Anda di halaman 1dari 13

1 KEKUATAN BAHAN Oleh : Prof. Dr. Ir.

Santosa, MP Guru Besar pada Program Studi Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Andalas Padang, November 2009

(1) Tarikan, Desakan, dan Geseran Tegangan dan regangan akibat gaya aksial, dapat diikuti pada persamaan (1), (2), (3), (4), dan (5). = penampang (m2). = / L ...................................................... (2) dengan adalah regangan (dalam m/m atau tanpa dimensi), adalah pertambahan panjang (pada peristiwa tarikan) atau pengurangan panjang (pada peristiwa desakan) (dalam m), dan L adalah panjang batang mula-mula (dalam m). Pada grafik tegangan (sumbu vertikal) versus regangan (sumbu horisontal), di daerah elastis, nilai tangens sudah pasti (konstan). tangens = p / p ...................................... (3) dengan p adalah tegangan pada batas elastik, p adalah regangan pada batas elastik. Nilai tangens tersebut disebut Moduls Young atau Modulus Elastisitas atau Modulus Elastik, yang biasanya disimbulkan dengan huruf E. Hukum Hooke dapat dituliskan : = E . .........................................................(4) dengan adalah tegangan aksial (dalam Pa), E adalah modulus elastisitas (dalam Pa), dan adalah regangan (dalam m/m atau tanpa dimensi) Besarnya deformasi aksial ( ) dinyatakan : = ( P . L ) / ( A . E) ................................ (5) Tabel modulus elastisitas disajikan pada Tabel 1. adalah selalu konstan, yang pada bahan tertentu nilainya juga P / A ................................................. (1) dengan adalah tegangan (pascal), P adalah gaya (newton), dan A adalah luas

2 Tabel 1. Kerapatan dan Modulus Elastisitas Bahan Tipe Logam Logam Logam Kayu Lunak Plastik Plastik Plastik Plastik Bahan Baja Aluminium (alloy) Kuningan Kayu Kerapatan (kg/m3) 7800 2700 8800 480 900 1180 1200 1390 Modulus Elastisitas (kN/mm2) (GPa) 207 71 117 9 1,4 3,1 2,4 3,4 207 71 117 9 1,4 3,1 2,4 3,4

Polipropilin Akrylic Polikarbonat Plastik (PVC) Padat Sumber : Iremonger (1982) dan dikonversi

Catatan : Sifat bahan tersebut pada pembebanan jangka pendek pada 20 oC. Angka Poisson (= Rasio Poisson, Perbandingan Poisson) didefinisikan seperti pada persamaan (6). Jika suatu beban tarik dikenakan pada suatu batang, maka batang akan bertambah panjang. Jika disebut arah memanjangnya batang tersebut ( = arah longitudinal) adalah arah sumbu X, maka arah lateral (yaitu arah yang tegak lurus terhadap arah pembebanan) baik sumbu Y maupun sumbu Z akan terjadi pengurangan panjang (atau perpendekan). Besarnya regangan ke arah sumbu X, sumbu Y, dan sumbu Z berturut turut : x = x / Lx , nilainya (+) karena bertambah panjang. y = y / Ly , nilainya (-) karena bertambah pendek. z = z / Lz , nilainya (-) karena bertambah pendek. maka perbandingan regangannya : - y / x = - z / x = ................................. (6) dengan disebut angka Poisson. Nilai angka Poisson pada beberapa bahan disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Angka Poisson

3 Bahan Baja Beton Logam logam lain Sumber : Prasetio (1984) Tegangan kerja pada suatu beban harus berada pada daerah elastis, maka nilainya harus lebih rendah dari tegangan luluh. Di dalam desain, tegangan kerja atau yang disebut juga dengan tegangan ijin (allowable stressess) diperoleh dari persamaan (7) : Tegangan Ijin = Tegangan Maksimum / Faktor Keamanan ...... (7) Sebagai contoh, baja karbon rendah, yang memiliki tegangan tarik maksimum (atau tegangan ultimat) sebesar 414 MPa, dengan faktor keamanan sebesar 4,8, maka besarnya tegangan ijin = 414 MPa / 4,8 = 86,25 MPa. Nilai tegangan kerja dari beberapa bahan disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Tegangan Kerja Beberapa Bahan Berdasarkan Sifat Pembebanannya A. Static Loading Material Tension (MPa) Low - carbon steel Medium carbon steel Cast steel Cast iron 83-166 110-207 55-103 21-28 Compression (MPa) 83-166 110-207 55-103 70-110 Shear (MPa) 55-110 83-138 41-83 21-28 Angka Poisson 0,25 0,30 0,20 0,33

B. Repeated or Shock Loading Material Tension (MPa) Low - carbon steel Medium carbon 42-84 55-103 Compression (MPa) 42-84 55-103 Shear (MPa) 28-56 42-84

4 steel Cast steel Cast iron Sumber : Harris (1982) Nilai batas mulur dan kekuatan tarik baja karbon untuk konstruksi mesin berdasarkan JIS (Standar Industri Jepang) G 4051 disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Batas Mulur dan Kekuatan Tarik Baja Karbon untuk Konstruksi Mesin Batas Mulur (kg/mm2) N H S30C 29 34 S35C 31 40 S40C 33 45 S45C 35 50 S50C 37 55 S55C 40 60 S15CK 35 Sumber : Sularso dan Suga (1987) Lambang Kekuatan Tarik (kg/mm2) N H 48 55 52 58 55 62 58 70 62 75 66 80 50

28-52 10-14

28-52 35-55

21-42 10-14

Keterangan : N = Perlakuan panas : penormalan H = Perlakuan panas : celup dingin ataupun temper

Nilai kekuatan tarik baja karbon difinis dingin berdasarkan JIS (Standar Industri Jepang) G 3123 disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5.

Kekuatan Tarik Batang Baja Karbon Difinis Dingin (Sering Dipakai untuk Poros) Lambang S35C-D Perlakuan Panas Dilunakkan Tanpa Dilunakkan Dilunakkan S45C-D S55C-D Tanpa Dilunakkan Dilunakkan Diameter (mm) 20 atau kurang 21 80 20 atau kurang 21 80 20 atau kurang 21 80 20 atau kurang 21 80 20 atau kurang Kekuatan Tarik (kg/mm2) 58 79 53 69 63 82 58 72 65 86 60 -76 71 91 66 81 72 -93

5 21 80 20 atau kurang 21 80 67 83 80 101 75 91

Tanpa Dilunakkan Sumber : Sularso dan Suga (1987)

Nilai batas mulur dan kekuatan tarik baja khrom nikel berdasarkan JIS (Standar Industri Jepang) G 4102 disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Batas Mulur dan Kekuatan Tarik Baja Khrom Nikel Lambang Batas Mulur (kg/mm2) SNC2 70 SNC3 80 SNC21 SNC22 Sumber : Sularso dan Suga (1987) Kekuatan Tarik (kg/mm2) 85 95 80 100

Rumus tentang tegangan thermal disajikan pada persamaan (8). Jika suatu balok diberi perlakuan panas, maka perubahan temperatur yang terjadi tersebut dapat menimbulkan tegangan. Misalnya pada balok yang ujung ujungnya dijepit, kemudian suhu balok dinaikkan dari to menjadi t. Karen pemuaian balok tersebut dilawan oleh gaya reaksi pada ujung ujung balok, maka pada balok tersebut timbul tegangan kompresif. = Dengan asumsi bahwa panjang balok adalah tetap, maka tegangan kompresif yang ditimbulkan oleh reaksi pada ujung ujung balok adalah : E . ( t - to) ....................................... (8) dengan adalah tegangan yang timbul, adalah koefisien muai bahan balok, dan E adalah modulus elastisitas. Tegangan dan regangan akibat gaya geser dapat diikuti pada persamaan (9), (10), (11), (12), (13), (14) : = Q / As .............................................................. (9) dengan adalah tegangan geser (dalam Pa), Q adalah gaya geser (dalam N), A s adalah luas penampang geser (dalam m2). Jika gaya geser bekerja pada elemen empat persegi panjang, maka :

6 tg = s / L ..................................................... (10)

Besarnya nilai dinyatakan dalam radian. Pada nilai sudut kecil, maka berlaku : = tg ................................................................... (11) Persamaan (11) disubstitusikan ke persamaan (10) sehingga diperoleh : = s / L .............................................................. (12) Besaran inilah yang disebut regangan geser. Pada daerah elastis, nilai tegangan geser sebanding dengan nilai regangan geser, maka berlaku Hukum Hooke, ditulliskan : = G . .................................................................... (13) dengan adalah tegangan geser (dalam Pa), adalah regangan geser (tak berdimensi), dan G adalah modulus elastisitas geser (= modulus geser, modulus kekakuan, modulus ketegaran) (dalam Pa). Besarnya modulus elastisitas geser pada beberapa bahan disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7. Nilai Modulus Elastisitas dan Modulus Elastisitas Geser Beberapa Bahan Bahan Paduan aluminum 2014-T6 Paduan aluminum 6061-T6 Besi Cor Abu -abu Besi Cor - Tempa Paduan Magnesium, AM100A Baja Karbon 0,6 % (rol panas) Sumber : Tanisan (1993) Dari persamaan (9), (12), dan (13), dapat diturunkan rumus deformasi geser : s = ( Q . L ) / ( As . G ) .......................... (14) (2) Gaya Lintang dan Momen Lentur Pada balok tumpuan sederhana, maka berlaku tiga persamaan kesetimbangan, yaitu : (a) (b) M di suatu titik = 0 Fvertikal = 0 Modulus Elastisitas (GPa) Tarik atau Desak Geser 75 70 90 170 45 200

27,6 25,6 41 83 17 83

7 (c) Fhorisontal = 0

Pada balok terjepit satu ujung (atau kantilever), juga berlaku persamaan kesetimbangan gaya. (3) Tegangan pada Batang akibat Beban Lateral Momen inersia atau momen luas kedua (second momen of area) pada suatu penampang lintang yang berbentuk empat persegi panjang, dengan lebar dasar b dan tinggi h, terhadap sumbu netral atau titik berat (Ix) adalah : Ix = b . h3 / 12 ..................................................................... (15) Momen inersia pada penampang berupa lingkaran dengan jari jari r adalah : Ix = ( / 4 ) . r4 ............................................................ (16) Jika dinyatakan dalam diameter lingkaran (d), maka besarnya momen inersia adalah : Ix = d 4 / 64 .................................................................... (17) Momen inersia pada penampang lintang berupa lingkaran berlubang, dengan diameter dalam D1 dan diameter luar D2 adalah : Ix = ( D24 - D14 ) / 64 ................................................ (18) Modulus penampang merupakan sifat geometrik penampang lintang, yang didefinisikan : Z = I / ymaks ............................................................ (19) dengan Z adalah modulus penampang, I adalah momen inersia, dan y maks adalah panjang lengan terbesar antara tempat kedudukan pada suatu penampang dengan sumbu netral. Nilai ymaks (atau sering disimbulkan dengan huruf C) untuk penampang lintang berupa empat persegi panjang adalah setengah tinggi, sedangkan untuk lingkaran adalah jari jari lingkaran. Dengan demikian maka : (a) pada penampang lintang berbentuk empat persegi panjang : Z = I / ymaks Z = (b . h3 / 12 ) / (h/2) Z = (b . h2 / 6 ) .................................. ................ (20) (b) pada penampang lintang berbentuk empat lingkaran pejal : Z = I / ymaks Z = [ ( / 4 ) . r4 ] / r Z = [ ( / 4 ) . r3 ]

8 Z = [ ( / 32 ) . d3 ] .................. ................... (21) (c) pada penampang lintang berbentuk empat lingkaran berlubang : Z = I / ymaks Z = [ ( / 4 ) .(R4 r4 ) ] / R r4 ) ] ........................ (22) Z = [ ( / 4 R ) . (R4 -

dengan R adalah jari jari luar, dan r adalah jari-jari dalam. Tegangan lentur tertinggi (maks) pada suatu konstruksi (batang) terjadi pada penampang yang menderita momen lentur yang maksimum (Mmaks) pada permukaan batang yang kedudukannnya terjauh dari sumbu netral (yaitu pada ymaks atau C), dituliskan : maks = Mmaks x ymaks / I ................................................ (23) karena I / ymaks adalah Z, maka dapat ditulis : maks = Mmaks / Z ........................................................ (24) (4) Rancangan Ukuran Batang Berdasarkan Beban Lateral Rancangan ukuran balok, didasarkan pada persamaan (24), yang bisa ditulis : Z = Mmaks / maks ............................................... ............... (25) dengan Z adalah modulus penampang (dalam m3), maks adalah tegangan lentur maksimum (dalam pascal), dan Mmaks adalah momen lentur maksimum (dalam N.m). Padahal, untuk penampang lintang yang berbentuk empat persegi panjang, besarnya modulus penampang (Z) adalah seperti pada persamaan (20), dengan b adalah lebar dasar (dalam m) dan h adalah tinggi atau tebal konstruksi balok (dalam m). Persamaan (20) disubstitusikan ke persamaan (25), diperoleh : (b . h2 / 6 ) = ( Mmaks / maks ) h2 = ( 6 . Mmaks ) / h = [( 6 . Mmaks ) / ( b . maks ) ( b . maks )] 0,5 ................................. (26)

dalam hal ini, nilai maks yang dipakai adalah tegangan ijin. Mengenai rancangan ukuran silinder atau pipa, pada konstruksi berupa silinder pejal, maka penampang lintangnya berupa lingkaran pejal. Diameter lingkaran tersebut bisa diperoleh sebagai berikut : ( . d3 / 32 ) = ( Mmaks / maks ) d3 = ( 32 . Mmaks ) / ( . maks )

9 d = [( 32 . Mmaks ) / ( . maks )] 1/3 ................................. (27)

dalam hal ini, besarnya maks yang dipakai adalah ijin . (5) Defleksi Batang Akibat Beban Lentur Beban lateral menyebabkan terjadinya lendutan (defleksi) pada suatu konstruksi batang. Nilai lendutan tersebut (dengan simbol ) berubah di setiap titik pada bentang konstruksi tersebut, dengan hubungan persamaan diferensial : E I d2 / d x2 = M ........................................... (28) dengan E adalah modulus elastisitas bahan, I adalah momen inersia bahan, adalah lendutan, x adalah posisi titik pada bentang konstruksi, diukur dari satu ujung acuan, dan M adalah momen lentur. Pada konstruksi batang sederhana (simple beam) yang didukung dengan sendi dan roll, yang dibebani oleh beban titik, maka menurut Sardy dan Lamyarni (1990), diperoleh rumus :

= W. b / [ 6 . L . E . I ] . (-x3 + L2 x - b2 x ), untuk x a (dari titik A, titik tumpu di sebelah kiri) = { W. b / [ 6 . L . E . I ] . (-x3 + L2 x - b2 x ) } + { W / [6 . E . I ] .(x- a)3 , untuk x a (dari titik A, titik tumpu di sebelah kiri) ........................................................................ (29) dengan W adalah besarnya beban, b adalah (L a), dan L adalah panjang bentang, atau jarak sendi dengan roll. Jika beban titik (W) tersebut berada di tengah tengah konstruksi batang sederhana (simple beam), maka lendutan maksimum terjadi tepat pada tengah tengah bentang, atau pada beban tersebut ( x = L/2), dengan nilai lendutan () sebesar : = W. L3 / [ 48 . E . I ] ......... (30) dengan W adalah beban, L adalah panjang bentang, E adalah modulus elastisitas bahan, dan I adalah momen inersia bahan. Jika konstruksinya berupa kantilever atau batang terjepit, dengan panjang bentang L, yang dijepit di titik A, maka besarnya lendutan () pada jarak x dari titik

10 A akibat beban titik F yang bekerja di ujung bentang adalah (Shigley, Mitchell, dan Harahap, 1986 ) : = F. x2 / [ 6 . E . I ] . ( x - 3 . L ) .................................... (31) ssehingga lendutan maksimum terjadi di bawah gaya F (pada x = L), yang nilai lendutannya adalah : maks = F. x2 / [ 6 . E . I ] . ( x - 3 . L ), dengan x = L = F. L2 / [ 6 . E . I ] . ( L - 3 . L ) = - F. L3 / [ 3 . E . I ] ...................................................... (32) Jika suatu konstruksi dikenai beberapa beban, maka cara penyelesaiannya dapat dilakukan dengan metode superposisi. Metode superposisi tersebut pada prinsipnya adalah bahwa besarnya defleksi yang terjadi akibat beban F1 dan F2 adalah sama dengan besarnya defleksi akibat beban F1 yang ditambah dengan defleksi akibat beban F2. (6) Torsi Momen inersia polar (J) pada poros atau as pejal dengan jari jari R dirumuskan sebagai berikut : J = ( 0,5) ( ) R4 ................................................................( 33 ) Jika dinyatakan dalam diameter poros (D), maka diperoleh : J = . D4 / 32 ....................................................... (34)

Pada silinder berlubang, dengan diameter luar = D dan diameter dalam = d, jari jari luar = R dan jari jari dalam r, maka besarnya momen inersia polar dapat disajikan pada persamaan (35) atau (36). J = ( 0,5) ( ) ( R4 - r4 ).....................................................( 35 ) J = . ( D4 - d4 ) / 32 .......................................... (36)

Mengenai sudut puntir dijelaskan sebagai berikut : pada poros pejal yang dipegang atau diklem pada ujung kiri, dan mengalami momen puntir terhadap sumbu longitudinal (memanjang) pada ujung kanan, dengan anggapan bahwa (a) puntiran adalah seragam sepanjang poros, (b) penampang lintang serta jari-jari rata pada suatu bidang, (c) baik panjang poros maupun diameter poros tidak berubah, dan (d) bahan

11 poros adalah homogen dan mengikuti Hukum Hooke, maka hubungan antara sudut puntir (dalam radian) dengan besarnya torsi (T, dalam N.m), panjang poros (L, dalam m), momen inersia polar (J, dalam m4), dan modulus kekakuan (atau modulus elastisitas geser) (G, dalam N/m2) adalah : = T . L / ( J . G ) ................................................. (37) Tegangan geser akibat puntiran yang bekerja pada poros, dirumuskan : = T . / J .......................................................... (38) dengan adalah tegangan geser, T adalah torsi, adalah jarak terhadap titik tengah lingkaran proyeksi poros, dan J adalah momen inersia polar. Dari persamaan 38 tersebut tampak bahwa tegangan geser maksimum terjadi pada nilai yang mencapai maksimum, sehingga diperoleh : maks = T . R / J .......................................................... (39) dengan maks adalah tegangan geser maksimum, R adalah jari-jari lingkaran proyeksi poros, T adalah torsi, dan J adalah momen inersia polar. Jika nilai tegangan geser maksimum tersebut dinyatakan dalam torsi dan diameter, maka untuk poros pejal diperoleh : maks = 16 . T / ( . D3 ) .......................................................... (40) dengan maks adalah tegangan geser maksimum (dalam N/m2), T adalah torsi (dalam N.m), dan D adalah diameter poros (dalam m). Pada poros berongga, besarnya tegangan geser maksimum dapat dinyatakan : maks = 16 . T. D / [ ( D4 d4 ) ] ........................................ (41) dengan maks adalah tegangan geser maksimum (dalam N/m2), T adalah torsi (dalam N.m), dan D adalah diameter poros bagian luar (dalam m), dan d adalah diameter poros bagian dalam (dalam m). Poros untuk transmisi daya dirumuskan dari persamaan (42) sampai dengan (46) berikut. P= T . Hubungan antara daya putar, torsi dan kecepatan sudut dirumuskan : ..................................................................................... (42)

dengan P adalah daya yang ditransmisikan poros (dalam watt), T adalah torsi atau momen puntir (dalam N.m), dan adalah kecepatan sudut (dalam radian/detik). Apabila poros berputar dengan frekuensi f, maka hubungan antara kecepatan sudut dengan frekuensi putara adalah : = 2. . f ................................................................................... (43)

12 Dalam hal ini, apabila frekuensi dinyatakan dalam rps (atau banyaknya putaran tiap detik), maka kecepatan sudut dinyatakan dalam radian / detik. Hubungan antara daya putar dengan frekuensi putar serta torsi adalah : P = 2 . . f . T ................................................................................... (44) Jika daya putar dinyatakan dalam satuan watt, dan torsi sinyatakan dalam satuan N.m, serta frekuensi putar dalam rps, maka didapatkan hubungan : P(watt) = 2 . . rps. T(N.m) .............................................................. (45) Frekuensi putaran merupakan banyaknya putaran tiap satuan waktu, bisa dinyatakan dalam rps (= banyaknya putaran tiap detik), atau RPM (banyaknya putaran tiap menit), yang hubungan keduanya adalah : rps = RPM / 60 ........................................................................... (46)

DAFTAR PUSTAKA
Frick, H. 1991. Mekanika Teknik I : Statika & Kegunaannya. Cetakan Kedelapan, Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Gulo, D.H. 1989. Dasar Dasar Perhitungan Kekuatan Bahan (Alih Bahasa dari : Strength of Material, Part I : Elementary, by S. Timoshenko, Robert E. Klinger Publishing Co., Inc., 1968). Cetakan Kedua, Penerbit Restu Agung, Jakarta. Harris, C.O. 1982. Statics and Strength of Materials. John Wiley & Sons, Inc., United States of America. Prasetio, Lea. 1984. Mekanika Terapan. (Alih Bahasa dari : Applied Mechanics, 2nd edition. by D. Titherington and J. G. Rimmer, McGraw-Hill Inc., 1982) Edisi Kedua. Penerbit Erlangga, Jakarta.

Santosa. 2004. Kekuatan Bahan. Jilid I. Fakultas Pertanian Universitas Andalas, Padang.
Sardy S. dan Lamyarni I. S. 1990. Dasar Analisis Tegangan (Alih Bahasa dari : BASIC Stress Analysis, by M. J. Iremonger, Butterworth & Co. Ltd., 1982). Penerbit UI-Press, Jakarta.

Shigley, J.E., L. D. Mitchell, dan Gandhi Harahap. 1986. Perencanaan Teknik Mesin. Jilid I, Edisi Keempat, Penerbit Erlangga, Jakarta.

13

Sularso dan K. Suga. 1987. Dasar Perencanaan dan Pemilihan Elemen Mesin. Cetakan Keenam. P.T. Pradnya Paramita. Jakarta. Tanisan, Z. A. 1993. Mekanika Teknik (Alih Bahasa dari : Mechanics of Materials, 2nd Edition, by E. P. Popov, Prentice-Hall, Inc., 1978). Edisi Kedua. Penerbit Erlangga, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai