh Demak di Jawa. Dan para Sultan di seluruh Nusantara melakukan komunikasi, bahu membahu dan tolong menolong dalam melindungi dakwah Islam di Nusantara. Keadaan ini menjadi cikal bakal tumbuhnya negara nasional Indonesia dimasa mendatang. C. Perkembangan Islam di Beberapa Wilayah Nusantara

1. Di Sumatra Kesimpulan hasil seminar di Medan tersebut di atas, dijelaskan bahwa wilayah Nusantara yang mula-mula dimasuki Islam adalah pantai barat pulau Sumatra dan daerah Pasai yang terletak di Aceh utara yang kemudian di masing-masing kedua daerah tersebut berdiri kerajaan Islam yang pertama yaitu kerajaan Islam Perlak dan Samudra Pasai. Menurut keterangan Prof. Ali Hasmy dalam makalah pada seminar Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Aceh yang digelar tahun 1978 disebutkan bahwa kerajaan Islam yang pertama adalah kerajaan Perlak. Namun ahli sejarah lain telah sepakat, Samudra Pasailah kerajaan Islam yang pertama di Nusantara dengan rajanya yang pertama adalah Sultan Malik AlSaleh (memerintah dari tahun 1261 s.d 1297 M). Sultan Malik Al-Saleh sendiri semula bernama Marah Silu. Setelah mengawini putri raja Perlak kemudian masuk Islam berkat pertemuannya dengan utusan Syarif Mekkah yang kemudian memberi gelar Sultan Malik Al-Saleh. Kerajaan Pasai sempat diserang oleh Majapahit di bawah panglima Gajah Mada, tetapi bisa dihalau. Ini menunjukkan bahwa kekuatan Pasai cukup tangguh dikala itu. Baru pada tahun 1521 di taklukkan oleh Portugis dan mendudukinya selama tiga tahun. Pada tahun 1524 M Pasai dianeksasi oleh raja Aceh, Ali Mughayat Syah. Selanjutnya kerajaan Samudra Pasai berada di bawah pengaruh keSultanan Aceh yang berpusat di Bandar Aceh Darussalam (sekarang dikenal dengan kabupaten Aceh Besar). Munculnya kerajaan baru di Aceh yang berpusat di Bandar Aceh Darussalam, hampir bersamaan dengan jatuhnya kerajaan Malaka karena pendudukan Portugis. Dibawah pimpinan Sultan Ali Mughayat Syah atau Sultan Ibrahim kerajaan Aceh terus mengalami kemajuan besar. Saudagar-saudagar muslim yang semula berdagang dengan Malaka memindahkan kegiatannya ke Aceh. Kerajaan ini mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Iskandar Muda Mahkota Alam ( 1607 - 1636). Kerajaan Aceh ini mempunyai peran penting dalam penyebaran Agama Islam ke seluruh wilayah Nusantara. Para dai, baik lokal maupun yang berasal dari Timur Tengah terus berusaha menyampaikan ajaran Islam ke seluruh wilayah Nusantara. Hubungan yang telah terjalin antara kerajaan Aceh dengan Timur Tengah terus semakin berkembang. Tidak saja para ulama dan pedagang Arab yang datang ke Indonesia, tapi orang-orang Indonesia sendiri banyak pula yang hendak mendalami Islam datang langsung ke sumbernya di Mekah atau

Madinah. Kapal-kapal dan ekspedisi dari Aceh terus berlayar menuju Timur Tengah pada awal abad ke 16. Bahkan pada tahun 974 H. atau 1566 M dilaporkan ada 5 kapal dari kerajaan Asyi (Aceh) yang berlabuh di bandar pelabuhan Jeddah. Ukhuwah yang erat antara Aceh dan Timur Tengah itu pula yang membuat Aceh mendapat sebutan Serambi Mekah. 2. Di Jawa Benih-benih kedatangan Islam ke tanah Jawa sebenarnya sudah dimulai pada abad pertama Hijriyah atau abad ke 7 M. Hal ini dituturkan oleh Prof. Dr. Buya Hamka dalam bukunya Sejarah Umat Islam, bahwa pada tahun 674 M sampai tahun 675 M. sahabat Nabi, Muawiyah bin Abi Sufyan pernah singgah di tanah Jawa (Kerajaan Kalingga) menyamar sebagai pedagang. Bisa jadi Muawiyah saat itu baru penjajagan saja, tapi proses dakwah selanjutnya dilakukan oleh para dai yang berasal dari Malaka atau kerajaan Pasai sendiri. Sebab saat itu lalu lintas atau jalur hubungan antara Malaka dan Pasai disatu pihak dengan Jawa dipihak lain sudah begitu pesat. Adapun gerakan dakwah Islam di Pulau Jawa selanjutnya dilakukan oleh para Wali Sanga, yaitu : a. Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik Beliau dikenal juga dengan sebutan Syeikh Magribi. Ia dianggap pelopor penyebaran Islam di Jawa. Beliau juga ahli pertanian, ahli tata negara dan sebagai perintis lembaga pendidikan pesantren. Wafat tahun 1419 M.(882 H) dimakamkan di Gapura Wetan Gresik b. Raden Ali Rahmatullah (Sunan Ampel) Dilahirkan di Aceh tahun 1401 M. Ayahnya orang Arab dan ibunya orang Cempa, ia sebagai mufti dalam mengajarkan Islam tak kenal kompromi dengan budaya lokal. Wejangan terkenalnya Mo Limo yang artinya menolak mencuri, mabuk, main wanita, judi dan madat, yang marak dimasa Majapahit. Beliau wafat di desa Ampel tahun 1481 M. Jasa-jasa Sunan Ampel : 1) Mendirikan pesantren di Ampel Denta, dekat Surabaya. Dari pesantren ini lahir para mubalig kenamaan seperti : Raden Paku (Sunan Giri), Raden Fatah (Sultan Demak pertama), Raden Makhdum (Sunan Bonang), Syarifuddin (Sunan Drajat) dan Maulana Ishak yang pernah diutus untuk menyiarkan Islam ke daerah Blambangan. 2) Berperan aktif dalam membangun Masjid Agung Demak yang dibangun pada tahun 1479 M. 3) Mempelopori berdirinya kerajaan Islam Demak dan ikut menobatkan Raden Patah sebagai Sultan pertama. c. Sunan Giri (Raden Aenul Yaqin atau Raden Paku) Ia putra Syeikh Yakub bin Maulana Ishak. Ia sebagai ahli fiqih dan menguasai ilmu Falak. Dimasa menjelang keruntuhan Majapahit, ia dipercaya sebagai raja peralihan sebelum Raden Patah naik menjadi Sultan Demak. Ketika Sunan Ampel wafat, ia menggantikannya sebagai mufti tanah Jawa. d. Sunan Bonang (Makhdum Ibrahim) Putra Sunan Ampel lahir tahun 1465. Sempat menimba ilmu ke Pasai bersama-sama Raden Paku. Beliaulah yang mendidik Raden Patah. Beliau

wafat tahun 1515 M. e. Sunan Kalijaga (Raden Syahid) Ia tercatat paling banyak menghasilkan karya seni berfalsafah Islam. Ia membuat wayang kulit dan cerita wayang Hindu yang diislamkan. Sunan Giri sempat menentangnya, karena wayang Beber kala itu menggambarkan gambar manusia utuh yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Kalijaga mengkreasi wayang kulit yang bentuknya jauh dari manusia utuh. Ini adalah sebuah usaha ijtihad di bidang fiqih yang dilakukannya dalam rangka dakwah Islam. f. Sunan Drajat Nama aslinya adalah Syarifudin (putra Sunan Ampel, adik Sunan Bonang). Dakwah beliau terutama dalam bidang sosial. Beliau juga mengkader para dai yang berdatangan dari berbagai daerah, antara lain dari Ternate dan Hitu Ambon. g. Syarif Hidayatullah Nama lainnya adalah Sunan Gunung Jati yang kerap kali dirancukan dengan Fatahillah, yang menantunya sendiri. Ia memiliki keSultanan sendiri di Cirebon yang wilayahnya sampai ke Banten. Ia juga salah satu pembuat sokoguru masjid Demak selain Sunan Ampel, Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang. Keberadaan Syarif Hidayatullah dengan kesultanannya membuktikan ada tiga kekuasaan Islam yang hidup bersamaan kala itu, yaitu Demak, Giri dan Cirebon. Hanya saja Demak dijadikan pusat dakwah, pusat studi Islam sekaligus kontrol politik para wali. h. Sunan Kudus Nama aslinya adalah Jafar Sadiq. Lahir pada pertengahan abad ke 15 dan wafat tahun 1550 M. (960 H). Beliau berjasa menyebarkan Islam di daerah kudus dan sekitarnya. Ia membangun masjid menara Kudus yang sangat terkenal dan merupakan salah satu warisan budaya Nusantara. i. Sunan Muria Nama aslinya Raden Prawoto atau Raden Umar Said putra Sunan Kalijaga. Beliau menyebarkan Islam dengan menggunakan sarana gamelan, wayang serta kesenian daerah lainnya. Beliau dimakamkan di Gunung Muria, disebelah utara kota Kudus. Diparuh awal abad 16 M, Jawa dalam genggaman Islam. Penduduk merasa tentram dan damai dalam ayoman keSultanan Demak di bawah kepemimpinan Sultan Syah Alam Akbar Al Fatah atau Raden Patah. Hidup mereka menemukan pedoman dan tujuan sejatinya setelah mengakhiri masa SiwaBudha serta animisme. Merekapun memiliki kepastian hidup bukan karena wibawa dan perbawa sang Sultan, tetapi karena daulah hukum yang pasti yaitu syariat Islam Salokantara dan Jugul Muda itulah dua kitab undang-undang Demak yang berlandaskan syariat Islam. Dihadapan peraturan negeri pengganti Majapahit itu, semua manusia sama derajatnya, sama-sama khalifah Allah di dunia. Sultan-Sultan Demak sadar dan ikhlas dikontrol oleh kekuasaan para Ulama atau Wali. Para Ulama itu berperan sebagai tim kabinet atau merangkap sebagai dewan penasehat Sultan. Dalam versi lain dewan wali sanga dibentuk sekitar 1474 M. oleh Raden

Rahmat (Sunan Ampel), membawahi Raden Hasan, Maftuh Ibrahim, Qasim (Sunan Drajat) Usman Haji (ayah Sunan Kudus, Raden Ainul Yakin (Sunan Gresik), Syekh Sutan Maharaja Raden Hamzah, dan Raden Mahmud. Beberapa tahun kemudian Syekh Syarif Hidayatullah dari Cirebon bergabung di dalamnya. Sunan Kalijaga dipercaya para wali sebagai muballig keliling. Disamping wali-wali tersebut, masih banyak Ulama yang dakwahnya satu kordinasi dengan Sunan Ampel hanya saja, sembilan tokoh Sunan Wali Sanga yang dikenal selama ini memang memiliki peran dan karya yang menonjol dalam dakwahnya. 3. Di Sulawesi Ribuan pulau yang ada di Indonesia, sejak lama telah menjalin hubungan dari pulau ke pulau. Baik atas motivasi ekonomi maupun motivasi politik dan kepentingan kerajaan. Hubungan ini pula yang mengantar dakwah menembus dan merambah Celebes atau Sulawesi. Menurut catatan company dagang Portugis pada tahun 1540 saat datang ke Sulawesi, di tanah ini sudah ditemui pemukiman muslim di beberapa daerah. Meski belum terlalu banyak, namun upaya dakwah terus berlanjut dilakukan oleh para dai di Sumatra, Malaka dan Jawa hingga menyentuh raja-raja di kerajaan Gowa dan Tallo atau yang dikenal dengan negeri Makasar, terletak di semenanjung barat daya pulau Sulawesi. Kerajaan Gowa ini mengadakan hubungan baik dengan kerajaan Ternate dibawah pimpinan Sultan Babullah yang telah menerima Islam lebih dahulu. Melalui seorang dai bernama Datuk Ri Bandang agama Islam masuk ke kerajaan ini dan pada tanggal 22 September 1605 Karaeng Tonigallo, raja Gowa yang pertama memeluk Islam yang kemudian bergelar Sultan Alaudin Al Awwal (1591-1636 ) dan diikuti oleh perdana menteri atau Wazir besarnya, Karaeng Matopa. Setelah resmi menjadi kerajaan bercorak Islam Gowa Tallo menyampaikan pesan Islam kepada kerajaan-kerajaan lain seperti Luwu, Wajo, Soppeng dan Bone. Raja Luwu segera menerima pesan Islam diikuti oleh raja Wajo tanggal 10 Mei 1610 dan raja Bone yang bergelar Sultan Adam menerima Islam tanggal 23 November 1611 M. Dengan demikian Gowa (Makasar) menjadi kerajaan yang berpengaruh dan disegani. Pelabuhannya sangat ramai disinggahi para pedagang dari berbagai daerah dan manca negara. Hal ini mendatangkan keuntungan yang luar biasa bagi kerajaan Gowa (Makasar). Puncak kejayaan kerajaan Makasar terjadi pada masa Sultan Hasanuddin (1653-1669). 4. Di Kalimantan Islam masuk ke Kalimantan atau yang lebih dikenal dengan Borneo melalui tiga jalur. Jalur pertama melalui Malaka yang dikenal sebagai kerajaan Islam setelah Perlak dan Pasai. Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis kian membuat dakwah semakin menyebar sebab para muballig dan komunitas muslim kebanyakan mendiamai pesisir barat Kalimantan. Jalur kedua, Islam datang disebarkan oleh para muballig dari tanah Jawa. Ekspedisi dakwah ke Kalimantan ini mencapai puncaknya saat kerajaan Demak berdiri. Demak mengirimkan banyak Muballig ke negeri ini. Para dai tersebut berusaha mencetak kader-kader yang akan melanjutkan misi dakwah ini. Maka lahirlah ulama besar, salah satunya adalah Syekh Muhammad

Arsyad Al Banjari. Jalur ketiga para dai datang dari Sulawesi (Makasar) terutama dai yang terkenal saat itu adalah Datuk Ri Bandang dan Tuan Tunggang Parangan. a. Kalimantan Selatan Masuknya Islam di Kalimantan Selatan adalah diawali dengan adanya krisis kepemimpinan dipenghujung waktu berakhirnya kerajaan Daha Hindu. Saat itu Raden Samudra yang ditunjuk sebagai putra mahkota oleh kakeknya, Raja Sukarama minta bantuan kepada kerajaan Demak di Jawa dalam peperangan melawan pamannya sendiri, Raden Tumenggung Sultan Demak (Sultan Trenggono) menyetujuinya, asal Raden Samudra kelak bersedia masuk Islam. Dalam peperangan itu Raden Samudra mendapat kemenangan. Maka sesuai dengan janjinya ia masuk Islam beserta kerabat keraton dan penduduk Banjar. Saat itulah tahun (1526 M) berdiri pertama kali kerajaan Islam Banjar dengan rajanya Raden Samudra dengan gelar Sultan Suryanullah atau Suriansyah. Raja-raja Banjar berikutnya adalah Sultan Rahmatullah (putra Sultan Suryanullah), Sultan Hidayatullah (putra Sultan Rahmatullah dan Marhum Panambahan atau Sultan Mustain Billah. Wilayah yang dikuasainya meliputi daerah Sambas, Batang Lawai, Sukadana, Kota Waringin, Sampit Medawi, dan Sambangan. b. Kalimantan Timur Di Kalimantan Timur inilah dua orang dai terkenal datang, yaitu Datuk Ri Bandang dan Tuan Tunggang Parangan, sehingga raja Kutai (raja Mahkota) tunduk kepada Islam diikuti oleh para pangeran, para menteri, panglima dan hulubalang. Untuk kegiatan dakwah ini dibangunlah sebuah masjid. Tahun 1575 M, raja Mahkota berusaha menyebarkan Islam ke daerah-daerah sampai ke pedalaman Kalimantan Timur sampai daerah Muara Kaman, dilanjutkan oleh Putranya, Aji Di Langgar dan para penggantinya. 5. Di Maluku. Kepulauan Maluku terkenal di dunia sebagai penghasil rempah-rempah, sehingga menjadi daya tarik para pedagang asing, tak terkecuali para pedagang muslim baik dari Sumatra, Jawa, Malaka atau dari manca negara. Hal ini menyebabkan cepatnya perkembangan dakwah Islam di kepulauan ini. Islam masuk ke Maluku sekitar pertengahan abad ke 15 atau sekitar tahun 1440 dibawa oleh para pedagang muslim dari Pasai, Malaka dan Jawa (terutama para dai yang dididik oleh para Wali Sanga di Jawa). Tahun 1460 M, Vongi Tidore, raja Ternate masuk Islam. Namun menurut H.J De Graaft (sejarawan Belanda) bahwa raja Ternate yang benar-benar muslim adalah Zaenal Abidin (1486-1500 M). Setelah itu Islam berkembang ke kerajaankerajaan yang ada di Maluku. Tetapi diantara sekian banyak kerajaan Islam yang paling menonjol adalah dua kerajaan , yaitu Ternate dan Tidore. Raja-raja Maluku yang masuk Islam seperti : a. Raja Ternate yang bergelar Sultan Mahrum (1465-1486). b. Setelah beliau wafat digantikan oleh Sultan Zaenal Abidin yang sangat besar jasanya dalam menyiarkan Islam di kepulauan Maluku, Irian bahkan sampai ke Filipina. c. Raja Tidore yang kemudian bergelar Sultan Jamaluddin. d. Raja Jailolo yang berganti nama dengan Sultan Hasanuddin. e. Pada tahun 1520 Raja Bacan masuk Islam dan bergelar Zaenal Abidin.

Selain Islam masuk dan berkembang di Maluku, Islam juga masuk ke Irian yang disiarkan oleh raja-raja Islam di Maluku, para pedagang dan para muballig yang juga berasal dari Maluku. Daerah-daerah di Irian Jaya yang dimasuki Islam adalah : Miso, Jalawati, Pulau Waigio dan Pulau Gebi.

PERKEMBANGAN ISLAM DI MALAYSIA


#http://muhdahlan.wordpress.com/2010/11/20/perkembangan-islam-di-malaysia/# Pada awalnya, Malaysia[1] Malaysia adalah kerajaan federal di Asia Tenggara yang terletak di semananjung Malaka dan sebagian Kalimantan Timur yang penduduknya mayoritas Islam dan konstitusi sebagai agama resmi negara, sehigga syarit Islam ditegakan dengan baik dan benar. Munculnya Islam di Malaysia berkat jasa para pedagang yang mempunyai semangat yang tinggi dalam menyiarkan dan mengembangkan Islam dari Arab melalui Malaka.[2] yang saat itu sebagai pusat perdagangan. Karena memang jalur perdagangan merupakan salah satu media yang efektif dalam mengembangkan dan menyiarkan ajaran Islam. Malaysia dominan masyarakatnya muslim, tampak kelihatan sangat heterogen terutama bila dilihat dari segi etnis, suku dan ras mereka. Karena itu, di Malaysia dapat dijumpai sejumlah kelompok masyarakat muslim Indo-Melayu, bahkan suku Bugis dan Makassar, banyak di sana. Walaupun Malaysia sebagai salah satu negara yang masyarakatnya dominan muslim, namun tentu masih saja menimbulkan pertanyaan mengenai tempat asal datangnya Islam di sana dan bagaimana pola perkembangannya. Perkembangan Islam di Malaysia ditandai dengan tumbuhnya institusi-institusi dengan baik hal ini peningkatan kesadaran beragama dalam sosial keagamaan, politik, ekonomi dan lain-lainnya, sebagai contoh sebuah oposisi Islam berkembang yaitu organisasi Kesatuan Nasional Melayu (UMNO) berusaha menyokong oposisi keagamaannya sendiri melalui perekrutan tokoh-tokoh agama dan berjanji memperjuangkan kepentingan Islam dan Pan-Melayu Islamic Party (P.M.I.P) yang menjadi juru bicara bagi permusuhan komunitas Muslim terhadap warga cina dan India. Orientasi keislaman P.M.I.P tidak hanya kepudulian ekonomi tetap juga kepedulian terhadap Perkembangan Islam.[3] Malaysia dewasa ini semakin menunjukkan adanya pluralitas keberagamaan yang dapat memberi perlindugan bagi masyarakat non melayu yang pada umumnya menganut agama non Islam, sehingga mereka hidup berdampingan satusama lain tanpa menimbulkan gejolak.

PERKEMBANGAN ISLAM DI THAILAND


David Brown secara menarik melihat gerakan Muslim di Thailand Selatan sebagai bagian dari reaksi atas kolonialisme internal di Thailand. Disparitas ekonomi antara pusat dan provinsi di pinggiran menimbulkan tumbuhnya semangat separatisme, atau istilah Brown separatisme etnis yang terjadi di Selatan, Utara dan Timur Laut. Masing-masing melibatkan melayu Muslim di Selatan, etnis perbukitan di Utara, dan orang Isan di Timur Laut. Identitas Muslim Melayu di Selatan, masyarakat komunis di Utara secara jelas berbeda dengan mayoritas Thai-Buddha, sedangkan di Timur Laut hanya berbeda etnis, yaitu kelompok Laos-Thai, meskipun agama sama. Disparitas ini memang sangat mencolok, pada tahun 1983, jauh sebelum krisis moneter yang bermula di Thailand, Kota Metropolis Bangkok memiliki pendapatan per kapita, 51.441 bath, sementara Minoritas Muslim , Konflik Dan Rekonsiliasi Di Thailand Selatan 97 Selatan, 16.148 bath, tiga kali lipat lebih rendah dibandingkan Bangkok, sementara di bagian Utara, 12.441 bath dan wilayah Timur Laut, 7.146 bath. Disparitas ini menimbulkan kekecewaan, kecemburuan dan rasatidak adil yang kemudian berakibat pada keinginan masyarakat untuk mengatur mereka sendiri (otonomi, dan merdeka). Dua puluh empat tahun kemudian, kesenjangan inipun semakin lebar, karena pemerintah menaruh curiga atas tumbuhnya kekuatan masyarakat di wilayah ini, dan pembangunan tidak diprioritaskan. Disparitas memiliki konsekuensi yang mendalam diluar aspek ekonomi, yaitu lambatnya peningkatan sumberdaya manusia, pendidikan yang tidak merata, dan tekanan kebijakan berbasis keamanan yang mengancam masyarakat. Masyarakat serasa tidak di rumah mereka sendiri. Kesenjangan ini pula yang menurunkan tingkat nasionalisme masyarakat diluar mayoritas Thai-Buddha. Perbedaan yang mencolok antara Melayu Muslim di Selatan dan Buddha-Thai di seluruh wilayah Thailand dilihat oleh Ted Robert Gurr tidak pada keragaman etnisitasnya, tetapi lebih pada agamanya. Muslim di Selatan Thailand dan Buddha dianut hampir diseluruh Thailand. Negara dengan penduduk multi agama dan multietnik mendapat tantangan besar bagaimana menyatukan mereka dalam payung satu nasionalisme. Apalagi beberapa etnik atau agama telah tumbuh dalam satu kekuatan dinamis selama ratusan tahun. Sebagian gerakan separatisme muncul dari satu etnik atau agama yang mendapat kebijakan diskriminatif dari pemerintah pusat. Kebijakan ini diciptakan untuk meredam menguatnya identitas lokal sehingga pemerintah pusat merasa terancam, atau sengaja dibuat untuk tujuan integrasi nasional. Antara 1947 hingga 1953, beberapa negara baru di Asia Tenggara

mendapat letupan kelompok yang menuntut otonomi khusus atau pemisahan diri dari pemerintah pusat. Dua negara yang belum berhasil menaklukkan kelompok ini diantaranya Thailand Selatan dan Filipina.yang kebetulan sama-sama Muslim minoritas ditengah mayoritas Buddha di Thailand dan Kristen di Filipina. Sementara Islam menyebar ke berbagai negara di Asia Tenggara, diantaranya ke Thailand Selatan, atau dikenal dengan sebutan Muslim Patani, atau secara resmi di Thailand, Islam Pattani. Tulisan ini akan mengupas dinamika Islam di Thailand Selatan dari aspek etnisitas (sosial) dan keamanan. Fokus utama pada perkembangan Muslim Pattani antara 2004 hingga Mei 2007. Periode ini sangat urgen tidak hanya karena banyaknya korban dalam kurun waktu ini, setidaknya 2000 korban meninggal, tetapi juga karena pemerintah Thailand mulai serius membicarakan upaya rekonsiliasi dengan mengacu pada integrasi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ke Indonesia. Perdamaian Aceh menjadi model upaya perdamaian dan rekonsiliasi di Thailand Selatan.Identitas lokal di Thailand Selatan lebih dekat dengan Kelantan dan Kedah, Malaysia. Masyarakat secara tradisional lebih at home menggunakan bahasa Melayu dibandingkan bahasa Thai yang digalakkan oleh pemerintah pusat sebagai bahasa resmi negara. Keterpaksaan masyarakat Melayu Muslim di Thailand Selatan dirasakan selama puluhan tahun, sejak integrasi Melayu di selatan Thailand menjadi bagian dari Kerajaan Thailand. Penggunakan bahasa Thai wajib digunakan di kantor kerajaan, pemerintah, sekolah dan media. Radio, TV dan media cetak harus menggunakan bahasa Thai sebagai medium pemberitaan. Media elektronik, khususnya radio lokal hanya Minoritas Muslim , Konflik Dan Rekonsiliasi Di Thailand Selatan 99 diperbolehkan menggunakan bahasa Melayu tidak lebih dari 20 persen keseluruhan programnya. Strategi pemerintah Thailand memang membuahkan hasil. Dalam waktu sekitar 50 tahun, banyak generasi muda Melayu Muslim lebih suka berbahasa Thai dibandingkan bahasa Melayu, baik di sekolah maupun dalam pergaulan sehari-hari. Tetapi mereka dipaksa keluarga untuk berbicara dalam bahasa Melayu ketika mereka berkumpul dilingkungan keluarga. Upaya menjaga tradisi nenek moyang menjadi bagian dari identitas terkuat bagi keluarga Muslim Melayu di Thailand Selatan yang berbeda dengan kebanyakan masyarakat Thai lainnya. Mereka menyadari bahwa niat memisahkan diri dari pemerintah Kerajaan Thailand hanyalah suatu mimpi lama, yang kini harus ditinggalkan. Terintegrasi dengan Thailand, bersaing dengan mayoritas masyarakat etnis Thai yang Buddis adalah pilihan saat ini. Strategi yang perlu dibangun adalah memajukan pendidikan, mendukung pembangunan nasional, dan menjaga stabilitas lokal. Hal yang terakhir masih menjadi kendala bagi penciptaan perdamaian di wilayah selatan. Berbagai teror, pembunuhan dan pengeboman sering terjadi dalam tiga tahun terakhir, dengan jumlah meninggal settidaknya 2000 orang, sejak Januari 2004. Anehnya, belum ditemukan kelompok yang bertanggung jawab dalam kerusuhan ini.

Ketika terjadi penyerangan atau pembunuhan yang melibatkan korban tentara, polisi atau masyarakat Buddha, yang dituduh adalah Muslim. Bahkan Thaksin menyebut istilah mereka Bandit Muslim. Istilah yang menodai perasaan Muslim Melayu di selatan, karena pencitraan telah sengaja diciptakan oleh pemerintah, tanpa melihat lebih obyektif siapa yang terlibat. Muslim di Thailand sekitar 15 persen, dibandingkan penganut Budha, sekitar 80 persen. Mayoritas Muslim tinggal di Selatan Thailand, sekitar 1,5 juta jiwa, atau 80 persen dari total penduduk, khususnya di Patani, Yala dan Narathiwat, tiga provinsi yang sangat mewarnai dinamika di Thailand Selatan. Tradisi Muslim di wilayah ini mengakar 100 Minoritas Muslim , Konflik Dan Rekonsiliasi Di Thailand Selatan sejak kerajaan Sri Vijaya yang menguasai wilayah Asia Tenggara, termasuk Thailand Selatan. Thailand Selatan terdiri dari lima provinsi: Pattani, Yala, Narathiwat, Satun dan Songkhla, dengan total penduduk 6.326.732 (Kantor Statistik Nasional, Thailand, 2002). Mayoritas penduduk Muslim terdapat di empat provinsi: Pattani, Yala, Narathiwat dan Satun, yaitu sekitar 71% diperkotaan, dan 86 % di pedesaan (YCCI, 2006: 34), sedangkan di Songkhla, Muslim sekitar 19 %, minoritas, dan 76.6 % Buddha. Sementara mayoritas penduduk yang berbahasa Melayu, ratarata 70 persen berada di tiga provinsi: Pattani, Yala dan Narathiwat, sementara penduduk berbahasa China, ada di tiga provinsi: Narathiwat, 0.3 %, Pattani, 1.0 %, dan Yala, 3.0 % (Sensus Penduduk, Thailand, 2000). Mengenai masuknya Islam ke Thailand, ada yang mengatakan Islam masuk ke Thailand pada abad ke-10 melalui para pedgang dari Arab dan ada yang mengatakan Islam masum ke Thailand melalui Kerajaan Samudra Pasai di Aceh. Dahulu, ketika Kerajaan Samudera Pasai ditaklukkan oleh Thailand, banyak orangorang Islam yang ditawan, kemudian di bawa ke Thailand. Para tawanan itu akan dibebaskan apabila telah membayar uang tebusan. Kemudian para tawanan yang telah bebas itu ada yang kembali ke Indonesia dan ada pula yang menetap di Thailand dan menyebarkan agama Islam. Wilayah Thailand yang dihuni oleh orang-orang Islam adalah wilayah bagian selatan yang berbatasan langsung dengan Malaysia. Muslim di Thailand merupakan golongan minoritas, karena mayoritas penduduknya beragama Budha. Daerah-daerah muslim di Thailand bagian selatan adalah Pattani, Yala, Satun, Narathiwat, dan Songkhla. Kaum muslimin di Thailand yang terkenal dengan nama Patani memiliki perasaan kuat tentang jati dirinya, karena daerah Patani pada awal abad ke-17 pernah menjadi salah satu pusat penyebaran Islam di Asia Tenggara. Pemerintah Thailand berusaha memasukkan daerah-daerah paling selatan itu ke negeri Thai. Hal ini dilakukan pada masa Raja Chulalongkom pada tahun 1902. Patani dijuluki tempat kelahiran Islam di Asia Tenggara. Bahkan, seorang Patani, Daud ibn

Abdillah ibn Idris al-Fatani diakui sebagai seorang ulama terkemuka mengenai ilmuilmu Islam di Asia Tenggara. Daerah yang sekarang disebut Thailand selatan pada masa dahulu berupa kesultanankesultanan yang merdeka dan berdaulat, diantara kesultanan yang terbesar adalah Patani. Pada abad ke empat belas masuklah Islam ke kawasan itu, raja Patani pertama yang memeluk Islam ialah Ismailsyah. Pada 1603 kerajaan Ayuthia di Siam menyerang kerajaan Patani namun serangan itu dapat digagalkan. Pada 1783 Siam pada masa raja Rama I Phra Culalok menyerang Patani dibantu oleh oknum-oknum orang Patani sendiri, sultan Mahmud pun gugurlah, meriam Sri Patani dan harta kerajaan dirampas Siam dan dibawa ke Bangkok. Maka Tengku Lamidin diangkat sebagai wakil raja atas perintah Siam tetapi kemudian ia pun berontak lalu dibunuh dan digantikan Dato Bangkalan tetapi ia pun memberotak pula. Pada masa raja Phra Chulalongkorn tahun 1878.M Siam mulai mensiamisasi Patani sehingga Tengku Din berontak dan kerajaan Patani pun dipecahlah dan unit kerajaan itu disebut Bariwen. Sebelum peristiwa itu terjadi sesungguhnya pada 1873 M Tengku Abdulqadir Qamaruzzaman telah menolak akan penghapusan kerajaan Patani itu. Kerajaan Patani dipecah dalam daerah-daerah kecil Patani, Marathiwat, Saiburi, Setul dan Jala. Pada 1909 M Inggris pun mengakui bahwa daerah-daerah itu termasuk kawasan Kerajaan Siam. Dan pada tahun 1939 M, Nama Siam diganti dengan Muang Thai. Bahasa Siam menjadi bahasa kebangsaan di kawasan Selatan, di sekolah -sekolah merupakan bahasa resmi, tulisan Arab Melayu digantikan tulisan Siam yang berasal dari Palawa. Pada 1923 M, beberapa Madrasah Islam yang dianggap ekstrim ditutup, dalam sekolah-sekolah Islam harus diajarkan pendidikan kebangsaan dan pendidikan etika bangsa yang diambil dari inti sari ajaran Budha. Pada saat-saat tertentu anak-anak sekolah pun harus menyanyikan lagu-lagu bernafaskan Budha dan kepada guru harus menyembah dengan sembah Budha. Kementrian pendidikan memutar balik sejarah : dikatakannya bahwa orang Islam itulah yang jahat ingin menentang pemerintahan shah di Siam dan menjatuhkan raja. Orang-orang Islam tidak diperbolehkan mempunyai partai politik yang berasas Islam bahkan segala organisasi pun harus berasaskan: Kebangsaan. Pemerintah pun membentuk semacam pangkat mufti yang dinamakan Culamantri, biasanya yang diangkat itu seorang alim yang dapat menjilat dan dapat memutar balik ayat sehingga ia memfatwakan haram melawan kekuasaan Budha.

PERKEMBANGAN ISLAM DI PHILIPINA


Orang Islam di Filipina merupakan golongan minoriti di negara sendiri. Sebenarnya, Islam merupakan agama terawal yang singgah di Filipina sebelum Sepanyol datang dan meluaskan kegiatan penyebaran agama Kristian. Hal ini berkaitan dengan keadaan masyarakat Filipina sebelum kedatangan Islam. Mereka mulanya adalah golongan yang menguasai Filipina, namun ia berubah dan masyarakat Islam menjadi minoriti selepas kurun ke-18. Hal ini dikaitkan dengan peranan yang dimainkan oleh bangsa Moro (sebutan untuk umat Islam Filipina) terhadap proses perkembangan Islam di Filipina sehingga sekarang. Kemasukan Islam di Filipina disebabkan oleh keadaan sosio-budaya wilayah tersebut sebelum kedatangan Islam. Filipina merupakan sebuah negara kepulauan yang terdiri daripada 7107 pulau dengan pelbagai suku. Ia merupakan gugusan pulau-pulau yang luasnya lebih kurang 115,600 batu persegi. Sungguhpun begitu, lebih kurang 800 buah saja yang didiami orang. Pulau utama ialah Luzon dan Mindanoa. Filipina merupakan sebuah negara yang mempunyai pelbagai etnik. Sebelum kedatangan Islam, Filipina adalah sebuah wilayah yang dikuasai oleh kerajaan -kerajaan kecil. Sebelum kedatangan Islam, masyarakat Filipina menganuti anismisme. Namun, selepas Islam masuk, mereka dapat menerima ajaran Islam dengan sebaiknya kerana Islam boleh mengakomodasi dengan tradisi asal mereka. Para ahli sejarah menemukan bukti abad ke-16 dan abad ke-17 dari sumber-sumber Sepanyol tentang keyakinan agama penduduk Asia Tenggara termasuk Luzon, yang merupakan sebahagian dari Filipina pada ketika itu, sebelum kedatangan Islam. Sumber-sumber tersebut memberikan penjelasan bahawa sistem kepercayaan agama yang sangat dominan ketika Islam datang pada abad ke-14 sarat dengan berbagai upacara pemujaan untuk orang yang sudah meninggal.1 Hal ini jelas sekali bertentangan dengan ajaran Islam yang menentang keras penyembahan berhala dan politeisme. Namun, jelas sekali Islam dapat memperlihatkan kepada mereka bahawa agama ini memiliki cara tersendiri yang menjamin arwah orang yang meninggal dunia berada dalam keadaan tenang, dan ternyata sekali mereka dapat menerimanya.

Rujuk buku Cesar Adib Majul. 1988. Islam di Filipina. Hlm. 106-110.

Selain itu, tidak dapat diragukan lagi bahawa skala perdagangan Asia Tenggara mulai melesat sangat pesat pada penghujung abad ke-14. Hasil dari perdagangan ini, kota-kota berkembang dengan kecepatan sangat mengalakkan termasuk sepanjang wilayah pesisir kepulauan Filipina. Para pedagang dari berbagai negeri bertemu dan menyebabkan adanya pertukaran baik di bidang ilmu pengetahuan maupun agama. Di antara semua agama besar di dunia, Islam barangkali yang paling serasi dengan dunia perdagangan. Al-Quran maupun Al-Hadits sebagai sumber tertinggi dalam agama Islam banyak memuji kepada pedagang yang dapat dipercaya. Hal ini mengakibatkan orang yang cenderung bergerak dalam dunia perniagaan pasti terpikat dengan ajaran Islam. Dari sini, Islam terus memperluas pengaruhnya secara kebudayaan iaitu melalui perkawinan antara etnik hingga akhirnya melalui sistem politik. Jalur yang terakhir ini (politik) terjadi ketika Islam telah dipeluk oleh para penguasa khususnya para raja. Melalui politik pula, seluruh masyarakat dapat diislamkan. Kedatangan orang-orang Spanyol ke Filipina pada tahun 1521 M, selain untuk

menjajah juga bertujuan untuk menyebarkan agama Kristian. Dengan kekerasan, pemujukan atau menundukkan secara halus dengan hadiah-hadiah, orang-orang Sepanyol dapat memperluas kedaulatannya hampir ke seluruh wilayah Filipina. Namun, ketika Sepanyol menakluk wilayah utara Filipina dengan mudah dan tanpa perlawanan bererti, tidak demikian halnya dengan wilayah selatan. Tentera kolonial Sepanyol harus bertempur mati-matian melawan kesultanan Islam di wilayah selatan Filipina, yakni Sulu, Manguindanau dan Buayan.2 Rentetan peperangan yang panjang antara Islam dan Sepanyol hasilnya tidak nampak kecuali bertambahnya ketegangan antara orang Kristian dan orang Islam Filipina.3 Sejak masuknya orang-orang Sepanyol ke Filipina, pada 16 Mac 1521 M, penduduk pribumi telah mencium adanya maksud lain dibalik ekspedisi ilmiah Ferdinand de Magellans. Ketika kolonial Sepanyol menaklukan wilayah utara dengan mudah dan tanpa perlawanan bererti, tidak demikian halnya dengan wilayah selatan. Mereka justeru menemukan penduduk wilayah selatan melakukan perlawanan sangat gigih, berani dan pantang menyerah. Tentera kolonial Sepanyol harus bertempur matimatian kilometer demi kilometer untuk mencapai Mindanao-Sulu (kesultanan Sulu ditakluk pada tahun 1876 M). Menghabiskan lebih dari 375 tahun masa kolonialisme
Ibid. Islam di Filipina. Hlm. 92. Tim Penyusun. 2006. Pengantar Studi Islam, Surabaya, IAIN Sunan Ampel Press, Cet. IV. Hlm. 307-308.
3 2

dengan perang berkelanjutan melawan kaum Muslimin. walaupun demikian, kaum Muslimin tidak pernah dapat ditundukan. Selama masa kolonial, Sepanyol menerapkan politik devide and rule (pecah belah dan kuasai) serta mision-sacre (misi suci Kristenisasi) terhadap orang-orang Islam. Bahkan orang-orang Islam di-stigmatisasi (julukan terhadap hal-hal yang buruk) sebagai "Moor" (Moro).4 Ertinya orang yang buta huruf, jahat, tidak bertuhan dan huramentados (tukang bunuh). Sejak saat itu julukan Moro melekat pada orangorang Islam yang mendiami kawasan Filipina Selatan tersebut.5 Tahun 1578 M terjadi perang besar yang melibatkan orang Filipina sendiri.6 Bangsa Sepanyol memberikan layanan yang buruk terhadap orang-orang muslim di Semenanjung Iberia. Mereka menyerang kerajaan Muslim Sulu, Manguindanau dan Manilad dengan fanatisme dan keganasan yang sama seperti mereka memperlakukan penduduk muslim mereka sendiri di Sepanyol. 7 Menghadapi latar belakang seperti ini, orang-orang muslim Filipina (bangsa Moro) harus berjuang bagi kelangsungan hidupnya sampai saat ini, lebih dari empat abad. Sepanyol tidak pernah dapat menaklukkan kesultanan Islam Sulu walaupun dalam keadaan perang terus menerus, dan harus mengakui keberadaannya yang merdeka.8 Agama Islam juga dilihat sebagai sumber kekuatan dalam usaha masyarakat Filipina menentang ancaman Sepanyol. Masyarakat Sulu di bahagian Selatan Filipina telah menjadikan Islam sebagai tunjang penting dalam usaha mereka menentang Sepanyol. Sepanyol yang menjalankan dasar penyebaran dakyah Kristian secara aktif menerima tentangan hebat daripada Kesultanan Sulu

Politik Mindanoa dikuasai oleh Kesultanan Sulu yang dimonopoli oleh orang Islam Moro. Orang Islam Moro merupakan satu unit politik yang tinggal berasingan dengan orang Filipina tempatan. Mereka mempunyai petempatan sendiri dan merupakan penentang kepada kepada kemasukan Sepanyol kerana faktor penyebaran agama Kristian. Ibid. Islam di Filipina. Hlm. 113. 5 Rujuk buku Jason F. Isaacson dan Colin Rubenstein. 2002. Islam in Asia: Changing Political Realities. London: Transaction Publishers and American Jewish Committee. Hlm. 190-191. 6 Perang Moro iaitu perang antara orang Islam dengan tentera Sepanyol Kristian. Berlaku lebih kurang empat lima kali pertempuran antara kedua-dua belah pihak. Ibid. Islam di Filipina. Hlm. 153 dan buku Abdul Rahman Abdullah. 2000. Sejarah dan Tamadun Asia Tenggara: Sebelum dan Sesudah Pengaruh Islam. Hlm. 302-303. 7 Bahkan Raja Philip memerintahkan Kepala Staf Angkatan Lautnya sebagai berikut: Taklukkan pulau-pulau itu dan gantikan agama penduduknya (ke agama Katolik). 8 Minoritas Muslim. Hlm. 195

sejak abad ke-16 lagi dan sepanjang tempoh itu, kesultanan Sulu sering sahaja menjadikan Islam sebagai sumber kekuatan dan penyatuan rakyatnya. Perang Moro yang berlangsung sepanjang abad ke-16 hingga abad ke-20 membuktikan hakikat ini. Contohnya pada tahun 1578, apabila tentera Sepanyol cuba mengusir orang Moro dari kawasan mereka di Bandar Jolo di Pulau Sulu tapi gagal bertahan kerana penduduk semakin benci kepada mereka.9 Jalan buntu menimpa kedua-dua belah pihak kerana tiada persefahaman dicapai.10 Malahan di kalangan pejuang Moro telah timbul satu amalan yang disebut sebagai Juramentado iaitu kesanggupan mengorbankan nyawa sewaktu berperang dengan Sepanyol.11 Dari sinilah kemudian timbul kebencian dan rasa curiga orang-orang Kristian Filipina terhadap Bangsa Moro yang Islam hingga sekarang. Sejarah mencatat, orang Islam pertama yang masuk Kristian akibat politik yang dijalankan kolonial Sepanyol ini adalah isteri Raja Humabon dari pulau Cebu.

PERKEMBANGAN ISLAM DI BRUNEI DARUSSALAM

Sepanyol telah menubuhkan gereja dan kota raya yang lengkap dengan segala senjata di Mindanoa sebagai satu sekatan bagi menghalang serangan orang Islam Moro tetapi dengan pantasnya telah diruntuhkan oleh Moro,. Buku oleh Josinder Singh Jessy. 1985. History of South-East Asia (1824-1965. Kedah: Penerbitan Darulaman. Hlm. 29-30. 10 D. G. E. Hall. 1981. Sejarah Asia Tenggara. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Hlm. 306307. 11 Abdul Rahman Abdullah. 2000. Sejarah dan Tamadun Asia Tenggara: Sebelum dan Sesudah Pengaruh Islam. Hlm. 299.

Anda mungkin juga menyukai