Anda di halaman 1dari 8

BAB I PENDAHULUAN A.

Latar Belakang Masalah gizi adalah masalah kesehatan masyarakat yang

penanggulangannya tidak dapat dilakukan dengan pendekatan medis dan pelayanan kesehatan. Masalah gizi erat kaitannya dengan kemiskinan, masalah ketahanan pangan di tingkat rumah tangga, aspek pengetahuan dan perilaku yang kurang mendukung pola hidup sehat. Keadaan gizi masyarakat akan mempengaruhi tingkat kesehatan dan umur harapan hidup yang merupakan salah satu unsur utama dalam penentuan keberhasilan pembangunan negara yang dikenal dengan istilah Human Development Index ( HDI ). (Suruni, 2006) Sekitar 37,3 juta penduduk di Indonesia hidup di bawah garis

kemiskinan, separuh dari total rumah tangga mengonsumsi makanan kurang dari kebutuhan sehari-hari, lima juta balita berstatus gizi kurang, dan lebih dari 100 juta penduduk berisiko terhadap berbagai masalah kurang gizi.Gizi yang baik adalah gizi yang seimbang, artinya asupan zat gizi harus sesuai dengan kebutuhan tubuh. Kebutuhan nutrisi pada setiap orang berbeda-beda berdasarkan unsur metabolik dan genetikanya masing-masing. Nutrisi yang baik akan ikut membantu pencegahan terjadinya penyakit yang akut dan kronik. Keseimbangan antara asupan

dan

kebuuhan

zat

gizi

sangat

mempengaruhi

pertumbuhan,

perkembangan, kecerdasan, kesehatan, aktivitas anak, dan hal-hal lainnya. (Supariasa, 2001). Kesepakatan global yang dituangkan dalam Millenium Development Goals (MDGs), menegaskan bahwa tahun 2015 setiap negara sudah harus bisa menurunkan kemiskinan dan kelaparan separuh dari kondisi pada tahun 1990. Salah satu dari tujuan MDGs adalah menurunnya prevalensi gizi kurang pada anak balita sebesar 20% tiap tahunnya. (Profil Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Timur, 2007) Di Indonesia Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan

Penanggulangan Gizi Buruk pun telah disusun dan kemudian digulirkan sejak pertengahan tahun 2005 lalu. Salah satu sasarannya adalah menurunnya prevalensi gizi kurang menjadi setinggi-tingginya 20 persen (termasuk penurunan prevalensi gizi buruk menjadi 5 persen) pada tahun 2009. (Martinah, 2008) Prevalensi gizi buruk balita cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Secara nasional, pada tahun 2008 sebanyak 110 kabupaten/kota di Indonesia mempunyai peningkatan prevalensi gizi buruk sebesar 30%, yang menurut World Health Organization (WHO) dikelompokkan sangat tinggi. Kondisi ini sangat memprihatinkan, karena mengancam kualitas sumber daya manusia kita di masa mendatang dan mempengaruhi

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia. Rendahnya IPM di Indonesia sangat dipengaruhi oleh rendahnya status gizi dan kesehatan penduduk. (Martinah, 2008) Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian Anwar (2006) di Lombok Timur. Hasil penelitiannya menyebutkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antr pegetahuan ibu dengan status gizi balita. Ibu dengan pengetahuan gizi rendah beresiko lebih tinggi memiliki balita gizi buruk dibandingan ibu dengan pengetahuan gizi baik. (Anwar,2006) Berdasarkan hasil penelitian Suwiji (2006) di Kabupaten Blora, terdapat hubungan yang bermakna pola asuh terhadap status gizi balita. Pola asuh pada balita meliputi praktek pemberian makanan atau minuman prelaktal, praktek pemberian kolostrum, praktek pemberian ASI, praktek penyapihan dan praktek pemberian makanan pendamping ASI (Suwiji,2006) Menurut data Departemen Kesehatan Republik Indonesia, pada 2004 jumlah balita gizi buruk 1.528.676 anak. Dan pada tahun 2005 jumlah itu turun berkurang 13,7 persen menjadi 1.319.247 balita yang menderita gizi buruk. Penurunan prevalensi gizi buruk di provinsi Klaimantan Timur adalah 19,4% pada tahun 2007, hampir mencapai standar nasional yaitu 20%. Tetapi di antar 13 kabupaten atau kota yang ada di Kalimantan Timur,
3

terdapat 4 kabupaten atau kota yang belum mencapai target nasional yaitu Bulungan, Nunukan, Kutai Barat dan Kutai Timur (Profil Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Timur, 2007) Salah satu kabupaten yang belum mencapai target nasional dalam hal penurunan status gizi buruk adalah Kabupaten Kutai Timur. Pada tahun 2007, prevalensi status gizi buruk pada balita di wilayah Kutai Timur adalah 5,7 persen balita mengalami gizi buruk. Angka ini belum mencapai standar nasional yaitu 20%. (Profil Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Timur, 2007) Salah satu kecamatan di Kutai Timur yang memiliki jumlah balita gizi buruk tertinggi adalah Kecamatan Muara Ancalong. Pada tahun 2010, di wilayah Muara Ancalong terdapat 14 balita gizi buruk dari 182 balita atau sebesar 7,69%. (Profil Dinas Kesehatan Kutai Timur, 2010) Terdapat 8 desa di Kecamatan Muara Ancalong yaitu Desa Kelinjau Ulu, Desa Kelinjau Ilir, Gemar Baru, Senyiur, Muara Dun, Long Nah, Long Tesaq dan Long Poq. Desa yang memiliki jumlah balita gizi buruk terbanyak adalah desa Kelinjau Ulu 13 balita gizi buruk dari 182 balita atau sebesar 7,14% pada tahun 2010. (Buku Register Gizi Puskesmas Muara Ancalong, 2010)

Tingkat pendidikan ibu yang rendah dan kurangnya informasi ibu mengenai pendidikan gizi, menyebabkan pengetahuan ibu rendah mengenai gizi. Sikap ibu disini maksudnya persepsi masyarakat terhadap

penanganan gizi buruk, pandangan masyarakat terhadap manfaat dan pelayanan yang diberikan puskesmas maupun posyandu. Sebagian besar masyarakat malas untuk datang walaupun hanya sekedar untuk menimbang balita mereka ke posyandu yang hanya satu bulan sekali. Pola asuh balita di wilayah tersebut para ibu balita cenderung kurang memperhatikan para balita mereka seperti kurangnya para ibu merawat, menjaga, memberi makan, hygen balita,dan memperhatikan balita nya agar senantiasa terjaga dan terawat. Pengaruh budaya yang masih sangat kental diwilayah ini membuat para ibu yang memiliki balita cenderung terus-menerus mewarisi tradisi tersebut seperti halnya seorang ibu yang memberikan MP-ASI kepada bayi yang masih berusia 2 hari, selain itu juga terdapat kebiasaan makan yaitu setelah orang tua selesai makan baru balita diberi makan dengan menu yang sama dari orang tua untuk balita. Tidak ada perbedaan menu makan bagi orang tua dan balita.

Oleh karena itu penelitian ini perlu dilakukan untuk mengetahui gambaran prilaku ibu mengenai status gizi buruk pada balita di Desa kelinjau Ulu kecamatan Muara Ancalong Kabupaten Kutai Timur. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang dari latar belakang, maka dirumuskan masalah bagaimana prilaku ibu mengenai status gizi buruk pada balita di desa Kelinjau Ulu Kecamatan Muara Ancalong Kutai Timur tahun 2010.

C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Untuk mengeksplorasi prilaku ibu mengenai status gizi buruk pada balita di desa Kelinjau Ulu Kecamatan Muara Ancalong Kabupaten Kutai Timur tahun 2010. 2. Tujuan Khusus a. Untuk mengidentifikasi sikap ibu yang memiliki balita gizi buruk di Desa Kelinjau Ulu Kecamatan Muara Ancalong Kabupaten Kutai Timur tahun 2010.

b. Untuk mengidentifikasi pengetahuan gizi ibu yang memiliki balita gizi buruk di Desa Kelinjau Ulu Kecamatan Muara Ancalong Kabupaten Kutai Timur tahun 2010.
c. Untuk mengidentifikasi pola asuh ibu terhadap status gizi balita di

Desa Kelinjau Ulu Kecamatan Muara Ancalong Kabupaten Kutai Timur tahun 2010.
d. Untuk mengidentifikasi budaya setempat terhadap status gizi balita

di Desa Kelinjau Ulu Kecamatan Muara Ancalong Kabupaten Kutai Timur tahun 2010. D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Ibu dan Balita Untuk menambah pengetahuan ibu tentang status gizi buruk khususnya pada balita di wilayah desa Kelinjau Ulu Kecamatan Muara Ancalong Kutai Timur. 2. Bagi jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat Penelitian ini dapat di jadikan referensi untuk menambah wawasan ilmu pengetahuan kesehatan masyarakat khususnya di bidang penentuan status gizi.
3.

Bagi Puskesmas Muara Ancalong

Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk masukan dalam rangka meningkatkan upaya-upaya pencegahan gizi buruk pada balita khususnya di wilayah desa Kelinjau Ulu Kecamatan Muara Ancalong Kutai Timur. 4. Bagi Peneliti Untuk memperoleh pengetahuan dan pengalaman dalam

melakukan penelitian khususnya tentang status gizi buruk pada balita di wilayah desa Kelinjau Ulu Kecamatan Muara Ancalong Kutai Timur.

Anda mungkin juga menyukai